Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Rabu, 24 Januari 2018

AL QUR'AN BERISI HAL ITU?



Kisah yang ingin saya bagi kali ini adalah tentang seseorang yang sangat mengispirasi saya dan membuat saya sangat ingin memahami Al Qur' an. Setiap kali (dulu) sedang bersama beliau, berulang-ulang saya merasa terhenyak kaget dengan penuh keheranan bertanya dalam hati: "Al Qur'an berisi tentang hal itu?"

Kok bisa? Begini. Konon, -Anda boleh percaya, boleh juga tidak- menurut cerita ibu saya -semoga beliau senantiasa dalam keadaan sehat dan penuh limpahan berkah dari Allah swt- sejak kecil saya itu hobi membaca. Masa itu, dimana belum lazim anak usia TK bisa membaca (lancar), konon saya sudah bisa. Pada saat SD, hobi membaca saya semakin menjadi. Semua buku saya baca. Singkat cerita, untuk memenuhi kegemaran saya membaca tersebut, ibu saya yang seorang guru selalu memborong buku di perpustakaan sekolah tempat beliau mengajar untuk dipinjamkan kepada saya. Setiap pulang beliau membawa beberapa buah buku, kadang bahkan jumlahnya sangat banyak, keesokannya dikembalikan lagi ke perpustakaan sekolah beliau, untuk kemudian meminjam lagi beberapa buku baru lainnya untuk dibawa pulang kembali. Demikian setiap hari, hingga beliau katakan semua buku di perpustakaan tersebut sudah habis saya baca. Saat itu kami tinggal di kota kecil (Mojokerto), sekolah tempat beliau mengajar sepertinya juga sekolah swasta yang tidak besar. Mungkin saja koleksi perpustakaan di sana saat itu tidak terlalu banyak.

Singkat cerita, demikianlah, hingga pada usia SD tersebut saya sudah hafal betul semua kisah nabi dan Rasul, kisah-kisah fabel, legenda-legenda, asal muasal ini itu, kisah putri-putrian, kisah pangeran-pangeranan, hikayat ini itu dan semua konten-konten yang lazim ada pada buku bacaan anak saat itu. (Buku-buku anak Islami nan menarik dan bergizi ala jaman now saat itu belum lazim saya kira). Maka, saat itu memori saya tentang posisi kisah nabi dan Rasul sama dengan kisah selainnya. Saya kecil mengira semua adalah kisah atau dongeng biasa, ditulis atau dikarang oleh seseorang, yang sulit bagi saya membedakan mana fiksi mana non fiksi. Semuanya menarik, menyenangkan mendengarnya dan memang di dalamnya sarat dengan pengajaran. Kisah yang sama sering saya dengarkan ketika ibu saya mendongengkannya menjelang tidur.

Hingga ketika musim liburan panjang sekolah tiba, saya bersaudara pergi berlibur menginap di rumah seseorang yang saya katakan sangat mengisnpirasi saya di awal tulisan ini. Ya. Beliau adalah nenek saya, ibunda dari ibu saya. Orang-orang di sekitar beliau mengenal beliau dengan panggilan Nyai Athiyah. Selama tinggal berlibur di Surabaya, kota beliau tinggal, inilah saya untuk pertama kalinya kemudian merasa heran dan memiliki pertanyaan "Al Qur'an berisi tentang hal itu?".

Bagaimana hal itu terjadi?
Begini. Setiap malam menjelang tidur, seperti biasa saya meminta nenek saya tersebut untuk bercerita. Dan beliau kemudian selalu bertanya mau cerita nabi siapa? Setiap saya request kisah nabi A maka beliau pun kemudian menceritakannya dengan detil, hingga dialog-dialog yang terjadi di dalamnya. Kisah-kisah yang saya sudah menghapalnya luar kepala, namun selalu menemukan detil informasi baru dari cerita beliau. Padahal saya tahu persis, beliau tidak lancar membaca huruf latin. Bisa membaca, tapi tidak selancar saya. Menyadari hal itu membuat saya heran dan kemudian bertanya kepada beliau, "kok mbah bisa tahu cerita-cerita nabi itu darimana?" Beliau menjawab, "dari Qur'an". "Apaa?" heran saya dalam hati. Dari Al Qur'an? Yang tiap sore saya belajar di masjid sebelah rumah, dan malamnya setelah maghrib kami membacanya di rumah? Yang membacanya saja sulit (tidak semudah membaca latin bagi saya saat itu), apalagi untuk mengerti apa isinya.

Di kesempatan lain, ketika kemudian kami sekeluarga pindah ke Surabaya (saat itu saya duduk di kelas 5 SD), saya pun lebih sering ke rumah nenek saya ini dan akhirnya memiliki memori lebih tentang beliau dan keseharian beliau. Betapa beliau adalah seseorang yang sangat terjaga lisannya. Setiap saat senantiasa basah dengan dzikrullah, kalimat thoyyibah, dan lantunan ayat-ayat Al qur'an yang beliau baca perlahan sembari melakukan aktivitas apapun, dan hanya terputus ketika beliau butuh untuk bicara/bertanya sesuatu kepada orang lain. Saya menyaksikannya dengan lebih paham karena usia sudah semakin besar, bahwa sejak sebelum bangun tidur hingga beliau tidur lagi, itulah yang saya temui. Bahkan ketika dalam tidur, lalu beliau menggerakkan anggota tubuh apapun atau mengganti posisi tidur beliau maka kalimat-kalimat dzikrullah itu sangat jelas senantiasa saya dengar. Di pagi hari, masuk waktu dluha, datanglah rombongan ibu-ibu yang belajar mengaji (baca Al Qur'an) di rumah beliau. Mereka membacanya dengan keras, bareng-bareng, berbeda apa yang dibaca. Namun setiap kali ada yang salah membaca, nenek saya kemudian mengoreksinya. Padahal beliau tidak sedang di hadapan ibu-ibu tersebut. Nenek saya menyimak mereka sambil menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga beliau. Kok bisa? Itu keheranan saya berikutnya (saat itu). "Padahal Al Qur'an yang mereka (murid-murid beliau) baca kan sangat tebal?! Apa iya nenek saya ini hapal semuanya?!" batin saya saat itu yang belum mengenal program tahfidz dan semacamnya.

Ketika saya usia SMP-SMA dimana berita-berita atau informasi di koran ataupun media lain sudah menjadi konsumsi saya sehari-hari, saya pun kemudian sering membagi informasi kejadian-kejadian terkini yang saya ketahui tersebut dalam perbincangan bersama beliau. Ketika saya bercerita tentang peristiwa aborsi, berita pembunuhan, perang antar negara islam, berita seputar Palestina-Israel, kisah tentang keajaiban/kehebatan seseorang, kedloliman orang-orang tertentu, suku-suku di pedalaman dan sebagainya, kali ini beliau selalu merespon setiap cerita saya itu dengan menyampaikan bahwa apa yang saya ceritakan itu sudah diceritakan di Al qur'an sambil menyampaikan ayat mana yang beliau maksudkan. "Hellow....semua yang saya kisahkan itu adalah info mutakhir, berita terkini, up to date gitu loh ....tapi kok nenek saya yang tidak membaca koran ataupun melihat televisi, menerimanya tidak seperti bahwa itu semua adalah info-info yang membuat beliau merasa mendengar sesuatu yang baru ataupun heran. Sebaliknya semuanya seperti sudah beliau dengar. Sudah beliau tahu. termasuk apa yang kemudian menjadi lanjutan dan pelajaran dari kisah-kisah tersebut. Dan itu, karena beliau membaca Al Qur'an? WOW"....sekali lagi saya bertanya dalam hati "Al Qur'an juga membahas dan menceritakan hal itu? Apa lagikah yang dibahas oleh Al Qur'an?" Menyeruak rasa sangat ingin bisa paham apa yang ada di dalam Al Quran.

Maka apa yang beliau tunjukkan pada saya tersebut, benar-benar menginspirasi saya, memunculkan rasa takjub saya kepada Al Qur'an, membuat saya ingin memiliki kemampuan mengerti setiap bacaan Al Qur'an yang saya baca. Saya mau membaca kisah-kisah itu langsung dari Al Qur'an, bukan dari buku yang ditulis orang, ataupun dongeng yang diceritakan orang. Saya sangat ingin mengerti bahasa Al Qur'an. Keinginan ini terpelihara, sehingga setiap saya mendengar kajian tafsir yang selalu merinci lafadz demi lafadz sebuah ayat, menerjemahkannya, menjelaskan maknanya, selalu menjadi hal yang sangat menarik bagi saya. Hingga ketika kemudian dakwah islam Ideologis menyentuh dan membina saya, memahamkan saya akan posisi penting bahasa Arab dalam islam, bahwa kemukjizatan Al qur'an tidak bisa dipahami tanpa mengenal bahasa Arab, maka kelas-kelas belajar bahasa Arab pun saya kejar. Kursus-kursus ataupun pelatihan yang mengajarkan program terjemah Al Qur'an pun saya ikuti. Semua berawal diantaranya dari inspirasi seorang nenek yang dari lisan beliau selalu keluar ajaran-ajaran Al Qur'an, mengajar menggunakan Al Qur'an, menggunakan bahasa-bahasa Al Qur'an ketika berinteraksi dengan cucunya.

Maka menuliskan kisah ini adalah cara saya menasehati diri saya sendiri -syukur alhamdulillah jika bisa menginspirasi pembaca kisah ini- agar menjadikan Al Quran sebagai sumber / mata air tsaqofah kita, konten, alat & sarana pengajaran kepada anak-anak, murid-murid, maupun umat secara keseluruhan.

Jadi, bacalah Al Qur'an, fahami Al Qur'an, terapkan Al Qur'an, ajarkanlah Al Qur'an, mengajarlah dengan Al Qur'an dan gunakan Bahasa Al Qur'an. Satu lagi, perjuangkanlah Al Qur'an agar bisa diterapkan sempurna dalam kehidupan ini. Karena Al Qur'an diturunkan bukan untuk orang mati. Itulah pelajaran yang ingin saya bagi. Rasul Saw nan mulia pun menyampaikan: "Sebaik-baik dari kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al Qur'an."


Semoga saya dan para pembaca sekalian senantiasa Allah rahmati dengan Al-Quran yang agung. Semoga Allah senantiasa menjadikan Al qur'an bagi kita semua sebagai panutan, cahaya, petunjuk dan rahmat. Menjadi pengingat ketika kita lupa. Dan mengajarkan kepada kita apa-apa dari padanya yang belum kita tahu. Semoga Allah swt menganugrahkan kepada kita semua kesempatan untuk membacanya tengah malam dan siang hari, dan menjadikan sebagai hujjah yang kuat bagi kita. Aamin... wahai Tuhan semesta alam.

Faizatul Rosyidah


Ingin memiliki buku seperti di bawah ini? Silakan klik: bit.ly/FayzaBookGallery



Minggu, 21 Januari 2018

GADGET DAN GENERASI DIGITAL



Ini pengalaman pribadi yang membuat saya benar-benar ‘ngeh’ betapa mudahnya balita/kids jaman now nge-klik dan nge-blend dengan beragam gawai mutakhir sekalipun. Dan betapa mudahnya kemudian gawai tersebut tetiba mengambil alih ‘kendali’ atas anak kesayangan kita, menjadikan mereka begitu cinta dan merindukan untuk selalu berdekatan dengan gawai tersebut dan bahkan mulai menjauhkan mereka dari kita, ibunya.

Ceritanya, mulai bayi, Hafidz sudah terbiasa memiliki jadwal ‘membaca’ buku bersama saya. Mulai dari buku bantal, soft teether book, board book hingga sekarang di usianya yang ke-26 bulan Hafidz sudah terbiasa membaca (membuka-buka lembaran) buku-buku kertas tipis tanpa merobeknya, dan betah mengkhatamkan (gambar) di buku-buku tersebut hingga berjilid-jilid banyaknya. Malam hari sebelum tidur adalah salah satu diantara jadwal tetap yang juga menjadi favorit saya, karena selain sangat terasa nuansa menjalin bonding-nya, setelahnya juga menjadi lebih mudah untuk mengantarkannya tidur.

Maka dalam setiap lembaran yang saya buka, bisa jadi meluncurlah informasi seputar obyek-obyek di halaman tersebut, cerita atau kisah terkait obyek tersebut, pengalaman Hafidz terkait obyek tersebut yang saya recall-kan untuk membantu terciptanya sinaps2 syaraf otaknya, kadang disertai coretan di kertas lain untuk memperjelas, bahkan tidak jarang meluncurlah aneka macam lagu dan nyanyian baik dengan lirik dan nada
 lagu-lagu anak yang sudah ada maupun yang  secara mendadak tercipta dari lisan saya khusus pada momen tersebut. Sangat menyenangkan, dan saya pun benar-benar menikmatinya.

Hingga suatu saat, antara kebutuhan untuk membuka hp dan merespon banyak hal di sana, dengan keinginan yang (sedikit) terbersit untuk memberi gambaran yang lebih menarik dari paparan dan cerita-cerita yang pernah saya sampaikan sebelumnya kepada Hafidz; tentang berbagai macam binatang berikut suara khasnya, gambaran gunung meletus dengan deskripsi panasnya lahar yang mengalir, beragam alat berat dengan ‘tupoksi’nya masing-masing; tergodalah saya untuk menunjukkan kepada Hafidz beberapa gambar dan video tentang itu semua dari smartphone saya. Dan memang, semua yang saya cari ada di sana. Gambaran cicak yang menangkap nyamuk dengan lidahnya dalam lagu “Cicak-cicak di dinding”, bagaimana buldoser dan eskavator dirakit dan kemudian melaksanakan tugasnya dalam memperbaiki jalan, bagaimana gerakan dan suara singa secara live, dan lain-lain…..semua ada. This is really such an awesome technology. Sangat memudahkan dan tentu saja sangat menyenangkan bagi Hafidz.

Tidak membutuhkan berhari-hari, bahkan hanya beberapa kali saja, hingga apa yang ditampilkan gadget tersebut meninggalkan memori manis dan menyenangkan bagi Hafidz untuk meminta ditunjukkan lagi dan lagi. Saya segera menangkap alarm bahaya telah berbunyi dan mengingatkan saya agar tidak lagi memilih metode tersebut dalam melakukan pembelajaran pada Hafidz untuk saat ini. Belum saatnya.

Mengapa? Perlahan, saya melihat Hafidz mulai menikmati kesendiriannya bersama gadget dan apa yang ditampilkannya. Penjelasan yang saya berikan di sela-selanya memang masih dia dengarkan, tapi antusiasme responnya dengan setiap untaian kata dan kalimat yang saya sampaikan sudah berkurang, pengulangan yang dilakukannya setiap mendengar kosakata baru mulai tergantikan dengan keasyikan memandang tampilan di layar hp yang saya pinjamkan. Perlahan, saya merasa ‘akan’ kehilangan kehangatan dan kebersamaan saya dengannya karena sekarang dia begitu perhatian dengan hp tsb dan mulai seperti ‘tidak butuh’ saya, paling tidak ketika sedang asyik dengan apa yang dia lihat di hp. Hal itu tentu saja membuat saya sedih. Masalah lain yang muncul berikutnya adalah semakin sulitnya Hafidz memulai tidur padahal malam sudah larut dan saya sudah dengan jelas melihat gurat kelelahan itu di wajahnya. Ini adalah diantara efek radiasi layar hp pada otak kita yang justru membuat kita sulit mengistirahatkan diri, meski sudah lelah membaca banyak hal melalui hp kita tersebut. Selain itu, semakin sulit juga mengajak/membujuknya untuk mematikan hp untuk segera tidur. Alhasil, seringkali justru terjadi momen ‘tantrum’ di malam hari menjelang tidur.

Maka menyadari hal tersebut, saya pun bertaubat, insyaAllah dengan taubatan nasuha. Hafidz harus segera dikembalikan lagi kerinduannya akan kebersamaan kami membaca, bercerita, bernyanyi dan melakukan hal-hal (di dunia) nyata lainnya. Sebaliknya dia harus dibantu untuk bisa melupakan gadget yang sudah mulai dirindukannya. Bagaimana caranya?
1. Saya harus benar-benar memastikan tidak ada gawai apapun di antara kami ataupun di sekitar kami yang terjangkau/terlihat olehnya. Hp sementara waktu benar-benar saya tinggalkan. Ketika dia meminta dan menanyakannya bahkan sekalipun dengan lengkingan keras tangisannya, saya harus konsisten dengan komitmen ‘menjauhkan’ Hafidz (saat ini) dari gadget.
2. Komitmen ini juga harus saya komunikasikan kepada orang lain di rumah (dalam hal ini abinya) agar kami bisa satu frekuensi dan bekerjasama dalam mensukseskan target ‘melepaskan’ Hafidz dari merindukan gadget.
3. Mengalihkan perhatiannya dengan melakukan aktivitas bersama yang bisa menarik kembali perhatiannya hingga merasa nyaman, senang dan merindukan apa yang kita lakukan tersebut. Sebelum Hafidz bisa kembali asyik ‘tenggelam’ dengan buku-bukunya, kegiatan yang menjembatani pengalihan keasyikan memorinya tentang tampilan di gadget kepada kertas, pensil dan gambar adalah dengan cara saya melukis secara live di kertas hal-hal yang pernah dia lihat di hp, sambil lisan ini secara simultan mengeluarkan bunyi/menyampaikan kisah/menyanyikan lagu sebagaimana obyek yang sedang saya lukis di kertas tersebut. Jadi sambil menggambar seekor cicak yang merayap di tembok, dengan nyamuk yang melintas terbang di dekatnya hingga disambar cicak dengan lidahnya, semua saya lukis sekaligus saya nyanyikan secara bersamaan. Demikian pula dengan obyek-obyek lain yang pernah diingat hafidz dari hp.

Alhamdulillah, berhasil. Hafidz sangat menikmati lukisan saya berikut untaian keterangan lisan yang saya sampaikan ataupun nyanyikan. Lembar demi lembar dilihatnya kembali lukisan-lukisan saya tersebut sambil menceritakan apa yang dia pahami dari gambar-gambar tersebut. Yess, Alhamdulillah. Hafidz sudah kembali pada (apa yang ada di) kertas  dan bukunya. Bonding kami pun berjalan kembali. Memulai tidur pun kembali mudah, tanpa disertai tantrum dan lengkingan teriakan meminta ditunjukkan sesuatu dari hp. Alhamdulillah, Yang telah memudahkan hal ini bagi kami.

Seorang murid yang menyimak cerita saya ini bertanya, “Bagaimana kalau ibunya ga bisa menggambar?” Temans, para Ibu sholihat yang saya cintai karena Allah. Jangan khawatir dengan kemampuan kita dalam menggambar. Karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah bagaimana kita mengembangkan imajinasi atas gambar/lukisan yang kita buat, sejelek apapun itu. Meskipun jauh dari bentuk nyata seekor bebek, ketika bentukan angka ‘2’ kita berikan keterangan sebagai bebek, disertai penjelasan yang asyik dan menyenangkan seputar bebek tersebut, maka saya jamin anak kita akan sangat menikmati dan terpesona dengan lukisan ‘jelek’ kita tadi. Sekali lagi, yang penting, mainkan imajinasi.

Dari pengalaman tersebut, saya pun membayangkan bagaimana kiranya perasaan orang tua yang menyaksikan anak tercintanya terlanjur mengalami kecanduan gadget. Bagaimana pula usaha yang harus mereka kerahkan untuk membantu anak tersebut lepas dari kecanduannya. Tentu situasinya jauh lebih menguras airmata dan usaha terbaik dari semua yang berhubungan dengan sang anak. Sehingga memang seringkali bahkan dibutuhkan bantuan dari tenaga ahli/professional untuk melakukannya, dengan kedua orang tuanya sebagai terapis utama bagi sang anak. Tidak bisa hanya sang ibu ataupun sang ayah saja.

Itulah mengapa, saya sangat ingin berbagi kisah ini untuk berbagi pelajaran betapa sangat pentingnya menjaga anak kita agar tidak terjatuh pada kondisi ‘patologis’ kecanduan gadget. Kenalkan mereka pada gadget pada saat yang tepat. Tepat dalam konotasi dan cakupan apapun tentangnya. Karena anak-anak kita hari ini adalah generasi digital. Digital adalah dunianya. Mereka adalah penduduk aslinya.

Semoga kita dimudahkan Allah swt mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi berkualitas yang akan menjadi jalan kemuliaan kita di sisi-Nya, dan menjadi jalan tegaknya peradaban mulia bagi umat manusia di dunia ini dan bertemunya kita kembali bersama anak-anak kecintaan kita tersebut dalam kemuliaan di surga-Nya. Aamiin. Semoga bermanfaat.

-Faizatul Rosyidah-


Tertarik memiliki buku seperti di gambar2 ini?
Silakan klik: http://bit.ly/FayzaBookGallery





Mencegah Kecanduan Gadget pada Anak



Bagaimana Mencegah/Mengatasi Kecanduan Anak pada Gadget? 

Ini adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini selalu saya dapatkan ketika sedang berbagi dalam forum-forum parenting/sejenis ketika sesi tanya jawab/interaktif, meski tema forum hari itu bukan secara langsung membahas hal tsb. Pun demikian dengan 2 forum yang saya hadiri akhir minggu ini, satunya forum yang mempertemukan para wali murid dan guru sebuah TK/KB di Surabaya Selatan yang meminta saya berbicara tentang "Pilih Pintar atau Karakter?" dan forum lainnya adalah pengajian umum keluarga besar karyawan sebuah pabrik beton di Pasuruan yang meminta saya melakukan sharing seputar "Mendidik Anak Bertanggung jawab". Beda peserta, beda rerata usia ortu dan juga usia anak yg sedang dikonsultasikan. Tapi sedang dalam masalah yang sama. Gadget telah mengendalikan anak saya! Begitulah kira-kira singkatnya.

Ya. Hari ini, di tengah era dan dunia digital yang menawarkan beragam paket kemudahan, kecanggihan, kreativitas, koneksi dan lainnya untuk kita melakukan banyak hal bermanfaat, di sisi lain, tidak kita pungkiri menyeruak banyak rasa sesak, galau, sedih, khawatir, ketakutan hingga kemarahan tertumpah, melihat pelan tapi pasti gawai-gawai canggih tersebut telah mengambil alih kendali anak-anak kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Sebelum bicara bagaimana solusi untuk anak-anak kita atau bahkan mungkin kita sebagai ortu yang sudah terlanjur kecanduan gadget, saya ingin memfokuskan tulisan kali ini pada bagaimana kita mencegah hal ini. Karena mengobati kecanduan selain membutuhkan effort yang lebih berat dan seringkali juga membutuhkan bantuan ahli/profesional tertentu, mencegah anak-anak ataupun kita sendiri terjatuh pada kecanduan gadget tentu saja lebih baik dan lebih mudah untuk dilakukan. Ibarat proses terjadinya sakit, maka kecanduan gadget bisa dianggap sebagai keadaan patologis/sakit, tentu saja mencegahnya adalah lebih baik.


Jadi bagaimana mencegah anak-anak kita agar tidak terjatuh pada keadaan kecanduan gadget?

1. Membangun kepribadian Islam yang kokoh pada anak kita adalah kuncinya. Gadget/gawai sejatinya hanyalah benda/alat, secanggih dan sehebat apapun dia, tidak akan bisa memaksa manusia menggunakannya dengan cara yang salah ataupun memaksanya untuk melakukan kesalahan, kemaksiatan atau keburukan dengannya. Dia hanyalah sebuah madaniyah 'aam (benda hasil teknologi yang bersifat umum) yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan melakukan kebaikan ataupun sebaliknya. Penentunya adalah siapa yang memegang dan menggunakannya. Maka memastikan anak kita terbangun pola pikir dan pola sikap Islamnya sehingga dia memiliki kemampuan berpikir dan bersikap dengan tepat, termasuk kapan,dimana dan untuk apa dia menggunakan gadget adalah modal dasar usaha kita ini.


2. Jangan pernah memberikan kepada anak usia dini (0-7 tahun) gadget sebagai sarana bermain ataupun belajar tanpa pendampingan orang tua. Jangan pernah pula menjadikan gadget sebagai alat untuk mendudukmaniskan anak-anak kita, semata agar kita tidak terganggu ketika melakukan aktivitas/kesibukan kita sendiri. Apalagi usia 0-4 tahun, dimana perkembangan otak anak sedang dalam kecepatan tertingginya. Membiarkan mereka tenggelam dalam gadget dengan alasan apapun, bukanlah melejitkan kemampuan mereka, justru sebaliknya. Speech delay, egois, tantrum dan kesulitan mengendalikan diri adalah diantara akibat yang sangat mudah kita temui ketika anak-anak kita tersebut mulai ‘dikendalikan’ gadget yang kita berikan kepada mereka.

Sebaliknya, perbanyaklah melakukan aktivitas yang memperkuat bonding kita dengan mereka, seperti bermain bersama, belajar bersama, story telling, membaca(kan) buku, dan aktivitas lain sejenis yang tidak hanya memperkuat bonding kita dengan mereka, namun juga bermanfaat dalam melakukan instalasi kepribadian Islam anak kita. Dan ingat, lakukan itu semua sepenuh hati dan perhatian, dengan tentu meninggalkan (godaan) gadget kita ketika sedang membersamai mereka.


3. Jangan memberikan gadget berjaringan internet sebelum anak kita siap. Kapan itu? Yaitu sebelum kita yakin pada diri anak kita sudah terbangun syakhsiyah Islamiyah (kepribadian islam), yang seharusnya sudah kita pastikan terbangun sebelum anak kita menjadi mukallaf (aqil baligh) dengan rerata usia biologis (secara fiqh) sekitar 14 tahun. Sebelum nanti pada kelanjutan usianya sang anak (dengan bantuan/arahan kita) meneruskan perjalanannya dalam membina diri untuk lebih menancapkan, memperkuat dan melejitkan lagi kualitas kepribadian islamnya.

Sebagai tambahan informasi, Bill gate dan steve Jobs sendiri sebagai inventor dan pendiri industri teknologi digital/komputer dunia menegaskan bahwa anak seharusnya TIDAK dibolehkan memiliki ponsel pintar atau sebelum usianya 14 tahun. Sebuah rekomendasi yang hari ini diamini oleh pakar parenting dan ahli teknologi, yang diperkuat oleh hasil penelitian mutakhir yang juga telah membuktikan bahwa membiarkan anak menyentuh teknologi terlalu dini bisa berdampak buruk.


4. Ketika dirasa memang sudah dibutuhkan gadget untuk berkomunikasi dengan anak-anak, berikanlah kepada mereka handphone dengan fitur standar, khusus untuk menelepon dan sms saja, bukan smartphone. Hal itu akan lebih memudahkan anak-anak kita menghindarkan diri dari berlama-lama melihat/menggunakan gadget tanpa ada keperluan.


5. Untuk anak-anak usia sekolah dimana mulai dibutuhkan akses internet untuk proses belajar mereka, maka berikanlah akses tersebut dengan orang tua sebagai pengendali pasokan jaringan internet bagi mereka, dan dampingi mereka dalam mengakses apa yang mereka cari/butuhkan. Kuota akses diberikan dalam bentuk jaringan wifi bersama di rumah, bukan di gadget pribadi mereka, dengan tempat mengaksesnya dilakukan di ruang keluarga (bukan di kamar tidur mereka) sehingga mudah bagi orang tua untuk memantau aktivitas mereka. Meletakkan dan membiarkan televisi, komputer maupun smartphone (diakses) di kamar tidur anak akan menciptakan kondisi ‘bedroom culture’ yang akan menjadi masalah tersendiri bagi kita kelak. (Sementara ini silakan cari sendiri apa itu bedroom culture.)


6. Pastikan konten yang diakses anak-anak kita steril dari pornografi. Karena pornografi itu sendiri memiliki mekanisme tersendiri untuk memunculkan kondisi kecanduan bagi pengaksesnya. Secara teknis, kita bisa menggunakan setting ‘ramah anak’ pada gadget yang mereka gunakan, termasuk melengkapinya dengan berbagai aplikasi (seperti kakatu/sejenis) untuk membantu mencegah anak-anak kita ‘tersesat’ mengakses konten-konten yang ‘berbahaya’ bagi mereka.


7. Tetapkan/beri batasan waktu ketika mereka menggunakan smartphone, dan tegaslah dengan batasan itu.


8. Alihkan perhatian atau kecenderungan anak-anak pada gadget kepada hal-hal lain (baik berupa aktivitas/kegiatan/prasarana) yang tidak hanya menyibukkan mereka hingga teralihkan dari gadget, namun juga sangat mereka butuhkan dalam membangun maupun memperkuat kepribadian islam mereka, seperti kegiatan olahraga yang akan memperkuat fisik mereka, melengkapi kebutuhan mereka akan buku-buku bergizi dan menarik yang hari ini sesungguhnya relatif sangat mudah kita dapatkan.


9. Bagaimanapun, harus kita sadari bahwa sebaik apapun kita sebagai orang tua berusaha melahirkan anak sholeh dan berkepribadian Islam, tidak akan bisa kita sempurnakan tanpa dukungan masyarakat dan sistem yang kondusif, yaitu masyarakat yang juga islami dengan kebijakan negara yang diderivasi dari sistem Ilahi.


Semoga Allah swt karuniakan kepada kita semua anak-anak yang senantiasa menjadi qurrata a’yun (penyejuk mata) dan pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Aamiin.


-Faizatul Rosyidah-

Tertarik memiliki buku seperti di gambar2 ini?
Silakan klik: http://bit.ly/FayzaBookGallery