Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Kamis, 14 Oktober 2010

REVITALISASI PERAN INTELEKTUAL MERESPON TANTANGAN GLOBAL

Geliat para intelektual di seluruh lini field of interest pada dekade terakhir menunjukkan gejala pergeseran dari fitrahnya. Fitrah sebagai manusia, fitrah sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang paling mulia di antara segala mahluk ciptaan Nya, dan fitrah sebagai mahluk ciptaan Nya yang paling tinggi derajatnya di antara mahluk yang tidak dikaruniai ilmu. Pergeseran tersebut melahirkan dampak yang luar biasa, baik dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun dari sisi munculnya “orde jahiliyah” yang meresahkan kehidupan di dunia ini.

Zaman jahiliyah yang pernah hadir di era Rasulullah SAW sangat berbeda dengan zaman sekarang. Di era global, semua petunjuk untuk mengatur kehidupan manusia telah diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat dan rasul Nya. Petunjuk yang telah dikemas dalam ayat-ayat Al Qur’an dan tidak diragukan kebenarannya, telah di breakdown secara sempurna melalui tuntunan Rasullah dalam haditsnya. Manusia tinggal mengakses untuk diimplementasikan dan dengan perkembangan teknologi dewasa ini, sarana-prasarana yang memfasilitasi manusia dalam menapaki kehidupan untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin bukanlah hal yang sulit, namun manusia terkecoh untuk meraih kebahagiaan dunia semata. Kebahagiaan yang dianggap sebagai tujuan hidup, sehingga sangat didambakan dan diperebutkan dengan berbagai cara.

Hakikat kehidupan dunia merupakan lahan bagi manusia untuk merefleksikan kapasitas ibadahnya kepada Allah SWT (hubungan vertikal), yang dimanivestasikan dalam bentuk aktivitas hubungan horizontalnya dengan sesama mahluk, sebagai cabang ibadah muamalah. Kehidupan dunia juga merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari seluruh proses penciptaan manusia sampai dengan saatnya dia harus kembali menghadap ke hadirat Nya. Untuk dapat mengintegrasikan kedua bentuk interaksi tersebut, manusia harus paham benar hakekat dan prosesi penciptaannya dan untuk apa dia diciptakan, sehingga terukir kepribadiaan Islam yang kokoh di dalam dirinya. Pengkristalan kepribadian yang dibentuk dari pemahaman melalui proses berpikir tentang Sang Pencipta yang sudah ada sebelum manusia diciptakan dan tetap ada ketika seluruh mahluk ciptaan Nya musnah dari muka bumi ini, akan melahirkan aqidah yang sangat kuat. Nah! Aqidah inilah yang akan selalu menjadi rujukan dalam setiap aktivitasnya, mulai dari penetapan kerangka konseptual sampai dengan implementasi kerangka operasionalnya. Apabila semua manusia berproses mengikuti sistematika tersebut, insya Allah produk aktivitasnya akan menentramkan hati dan memuaskan akal semua manusia, karena tidak ada satu aspekpun yang bertentangan dengan fitrah manusia. Seluruh aktivitasnya akan senantiasa disandarkan kepada tujuan untuk beribadah kepada Allah semata, yang memiliki kekuasaan dan kekuatan mutlak, tidak terbatas dan tidak tertandingi sampai akhir zaman.

Gejala pergeseran orientasi peran strategis para intelektual terhadap keberlangsungan kehidupan dunia ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Kenapa hal ini dapat terjadi?. Jawabnya adalah sistem kehidupanlah yang menjadi faktor kunci. Ideologi kapitalis dan liberalis yang masing-masing memposisikan agama sebagai pelengkap bukan sebagai pengatur kehidupan bahkan mengeluarkannya dari siklus kehidupan manusia, sehingga kebebasan meraih kebahagiaan dunia menjadi instrumen atau alat ukur di seluruh lini kehidupan. Kedua ideologi inilah yang mampu menguasai kehidupan para intelektual di era global, sehingga mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berproses dan melakukan aktualisasi diri secara fitrah, karena dibelenggu oleh tuntutan berpikir secara pragmatis dan instan. Kenapa kedua ideologi tersebut dapat tumbuh subur?. Karena keduanya menawarkan kemudahan-kemudahan untuk mencapai kebahagiaan semu yang banyak diidam-idamkan oleh manusia. Mereka menghadang semua upaya untuk mengkondisikan para pakar mengenali dirinya sebagai manusia secara hakiki. Ada satu faktor abstrak yang juga harus diperhitungkan adalah peran syaithon yang akan senantiasa mengganggu manusia dari segala penjuru, menjadikan manusia memiliki kecenderungan berbuat fasik, kecuali mereka yang berpegang teguh kepada syariat Islam.

Bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif bagi para intelektrual untuk menegakkan syariat Islam melalui kepakarannya?. Jawabnya adalah, ketika hal ini sudah menjadi tuntutan semua orang dan gejala tuntutanpun sudah mengglobal, tidak ada jalan lain harus diwujudkan ideologi “tandingan” yang memiliki roh syariat Islam. Bagaimana mungkin para pakar akan berkiprah secara fitrah sesuai tuntutan syariat Islam dalam suatu lingkungan yang tidak islami?. Bagimana mungkin para pakar dapat diberdayakan secara optimal untuk memaksimalkan peran kepakarannya dalam menyelesaikan masalah umat kalau tidak didukung oleh sistem yang kondusif?. Sementara, hanya para pakarlah (yang telah dikaruniai potensi berpikr secara cemerlang) yang memiliki potensi untuk menguak tabir ideologi apapun bentuknya yang menyelimuti ideologi berbasis syariat islam. Di pundak para pakarlah tanggung jawab ini bertengger, karena merekalah yang memiliki kapasitas.

Para intektual seharusnya tumbuh dan berkembang di atas pilar aqidah aqliyah, suatu proses pemahaman terhadap alam semesta, manusia dan kehidupannya melalui pemikiran secara utuh dan terintegrasi. Konsep ini harus ditanamkan sejak manusia mengenal dunia pendidikan baik secara formal maupun nonformal. Secara rinci dapat disebutkan bahwa niat untuk menjadi pakar sudah harus diluruskan sejak awal dan akan secara otomatis terpenuhi, ketika seseorang paham akan posisi dirinya terhadap Sang Pencipta. Kepakaran yang diraih melalui prosesi berbasis aqidah dan syariat Islam pasti akan diperuntukkan sesuai tuntutan kompetensi syariat Islam, yaitu untuk menyelesaikan masalah dan kemaslahatan umat. Inilah alasannya, kenapa kepakaran harus dibangun di atas pilar syariat Islam. Esensi syariat Islam jelas tidak akan melenceng dari mewujudkan umat yang mulia di hadapan Sang Pencipta dan umat yang mulia adalah umat yang bertaqwa. Seseorang yang pakar di bidang sains dan teknologi misalnya, harus paham benar untuk apa alam semesta ini diciptakan, apa yang terkandung di dalam alam semesta ini, bagaimana mengeksplorasinya, mengelolanya dengan benar dan memanfaatkannya dengan amanah untuk kelangsungan hidup manusia.

Dengan bekerjasama secara sinergi, melibatkan para pakar dari berbagai bidang minat, akan terciptalah suatu sistem yang berkembang di atas kehidupan yang rahmatan lil’alamin secara global, bukan hanya di Indonesia. Tidaklah optimal kalau kita hanya menciptakan iklim yang kondusif untuk tegaknya syariat Islam hanya di suatu wilayah, misalnya Indonesia, sementara di wilayah lain masih tetap terjajah oleh ideologi lain. Pasti lama-lama akan tetap ada komunitas yang akan menggilas roda kehidupan di wilayah yang sudah tegak syariat Islamnya. Ini tidak fitrah. Allah menciptakan Islam untuk seluruh umat di dunia, sebagai satu-satunya agama yang telah disempurnakan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Jadi kepakaran yang dikembangkan berbasis pada syariat Islam merupakan jaminan dapat menyelesaikan permasalahan umat sedunia. Visi ini akan terwujud, apabila dutunjang oleh sistem yang kondusif, yaitu tegaknya sistem kehidupan berbasis syariat Islam.

Bagaimana fakta yang terjadi sampai hari ini?. Para intelektual yang seharusnya mengemban amanah menyelesaikan problematika masyarakat atau umat, mulai dibelokkan dari tujuan mulia ini dengan menggiring aktivitasnya untuk kepentingan yang sifatnya personal atau golongan tertentu, yang ujung-ujungnya untuk kemakmuran pribadi. Fitrah penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan Sang Khaliq seperti uraian di atas, sudah banyak dilupakan. Bahwa hakekat penciptaan manusia dan bahkan jin tidak lain hanya untuk beribadah, kemudian salah satu manivestasi ibadah adalah menuntut ilmu, sehingga dapat dijadikan sarana guna mengeksplor kekayaan alam semesta yang telah dihamparkan oleh Allah SWT, selanjutnya hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin, mulai ditinggalkan. Dampak semua ini adalah fakta yang ironi bahwa lahirnya para pakar justru meningkatkan kuantitas problematika umat. Para penguasa yang memiliki wewenang penuh dalam memfasilitasi terciptanya era yang kondusif bagi para pakar untuk berkiprah secara bebas sesuai tuntutan kompetensi syariat Islam demi “kemakmuran” rakyat masih terbelenggu oleh peraturan dan hukum yang diberlakukan dan beberapa bertentangan dengan syarita Islam. Kalau toh tidak bertentangan, implementasi dan/atau produk hukumnya seringkali bertentangan dengan syariat Islam.

Manusia tidak sadar, bahwa ketika kita meninggalkan perintah dan mengerjakan laranagn syariat Islam, yang muncul pasti kesulitan dan kesengsaraan. Sebagai contoh, setting kurikulum berbasis kompetensi untuk mencetak para pakar yang handal, sampai hari inipun masih diperdebatkan mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai dengan perguruan tinggi. Fenomena ini selalu berakhir dengan pertanyaan, apakah lulusan sudah memenuhi kompetensi?. Biasanya untuk menjawab pertanyaan ini kita merujuk kepada instrument pengukurnya yang berbasis faktor-faktor instansi, misalnya untuk perguruan tinggi: waiting time for getting first job atau waktu tunggu, IPK, masa studi, atau diimbuhi dengan beberapa parameter soft skill dan addition skill dari pelatihan-pelatihan tambahan yang sifatnya temporary. Sementara, fokus perhatian dan relevansi pengembangan perguruan tinggi sebagai wadah yang menggodok para intelektual secara nasional di addressed untuk meng goal kan World Class university yang instrumen atau parameter pengukurnya berkiblat ke Negara barat. Sebagai contoh jumlah publikasi internasional, jumlah kerjasama internasional, jumlah produk yang di patent kan, sementara internal capacity kita masih rapuh atau masih perlu konsolidasi. Ini bukti konkrit bahwa instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengukur derajat ketercapaian kompetensi tidak fitrah, tidak sesuai dengan sunatullah, sehingga hasilnyapun selalu tidak acceptable dan tidak pula applicable, walaupun dipaksakan dengan cara apapun. Untuk itu, tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke fitrah. Islam sudah memberikan panduan dan tuntunan yang jelas, bagaimana proses pendidikan yang benar, bagaimana prosesi mencetak pakar yang berkepribadian Islam dan bagaimana pula memberdayakan para pakar untuk kemaslahatan umat.

Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa sudah saatnya kita kembali ke fitrah, jangan dibiarkan kondisi terpuruk menjauhi kiblat syariat islam ini berlanjut sampai akhir zaman. Hendaknya ada di antara umat segolongan pakar yang peduli untuk berkontribusi merubah wajah kehidupan dunia ini sesuai tuntutan fitrah, bukan mengikuti dan tunduk pada trend tuntutan global yang semakin lama semakin jauh dari arah kiblat menuju kemuliaan umat. Revitalisasi peran para pakar yang hakiki adalah kembali ke fitrah penciptaan para pakar untuk menghadapi tantangan global berbasis syariat Islam. Arus globalisasi sudah begitu deras menerpa kehidupan melalui ideologi para pakar, sehingga hanya syariat Islamlah senjata yang paling ampuh untuk membendung arus tersebut. No Choice!.

Marilah kita bersama-sama saling mengingatkan bahwa Hari kiamat pasti datang, perhitungan amal perbuatan seluruh umat pasti dilaksanakan dengan seadil-adilnya. Semoga Allah SWT tidak hanya meninggikan derajat para ilmuwan, melainkan juga mengangkatnya dari kanca kenistaan ke jalan yang diridhoi Nya. Amien. Wallahu ‘alam.


Penulis:
DR. Isnaeni, M, Si, Apt.
Majelis Wali Amanah Unair
Kaprodi Pasca Sarjana Farmasi Unair

Kamis, 07 Oktober 2010

Melahirkan Kaum Intelektual Sejati dan Revitalisasi Perannya dengan Pendidikan dan Sistem Berbasis Syariah

Kaum intelektual merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari dunia pendidikan, mulai PAUD sampai dengan perguruan tinggi, bahkan mulai dari kandungan. Peran kaum intelektual sangat strategis dalam menentukan nasib bangsa. Merekalah yang mencanangkan tonggak sejarah kehidupan suatu bangsa, merekalah yang mewarnai dan menentukan profil suatu bangsa, sehingga bangsa yang berkepribadian mulia pasti lahir dari komunitas intelektual yang mulia pula. Selama ini istilah intelektual lebih banyak dikaitkan dengan produk suatu proses pembelajaran khususnya di perguruan tinggi. Seseorang diberi “label” intelek, apabila pernah mengenyam dunia pendidikan formal. Istilah intelek juga sering dikaitkan dengan konotasi pola pikir, kepribadian atau sikap. Benarkah demikian?. Istilah kepakaran juga biasanya diidentikkan dengan publikasi dan kerjasama internasional atau bentuk pengakuan (recognition) lain yang implementasinya tidak jelas. Kepakaran juga memiliki relevansi yang kuat dengan jabatan atau kedudukan serta pangkat seseorang. Benarkah bahwa kontribusi terbesar terhadap kualitas yang mewarnai kaum intelektual ditentukan oleh pendidikan formal? Bagaimana melahirkan profil intelektual muslim sejati, yang semakin tinggi keilmuannya semakin tinggi pula rasa takut pada Rabb-nya, semakin tinggi ilmunya semakin luas penguasaan bidang ilmunya dengan tidak membatasi diri hanya pada satu bidang saja, semakin tinggi ilmunya maka semakin tinggi pula semangat juangnya untuk melawan ketidakadilan, semakin tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan persoalan umat tidak sibuk hanya mengejar target akademik demi kesejahteraan pribadi?


Melahirkan intelektual, sejatinya tidak hanya dimulai di perguruan tinggi dan hanya bertumpu pada pendidikan formal saja. Intelektual sejati hanya akan lahir dari sebuah proses panjang pendidikan yang terintegrasi dengan sistem yang menaunginya sejak lahirnya seorang anak. Sementara kalau kita bicara pendidikan anak sebenarnya dimulai dari ketika bayi berada dalam kandungan. Saat itulah dia mengadopsi secara langsung (tanpa perantara) kebiasaan, perilaku, sikap dan tutur kata bahkan perasaan si ibu yang mengandungnya. Ini seringkali tidak disadari oleh orang tua, sehingga sifat yang terefleksi pada diri si anak sebagian merupakan kontribusi sifat ibu yang mengandungnya. Idealnya, seorang ibu yang siap hamil harus memahami prosesi penciptaan manusia sejak hubungan suami-istri dimulai, ketika roh mulai ditiupkan, saat penantian si bayi dalam rahim sebelum hadir di dunia yang fana ini, untuk melaksanakan “kontrak” yang sudah dibuat antara sang bayi dan Sang Pencipta sebelum ruh ditiupkan. Calon bayi sudah bersaksi sejak dalam kandungan, bahwa Allah adalah Tuhannya, sehingga semua hukumnya pasti benar dan tentu harus ditaati. Orang tua harus memposisikan dirinya untuk senantiasa mengukir lembar kehidupan anaknya hingga sesuai dengan fitrahnya. Inilah kewajiban orang tua yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khaliq. Orang tua harus paham benar, dari mana asal manusia, bagaimana proses penciptaannya, apa tujuan dia hidup atau diciptakan olah Sang Khaliq dan kemana akhir dari hidupnya. Pemahaman ini penting dan harus ditanamkan juga kepada si anak selama proses membangun kepribadiannya. Tindakan ini merupakan salah satu upaya mendudukkan si anak pada posisi fitrahnya. Dampaknya?. Si anak akan paham bahwa dia diciptakan tidak lain hanya untuk beribadah kepada Sang Pencipta sesuai “kontrak” yang sudah dibuat sejak dalam kandungan.

Ketika si anak mulai menghirup udara dunia, pendidikan dan pengajaran di rumah berlanjut sampai dia berusia minimal tiga tahun sebelum memasuki dunia pendidikan formal. Saat si anak memasuki pendidikan formal, kembali orang tua harus mengawalnya mencarikan sekolah yang sesuai dan kondusif untuk perkembangan si anak sesuai bekal yang sudah ditanamkan sebelumnya. Orang tua harus senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi perkembangan bukan hanya ilmu, tetapi kepribadian dan lingkungan hidupnya. Jaminan mutu kepribadian si anak yang dibentuk secara bertahap akan mengantarkannya sampai pada pemahaman siapa dirinya, dimana dia sekarang dan kemana tujuan hidupnya. Penanaman konsep ini tentu saja harus disesuaikan dengan kapasitas, kemampuan dan perkembangan jiwa serta intelektual si anak. Secara terintegrasi anak mulai dikenalkan ilmu kehidupan sesuai dengan lingkungan dimana dia berada. Semua yang diciptakan sang Khaliq di sekitarnya dapat dijadikan objek pembelajaran yang indah dan alami. Dengan media tersebut dia mulai mengenal siapa dirinya, siapa penciptanya, dan untuk apa dia diciptakan. Sebagai contoh, objek pelajaran ilmu pengetahuan, sangat sarat dengan muatan pemahaman untuk membentuk kepribadian dan ilmu kehidupan. Ketika si anak mengamati air terjun di hutan belantara, dia bisa dikondisikan mampu menyerap makna penciptaannya, baik sebagai sumber kehidupan seluruh mahluk di bumi ini, menjelaskan ketetapan Allah tentang sifat aliran air dari atas ke bawah, baik karena gaya tarik bumi atau karena perbedaan konsentrasi. Adanya gaya tekan yang tinggi mengakibatkan air di bagian bawah yang menerima curahan air terjun tersebut memancarkan air ke atas dst. Pengamatan inipun akan membimbing anak untuk mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta. Ini kelihatannya sepele, namun apabila tidak dilatihkan, anak menjadi tidak peka untuk menjadi insan yang tahu bersyukur. Kekuasaan dan kebesaran Allah juga dapat diindera dari fakta tersebut.

Ketika si anak memasuki pendidikan dasar sampai dengan menengah, kewajiban orang tua masih tetap harus mengawal perkembangan jiwa dan intelektual si anak, bersama-sama dengan pihak sekolah melakukan penguatan kepribadian yang sudah mulai terbentuk pada pendidikan dasar. Ini bukan sekedar normatif, tanpa memperhatikan berbagai pengaruh terutama pengaruh lingkungan yang sekarang ini begitu hebat dan gencar “menteror” anak-anak kita selama berproses menuju kancah intelektual. Hanya konsep pendidikan yang berbasis syariatlah yang mampu menciptakan barier bagi anak-anak dalam menghadapi tantangan pengaruh global yang semakin lama semakin hebat. Barier syariat akan menjadi benteng yang kokoh bagi si anak dalam menapaki perjalanan hidupnya sampai ke jenjang pendidikan tinggi.

Dengan bekal konsep pendidikan yang sangat mendasar seperti dijelaskan di atas, si anak akan mampu menapaki dunia pendidikan tinggi dalam rangka mematangkan kepribadian dan intelektualitasnya sebelum diimplementasikan untuk menyelesaikan problematika umat. Untuk memperoleh hasil yang optimal, si anak juga harus dilatih agar peka membaca informasi di sekitarnya, sehingga meningkatkan sensitifitasnya terhadap problematika umat yang berkembang di masyarakat. Yang lebih penting adalah penanaman bahwa kondisi tersebut menjadi tanggung jawabnya, karena dialah yang punya ilmunya. Hal ini juga memerlukan conditioning intens, tidak mungkin diperoleh secara instan. Ketika kita selalu memberi contoh untuk berinfaq, anak-anak akan tergerak dan terbiasa untuk berinfak. Demikian pula ketika kita memberi contoh untuk menegakkan syariat, dia akan terbiasa untuk berupaya melakukan hal yang sama, misalnya kebiasaan memuliakan masjid dengan selalu sholat berjamah di masjid. Budaya berjamah ini tidak mudah, karena di dalamnya mengandung beberapa aspek yang sangat kompleks, mulai dari tenggang dan berbagi rasa, atau toleransi, menjaga perasaan orang, tidak merugikan orang lain, saling tolong menolong dalam hal kebaikan, sampai dengan menyamakan derap dengan anggota jamaah yang lain ketika hendak mencapai satu tujuan tertentu. Aspek ini juga bisa dicontohkan melalui game, misalnya untuk bermain footsal yang baik, diperlukan kekompakan dalam mengendalikan bola sehingga dapat mencapai goal.

Nah! Uraian tadi memvizualisasikan proses pembelajaran yang sesuai dengan fitrah, sehingga diharapkan dapat melahirkan para pakar intelektual yang militant. Akan tetapi kita sama sekali belum menyinggung masalah pengaruh sistem yang menyelimuti prosesi pembentukan para pakar tadi. Ketika kita berproses sesuai syariat dalam suatu sistem yang sama sekali tidak merujuk pada syariat tersebut, mustahil hasilnya akan optimal. Gerusan arus yang begitu deras bersumber dari sistem yang memayungi kehidupan, khususnya di Indonesia yang dikendalikan oleh berbagai sistem mulai dari kapitalis, liberalis dan beberapa berbasis islam parsial, memudarkan kerangka konseptual yang dibangun berbasis syariat Islam kaaffah, akibatnya bermunculan para pakar yang kebingungan dengan mengkombinasi berbagai konsep dan ideologi tersebut. Hal ini berdampak pada peran intelektual menjadi terkebiri atau terbelenggu oleh sistem yang tidak sesuai dengan sunnatullah penciptaannya. Mereka bercita-cita menjadi pakar tanpa mengetahui untuk apa kepakarannya, apa yang harus diperbuat dengan kepakarannya dan bagaimana manivestasi kepakarannya tersebut dalam mengatasi problematika bangsa. Ingin bukti?.

Jumlah total pakar di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu bukan ribuan, tetapi jutaan, sebanding dengan jutaan permasalahan yang dihadapi oleh umat dewasa ini. Mulai dari problematika yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosial dan kultur budaya, tidak secara tuntas dapat teratasi oleh para pakar yang sesuai fitrahnya seharusnya berkompeten mengatasi problematika tersebut. Fakta membuktikan bahwa, lahirnya para pakar ternyata malah melahirkan masalah baru mulai dari penipuan, korupsi, pengangguran, pemborosan uang negara, manipulasi penggunaan uang rakyat, penyalagunaan sumber daya alam yang semestinya dapat dikelola dengan optimal melalui pemberdayaan kepakaran kaum intelektual, malah berujung kesengsaraan rakyat dalam bentuk ketergantungan bangsa terhadap produk luar negeri sementara bahan bakunya sangat surplus di Indonesia. Berapa banyak pakar yang melacurkan ilmu dan dirinya kepada ‘penjajah’ dan ‘penjarah’ negeri ini?! Berapa banyak intelektual yang justru rela menjadi bemper atas kerusakan alam yang terjadi akibat kerakusan kapitalisme hari ini?! Ini benar-benar ironi dan kesalahan sistemik yang sulit diselesaikan, kecuali dengan metode sistemik pula.

Nah! Kalau sebelumnya telah diuraikan bagaimana menyiapkan para pakar secara fundamental, sehingga berpegang pada syariat, permasalahannya sekarang, bagaimana cara melakukan revitalisasi kaum intelektual berbasis syariat, sehingga tercapai tujuan mewujudkan rahmatan lil’alamin? Bagaimana membuat kaum intelektual hari ini menjadi ‘berdaya’ kembali menyelesaikan problematika masyarakat? Karena, intelektual muslim sejati tentunya tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar serta siap mati syahid dalam arena ‘jihad’ fii sabilillah.

Ibaratnya kita sudah dalam kondisi “terpuruk” di dalam genangan kawah kaum intelektual yang justru tahu ilmunya, namun tidak berdaya bertindak, karena sistem yang tidak kondusif. Bagaimana kita mengatasi suatu masalah, sementara oleh sistem yang berlaku hal tersebut dianggap bukan masalah?. Contoh konkrit masalah lokalisasi wanita tuna susila, yang sudah jelas hukum dan dampaknya, malah dilegalkan. Apa tindakan para pakar dari disiplin ilmu sosial dan ekonomi?. Bagaimana menciptakan suatu sistem ekonomi yang kondusif, sehingga mampu mengentaskan masalah sosial para wanita tersebut dari belenggu dunia hitam?. Bagaimana melakukan pembinaan yang sistemik terhadap mereka, sehingga mereka menyadari bahwa profesinya tidak dibenarkan oleh syariat agama apapun, yang tahu ilmunya pasti teman-teman ilmu sosial dan komunikasi bergabung dengan teman-teman dari jurusan syariat. Masalahnya, ketika sistem sudah disusun dan diusulkan kepada pemangku kewenangan, biasanya mental karena dikatakan melanggar HAM, misalnya. Kalau kita mau meninjau status HAM dari segi implementasi hukum (ranahnya teman-teman dari disiplin ilmu hukum) pasti susah, karena cantolan hukumnya memang belum ada.

Sebagai kesimpulan dari bahasan ini adalah bagaimana kaum inteklektual dapat lebih diberdayakan, sehingga dapat mewujudkan keunggulan berbasis syariat?. Tidak ada pilihan, diperlukan perombakan sistem secara menyeluruh, yang memfasilitasi terlepasnya belenggu kaum intelektual, sehingga dapat berkiprah sesuai fitrahnya. Ilmu mereka sangat berharga dan ditunggu untuk melepaskan umat dari rantai dan untaian kesulitan yang tidak kunjung terselesaikan, karena ilmu kaum intelektual belum diimplementasikan secara optimal untuk mencapai sasaran bidik. Kalau toh terimplementasikan, hanya sebatas mengatasi gejala permasalahan, namun belum menyentuh akar permasalahannya. Sebagai contoh, mengatasi pengangguran para sarjana atau emploibilitas para sarjana yang terpaksa bekerja di work places yang tidak sesuai dengan kepakarannya dari pada menganggur, tidak cukup hanya mencarikan mereka job yang tersedia, tetapi kita tarik ke atas bagaimana menerapkan sistem rekrutmen yang benar, yang diberlakukan di seluruh negeri secara sustainable, sehingga selalu bergulir. Sistem ini dapat diterapkan apabila ada sistem sesuai yang memayunginya, apa itu? Sistem yang menentang kapitalisme dan liberalisme yang hari ini terbukti ‘rusak dan merusak’ tentunya. Namun bukan berarti memilih sistem sosialisme-komunisme yang justru menafikan fitrah manusia untuk hidup kreatif dan penuh inovatif. Sistem terbaik itu adalah sistem yang diderivasi dari tuntunan sang Pencipta manusia, semesta dan kehidupan. Itulah Syariah Islam. Wallahu a’lam.


Oleh: Faizatul Rosyidah
Koordinator Gugus Tugas Intelektual Muslimah HTI Jatim