Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Selasa, 16 Maret 2010

Mengatasi Problematika Anak dengan Islam

Sudah luar biasa banyak fakta yang menunjukkan kasus-kasus peram-pasan hak-hak anak, mulai dari ruang lingkup keluarga tempat anak dibesarkan, masyarakat tempat anak hidup tumbuh dan berkembang, hingga pengabaian negara terhadap hak-hak warganegaranya. Puncak fenomena yang saat ini seperti menyayat mata kita adalah kasus sodomi dan pembunuhan anak-anak jalanan secara sadis oleh Baekuni (Babe); seorang pedagang asong di Jakarta, yang menyodomi, membunuh sekaligus memutilasi sedikitnya 14 anak jalanan.

Kenyataannya, hingga hari ini pembunuhan dan penganiayaan anak hanyalah sekelumit dari sekian banyak masalah perampasan hak-hak anak-anak kita. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah Islam memiliki jalan keluar yang akan menyelamatkan dan melindungi anak-anak kita? Tulisan berikut akan memaparkannya.

Potret Masyarakat Sakit

Sesungguhnya fenomena pembunuhan anak jalanan oleh Babe ini adalah potret dari kondisi masyarakat yang sakit. Sejak kecil, Babe telah mengalami kesulitan ekonomi sehingga harus pergi mengadu nasib ke Jakarta. Di Jakarta ia menjadi remaja korban sodomi yang akhirnya ia menjadi seorang homoseksual, paedophili. Homoseksual karena menyukai berhubungan seks dengan laki-laki. Paedophili karena anak laki-laki yang menjadi sasarannya.

Demikianlah potret masyarakat sakit dalam sistem kapitalistik liberal ini. Sistem ini semakin memperbanyak orang miskin dan teraniaya serta semakin menumbuhsuburkan kemiskinan dan kebodohan di tengah-tengah rakyat. Sistem ini menempatkan penguasa dan negara sebagai pihak yang lepas tangan dari tanggung jawab mengayomi rakyat kecil, membebaskan pihak yang kuat untuk mengeksploitasi pihak yang lemah dan berpotensi besar merusak jiwa manusia, karena meliberalkan manusia sehingga menjadi liar dan tidak terkendali.

Dengan demikian, persoalan yang mendasar adalah kerusakan sistem Kapitalisme yang berlaku saat ini, sehingga harus ada upaya untuk mengubahnya secara total dan mendasar.

Dalam persoalan perampasan hak-hak anak, pemahaman yang mendasar terhadap posisi anak dan hak-haknya yang wajib dipenuhi harus menjadi langkah awal bagi setiap pihak yang bertanggung jawab, dalam hal ini adalah orangtua, masyarakat dan negara. Semua ini dimaksudkan agar penegakkan hukum-hukum Allah yang terkait dengan persoalan anak menjadi solusi praktis berbagai persoalan pelanggaran hak-hak anak.


Pandangan Islam

Anak memiliki posisi yang istimewa dalam Islam. Selain sebagai cahaya mata keluarga, anak juga merupakan pelestari pahala bagi kedua orang tuanya. Bagi sebuah keluarga, anak adalah penerus nasab (garis keturunan). Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَّةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Bilamana manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: (1) sedekah jariah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) anak shalih yang mendoakannya. (HR al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Anak-anak shalih akan senantiasa mengalirkan pahala bagi kedua orang tuanya sekalipun keduanya telah wafat. Dengan demikian, selayaknya orangtua Muslim memperhatikan pendidikan anak-anaknya agar mereka menjadi shalih dan shalihah. Kesadaran terhadap pentingnya mendidik anak shalih akan memotivasi setiap orangtua Muslim untuk memperhatikan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya agar menjadi pribadi-pribadi yang mulia. Jangan sampai anak keturunannya tergelincir ke jurang neraka disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap Islam dan hukum-hukumnya. Perhatian terhadap pendidikan yang menghasilkan iman dan takwa yang kuat akan menjadi perhatian bagi setiap keluarga muslim. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian beserta keluarga kalian dari siksa api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).

Bagi sebuah bangsa dan negara, anak adalah generasi penerus masa depan. Anak pada masa depan adalah aset sumberdaya manusia yang sangat berharga serta menentukan jatuh bangunnya sebuah bangsa. Anak juga menjadi pewaris generasi yang akan datang. Perhatian terhadap pentingnya kelanjutan generasi masa depan yang akan menjadi pemimpin bagi umat Islam, tergambar dalam al-Quran tentang sifat-sifat ‘Ibâd ar-Rahmân (Hamba Allah Yang Maha Pengasih), yakni orang-orang yang juga senantiasa memikirkan masa depan umat Islam.

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerah-kanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak yang menggembirakan hati kami, dan jadikanlah kami sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Furqan [25]: 74).

Perhatian Islam terhadap anak menunjukkan pentingnya posisi anak dalam ketahanan masyarakat dan negara. Generasi yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi terhadap Allah SWT akan mengisi setiap ruang kehidupan umat Islam. Sebagai individu mereka akan mampu mengokohkan ketahanan keluarga dari berbagai serangan kerusakan pemikiran yang berasal dari selain Islam. Keluarga Muslim yang dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan akan menjadi keluarga yang solid yang menghasilkan sumberdaya manusia Muslim tangguh yang akan berkontribusi bagi kemajuan umat. Sebagai bagian dari masyarakat Muslim, generasi Muslim akan senantiasa berperan meluruskan setiap penyimpangan kebijakan yang terjadi di tengah masyarakat. Bila generasi ini menjadi pemimpin masyarakat dan bangsa, maka ia akan membawa bangsa dan negaranya menjadi pemimpin umat yang menebarkan kemuliaan Islam di segala penjuru.

Kewajiban Memenuhi Hak-hak Anak

Itulah sebabnya perhatian terhadap anak dan pemenuhan hak-hak mereka menjadi hal yang sangat penting. Hak-hak ini dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syariah, antara lain:

1. Hak hidup.
Anak memiliki hak hidup, sejak dalam kandungan. Untuk itu Islam mewajibkan seorang ibu memelihara janin dalam kandungannya dan mengharamkan aborsi bagi janin yang telah ditetapkan hak hidupnya. Hak hidup pada anak juga dapat dilihat ketika Islam mengatur penangguhan hukuman pada wanita hamil. Allah SWT berfirman:

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi mereka rezeki dan juga kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar (QS al-Isra’ [17]: 31).

2. Hak mendapatkan nama yang baik.

Islam menganjurkan para orangtua untuk memberikan nama yang baik untuk anaknya, yakni nama yang memberikan identitas Islam, harapan serta doa kebaikan bagi mereka. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Rasullulah saw., “Ya Rasullulah, apakah hak anakku dariku?” Nabi saw. menjawab, “Engkau membaguskan nama dan pendidikannya, kemudian menempatkannya di tempat yang baik.”

Rasullulah saw. juga bersabda, “Baguskanlah namamu karena dengan nama itu kamu akan di panggil pada Hari Kiamat nanti.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

3. Hak penyusuan (radha’ah).

Anak berhak mendapatkan penyusuan selama dua tahun (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

Jika ibu tidak mampu menyusui karena kelemahannya atau bercerai dengan ayah si anak kemudian menikah lagi dengan suami lain sehingga terkendala dalam memberikan ASI maka Islam mensyariatkan kebolehan ayah untuk mengupah wanita lain menyusui anaknya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

4. Hak pengasuhan (hadhanah).

Anak juga berhak mendapatkan pengasuhan yang baik. Islam mengatur hak pengasuhan sekaligus kewajiban pada pihak tertentu. Dalam hal ini adalah pihak ibu yang lebih utama dalam pengasuhan ini. Rasullulah saw. pernah ditemui seorang wanita, ia berkata, “Wahai Rasullulah, sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku; susuku sebagai pemberinya minum dan pangkuanku menjadi buaiannya. Ayahnya telah menceraikanku, tetapi ia hendak mengambilnya dariku.” Kemudian Rasullulah bersabda, “Engkau lebih berhak kepadanya selama engkau belum menikah lagi.”

5. Hak mendapatkan kasih sayang.

Anak berhak menerima kasih sayang dari orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Rasullulah saw. memberikan keteladanan bagaimana mengasihi anak-anak. Sabda Rasullulah saw., “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling penyayang kepada keluarganya.”

6. Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga.

Ketika Islam memberikan kepemimpinan kepada seorang ayah di dalam keluarga, saat itulah anggota keluarga yang lain, termasuk anak di dalamnya, mendapatkan hak perlindungan dan nafkah dalam keluarga. Allah SWT berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf (QS al-Baqarah [2]: 233).

7. Hak pendidikan dalam keluarga.

Rasullulah saw. mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orangtua dalam pendidikan anak. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Muslim).

8. Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara.

Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan pokok yang dijamin pemenuhannya oleh negara kepada seluruh warga negara. Kebutuhan itu meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan kesehatan dan keamanan. Hal ini merupakan pelaksanaan kewajiban negara kepada rakyatnya, sebagaimana sabda Rasullulah saw., “Imam (pemimpin, kepala negara) adalah bagaikan penggembala; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR Ahmad, asy-Syaikhan, at-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Ibnu Umar).

Dengan pemenuhan hak-hak anak oleh setiap pihak yang bertanggung jawab, maka anak-anak akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi berkualitas.

Hanya Khilafah Pelindung Generasi

Setiap sistem yang bersumber dari selain Allah SWT, senantiasa bersifat bathil atau berpeluang masuknya kebatilan. Dalam persoalan perumusan hukum, baik demokrasi kapitalis ataupun sosialis, akan tetap selamanya rusak dan merusak manusia, karena dibangun di atas asas liberal yang membebaskan manusia untuk memilih aturannya sendiri.

Sebagai bangsa yang mayoritas Muslim dan sebagai konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT, maka tak ada solusi lain selain mengembalikan seluruh persoalan ini kehadapan syariah Islam (Lihat: QS Yusuf [12]: 40; al-Maidah [5]:50).

Penyelesaian berbagai persoalan anak meliputi penyelesaian problem ekonomi, pendidikan, sosial, hukum yang memerlukan penataan sistem politik yang menyeluruh. Orang-orang seperti Robot Gedeg dan Babe tidak akan berkeliaran mengintai anak-anak yang akan dijadikan korban, karena sanksi Islam yang tegas terhadap pelaku homoseksual. Orang-orang lemah tidak akan tumbuh menjadi sosok-sosok seperti Babe, karena negara menjamin penyelesaian persoalan kemiskinan mereka. Negara wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, fasilitas kesehatan yang mudah diakses dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Semua ini hanya akan terwujud dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sistem inilah yang akan menjamin kepemimpinan yang bertanggung jawab; sebuah makna tanggung jawab yang sesungguhnya karena merupakan konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Pertanggungjawaban ini tidak mungkin dijalankan secara main-main, karena akan berhadapan dengan Allah SWT, Yang Mahaagung, Mahakuasa dan Maha Mengawasi. [Lathifah Musa (DPP MHTI)]