Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Selasa, 21 Desember 2010

LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, DAN TRANSGENDER ADALAH PENYIMPANGAN DAN TINDAKAN KRIMINAL YANG HARUS DIHUKUM TEGAS*

HIV/AIDS : Masalah Kesehatan dan Perilaku

Masalah HIV/AIDS sebenarnya bukan sekadar masalah kesehatan (medis), namun juga masalah perilaku. Sebab telah terbukti penyebab terbesar penularan HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas, yaitu zina dan homoseksual. (Ali As-Salus, Mausu‘ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, hal. 705).

Terlebih jika ditelusuri sejarahnya, HIV / AIDS pertama kalinya memang
ditemukan di kalangan gay San Fransisco pada tahun 1978. Selanjutnya HIV/AIDS menular hingga ke seluruh penjuru dunia terutama lewat perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Inilah bukti bahwa HIV/AIDS tidak dapat dianggap semata-mata hanya masalah kesehatan, melainkan juga masalah perilaku.

Dengan perumusan masalah seperti ini, maka solusinya menjadi jelas dan terarah. Jadi HIV/AIDS harus ditanggulangi bukan hanya dengan mencegah dan mengobati HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, melainkan harus disertai pula dengan upaya menghapuskan segala perilaku menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Inilah solusi yang diserukan Islam dan solusi yang memang sesuai dengan kenyataan yang ada. Islam memang memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, karena penyakit AIDS memang berbahaya (dharar) lantaran menyebabkan lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Berbagai penyakit akan mudah menjangkiti penderitanya yang ujung-ujungnya adalah kematian. Padahal Islam adalah agama yang melarang terjadinya bahaya (dharar) pada umat manusia. Rasulullah SAW bersabda,"Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan juga bahaya bagi orang lain dalam Islam (laa dharara wa laa dhiraara fi al-islam)." (HR Ibnu Majah no 2340, Ahmad 1/133; hadits sahih).

Namun Islam juga memandang HIV/AIDS sebagai masalah perilaku, karena HIV/AIDS pada sebagian besar kasusnya berawal dan tersebar melalui perilaku seks bebas yang menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Semua perilaku ini adalah perbuatan kotor dan tercela dalam pandangan Islam. Semuanya adalah tindakan kriminal yang layak mendapat hukuman yang tegas. (Imam Al-Ajiri, Dzamm Al-Liwath, Kairo: Maktabah Al-Qur`an, 1990, hal. 22; Mahran Nuri, Fahisyah al-Liwath, hal. 2; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 18-20).

Solusi Islam ini jelas berbeda berbeda dengan solusi model sekular-liberal selama ini. Solusi ini hanya memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, bukan masalah perilaku. Maka solusinya hanya terkait dengan persoalan kesehatan semata, misalnya kondomisasi, pembagian jarum suntik steril, kampanye bahaya AIDS, dan yang semisalnya. Sedang perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap tidak ada masalah, tidak perlu dihukum, dan dianggap tak ada hubungannya dengan penanggulangan HIV/AIDS. Jelas solusi ini adalah solusi yang dangkal dan bodoh.

Dikatakan "dangkal" karena solusi yang ada berarti hanya menyentuh fenomena permukaan yang nampak secara empiris. Tidak menyentuh persoalan yang lebih mendalam dan hakiki, yaitu persoalan nilai-nilai kehidupan (morality) dan gaya hidup (life style) yang terekspresikan lewat seks bebas.

Dan dikatakan "bodoh" karena solusi tersebut berarti memerosotkan derajat manusia setara dengan binatang. Karena perilaku yang jelas-jelas bejat seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap legal dan sah-sah saja dilakukan. Padahal semua perilaku sampah itu hakikatnya adalah mempertuhankan hawa nafsu dan membunuh akal sehat. Bukankah ini suatu kebodohan? Firman Allah SWT (artinya) : "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu). (QS Al-Furqaan : 43-44).

Jadi, mengatasi HIV/AIDS hanya sebagai masalah kesehatan tanpa mempersoalkan perilaku seks bebas yang menyertainya, adalah solusi dangkal dan bodoh.

Sayang sekali, solusi dangkal dan bodoh inilah yang justru diadopsi oleh pemerintah dan berbagai LSM komprador asing. Solusi ini sebenarnya hanya strategi impor dari kaum kafir penjajah, dengan perspektif sekuler-liberal (versi UNAIDS). Namanya saja yang keren, "Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS." Tapi intinya bukan penanggulangan yang serius, melainkan sekedar kedangkalan dan kebodohan.

Pemerintah dan berbagai LSM itu seolah-olah memang tulus mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari HIV/AIDS. Gunakan kondom, pakai jarum suntik steril, kalau bisa jangan zina, kalau bisa jangan ganti-ganti pasangan dan bla, bla, bla lainnya yang kelihatannya hebat dan heroik. Padahal kampanye itu bukanlah solusi yang benar, bahkan malah mungkin akan semakin menyuburkan HIV/AIDS. Mengapa? Karena mereka telah memasang kacamata kuda ketika memandang masalah HIV/AIDS menjadi sebatas masalah kesehatan. Akhirnya mereka mengabaikan perilaku-perilaku sampah semisal zina, homoseksual, biseksual, dan sebagainya. Padahal perilaku seperti inilah yang menjadi penyebab terbesar dari HIV/AIDS.

Maka, itikad pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS sangat patut diragukan, selama mereka masih mentolerir perilaku bejat yang menjijikkan semisal lesbianisme, gay, biseksual, transgender dan semacamnya.

Tegas kami nyatakan, selama HIV/AIDS hanya dipandang masalah kesehatan, tanpa ada usaha untuk menghapuskan perilaku seks bebas, maka penanggulangan HIV/AIDS apa pun dan bagaimana pun juga strateginya, sudah pasti ditakdirkan gagal. Pasti. Sebab selain menyalahi fakta keras yang ada, bahwa HIV/AIDS tak dapat dilepaskan dari zina dan liwath (homoseksual), penanggulangan semacam itu juga menyimpang dari ajaran Islam. Setiap penyimpangan dari Islam tak akan pernah menemui keberhasilan, tapi hanya berbuah kegagalan di dunia dan akhirat. Firman Allah SWT (artinya),"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan [di dunia] dan azab yang pedih [di akhirat]." (QS An Nuur : 63).

Menyoal LGBT
Islam memang berbeda dengan gaya hidup liar yang diajarkan sekularisme-liberalisme. Menurut mereka perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender adalah boleh karena merupakan hak asasi manusia (HAM) dan bagian dari kebebasan individu yang harus dihormati dan dijaga oleh negara.

Namun Islam tak menyetujui selera rendahan ala binatang seperti itu. Perilaku lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender hukumnya haram dalam Islam. Tak hanya itu, semua perbuatan haram itu sekaligus dinilai sebagai tindak kejahatan/kriminal (al-jarimah) yang harus dihukum. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 8-10).

Lesbianisme dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah as-sahaaq atau al-musahaqah. Definisinya adalah hubungan seksual yang terjadi di antara sesama wanita. Tak ada khilafiyah di kalangan fuqaha bahwa lesbianisme hukumnya haram. Keharamannya antara lain berdasarkan sabda Rasulullah SAW : "Lesbianisme adalah [bagaikan] zina di antara wanita" (as-sahaq zina an-nisaa` bainahunna). (HR Thabani, dalam al-Mu’jam al-Kabir, 22/63). (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, hal. 452).

Lesbianisme menurut Imam Dzahabi merupakan dosa besar (al-kaba`ir). (Dzahabi, Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba`ir, 2/235). Namun hukuman untuk lesbianisme tidak seperti hukuman zina, melainkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang tidak dijelaskan oleh sebuah nash khusus. Jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qadhi (hakim). Ta’zir ini bentuknya bisa berupa hukuman cambuk, penjara, publikasi (tasyhir), dan sebagainya. (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, hal. 452; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 9).

Homoseksual dikenal dengan istilah liwath. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijma’) seluruh ulama mengenai haramnya homoseksual (ajma’a ahlul ‘ilmi ‘ala tahrim al-liwaath). (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/348). Sabda Nabi SAW,"Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth Allah telah mengutuk siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth." (HR Ahmad, no 3908). Hukuman untuk homoseks adalah hukuman mati, tak ada khilafiyah di antara para fuqoha khususnya para shahabat Nabi SAW seperti dinyatakan oleh Qadhi Iyadh dalam kitabnya Al-Syifa`. Sabda Nabi SAW,"Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya." (HR Al Khamsah, kecuali an-Nasa`i).

Hanya saja para sahabat Nabi SAW berbeda pendapat mengenai teknis hukuman mati untuk gay. Menurut Ali bin Thalib RA, kaum gay harus dibakar dengan api. Menurut Ibnu Abbas RA, harus dicari dulu bangunan tertinggi di suatu tempat, lalu jatuhkan gay dengan kepala di bawah, dan setelah sampai di tanah lempari dia dengan batu. Menurut Umar bin Khaththab RA dan Utsman bin Affan RA, gay dihukum mati dengan cara ditimpakan dinding tembok padanya sampai mati. Memang para shahabat Nabi SAW berbeda pendapat tentang caranya, namun semuanya sepakat gay wajib dihukum mati. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 21).

Biseksual adalah perbuatan zina jika dilakukan dengan lain jenis. Jika dilakukan dengan sesama jenis, tergolong homoseksual jika dilakukan di antara sesama laki-laki, dan tergolong lesbianisme jika dilakukan di antara sesama wanita. Semuanya perbuatan maksiat dan haram, tak ada satu pun yang dihalalkan dalam Islam.

Hukumannya disesuaikan dengan faktanya. Jika tergolong zina, hukumnya rajam (dilempar batu sampai mati) jika pelakunya muhshan (sudah menikah) dan dicambuk seratus kali jika pelakunya bukan muhshan. Jika tergolong homoseksual, hukumannya hukuman mati. Jika tergolong lesbianisne, hukumannya ta’zir.

Transgender adalah perbuatan menyerupai lain jenis. Baik dalam berbicara, berbusana, maupun dalam berbuat, termasuk dalam aktivitas seksual. Islam mengharamkan perbuatan menyerupai lain jenis sesuai hadits bahwa Nabi SAW mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan mengutuk wanita yang menyerupai laki-laki (HR Ahmad, 1/227 & 339).

Hukumannya, jika sekedar berbicara atau berbusana menyerupai lawan jenis, adalah diusir dari pemukiman atau perkampungan. Nabi SAW telah mengutuk orang-orang waria (mukhannats) dari kalangan laki-laki dan orang-orang tomboy (mutarajjilat) dari kalangan perempuan. Nabi SAW berkata,"Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian." (akhrijuuhum min buyutikum). Maka Nabi SAW pernah mengusir Fulan dan Umar RA juga pernah mengusir Fulan (HR Bukhari no 5886 dan 6834). (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1306).

Jika transgender melakukan hubungan seksual maka hukumannya disesuaikan dengan faktanya. Jika hubungan seksual terjadi di antara sesama laki-laki, maka dijatuhkan hukuman homoseksual. Jika terjadi di antara sesama wanita, dijatuhkan hukuman lesbianisme. Jika hubungan seksual dilakukan dengan lain jenis, dijatuhkan hukuman zina.

Memang dalam Islam dikenal istilah khuntsa, atau hermaphrodit, yakni orang yang mempunyai kelamin ganda. Mereka memang diakui dalam fiqih Islam. Namun ini sama sekali berbeda dengan transgender, karena kaum transgender mempunyai kelamin yang sempurna, bukan kelamin ganda, hanya saja mereka berperilaku menyerupai lawan jenisnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender adalah perbuatan yang diharamkan Islam, sekaligus merupakan tindakan kriminal yang harus dihukum tegas.

Yang berhak menjatuhkan hukuman adalah Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah yang akan menjalankan Syariah Islam secara kaffah (komprehensif). Memang, Khalifah sekarang sudah tak ada sejak hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924.

Maka menjadi tugas umat Islam, untuk mengembalikan Khilafah itu di muka bumi sekali lagi sebagai Khilafah yang mengikuti minhaj nubuwwah (metode kenabian). Dialah nanti yang akan menjalankan Syariah Islam secara kaffah, termasuk menjatuhkan hukuman-hukuman yang tegas untuk manusia-manusia hina yang melakukan perbuatan lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Wallahu a’lam [ ]

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi**


DAFTAR BACAAN

Al-Utaibi, Sa’ud bin Abdul ‘Ali Al-Barudi, Al-Mausu’ah Al-Jina`iyah al-Islamiyah, (Riyadh : t.p), 1427 H

As-Salus, Ali Ahmad, Mausu‘ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Muashirah, (Qatar : Daruts Tsaqafah), 2006

Rosyidah, Faizatul, Kritik Islam Terhadap Strategi Penanggulangan HIV-AIDS Berbasis Paradigma Sekula-Liberal dan Solusi Islam Atasnya, http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com

Komisi Penanggulangan AIDS, Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010

Laporan Pelaksanaan Kegiatan Sekretariat KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Nasional, Bulan Juni, Agustus, September 2010

Imam Al-Ajiri, Dzamm Al-Liwath, (Kairo: Maktabah Al-Qur`an), 1990

Imam Al-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Dar Ibn Hazm), 2000

Nuri, Mahran, Fahisyah al-Liwath, www.waqfeya.com

= = = =

*Makalah disampaikan dalam Seminar Mahasiswa Peduli Generasi, dengan tema Benarkah Lesbi, Gay, Bisex dan Transgender Adalah Kehendak Tuhan ?, diselenggarakan oleh Lembaga Dakwah Kampus Unit Pengkajian dan Pengamalan Islam (UPPI) Institut Seni Indonesia Surakarta bekerjasama dengan Badan Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Solo Raya, 18 Desember 2010, di Gedung J, Kampus ISI Surakarta.

**DPP HTI; Pimpinan Pesantren (Mudir Ma’had) Hamfara Yogyakarta

Kamis, 02 Desember 2010

PERAN INTELEKTUAL MUSLIMAH DALAM MENYELAMATKAN GENERASI DENGAN MEWUJUDKAN INDONESIA YANG MANDIRI, KUAT DAN TERDEPAN

Kaum intelektual merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari dunia pendidikan, mulai PAUD sampai dengan perguruan tinggi, bahkan mulai dari kandungan. Peran kaum intelektual sangat strategis dalam menentukan nasib bangsa. Merekalah yang mencanangkan tonggak sejarah kehidupan suatu bangsa, merekalah yang mewarnai dan menentukan profil suatu bangsa, sehingga bangsa yang berkepribadian mulia pasti lahir dari komunitas intelektual yang mulia pula.

Intelektual muslim adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Allah menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab. Allah berfirman :
• Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab. (QS: 2:269)
• Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS: 12:111)
• Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah dan mereka itulah ulul albab (QS: 3:7)
• “Katakanlah “Apakah sama, orang­orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang­orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.” (QS. Az- Zumar :9)

Karena ilmu yang dikuasai para intelektual tersebut, Islam memberikan posisi/kemuliaan dibandingkan dengan mereka yang tidak berilmu, selama ilmu itu disandarkan pada keimanan yang benar kepada Allah swt. Firman Allah swt yang artinya : “Allah mengangkat orang ­ orang yang beriman diantara kalian dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah saw juga bersabda: ”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim). ”Barangsiapa didatangi kematian dimana dia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan para Nabi di surga adalah satu tingkat derajat.” (HR ad Darimi dan ibn sunni dengan sanad hasan).

Demikianlah, Islam menempatkan para intelektual dalam kedudukan yang sangat mulia –hingga dikatakan bisa bersama dengan para Nabi di surga-, selama mereka melandasi keilmuannya dengan keimanan, dan mempergunakan/mengamalkan ilmunya dalam rangka menghidupkan (syariah) Islam.


MENJADI INTELEKTUAL MUSLIM SEJATI
Para intektual muslim seharusnya tumbuh dan berkembang di atas pilar aqidah aqliyah, suatu proses pemahaman terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya melalui pemikiran secara utuh dan terintegrasi. Konsep ini harus ditanamkan sejak manusia mengenal dunia pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Secara rinci dapat disebutkan bahwa niat untuk menjadi pakar sudah harus diluruskan sejak awal dan akan secara otomatis terpenuhi, ketika seseorang paham akan posisi dirinya terhadap Sang Pencipta. Kepakaran yang diraih melalui proses pembinaan berbasis aqidah dan syariat Islam pasti akan diperuntukkan sesuai tuntutan kompetensi yang diinginkan Islam, yaitu untuk menyelesaikan permasalahan dan mewujudkan kemaslahatan umat. Inilah alasannya, kenapa kepakaran harus dibangun di atas pilar aqidah dan syariah Islam. Kepakaran yang seperti inilah yang akan mewujudkan umat yang mulia di hadapan Sang Pencipta, yaitu umat yang bertaqwa. Seseorang yang pakar di bidang sains dan teknologi misalnya, harus paham benar untuk apa alam semesta ini diciptakan, apa yang terkandung di dalam alam semesta ini, bagaimana mengeksplorasinya, mengelolanya dengan benar dan memanfaatkannya dengan amanah untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan bekerjasama secara sinergi, melibatkan para pakar dari berbagai bidang minat, akan terciptalah suatu sistem yang berkembang di atas kehidupan yang rahmatan lil’alamin secara global, bukan hanya di Indonesia. Allah menciptakan Islam untuk seluruh umat di dunia, sebagai satu-satunya agama yang telah disempurnakan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Jadi kepakaran yang dikembangkan berbasis pada aqidah dan syariah Islam merupakan jaminan untuk dapat menyelesaikan permasalahan umat sedunia. Visi ini akan terwujud secara riil, ketika pada tataran implementasinya ditopang oleh sistem yang kondusif dan mendunia pula, yaitu sistem kehidupan yang menerapkan syariah kaaffah di bawah naungan daulah khilafah Islamiyah.

Bagaimana fakta kiprah intelektual hari ini? Para intelektual yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Fitrah penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan Sang Khaliq seperti uraian di atas, sudah banyak dilupakan. Bahwa hakekat penciptaan manusia dan bahkan jin tidak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya, dan bahwa salah satu manivestasi ibadah adalah menuntut ilmu, sehingga dengannya kita bisa mengeksplor kekayaan alam semesta yang telah dihamparkan oleh Allah SWT, selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin, mulai ditinggalkan. Dampak semua ini adalah sebuah ironi bahwa lahirnya para pakar ternyata justru meningkatkan kuantitas dan juga kualitas problematika umat.

Gejala pergeseran orientasi peran strategis para intelektual terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Kenapa hal ini terjadi? Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kuncinya. Ideologi kapitalisme-liberalisme yang bersumber dari sekulerisme, yang telah memposisikan agama sebagai suatu ajaran yang harus dijauhkan/dikeluarkan dari siklus kehidupan manusia, menjadikan kebebasan meraih kebahagiaan dunia dan kenikmatan jasadiah menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan. Ideologi inilah yang hari ini menguasai kehidupan para intelektual di era global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan berpikir secara pragmatis dan instan. Kenapa kedua ideologi tersebut dapat tumbuh subur? Karena keduanya menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Mereka menghadang semua upaya untuk mengkondisikan para pakar mengenali dirinya sebagai manusia secara hakiki.

Mari kita melihat sedikit ilustrasi yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Oxbridge, begitu biasa disingkat-- jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.

Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.

Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan "aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.

Tradisi keilmuan Islam kaya dengan contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya diragukan.

Dalam sejarahnya, Oxbridge mengalami beberapa ketegangan dengan gereja, isunya beragam, tapi dasarnya sama: yaitu jika pengembangan ilmunya dianggap bertentangan dengan doktrin Kristen. Ketegangan itu baru reda setelah "gereja tahu diri" dan membatasi perannya di altar dan mimbar khotbah saja, tidak merambah ke ilmu pengetahuan. Gereja terpaksa mensekulerkan dirinya agar tidak seratus persen di buang dari masyarakat Oxbridge, bahkan lebih luas lagi dari masyarakat Barat. Inilah awal dari fenomena maraknya fenomena “spesialisasi sempit” di kalangan intelektual saat ini, yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain.

Sebaliknya, Madinah, Damaskus, dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Prof. Wan Mohd Nor menulis, bahwa tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuwan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang.

Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda, tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan.

Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Ibnu Khaldun, seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan). Dia juga dikenal sebagai Bapak Ekonomi, Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.

Tabel Perbandingan Profil Intelektual
No INDIKATOR: ISLAM vs BARAT MODERN
1. Aqidah:
Tauhid vs Sekular-Atheis
2. Kepribadian:
Islam vs Sekuler / Komunis
3. Kecenderungan Akal:
Tunduk pada wahyu, akal diberdayakan sesuai tuntunan wahyu vs Memuja Akal/ Rasio
4. Metode Berpikir:
Metode Rasional dan mampu menempatkan metode ilmiah pada tempatnya vs Metode Ilmiah/ empirik, berfikir induktif, tidak mudah percaya kesimpulan, terpenjara pada teori-teori
5. Karakter pemikiran:
Holistik, komprensiv, tapi tetap mendalam (‘amiq) vs Parsial kebidangan, mendalam di satu ranah
6. Kecenderungan pilihan Identitas:
Islam ideologis, bangga akan jati dirinya sbg Muslim vs Universal yg mengarah ke plural, Anti yang berbau sectarian (termasuk agama)
7. Keahlian/ Penguasaan Ilmu:
Fokus hanya pada satu bidang saja vs Multidisiplin, menguasai berbagai disiplin ilmu
8. Kesadaran Politik:
Tinggi, identik dengan seorang pejuang (muharrik+mujahid) vs a-politis, terbelenggu pada bidang keilmuannya
9. Kesalehan sosial:
Sangat tinggi, penjaga kemashlahatan umat dan penerapan hukum syara’ di tengah masy vs Individualistik, pragmatis, terbelenggu oleh syarat2 akademik, orientasi gelar, prestise dan kesejahteraan

Ya, begitulah ciri khas dari profil intelektual muslim sejati, semakin tinggi keilmuannya semakin pula ia takut pada Rabb-nya, semakin tinggi ilmunya semakin luas penguasaan bidang ilmunya dengan tidak membatasi diri hanya pada satu bidang saja, semakin tinggi ilmunya maka semakin tinggi pula semangat juangnya untuk melawan ketidakadilan, semakin tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan persoalan umat dan tidak sibuk hanya mengejar target akademik demi kesejahteraan pribadi. Intelektual muslim sejati, tentu tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah. Subhanallah itulah profil intelektual muslim sejati.


REPOSISI PERAN INTELEKTUAL MUSLIMAH INDONESIA
Islam meletakkan para intelektual dalam posisi terhormat sebagai pendidik umat dan sekaligus pelindung mereka dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan umat. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, intelektual adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi umat.

Sayangnya sistem kapitalistik telah menghancurkan peran utama para intelektual ini dan menjatuhkan kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Para intelektual dalam sistem kapitalistik justru dipersiapkan untuk mempersiapkan undang-undang yang melegitimasi sepak terjang para kapitalis untuk merampok kekayaan alam. UU Penanaman modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis.

Intelektual dalam sistem kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu ada dalam arahan dan dominasi para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan pengetahuan dan para pemilik pengetahuan sebagai budak-budak mereka. Dengan system pendidikan yang ada di Indonesia misalnya, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak mencetak intelektual yang hanya bertindak sebagai buruh-buruh murah bagi mereka. Kapitalisme juga membajak para intelektual untuk menjadi agen-agen asing yang melapangkan jalan disintegrasi bangsa. Dengan dukungan penuh kekuatan para kapitalis dari berbagai lini, negara tak sanggup menghadapi mereka.

Sebenarnya, jumlah total pakar di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu, bukan hanya ribuan, melainkan jutaan, sebanding dengan jutaan permasalahan yang dihadapi oleh umat dewasa ini. Mulai dari problematika yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosial dan kultur budaya. Sayangnya, semua problematika tersebut tidak secara tuntas dapat teratasi oleh para pakar yang fitrahnya seharusnya berkompeten mengatasi problematika tersebut. Sebaliknya secara faktual, lahirnya para pakar ternyata malah melahirkan masalah baru. Mulai dari penipuan, korupsi, pengangguran, pemborosan uang negara, manipulasi penggunaan uang rakyat, hingga penyalagunaan sumber daya alam yang semestinya dapat dikelola dengan optimal melalui pemberdayaan kepakaran kaum intelektual, malah berujung kesengsaraan rakyat dan generasi dalam bentuk ketergantungan bangsa ini terhadap produk luar negeri. Hal yang ironi karena bahan bakunya sangat surplus di Indonesia. Ini benar-benar kesalahan sistemik yang sulit diselesaikan, kecuali dengan metode sistemik pula.

Di sisi lain, kita juga melihat fenomena lebih senangnya para intelektual berkiprah di negara-negara maju dibandingkan mengabdi dan membangun negerinya sendiri dikarenakan masalah pendapatan dan penghargaan yang tak sebanding dengan yang mereka terima jika mereka di LN. Warga negara Indonesia yang mendapat kesempatan bersekolah di LN dengan beasiswa atau berkiprah di sana pada dasarnya adalah SDM terpilih sehingga merupakan asset bangsa. Keunggulan merekalah yang menyebabkan mereka juga mendapat peluang untuk lebih lama di LN dengan tawaran penelitian lanjutan atau bekerja di perusahaan di sana. Betapa banyak dosen dan peneliti yang capai-capai disekolahkan pemerintah, ternyata kemudian lebih asik bekerja di negara tetangga atau negara tempat mereka pernah bersekolah.

Karenanya saat ini penting untuk melakukan reposisi peran intelektual. Reposisi untuk mengembalikan posisi mereka sebagaimana yang diajarkan Islam yakni sebagai pembimbing dan pemersatu umat untuk mewujudkan bangsanya yang besar, kuat dan terdepan dalam naungan khilafah Islam, bukan mengabdi pada bangsa lain. Umat membutuhkan peran intelektual yang sanggup membimbing mereka. Intelektual yang mampu memetakan potensi dan memberi solusi yang benar untuk memecahkan berbagai persoalan umat. Umat membutuhkan intelektual yang sanggup berdiri di hadapan para penjajah untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar. Intelektual yang berjuang mengembalikan SDAE ke tangan umat dan memelihara kesatuan mereka dalam negara yang kuat yakni khilafah. Umat membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Umat membutuhkan intelektual sejati yang memahami ideologi Islam dan menanamkannya ke tengah-tengah umat. Merekalah Intelektual sejati (ulul albab) yang akan menghentikan penjajahan (non fisik) hari ini untuk menyelamatkan generasi sekarang dan di kemudian hari. Mereka adalah orang-orang yang dicirikan dengan karakter-karakter di bawah ini :
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu (QS 3:7) dan memikirkan ciptaan Allah (QS 3:190).
2. Mampu memisahkan yang jelek dengan yang baik. Kemudian mereka memilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang (QS 5:100)
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS 39:18)
4. Menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat (QS 14:52).
5. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah (QS 5:179 dan 65:10).

Secara ringkas, agar seorang intelektual muslim bisa mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka ada tiga hal yang harus senantiasa melekat pada dirinya:
1. Memiliki kepakaran/keahlian tertentu sesuai dengan bidang yang dikuasainya
2. Memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya. Untuk itu dia harus memiliki metode berfikir yang benar, yang dia gunakan untuk memahami realitas sesungguhnya, yaitu metode berfikir aqliyah (rasional). Sebaliknya, sekalipun arus di dunia intelektual mengajarkan untuk menjadikan metode berfikir ilmiah sebagai satu-satunya metode berpikir, seorang intelktual muslim sejati akan tetap bisa menempatkan metode berfikir ilmiah sesuai dengan porsinya yang tepat.
3. Memahami ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Sehingga pemikiran/ konsep yang disampaikannya tidaklah bersifat praktis dan bertarget pragmatis saja. Tapi harus sampai pada tataran ideologi yang akan membentuk sistem. Dengan kata lain, seorang intelektual muslim haruslah senantiasa ideologis, tidak a-politis, dan membatasi pemikirannya pada satu kebidangan/kepakaran tertentu saja.

SERUAN KEPADA INTELEKTUAL MUSLIMAH INDONESIA
Berkenaan dengan hal tersebut, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyerukan kepada para intelektual muslimah untuk :
1. Meninggalkan Kapitalisme-Sekulerisme dan terus menerus melakukan upaya dekonstruksi terhadap ideologi Kapitalisme-Sekulerisme di tengah-tengah masyarakat, karena telah nyata bahwa Kapitalisme telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri, kuat dan terdepan. Kapitalisme sudah terbukti tidak menjamin kesejahteraan tiap individu rakyat dan menyengsarakan rakyat. Juga meninggalkan perangkap Demokrasi yang mengokohkan hegemoni Kapitalisme global di Indonesia
2. Bergabunglah dalam arus perjuangan yang benar, yang berlandaskan metode dakwah Rasulullah Saw untuk mengkonstruksi tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam demi tegaknya izzul islam wal muslimin. Hal ini bisa kita lakukan dengan cara :
a. Terus mendalami ideologi islam dengan bergabung dalam pembinaan islam ideologis yang akan merubah perilaku dan meningkatkan kualitas sebagai seorang intelektual mukminah.
b. Mempersiapkan diri menjadi pakar islam ideologis yang siap melahirkan produk-produk ‘terideologisasi’ untuk kebangkitan dan kemuliaan umat. Termasuk di dalamnya adalah terlibat dalam penyempurnaan rincian perundang-undangan yang akan diterapkan segera setelah khilafah tegak. Berkiprah dan berkaryalah hanya untuk izzatul islam, negeri islam dan kemashlahatan umat. Berkiprah untuk mempersiapkan diri menjadi SDM pengisi khilafah. Berkarya untuk mempersiapkan penerapan hukum syariat di berbagai bidang.
c. Bergabung dalam formasi barisan perjuangan penegakan syariah dan khilafah yang rapi dan terorganisir, dengan terus-menerus mensosialisasikan ideologi islam dalam bentuk solusi masalah kehidupan masyarakat di manapun intelektual berada, sehingga masyarakat siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam. Ini kita lakukan dalam rangka memperbesar kumpulan rakyat yang mengenal dan menginginkan penerapan hukum-hukum Allah

Kesemua hal tersebut dilakukan kaum intelektual dengan penuh kesiapan untuk menjadi pelopor dan pemimpin perjuangan penegakan syariah dan khilafah, untuk menyelamatkan generasi dan meraih kemuliaan hakiki. Berjalan beriringan dengan partai politik yang sejati, intelektual bekerjasama untuk memetakan dan menyatukan seluruh potensi umat mewujudkan negara besar, kuat dan terdepan dalam naungan khilafah. Semoga harapan ini segera terealisasi dengan izin dan pertolongan Allah SWT.
”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih bahwa sungguh Ia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaiamana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Ia ridhai. dan Ia benar-benar mengubah keadaan mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahKu dan tidak mempersekutukanKu dengan sesuatupun. tetapi barangsiapa yang kafir setelah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”

Wallahu ’alam bisshawaab.

Penulis: Faizatul Rosyidah
Koordinator Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI Jatim