Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Rabu, 01 Agustus 2012

UU PT: BUKTI KETIDAKJELASAN POLITIK PENDIDIKAN NEGARA




oleh: Faizatul Rosyidah



URGENSI KEJELASAN POLITIK PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN SUATU NEGARA

 
Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan keamanan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang merupakan  ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara. 


Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.


Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme dimaksudkan untuk mewujudkan struktur dan mekanisme masyarakat yang sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Seluruh subsistem (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, politik luar dan dalam negeri, hukum pidana, dll.) yang menopang masyarakat itu ditegakkan berdasarkan asas ideologi yang sama; bukan yang lain. Demikian pula dengan Islam; akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berbeda dengan masyarakat yang dibentuk oleh kedua sistem ideologi di atas.


Melalui pengamatan terhadap karakteristik ideologi tersebut, jejak-langkah sistem pendidikan yang berlangsung akan mudah dipahami. Sistem pendidikan sekular-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekular sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi masyarakat sekular-kapitalis. Begitu pula sistem pendidikan sosialisme-komunis maupun Islam.


Walhasil, kejelasann tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang diemban akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang dibangun. Hal itu akan berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.

BERCERMIN PADA POLITIK PENDIDIKAN ISLAM
 

Setiap umat atau bangsa yang menganut ideologi tertentu, dapat dipastikan menaruh perhatian besar kepada generasi muda mereka. Sebab, generasi muda itulah yang akan melestarikan ideologi yang mendasari seluruh cara hidup (the way of life) generasi masa sekarang dan akan datang (Taufiq Al-Hakim, Tsaurah As Syabab, hlm. 17; Usus At-Ta’lim Al-Manhaji, hlm. 7-8).
 

Demikian pula umat Islam yang menganut ideologi Islam. Sudah pasti mereka mempunyai perhatian besar pada lahirnya generasi terbaik (khoiru ummah) sebagaimana identitas yang inheren dalam kedudukan mereka sebagai umat Islam.  Maka inilah yang menjadi visi negara khilafah terhadap kualifikasi generasi yang hendak diwujudkannya. Melahirkan generasi Islam yang menjadi generasi terbaik yang pernah dilahirkan untuk umat manusia. Dari visi itulah kemudian di breakdown, bagaimana strategi khilafah untuk melahirkannya. Strategi inilah yang kemudian dikenal sebagai politik pendidikan negara khilafah, yaitu politik pendidikan Islam itu sendiri. Yaitu strategi pendidikan yang dirancang oleh negara Khilafah  dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan (generasi terbaik/khoiru ummah). Sebagaimana firman Allah swt ketika menggambarkan karakter kaum muslimin sebagai khoiru ummah:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, kalian memerintahkan yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 110).
Lebih detil, diantara pokok-pokok terpenting politik pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Asas pendidikan formal adalah akidah Islam.  Seluruh mata pelajaran dan metode pengajaran harus berdasarkan akidah Islam.
 

2.    Islam memposisikan pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, negara berkewajiban menjamin menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin maupun ras. Dengan demikian negara wajib bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya. (hlm. 9-12). Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat (pendidiknya).
 

Oleh karena itu, negara harus mengerahkan segenap daya upaya agar memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat ini. Bukan sebaliknya, mengambil keuntungan dari pelayanan kebutuhan pokok rakyat tersebut. Pemenuhan kebutuhan pokok ini menjadi investasi masa depan yang akan menentukan kualitas SDM bangsa. Selanjutnya akan menentukan masa depan bangsa. Perlu dipahami bahwa pembiayaan negara atas kebutuhan pokok ini harus mandiri, tidak boleh menggunakan dana asing. Karena sangat mudah menjadi alat penjajahan bagi sebuah bangsa. Realitas saat ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang, diantaranya negeri-negeri muslim telah terjajah oleh negara-negara kapitalis global karena mau menerima dana untuk membiayai kebutuhan tersebut. Tidak terkecuali Indonesia. Pembiayaan yang mandiri terhadap kebutuhan pokok ini akan membuat negara bisa bebas menentukan kualitas SDM yang dikehendaki tanpa didikte oleh negara manapun.
 

3.    Sistem Pendidikan Islam telah menetapkan bahwa kualitas SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan adalah generasi khoiru ummahUmat terbaik adalah umat yang berkualitas dan berkarakter khas. Kualitas dan karakter khas itu tidak lain adalah kepribadian Islam (syakshiyah Islamiyah) yaitu menyatukan pola pikir dan pola sikap berdasarkan aqidah Islam, yang bersumber dari wahyu Allah, Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Yang dari bangunan pola pikir dan pola sikap Islamiy tersebut lahirlah berbagai karakter khas yang istimewa (mandiri, berjiwa pemimpin, pejuang kebenaran, tidak takut mati, tangguh, tidak mudah menyerah, dll).Merekalah generasi yang siap menegakkan kema’rufan dan mencegah munculnya kemungkaran, dengan Islam. Untuk itu, sistem pendidikan Islam ditujukan untuk membentuk kepribadian islami serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya agar mereka bisa memimpin dunia dalam kebaikan.
 

4.    Mewujudkan generasi khoiru ummah seperti ini, meniscayakan adanya kurikulum berkualitas dengan visi yang jelas, yang disusun dengan dasar dan orientasi ideologi Islam, bukan pasar.  Sehingga institusi pendidikan seharusnya memfokuskan diri pada peningkatan kualitas kurikulum. Dalam sistem Khilafah, lembaga-lembaga pendidikan tidak akan terbebani untuk mencari sumber pemasukan bagi pembiayaannya. Kalaupun ada institusi swasta yang menyelenggarakan pendidikan, maka orientasinya tidak untuk mencari keuntungan, namun untuk beramal jariyah.
 

Demikian pula, meskipun dimungkinkan swasta/perorangan mendirikan lembaga pendidikan formal, akan tetapi menjadi tanggung jawab negara khilafah untuk memastikan semua lembaga sekolah tersebut menerapkan sistem pendidikan, termasuk kurikulum yang sama dengan yang ditetapkan oleh negara. Jadi pendidikan generasi benar-benar di-drive oleh negara ke arah mana dengan menetapkan bahwa kurikulum pendidikan harus tunggal.  Tidak diperkenankan ada kurikulum lain selain kurikulum Negara.   Lembaga pendidikan swasta boleh berdiri selama kurikulum pendidikannya terikat dengan kurikulum Negara dan berdiri di atas asas kebijakan umum pendidikan Negara.
 

5.    Tentang materi ajar dalam pendidikan, ilmu eksperimental beserta derivatnya harus dibedakan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah.  Ilmu-ilmu eksperimental diajarkan tanpa terikat dengan jenjang-jenjang pendidikan dan disajikan sesuai dengan kebutuhan. Adapun pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqâfah diberikan pada jenjang pendidikan pertama sebelum jenjang pendidikan tinggi, berdasarkan kebijakan tertentu yang tidak bertentangan dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam.   Pada jenjang pendidikan tinggi, tsaqâfah diajarkan dalam bentuk pengetahuan, dengan syarat, tidak keluar dari kebijakan dan tujuan pendidikan Islam.  Pendidikan tsaqâfah Islam harus disajikan di setiap jenjang pendidikan.  Adapun cabang-cabang tsaqâfah Islam beserta ragamnya disajikan pada jenjang pendidikan tinggi. Ilmu-ilmu kedokteran, teknik, dan lain sebagainya juga disajikan pada jenjang pendidikan tinggi. Ilmu sains dan teknologi yang terkategori dalam ilmu yang bebas nilai (free of value) boleh diambil tanpa ada persyaratan apapun. Yang berkaitan dengan tsaqâfah atau pandangan hidup tertentu tidak boleh diambil jika bertentangan dengan Islam, misalnya at-tashwîr (seni melukis, menggambar atau membuat patung makhluk yang bernyawa).
 

6.    Metode pendidikan dan pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Metode belajar mengajar harus dibuat sedemikian rupa agar mampu membangkitkan kecerdasan dan mengubah perilaku yang buruk menjadi lebih baik. Ketika mengajarkan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan pandangan hidup, para guru wajib menanamkan pandangan hidup Islam dan menjadikan syariah Islam sebagai tolok ukur perbuatan, serta menanamkan rasa suka dan benci sesuai sudut pandang Islam. Dengan cara ini diharapkan anak didik akan dapat terdorong untuk berpikir dan bersikap sesuai dengan petunjuk wahyu. Sementara ketika mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak terkait dengan pandangan hidup tertentu, seperti ilmu fisika, matematika, kimia atau teknik, kedokteran, dan ilmu lainnya, para guru mendorong anak didik mempelajarinya sebagai bagian dari ibadah dan demi kemaslahatan umat serta dan keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak. Ini menjadi salah satu indikator keberhasilan pendidikan yang dilakukan.
 

Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi, dan berkesinambungan dengan tujuan di atas, yang didukung penuh oleh sistem Islam lainnya sebagai satu kesatuan yang komprehensif.
 

7.    Tujuan pembentukan generasi khoiru ummah tersebut dicapai dengan proses berjenjang sesuai dengan perkembangan anak didik.  Yaitu jenjang pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar dalam Daulah Khilafah didasarkan pada umur anak, bukan berdasarkan mata pelajaran yang disajikan di sekolah.  Atas dasar itu, sekolah dibagi menjadi tiga jenjang; (1) sekolah tingkat I (ibtidaiyah)/usia genap 7 tahun-hingga 10 tahun; (2) sekolah tingkat II (mutawasithah)/usia genap 10 tahun-14 tahun; (3) sekolah tingkat III (tsanawiyah)/usia genap 14 tahun hingga berakhirnya jenjang pendidikan dasar. Adapun pendidikan sebelum usia 6 tahun diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk membuat lembaga pendidikan khusus bagi anak usia dini. 

8.    Tujuan Pendidikan Dasar adalah: (1) Pembentukan kepribadian islami.  (2) Pembentukan kemampuan anak untuk bisa berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan berbagai macam peralatan, inovasi-inovasi baru, dan  majalah-majalah, sejalan dengan kebiasaannya; misalnya interaksi dengan peralatan listrik dan elektronika, alat pertanian, perindustrian, dan sebagainya. (3) Menyiapkan siswa untuk memasuki jenjang universitas dengan mengajari mereka pengetahuan-pengetahuan dasar yang berkaitan. Dalam hal ini, maka pada jenjang pendidikan dasar, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islâm dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar. Sementara ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).


9.    Sementara untuk pendidikan tinggi bertujuan:
a.    Melakukan Tarkiiz (memperdalam dan mengkristalkan) profil kepribadian Islam pada  mahasiswa, dan menyiapkan mereka agar terbiasa menjadi pemimpin dalam memantau & mengatasi:

i.    Permasalahan mendasar dan krusial masyarakat (qadhaya mashiriyah: permasalahan yang diharuskan atas kaum Muslimin untuk menyelesaikannya dengan resiko hidup atau mati)
ii.    Persoalan umum yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
b.    Mencetak para pemimpin umat yang benar-benar berkepribadian Islam, kompeten, dan siap menerapkan Islam, melindungi dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia.
c.    Menghasilkan himpunan ulama sekaligus ilmuwan dan para ahli di berbagai bidang, seperti kedokteran, teknik, pertanian, pendidikan, hukum atau ahli syariah dan bidang lain yang mampu mengurus kemaslahatan hidup umat melalui penyusunan rancangan strategis jangka pendek dan jangka panjang, yang siap dijalankan negara (Khilafah), dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
d.    Mempersiapkan individu yang akan menjadi pelaksana praktis dan pengelola urusan umat: para hakim (qadhi), dokter, insinyur, guru, dsb.
e.    Pendidikan tinggi juga diselenggarakan untuk tujuan menghasilkan peneliti yang mampu melakukan inovasi di berbagai bidang yang memungkinkan umat ini mengelola hidupnya secara mandiri.
f.    Di samping itu, pendidikan tinggi juga bertujuan membangun ketahanan negara dari ancaman disintegrasi dan berbagai ancaman lain dari luar negeri.
 

Untuk kepentingan tersebut, Khilafah akan mendirikan perguruan tinggi dalam berbagai bentuknya (universitas, institut, sekolah tinggi, akademi atau lainnya) lengkap dengan pusat-pusat penelitian, laboratorium, perpustakaan dan sarana lain sesuai dengan kebutuhan. Dengan cara ini, ketergantungan umat Islam kepada negara-negara kolonialis bisa dihindari. Dengan cara ini pula, maka kemaslahatan masyarakat dan negara tidak akan jatuh dibawah pengaruh dan kendali asing, sekecil apapun bentuknya.
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Terjemahan Q.S. An-Nisaa’: 141). 

Pada jenjang PT tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman ataupun jurusan lainnya seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik, dll. Dengan begitu, peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dengan model sistem pendidikan Islam seperti ini, kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi.
 

Perlu dicatat, pendidikan tinggi dengan program studi apapun tetap akan mengajarkan tsaqafah Islam kepada para mahasiswa. Pengajaran tsaqafah Islam di dalam pendidikan tinggi ini bertujuan agar kelak ketika mereka menjadi pemimpin benar-benar memahami Islam dan memiliki bekal tsaqafah yang mencukupi, sehingga bisa mengurus kepentingan rakyatnya dengan baik, apa pun bidang yang dia tekuni.
 

Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
 

Alhasil, politik pendidikan Islam menunjukkan bahwa negara (khilafah) harus memiliki blue print tentang pendidikan generasi, road map (metode rinci) bagaimana merealisasinya, termasuk bertanggung jawab dalam menyiapkan segala hal terkait yang dibutuhkannya untuk merealisasi tanggung jawabnya tersebut. Itulah makna real negara sebagai penanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya, termasuk urusan pendidikan.

SEJARAH KHILAFAH ISLAM:  BUKTI EMPIRIS PENERAPAN POLITIK PENDIDIKAN ISLAM

 
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan melihat perhatian para khalifah (kepala negara) yang sangat besar terhadap pendidikan rakyatnya; demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Sebagai contoh, Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadhiyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
 

Fakta menunjukkan kepada kita bahwa perhatian para kepala negara kaum Muslim (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan, para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama, Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan, para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
 

Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad ke-6 Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Media pendidikan adalah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Oleh sebab itu, keberadaan sarana-sarana berikut harus disediakan: Perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fikih, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll sehingga hanya tercipta para ilmuwan dan mujtahid.
 

Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, serta beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu pengetahuan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya.
 

Negara mendorong para pemilik toko buku untuk memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ilmuwan/cendekiawan. Pemilik perpustakaan pribadi didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil penelitian ilmiah cendekiawan.
Sarana pendidikan lain seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dll yang dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa mesti ada izin negara. Negara mengizinkan masyarakatnya untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; walaupun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab. Negara melarang jual-beli dan ekspor-impor buku, majalah, surat kabar yang memuat bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Negara juga melarang acara televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
 

Negara berhak menjatuhkan sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dengan akidah Islam. Seluruh surat kabar dan majalah serta pemancar radio & televisi yang sifatnya rutin milik orang asing dilarang beredar dalam wilayah Khilafah Islamiyah. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari luar negeri dapat beredar setelah diyakini di dalamnya tidak membawa pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
 

Demikianlah secuil pemaparan politik pendidikan Islam berikut gambaran realisasinya di masa silam. Sangat nampak kejelasan dan keunggulan politik pendidikan Islam yang diatur oleh syariat Islam. Negara yang menentukan visinya, negara menetapkan langkah-langkah yang menjadi misinya, dan negara menyiapkan segala hal terkait yang dibutuhkan untuk bisa menyempurnakan kewajibannya tersebut. Dengan bersikap obyektif terhadap syariat Islam, seharusnya manusia yang jujur, berpikir, dan memiliki nurani jernih akan kembali ke pangkuan syariat Islam.

KRITIK TERHADAP UU PT: ABSENNYA KEJELASAN POLITIK PENDIDIKAN NEGARA

 
Dengan melakukan komparasi terhadap politik pendidikan Islam sebagaimana paparan di atas ketika membaca UU PT yang sudah sekian kali mengalami revisi, dan akhirnya disahkan tanggal 13 Juli 2012 yang lalu, tampaklah bahwa negara ini memang bisa dibilang tidak memiliki politik pendidikan yang jelas. Alhasil, kebijakan dalam sistem pendidikan yang dilahirkannya pun tidak jelas kemana arah yang diinginkan oleh negara sebenarnya. Hal ini bisa kita lihat dari silih bergantinya program pendidikan (di semua jenjang) yang bersifat trial and error. Mulai dari kurikulum, konsep ujian akhir, standard akreditasi, sistem penjaminan mutu yang diterapkan, hingga bentuk lembaga pendidikan itu sendiri berulang kali mengalami perubahan namun tidak berkorelasi dengan capaian signifikan dalam mutu pendidikan. 


Ketidakjelasan sistem pendidikan ini, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari ketidaktepatan menempatkan  sesuatu yang hakekatnya bukan ideologi sebagai asas negara, yang berikutnya menjadi asas dari sistem kehidupan negara ini. Sesuatu yang seharusnya menjadi asas negara adalah sebuah ideologi, yaitu sekumpulan pemikiran mendasar menyeluruh tentang kehidupan (aqidah aqliyah) yang darinya terpancar seperangkat sistem dan peraturan kehidupan sebagai cabangnya. Kualifikasi seperti itu hanya dimiliki oleh ideologi kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Pancasila sekalipun dianggap sebagai sebuah ‘ideologi’ negara, akan tetapi karakternya yang hanya berupa sekumpulan falsafah dan nilai-nilai (yang dianggap) utama dengan tanpa memiliki kejelasan sistem dan peraturan kehidupan (baik berupa konsep maupun metode) untuk merealisasi nilai-nilai tersebut, menjadikannya sangat terbuka bagi masuknya dominasi nilai—nilai lain (terutama pengaruh dari ideologi lain),  dan menjadikannya tidak cukup adekuat untuk menjadi sebuah ideologi negara. Banyak idealita yang ingin direalisir, namun hanya berhenti pada cita-cita yang tidak diikuti dengan adanya kejelasan metode merealisirnya, atau justru ditempuh dengan metode yang bertentangan dengan idealita yang dicita-citakan.  Negara bercita-cita menciptakan kehidupan rakyatnya yang sejahtera, namun metodenya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang justru mensejahterakan segilintir orang (para kapital) dan menjadikan rakyat banyak menderita. Seperti penguasaan para kapital terhadap sumber daya alam yang sebenarnya milik umum (migas, air, hutan, pertambangan, dll) sehingga mengakibatkan APBN negara senantiasa tidak mencukupi untuk mewujudkan cita-cita mensejahterakan rakyatnya. 


Demikian pula dengan sistem pendidikan ini. Kita dengan sangat mudah melihat adanya gap antara tujuan yang dicita-citakan dengan metode meraihnya. Bercita-cita mencerdaskan bangsa, namun ternyata malah melakukan otonomi dan liberalisasi lembaga pendidikan sehingga menjadi jalan komersialisasi pendidikan yang pada akhirnya justru membuat rakyat tidak bisa mengakses pendidikan itu sendiri. Mencita-citakan mewujudkan bangsa yang mandiri dengan melahirkan SDM yang berdaya saing global, ternyata kurikulum yang ada, bahkan indikator keberhasilan pendidikan yang dilakukan lebih banyak diarahkan ‘hanya’untuk mencetak pekerja yang siap direkrut oleh pasar/dunia industri. Tak ada kejelasan visi apa yang diinginkan oleh negara ini terhadap output sistem pendidikan di negeri ini. 


Memang, kalau hanya membaca UU PT yang baru saja disahkan bulan lalu tersebut, maka bisa jadi kita akan kesulitan membaca bagaimana sebenarnya wajah politik pendidikan di negeri ini. Karena politik pendidikan itu adalah sebuah strategi pendidikan yang komprehensif, bukan parsial ataupun cabang, yang dirancang oleh negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.Sehingga meniscayakan kita untuk juga ‘membaca’ bagaimana UU lain terkait (seperti UU sistem pendidikan nasional kita), peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut, hingga tataran implementasi riil oleh PT di tengah masyarakat seperti apa. Juga mengharuskan kita membaca interaksi antara sistem pendidikan ini dengan supra sistem maupun sub sistem yang lain (politik, ekonomi, industri, dll); bagaimanakah sistem pendanaan APBN kita, dan sebagainya. Terlebih lagi, secara umum, UU PT  ini terlihat sangat lebih berhati-hati dalam  kontennya, menggunakan redaksi yang sehalus mungkin, dan terkesan sebisa mungkin berbicara secara umum saja tanpa merinci hal-hal yg krusial. Sehingga memang sangatlah tidak mencukupi kalau kita hanya menjadikan UU PT ini sebagai sumber satu-satunya menilai sistem politik pendidikan di negeri ini. 


Namun demikian, ada beberapa hal yang masih cukup jelas terbaca sebagai indikator ‘ketidakjelasan’ politik pendidikan negara tersebut. Diantaranya adalah:


1.    Ketidakjelasan pandangan negara dalam menempatkan mana ilmu pengetahuan murni yang berlaku umum dan tsaqofah yang dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu, sehingga berpengaruh juga pada ketidaktepatan dalam menempatkan implementasinya.  Pada perjalanan berikutnya, tanpa disadari pengaruh dari ideologi asing masuk dalam proses pendidikan yang dilakukan dan berpengaruh pada output yang dihasilkan.  Diantaranya nampak pada hal-hal berikut:•    Munculnya pengembangan rumpun keilmuan yang pada RUU sebelumnya tidak ada.  Dikatakan rumpun ilmu dibagi menjadi rumpun ilmu agama, humaniora, sosial, alam, formal, terapan (Pasal 10).  Kata ‘humaniora’ secara berulang banyak disebut dalam pasal-pasal di dalam UU PT ini. Apa yang dimaksud dengan humaniora di sini? Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan. Tidak ada penjelasan nilai intrinsik kemanusiaaan  itu seperti apa. Tapi tentunya bisa dibaca bahwa diantara nilai intrinsik kemanusiaan yang hari ini paling populer dan digembar-gemborkan adalah hak asasi manusia. Sebuah pemikiran yang sering dijadikan dalih ataupun entry point untuk lahirnya kebebasan berkeyakinan, berpendapat, bertingkah laku maupun kepemilikan, sekalipun jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama.  Nilai Humaniora ini pula (sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan) yang kemudian melandasi Pasal 8(1,3), 9(1,2) yang mengatakan berlakunya  kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Hal ini bisa bermakna membiarkan para intelektual dan anak didik membebaskan akalnya mengembara kemana-mana tanpa dibatasi apapun (termasuk nilai-nilai agama/syariah Islam). Atas nama kebebasan akademik, otonomi ilmu, pluralisme, demokrasi, kebhinnekaan (sebagaimana yang disebut pada pertimbangan, asas PT pada pasal 3, prinsip penyelenggaraan PT pada pasal 6), maka bisa jadi pemikiran yang sesat lagi  membahayakan masyarakat menjadi boleh dan bisa diajarkan maupun disosialisasikan secara bebas di pendidikan tinggi, sekalipun bukan dalam rangka diketahui dan diwaspadai kesalahan dan kesesatannya. Bukankah kebebasan (mimbar) akademik dan otonomi keilmuan itu pula yang kemarin dijadikan dalih oleh kaum liberal, ketika mereka mengusung Irshad Manji ke beberapa kampus untuk mengkampanyekan pemikiran sesatnya (lesbianisme dan penistaan terhadap syariat Islam) ?!
•    Adanya rumpun ilmu agama sebagai salah satu rumpun ilmu dengan menyamaratakan semua agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Khong Hu Cu), sebenarnya telah menjatuhkan sistem pendidikan yang dihasilkannya dalam kesalahan meletakkan (baca: mengebiri) Islam  yang hakikatnya merupakan agama sekaligus ideologi, menjadi semata sebagai sebuah cabang keilmuan. Sehingga Islam dalam sistem pendidikan ini memang sudah dimasukkan dalam kotak ‘pengaturan hal-hal ritual yang bersifat individual’, dan bukan sebagai way of life atau sebagai ideology kehidupan. Alhasil solusi permasalahan kehidupan yang sebenarnya dimiliki oleh Islam dan dibutuhkan oleh negeri ini, menjadi tidak akan termunculkan apatah lagi terterapkan.
•    Pasal 6h menyebutkan bahwa system pendidikan diselenggarakan dengan prinsip terbuka dan multimakna. Dalam ketentuan umum dikatakan bahwa makna “Sistem terbuka” adalah penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki sifat fleksibilitas dalam hal cara penyampaian, pilihan dan waktu penyelesaian program, lintas satuan, jalur dan jenis pendidikan (multi entry multi exit system). Sementara yang dimaksud dengan “multimakna” adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan watak dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup. Maka jika sifat terbuka dan multi maknanya ini dibangun atas pijakan yang juga multi tafsir, bisa dipastikan system pendidikan di Indonesia akan sangat rentan untuk berubah-ubah mengikuti kepentingan banyak pihak. Ini jelas merugikan civitas akademika dan mempertaruhkan nasib bangsa ini terutama pendidikannya dengan sebuah ketidakpastian.

2.    Ketidakjelasan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap proses pendidikan tersebut; Dimanakah posisi negara, PT, masyarakat, swasta, ataupun swasta asing. Hal ini bisa kita baca dari banyaknya pasal yang secara substansi mencoba menguatkan otonomi PT, melibatkan pihak lain selain negara untuk juga mengambil porsi tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, hingga tidak adanya pernyataan tegas yang menyatakan bahwa pemerintahlah sebenarnya penanggung jawab pendidikan generasi, termasuk pendidikan tinggi. Meskipun dalam UU PT kali ini, redaksi pasal-pasal yang berbicara tentang muatan otonomi PT sangatlah halus dan berkesan sangat hati-hati.•    Pasal 62-68 tentang otonomi PT. Dikatakan bahwa otonomi PT diterapkan atas bidang akademik dan non akademik. Adanya pasal ini menunjukkan absennya peran pemerintah dalam tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan PT yg berkualitas dan mampu menyelesaikan masalah bangsa. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yg paling tinggi tingkatannya dan memegang peran penting dalam maju/mundurnya peradaban suatu bangsa, tentunya PT harus berkonsentrasi pada kualitas penyelenggaraan belajar mengajarnya, sehingga menghasilkan lulusan dengan kualifikasi yang dibutuhkan negara ini untuk menjadi negara yang maju, mandiri, kuat dan terdepan. Namun bisa dibayangkan, jika PT juga disibukkan dengan mengurusi sendiri bidang akademik dan non akademiknya (organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagakerjaan, dan sarana prasarana), maka dapatkah dipastikan bahwa semua organisasi penyelenggara PT otonom akan memiliki kualitas kepemimpinan dan manajerial yang sama sehingga mereka semua bisa tetap menjamin kualitas pendidikannya sesuai standard yang ditetapkan dan tidak terjatuh ke dalam hal-hal teknis dan strategis yang mengalihkannnya dari fokus seharusnya? Bukankah akan jauh lebih mudah (efektif dan efisien),  transparan, serta akuntabel jika pemerintah-lah yg mengambil tanggungjawab menyelenggarakan PT, baik dari sisi akademik maupun non akademik, sehingga jaminan mutu PT akan bisa dipastikan terjadi di semua PT di Indonesia.
•    Pada pasal 80-81 tentang pola pengembangan PT, kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah maupun PTN, bisa membuka peluang terjadinya corporate (lokal maupun asing) untuk dengan mudah secara langsung terjun ke daerah-daerah dan sekolah-sekolah (termasuk PT) yang memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai pasar,  sebagai supplier tenaga kerja murah, mengambil kekayaan alam daerah secara langsung dengan menggunakan SDM lokal sebagai pekerja, dan memperkokoh penanaman nilai-nilai asing (Sekularisme, Liberalisme, Individualisme, dsb) untuk tetap menjadikan generasi bangsa ini dibawah hegemoni mereka apakah dengan menjadi komprador asing maupun  tenaga kerja murah untuk kepentingan asing. Maka ketika mereka berhasil masuk ke daerah dengan mengatasnamakan pengembangan PT, standar-standar mutu pendidikan yang ada akan diarahkan sesuai dengan keinginan mereka dengan menggunakan pemeringkatan melalui Human Development Indeks (HDI), Programme for International Student Assessment (PISA), Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Organization for Economic Cooperation Development (OECD)/Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi. Standar-standar ini secara tidak langsung menjadikan negara-negara maju dapat menguasai pasar dunia sekaligus melakukan kontrol dan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Ingat, pemerintah telah  melegalisasi privatisasi pendidikan dengan dikeluarkannya UU No 20 tahun 2003 tentang penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
•    Pasal 83-86, 90-91 tentang keterlibatan pihak-pihak lain (di luar pemerintah) dalam tanggung jawab dan pendanaan PT, mulai dari masyarakat, PT itu sendiri, user PT (mahasiswa/penjaminnya), hingga dunia industri. Pada pasal 86 dikatakan bahwa pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan industry dengan memberikan ‘bantuan’ dana kepada PT. Seharusnya pemerintah bukanlah ‘pemberi bantuan’ ataupun ‘fasilitator’, tapi adalah penanggungjawab semua urusan rakyatnya. Termasuk di dalamnya urusan PT, dunia usaha dan industry, serta interaksinya, serta hal-hal lain yang terkait, pemerintahlah yang mengatur agar tidak terjadi conflict of interest berbagai pihak.

3.    Kebingungan negara dalam memandang pendidikan; antara sebagai hak dan kebutuhan mendasar warga negara yang harus dipenuhi dengan mekanisme persoalan pendanaan PT. Diantaranya nampak pada hal-hal berikut:•    Tidak ada satu pasal pun yang menyatakan dengan tegas, bahwa pemerintahlah penanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan pendidikan tinggi sebagai sebuah kebutuhan pokok warga negara yang memang harus dipenuhi oleh negara kepada seluruh warga negaranya. Pada pasal 83-85 tentang sumber pendanaan PT, juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa pemerintahlah yang seharusnya  menjamin pendanaan operasional PT sepenuhnya. Sebaliknya, justru dengan jelas disebutkan bahwa pendanaan PT ‘bisa’ berasal dari masyarakat dan PT itu sendiri. Bahkan pada pasal 74 dan 86 dikatakan pemerintah sebagai ‘pemberi bantuan dana’ PT  dan pemberi insentif dunia usaha dan industri yang membantu pendanaan PT. Hal ini menunjukkan upaya menyertakan dunia usaha pada PT  dengan lebih nyata. Memang tidak ada salahnya jika masyarakat dan PT itu sendiri membantu pendanaan operasional sebuah PT. Tapi, akan menjadi sebuah kesalahan jika bantuan dana dari masyarakat dan PT menempati porsi yang besar dari keseluruhan kebutuhan dana operasional PT karena sangat riskan terjadinya kooptasi PT oleh kapital/dunia industri yang akan mewujudkan gambaran pendidikan yang tidak lagi idealis, namun lebih ke arah pragmatis. Ini sangat membahayakan bagi masa depan generasi dan bangsa ini.
•    Demikian pula pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru PTN dengan pola penerimaan nasional dan ‘bentuk lain’. Kata ‘bentuk lain’ ini bisa membuka peluang dilegalkannya jalur mandiri (yang biasanya berbiaya tinggi) di PTN, meski ada kalimat ‘dilarang dikaitkan dengan tujuan komersil’, apalagi jika ‘bantuan dana’ dari pemerintah (sebagaimana pasal 74) ternyata tidak mencukupi, maka pasal ini tidak dipungkiri bisa menjadi jalan masuk legalisasi komersialisasi pendidikan.
•    Demikian pula dengan pasal 85 tentang Pendanaan Pendidikan Tinggi yang bisa dilakukan melalui kerja sama pelaksanaan Tridaharma, maka sebenarnya ini adalah bahasa ‘halus’ dari dimungkinkannya PT melakukankegiatan usaha/bisnis untuk mendapatkan dana (sebagaimana pilihan kata pada RUU PT sebelumnya). Hakikatnya adalah terbukanya sebuah celah bagi negara untuk  bisa lepas tangan, meski tidak secara total. Apalagi juga ditegaskan dengan kalimat bahwa pendanaan dapat juga bersumber dari biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Alhasil, pasal ini bisa menjadi legalitas bagi PTN untuk tidak hanya focus pada pelaksanaan tridharma PT, atau menjadikan pelaksanaan tridharma PT hanya sebagai ‘kedok’ saja padahal yang lebih menyedot perhatian PT adalah orientasi bisnis demi pendanaan PT. Dan ini adalah pelanggaran terhadap Tri Drama PT yang pertama yaitu pendidikan.
•    Yang baru terkait pendanaan pada UU PT ini adalah munculnya istilah ‘dana abadi (Pasal 84). Sebagaimana resiko dana abadi di lembaga apapun di negeri ini, ketika tidak diiringi dengan pengaturan yang jelas untuk memastikan dan menjaganya pada pembelanjaan yang benar, adalah terbukanya peluang korupsi baru dalam dunia pendidikan.

4.    Pragmatisme dalam penetapan kualifikasi output/lulusan dan ketidakjelasan strategi pendidikan yang ada untuk melahirkannya. Ada kecenderungan PT diarahkan untuk menghasilkan lulusan berkualifikasi ‘pekerja yang siap diserap pasar’ daripada memenuhi kebutuhan negara akan SDM unggul yang siap memimpin dan mengelola negara.  Hal ini bisa dilihat dari  beberapa hal, diantaranya:
•    Adanya pasal tersendiri yang menjelaskan secara khusus tentang program Diploma, Magister terapan dan Doktor terapan (Pasal 21, 22, 23) yang sebelumnya tidak ada, menguatkan bacaan bahwa UU PT memang berniat untuk lebih mengarahkan dan menata PT lebih ke arah PENCIPTAAN TENAGA KERJA dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar kerja/lapangan kerja industry semata. Hal ini sejalan dengan digencarkannya program vokasi yang bertujuan kurang lebih sama, yaitu mencetak generasi ‘pekerja’ yang siap diserap pasar atau dunia industri.
•    Kalau dikaitkan dengan kurikulum, sistem penjaminan mutu dan sistem akreditasi PT, maka pragmatisme dan ketidakjelasan ini akan semakin mudah terlihat. Pasal 51-57 terkait sistem penjaminan mutu, termasuk akreditasi. Sistem penjaminan mutu perguruan tinggi  (pasal 53) terdiri dari SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan SPME (Sistem Penjaminan Muti eksternal) melalui akreditasi. SPMI merupakan kegiatan sistemik penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi di perguruan tinggi oleh perguruan tinggi itu sendiri, untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi di tempatnya. SPME merupakan kegiatan sistemik penilaian kelayakan program dan/atau perguruan tinggi oleh BAN PT, untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk dan atas nama masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas public sebagaimana diamanatkan oleh pasal 78 ayat 2 UU PT ini. Kedua lembaga ini dipandang dari tugasnya sebenarnya tidak ada masalah karena sebuah institusi perlu melakukan evaluasi diri dan memonitor kinerjanya dalam rangka peningkatan mutu institusinya. Namun sangat disayangkan, indikator audit mutu yang ada ternyata tidak relevan dengan tujuan pendidikan (pasal 5). Sebagai contoh, indikator terhadap kompetensi lulusan hanya berupa besar nilai IPK, lama masa studi, lama masa tunggu mendapatkan pekerjaan dan gaji pertama. Dimana korelasinya dengan tercapainya profil mahasiswa sebagaimana tercantum pada pasal 5a dan b ?! Demikian pula dengan hasil riset, indikator penilaian yang digunakan adalah hanya sebatas berapa jumlah riset berdana nasional atau internasional dan juga jumlah publikasi nasional atau internasional. Tidak ada indikator terkait dengan apakah riset tersebut bisa dan sudah diimplementasikan untuk  menyelesaikan permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat maupun memenuhi kebutuhan strategis pembangunan nasional (sebagaimana tercantum pada pasal 46).
•    Hal ini menunjukkan  kepada kita bahwa jika indikator penilaian adalah seperti yang tercantum dalam audit mutu internal PT  atau akreditasi BAN PT, standard nasional maupun internasional yang berlaku saat ini, sangat jelas terlihat bahwa tidak ada korelasi antara indikator capaian dengan tujuan penyelenggaraan PT. Indikator mutu tersebut lebih dipengaruhi oleh dunia industri, maupun dorongan (baca: tekanan) untuk  menjadikan PT di Indonesia mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Seandainya pun indikator mutu yang ditetapkan terpenuhi, ternyata tidak berkorelasi pada semakin terurainya problematika masyarakat dan teraihnya kebangkitan bangsa. Bahwa menjamin mutu dan standard adalah suatu keharusan dan memang penting, namun kalau dalam upaya pemenuhan item-item di dalamnya ternyata hanya lebih mendorong PT untuk sibuk melakukan kerjasama dan pencarian dana demi sebuah pengakuan, maka sebenarnya hanya akan membuat PT seolah sibuk sendiri di suatu area ‘permainan mengejar recognisi tsb’, sementara problematika masyarakat terus berlangsung di area yang berbeda. Padahal masyarakat senantiasa menunggu kiprah kampus dengan produk-produk intelektualnya untuk menyelesaikan problematika kehidupan mereka.

5.    Kurangnya kesadaran politik yang tinggi untuk bisa mendudukkan Pasal 50 tentang Kerja Sama Internasional perguruan Tinggi secara proporsional (tidak paranoid namun juga tidak ceroboh). Sebagaimana kita ketahui ketentuan kerjasama internasional PT  adalah pasal penting yang dengan jelas merupakan wujud legalisasi implementasi dari HELTS IV, GATS dan Comprehensive Patnership, yang belum terakomodasi dalam perundangan-undangan terkait sebelumnya. Padahal dengan banyaknya kerjasama dalam bentuk Comprehensive Patnership yang sudah ditandatangani oleh negara (diantaranya dengan AS dan Jerman), maka pemerintah Indonesia ‘harus’ mendorong terjadinya kerjasama dengan pihak asing dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Meskipun dinyatakan dalam ayat 2 bahwa Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, namun kita semua juga tahu bahwa ketika kondisi dua belah pihak yang melakukan comprehensive partnership tersebut tidak dalam kondisi yang equal dalam kekuatan dan pengaruh, maka yang terjadi bukanlah interaksi yang bersifat simetris (partnership), namun sebaliknya justru sangat terbuka peluang terjadinya hegemoni (baca: penjajahan) negara yang kuat terhadap  negara yang lebih lemah. Di sinilah terlihat kurang waspada dan jelinya UU PT ini. Terlebih ketika pada ayat 4, negara justru membuka kran kerjasama tersebut dimungkinkan dilakukan oleh PT dengan PT secara langsung. Kalau pada level negara saja, Indonesia berada di bawah pengaruh negara lain dalam ‘kerjasama’ tersebut, maka apatah lagi pada level PT jika tanpa diback up oleh kekuatan negara sebagai penanggung jawab semua urusan rakyat/bangsa. Jika hal ini disambut baik oleh PT, artinya PT dengan kewenangan otonominya dimungkinkan menjalin kerjasama tersebut tanpa bertanya pada pemerintah, maka hal ini akan menjadi jalan masuk bagi pengekalan hegemoni dan penjajahan asing (terutama AS) atas dunia pendidikan tinggi di Indonesia, untuk kemudian berikutnya atas seluruh kedaulatan Indonesia. Kewaspadaan PT ini pun akan semakin lemah, jika kita kaitkan dengan salah satu indikator bagi PT kelas dunia (World Class University) adalah berapa banyak kerjasama internasional yang dilakukan. Maka, bisa diperkirakan, karena dorongan mengejar status WCU, PT-PT di Indonesia justru akan terdorong dan berlomba-lomba memperbanyak melakukan kerjasama internasional dengan tanpa melandasinya dengan kesadaran politik akan konstelasi dunia politik internasional (yang biasanya memang justru dijauhkan dari dunia kampus dan intelektual).

Secara umum, sangat banyak pasal di dalam UU PT ini yang ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dengan Peraturan Menteri ataupun peraturan pemerintah. Hal ini juga harus kita waspadai dan kawal agar PERMEN  maupun PP tersebut tidak menjadi jalan implementasi KAPITALISASI DAN LIBERALISASI PT yang justru lebih mulus dan cepat. Pembacaan dan kewaspadaan seperti ini, bukanlah sebuah sikap yang lahir dari ketakutan tanpa alasan (paranoid), melainkan sebuah analisa yang sangat wajar bahkan seharusnya muncul, ketika secara de facto kita mengetahui bahwa negara ini ada dalam pengaruh dan tekanan ‘pihak lain’ untuk segera melakukan kapitalisasi dan liberalisasi dunia pendidikan. Ketidakmandirian negara dalam men-drive kebijakan dalam bidang pendidikan ini dipengaruhi oleh kesepakatan-kesepakatan internasional yang ‘terlanjur’ diratifikasi oleh pemerintah, utamanya penerapan sistem ekonomi (neo) liberal. 


Ketika secara global, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara berkembang, Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut meliputi: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN. 


Sejak akhir tahun 1980 hingga kini, rekomendasi atau resep Konsensus Washington tersebut telah diimplementasikan. Indonesia, misalnya, telah melakukan liberalisasi perdagangan internasional dengan meratifikasi Agreement Establishing World Trade Organization  (WTO) pada 1995. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Diantara konsekuensi yang mengikuti hal tersebut, Indonesia akhirnya memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun 2007  dan Perpres no.111 tahun 2007, yang di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, dimasukkan sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum 49 %. 


Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di Indonesia sendiri semakin masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID. Neoliberalisme sendiri, pada prinsipnya sangat memuliakan mekanisme pasar. Dalam ekonomi neoliberal, campur tangan negara walaupun diakui diperlukan, namun harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar.  Jadi jelaslah bahwa komodifikasi pendidikan Indonesia ke arah liberalistik dan kapitalistik merupakan konsekuensi logis penerapan sitem Ekonomi Neoliberal di negeri ini.  Maka ketika di negara ‘asal’nya kapitalisme liberalisme ini sudah mengalami kebangkrutan dan ditolak oleh jutaan warga negaranya dan juga oleh jutaan orang lain di dunia dengan aksi wallstreet occupy - nya, lalu belumkah tiba saatnya pemerintah dan warga negara Indonesia yang mayoritas muslim di negeri ini sadar bahwa mengarahkan pengaturan negeri ini, termasuk sistem ekonomi dan pendidikannya ke arah kapitalisme-liberalisme, merupakan kebodohan yang tidak bisa diterima akal sehat siapapun. Apalagi bagi seorang mukmin yang meyakini tidak ada sistem hidup yang lebih baik dari hukum dan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT: “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum/peraturan) siapakah yang lebih baik daripada (hukum/peraturan) Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5: 50))

Wallahu A’lam bish Showaab


Rabu, 20 Juni 2012

Obat Kimia Sintetis featuring Herbal


                Oleh : Haafizhah Kurniasih 
SyariahPublications.Com — Tulisan ini sengaja saya beri judul “obat kimia sintetis featuring herbal” bukan “obat kimia sintetis versus herbal” karena menurut saya keduanya bisa berjalan seiringan bahkan bisa saling mendorong perkembangan masing–masing. Kemajuan teknologi pengembangan obat kimia sintetis seharusnya bisa juga mendorong eksplorasi herbal, pun sebaliknya semakin banyak info tentang herbal berkhasiat sangat berpotensi memacu perkembangan teknologi obat kimia sintetis.
Keduanya tak perlu dibenturkan meski banyak pihak yang berupaya membenturkan keduanya dengan berbagai macam alasan. Ada yang berniat mulia lagi dilandasi semangat beragama yang berapi–api tapi —mohon maaf—kurang ilmu. Ada pula yang dilandasi keserakahan, ingin mengeruk keuntungan bisnis sebesar–besarnya dengan memanfaatkan “emosi” dan sentiment masyarakat. Ada pula yang terlalu memandang sebelah mata para ilmuwan yang mengembangkan obat yang tidak sama dengan obat yang dia minati. Mereka yang “jatuh cinta” pada herbal menganggap para ilmuwan yang mengembangkan—dan tentu saja mempromosikan—obat kimia sintetis sebagai ilmuwan yang sudah “terbeli”, malah ada yang “lebay” dengan menyebutnya sebagai “antek Yahudi”. Sedangkan mereka yang apatis terhadap perkembangan herbal, memandang para ilmuwan yang mengkampanyekan herbal sebagai orang yang berbicara tanpa kompetensi—karena mengambil segelintir contoh herbalis yang memang sama sekali tidak punya background medis lalu mengeneralisasikannya—.
Belakangan ini upaya mempertentangkan penggunaan obat kimia sintetis dan herbal tampaknya semakin menjadi–jadi. Bahkan rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut ada semacam black campaign terhadap penggunaan obat kimia sintetis di satu sisi dan kampanye berlebihan terhadap penggunaan herbal. Ada banyak isu yang dilontarkan dalam “pertarungan” ini, dua di antaranya yang paling memprihatinkan adalah klaim bahwa herbal adalah sunnah Rasul sedangkan penggunaan obat kimia sintetis tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Sebagai seorang Muslimah farmasis saya sedih tapi sekaligus ingin tertawa. Selain isu sunnah Rasul, ada juga isu tentang efek samping. Beredar opini di tengah masyarakat bahwa obat kimia sintetis itu berbahaya, efek sampingnya besar, bahkan bisa menimbulkan berbagai macam penyakit parah sedangkan herbal aman, tanpa efek samping. Benarkah?
Terkait dengan sunnah Rasul, memang benar ada hadits yang intinya menyatakan bahwa habatussauda adalah obat segala penyakit kecuali maut (tapi saya belum mengetahui derajat haditsnya seperti apa, belum sampai ilmunya… Hehehe…). Tapi apakah iya hadits itu berarti menafikkan seluruh obat selain habatus sauda? Apakah ulama’ dan para ahli hadits lantas menafsirkannya dengan menganggap berobat dengan selain habatus sauda menyalahi sunnah? Nyatanya tidak kan? Kaum Muslimin sejak zaman Rasulullah senantiasa berupaya mengembangkan metode pengobatan dan tidak berpuas diri dengan habatus sauda. Bukankah kita mengenal Asy Syifa’ seorang shahabiyah yang juga pakar di bidang pengobatan? Bukankah pada era keemasan Islam pun berkembang pesat ilmu kedokteran dan farmasi?
Rasanya saya koq sepakat dengan pendapat Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, seorang scientist yang insya ALLAH faqih fiddin. Dalam sebuah forum di pondok pesantren Panatagama Junior (Potorono) Yogyakarta beliau menjelaskan bahwa ilmuwan Islam memposisikan hadits tentang habatus sauda bukan sebagai “pagar” yang membatasi obat sebatas habatus sauda saja. Ilmuwan Muslim memposisikan hadits tersebut sebagai hint sekaligus motivasi. Hint bahwa ada sesuatu yang menarik dalam habatus sauda yang harus dikaji. Motivasi untuk menguak “misteri” kandungan habatus sauda. Bukan lantas menjadikan habatus sauda sebagai obat sakti yang menjadi andalan dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Terkait masalah efek samping… Iya benar jika dikatakan bahwa obat kimia sintetis menimbulkan efek samping. Bahkan bukan hanya efek samping. [FYI: efek samping adalah efek selain dari efek utama yang diinginkan dalam terapi. Efek samping bisa bersifat menguntungkan atau pun merugikan, tergantung sudut pandang. Misalnya obat batuk menimbulkan efek samping mengantuk. Bagi seorang sopir bus antar kota yang harus mengejar setoran, tentu efek mengantuk ini menjadi merugikan tetapi bagi orang yang sedang mengalami susah tidur, malah menjadi menguntungkan]. Obat sintetis kimia bahkan berpotensi menimbulkan adverse effect atau Adverse Drug Reaction (ADR) alias efek berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Itu adalah fakta, bukan sekadar opini dan tidak perlu disangkal.
Tetapi jangan salah…. Obat herbal pun tetap berpotensi menimbulkan side effect dan ADR yang tidak kalah besarnya dengan obat kimia sintetis. Bahkan mungkin bisa menimbulkan ADR yang lebih besar. Mungkin ada yang kemudian bertanya “Benar kah? Mana buktinya? Mana datanya? Bukankah selama ini yang banyak didapatkan adalah data tentang ADR yang ditimbulkan oleh obat kimia sintetis? Ada yang menyebabkan kerusakan liver, ada yang merusak ginjal, ada yang menyebabkan iritasi saluran cerna, kecacatan janin, dll. Semua yang dilaporkan itu adalah ADR dari obat kimia sintetis. Ga ada tuh data ADR yang ditimbulkan oleh obat herbal?!”
Maka jawabannya adalah: Benar data–data tersebut lebih banyak didapatkan dari penggunaan obat kimia sintetis, bukan dari penggunaan obat herbal. Hal itu karena dalam pengembangan obat kimia sintetis dilakukan kontrol yang sangat ketat. Sebelum suatu obat kimia sintetis diluncurkan ke pasar, terlebih dahulu harus diketahui efek utama (khasiat)nya, dosis terapinya, efek samping serta ADRnya (kajian toksisitas). Selanjutnya, setelah obat diluncurkan ke pasar peredaran obat diawasi dengan ketat di bawah pengawasan dokter (dalam artian diresepkan oleh dokter) dan Apoteker (obat hanya bisa dibeli di Apotek). Dengan mekanisme seperti ini dokter dan Apotek mengetahui –secara kasar—siapa saja yang mengkonsumsi obat tersebut sehingga perkembangan pasien setelah mengkonsumsi obat tersebut dapat dimonitor. Apakah pasien menjadi sembuh, mengalami keluhan seperti apa, atau malah mengalami penyakit lain yang lebih berbahaya dari penyakit sebelumnya. Dari sinilah bisa didapatkan data tentang ADR obat kimia sintetis.
Bagaimana dengan obat herbal? Sayang sekali… pengawasan obat herbal tidak seketat obat kimia sintetis. Seringkali penelitian herbal baru sebatas didapatkan kesimpulan “Herbal X terbukti memiliki efek (khasiat) ini dan itu”, sama sekali belum ada kajian tentang efek samping dan ADR, bahkan kajian tentang dosis terapinya pun belum tapi sudah sudah dilempar ke pasar. Di pasaran, pengawasannya juga lemah. Hanya berbekal data “Herbal X terbukti memiliki efek (khasiat) ini dan itu”sudah dipromosikan habis–habisan. Di jual bebas di akhawat–akhawat pengajian, di toko jilbab, toko buku, toko roti, dll yang penjualnya tidak mengetahui siapa saja konsumennya. Lha, kalau peredarannya seperti itu, bagamana bisa mendapatkan data ADR dari penggunaan obat herbal?
Obat Kimia Sintetis versus Herbal?
Saya tidak anti herbal pun saya tidak memandang herbal sebelah mata. Bahkan saya mendukung eksplorasi herbal, apalagi herbal lokal. Sungguh, majunya eksplorasi herbal lokal adalah salah satu impian saya demi kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan. Hanya saja saya sering kali sedih menyaksikan promosi herbal yang berlebihan dan bahkan sering kali tidak rasional. Klaim 100% aman, tanpa efek samping, bebas bahan kimia (bingung juga emangnya yang disebut “bahan kimia” itu apa ya? Bukankah air juga bahan kimia dengan rumus molekul H2O?), serta berbagai testimony yang bombastis layaknya keajaiban.
Seperti kata pepatah, tak mungkin ada asap jika tak ada api. Tak mungkin ada “peparangan” antara herbal dan obat kimia sintetis jika tidak ada pemicunya. Lantas, apakah pemicunya? Banyak hal yang menjadi pemicu “pertarungan” ini, beberapa di antaranya:
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang obat. Sering kali pasien menerima obat tanpa informasi apa pun selain aturan pakai, itu pun tidak lengkap. Hanya sekadar “Diminum 3 x sehari 1 tablet”. Mungkin ada sedikit tambahan info untuk antibiotik “Diminum sampai habis”. Selebihnya, tidak ada informasi apa pun. Bahkan tidak jarang kemasan obat pun tidak ada sehingga pasien tidak bisa mencari tahu obat apa yang dia terima (kecuali beberapa pasien cerdas dan punya akses untuk menanyakannya ke dokter atau Apoteker). Minimnya informasi tentang obat membuat pasien tidak mengerti betul kenapa dia harus meminum obat yang ini, bukan yang itu. Seolah–olah ketika pasien meminum obat seperti meminum sesuatu yang tidak dia ketahui tapi “dipaksakan” oleh dokter untuk diminum. Hal ini membuat pasien atau keluarga pasien mudah percaya jika dihembuskan isu negatif tentang obat maupun tentang tenaga kesehatan yang memberikan obat. Pasien yang penasaran dengan obat yang ia terima tetapi tidak mengerti jalur yang benar untuk mengetahui informasi tentang obat (karena dokter hanya memberikan resep tanpa menjelaskan obat apa yang ia resepkan sedangkan Apoteker entah ke mana, Apotek terkesan hanya sebagai tempat transaksi obat, bukan tempat konsultasi), mencoba mencari informasi tentang obat kepada teman–teman atau tetangganya yang sama–sama tidak tahu. Atau ada juga yang mencoba bertanya pada Mbah Google. Eh, ternyata lebih banyak ketemu artikel–artikel yang mengulas sisi negatif obat secara tidak proporsional karena biasanya nyasar ke blog–blog pribadi atau komunitas yang cenderung subjektif. Sepertinya langka deh pasien yang mencari informasi tentang obat lalu masuk ke situs–situs ilmiah, apalagi mendapatkan jrnal ilmiah. Sangat langka. Maka, jangan salahkan pasien jika mereka menolak obat, bahkan mengkampanyekan anti obat kimia.
Kondisi ini diperparah dengan carut–marutnya sistem kesehatan negeri ini. Pelayanan kesehatan yang berdasarkan prinsip kapitalisme membuat kesehatan menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang sulit dijangkau karena mahalnya. Dan komponen terbesar penentu harga pelayanan kesehatan adalah harga obat. Di tengah kondisi seperti ini, orang–orang yang jeli melihat peluang bisnis menawarkan obat herbal. Mereka benar–benar pandai mengolah emosi masyarakat. Ketika masyarakat mengeluhkan mahalnya harga obat, mereka menawarkan herbal dengan harga yang murah. Ketika masyarakat dihantui kecemasan terhadap efek samping obat—yang informasinya didapat dari sumber antah berantah—mereka mempromosikan herbal dengan testimoni–testimoni bombastis, tanpa efek samping! Maka lengkap sudah alasan bagi masyarakat untuk mengatakan “Katakan ‘tidak’ pada obat kimia. Katakan ‘ya’ pada herbal!”.
Saya tidak memusuhi herbal, bahkan sebaliknya. Saya sangat mendukung pengembangan herbal, terutama herbal lokal. Herbal yang tumbuh di negeri ini karena dengannya insya ALLAH kita bisa membangun independensi bangsa dalam bidang kesehatan. Independensi yang mutlak sangat kita perlukan jika kelak–insya ALLAH—Khilafah ini bermula di sini. Independensi yang akan menghapus kekhawatiran kita atas ancaman embargo bahan baku obat—jika kelak Dawlah Khilafah yang dijanjikan, bermula di sini dan mengundang murka Negara–Negara lain di dunia—. Kita tidak perlu mengkhawatirkan hal itu karena kita bisa memproduksi obat sendiri karena bahan bakunya bisa kita panen dari tanah kita sendiri. Pengembangan herbal itulah yang kita perlukan, bukan sekadar promosi herbal! Mari kita kembangkan herbal apa saja yang berpotensi, kaji efek utamanya, kaji dosisnya, kaji toksisitasnya, kembangkan bentuk sediaannya, dan seterusnya. Setelah itu, mari promosikan herbal secara proporsional dengan promosi yang mencerdaskan masyarakat. Bukan dengan promosi yang seolah menjanjikan angin surga bagi pasien, seolah semuanya indah, semuanya baik. (www.syariahpublications.com)
Yogyakarta, 21 Rajab 1433 H
Monday, June 11, 2012
8.28 a.m.

Selasa, 05 Juni 2012

Khilafah: Negara Terbaik

Pada 28 Rajab 1342 H, Inggris lewat agennya Kamal at-Taturk menghan-curkan Khilafah Islam. Institusi politik ini selama berabad-abad ada di tengah umat. Institusi ini menyatukan umat Islam, menerapkan syariah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sekarang 1433 H, artinya 91 tahun umat Islam tidak lagi memiliki institusi ini. Selama itu pula umat Islam tidak menjalankan kewajiban penting dalam Islam, yaitu membaiat khalifah. Padahal umat Islam hanya diberi toleransi kosong dari kepemimpinan (Khilafah) selama 3 hari 3 malam. Tidak hanya itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini merupakan perkara ma’lum[un] min ad-din bi dhorurah. Perkara ini sudah diketahui urgensinya. Para ulama dan semua imam mazhab sepakat tentang kewajibannya.
Secara politik sistem Khilafah didedikasikan untuk melayani kepentingan masyarakat. Sebab, hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Karena itu, penguasa dalam Islam bagaikan penggembala (ra’in) dan pelayan umat (khadim al-ummah).
Dalam Islam penguasa hadir untuk menerapkan hukum-hukum Islam; memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu masyarakat seperti pangan, sandang dan papan; menjamin pendidikan yang bermutu tinggi dan kesehatan yang layak untuk masyarakat secara gratis; memastikan hukum tegak dan keamaan rakyat terjaga.
Prinsip kedaulatan di tangan syariah akan menjamin pelayanan masyarakat ini berjalan baik karena masyarakat diurus berdasarkan syariah Islam. Kedaulatan syariah ini akan menutup intervensi manusia untuk membuat kebijakan hukum maupun politik yang didasarkan pada kepentingan kelompok, hawa nafsu, atau kekuatan modalnya seperti dalam sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan manusia.
Berbeda dengan sistem otoriter, sistem politik Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat (ash-shultan li al-ummah). Dengan hak kekuasaan ini, rakyat berhak memilik khalifah yang mereka sukai tanpa ada paksaan. Rakyat pun berhak bahkan wajib mengkritik Khalifah kalau menyimpang dari Islam. Islam pun memuliakan aktivitas mengoreksi penguasa ini dengan sebutan sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad) dan dengan julukan—jika pelakunya terbunuh—pemimpin para syahada (sayyid asy-syuhadaa).
Dalam sistem politik ini rakyat diberi hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyuarakan pendapat; tentu bukan atas dasar kebebasan (liberalisme), namun berdasarkan hukum syariah. Sistem politik ini memberikan ruang bagi perbedaan pendapat sejauh masih dalam koridor akidah Islam dan hukum syariah. Karena itu, keberadaan mazhab-mazhab fikih yang berbeda akan dijaga oleh negara. Negara tidak akan berpihak pada mazhab tertentu atau mengadopsi mazhab. Sebab, Khilafah adalah negara bagi semua rakyat, apa pun mazhabnya.
Penjaminan hak-hak rakyat dalam Khilafah tampak dari keberadaan Majelis Umat. Inilah tempat para wakil umat dan para tokoh masyarakat dari berbagai kalangan (Muslim maupun non-Muslim) dari berbagai daerah berkumpul. Namun, mereka berkumpul bukan untuk membuat hukum seperti dalam sistem demokrasi, tetapi dalam rangka mengoreksi kebijakan penguasa. Majelis Umat ini juga menjalankan fungsi musyawarah; pendapat-pendapat mereka akan dijadikan masukan penting bagi Khalifah dalam menjalankan kebijakannya.
Secara ekonomi, kebijakan yang dijalankan Khilafah adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan). Rakyat didorong untuk bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Kalau belum terpenuhi, keluarganya wajib membantu. Kalau masih belum cukup, negara akan turun tangan. Tidak boleh ada individu rakyat yang mati kelaparan, atau hidup dalam kedingingan karena tidak memiliki pakaian dan rumah.
Adapun pendidikan dan kesehatan merupakan hak rakyat yang diperoleh secara gratis. Gratis bukan berarti asal-asalan. Pendidikan sebagai hak rakyat haruslah berkualitas. Kesehatan haruslah layak. Semua ini akan menciptakan ketenangan bagai masyarakat sekaligus meringankan beban ekonomi mereka karena rakyat akan fokus untuk berkerja untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis sekarang saat beban ekonomi rakyat terbesar justru terjadi akibat pendidikan dan kesehatan yang mahal.
Negara juga secara optimal menggunakan sumber-sumber pendapatan yang ada untuk kepentingan rakyat. Kepemilikan umum berupa barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah seperti emas, batu bara,perak, timah, tembaga, gas atau minyak akan dikelola negara dengan dengan baik untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diserahkan dan dimiliki oleh individu atau asing.
Dengan cara ini, pendapatan negara akan lebih dari cukup untuk melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan prinsip ini negara Khilafah akan menghentikan penjajahan Kapitalisme yang merampok kekayaan kaum Muslim atas nama investasi asing atau perdagangan bebas.
Meskipun demikian, dalam Islam kepemilikan individu tetap diakui. Bahkan negara Khilafah wajib memberikan jaminan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Dengan demikian sistem Islam tidak akan mematikan etos kerja dari rakyatnya; ditambah dengan dorongan takwa, justru akan lebih meningkat.
Negara Khilafah juga merupakan negara hukum. Setiap vonis untuk menyelesaikan persengkatan dan kejahatan harus melalui proses pengadilan. Hakim akan menjatuhkan hukuman berdasarkan syariah Islam dengan proses pembuktian dan saksi. Hukum dalam hal ini berlaku sama bagi siapa saja, rakyat atau penguasa, yang kaya maupun yang miskin, Muslim ataupun non-Muslim.
Terkait non-Muslim, negara menjamin tidak ada pemaksaan kepada mereka untuk memeluk agama Islam. Mereka juga diberi jaminan untuk beribadah berdasarkan keyakinan mereka, makan dan minum berdasarkan keyakinan mereka, termasuk berpakaian. Namun, dalam masalah ‘uqubat (sanksi hukum), muamalah (ekonomi, pendidikan, dll), hukum berlaku sama, yaitu hukum Islam. Mereka juga mendapatkan hak-hak yang sama dengan rakyat lainnya yang beragama Islam dalam jaminan kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Sekian tahun telah berlalu, berbagai sistem politik telah dicoba diterapkan di tengah umat Islam. Ada yang sosialis-komunis, ada model monarki, dan sebagai besar tentunya adalah kapitalis sekular. Tidak ada perubahan nyata di tengah-tengah umat. Semuanya telah gagal dalam segala aspek. Negeri Islam meskipun kaya dan jumlahnya penduduk besar menjadi negeri-negeri yang penduduknya miskin, tingkat pengangguran tinggi, terbelakang dalam sains dan teknologi. Negeri-negeri Islam diduduki, dirampas, dipecah-belah dan puluhan juta penduduknya menjadi korban.
Karena itu, sesungguhnya umat Islam tidak punya pilihan lain kecuali kembali pada sistem pemerintahan terbaik, yaitu Khilafah. [Farid Wadjdi]
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/06/khilafah-negara-terbaik/

Senin, 02 April 2012

MELAHIRKAN GENERASI ISLAMI DENGAN SISTEM ISLAM


Setiap umat atau bangsa yang menganut ideologi tertentu, dapat dipastikan menaruh perhatian besar kepada generasi muda mereka. Sebab, generasi muda itulah yang akan melestarikan ideologi yang mendasari seluruh cara hidup (the way of life) generasi masa sekarang (Taufiq Al-Hakim, Tsaurah As Syabab, hlm. 17; Usus At-Ta’lim Al-Manhaji, hlm. 7-8).

Demikian pula umat Islam yang menganut ideologi Islam. Sudah pasti mereka mempunyai perhatian besar pada lahirnya generasi muda Islami, yakni generasi yang mempunyai kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), baik dalam pola pikirnya (‘aqliyah) maupun dalam pola sikap dan perilakunya (nafsiyah). (Usus At-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 8).

 
Terdapat 3 (tiga) pihak yang bertanggung jawab untuk melahirkan generasi islami tersebut. Pertama: keluarga, yang menjadi wadah pertama pembentukan generasi islami melalui ayah dan ibu. Kedua: masyarakat, yang menjadi lingkungan (al-bi‘ah) tempat generasi Islami itu tumbuh dan hidup bersama anggota masyarakat lainnya. Ketiga: Negara Khilafah, yang bertanggung jawab melahirkan generasi islami sebagai bagian dari tugas negara untuk menjalankan sistem pendidikan serta sistem-sistem sosial lainnya yang terkait (Najah As Sabatin, Asasiyat Tarbiyah al-Athfal, hlm. 1; Fathi Salim, Bina‘ an-Nafsiyah Al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm. 22; Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad, I/33; Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9).




Tanggung Jawab Khilafah



Negara Khilafah bertanggung jawab untuk melahirkan generasi Islami itu melalui penerapan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1. Menerapkan Sistem Pendidikan Formal.
Sistem pendidikan merupakan metode utama dan langsung untuk melahirkan generasi islami. Tujuan sistem pendidikan adalah untuk menghasilkan generasi yang berkepribadian islami (syakhshiyah Islam), yang berbekal ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, baik ilmu keislaman (tsaqafah islam) maupun ilmu dalam cakupan sains dan teknologi. Negara menerapkan sistem pendidikan ini melalui sekumpulan UU syariah (qanun syar’i) maupun UU administrasi (qanun idari) yang terkait dengan pendidikan (Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9).


Sistem pendidikan dalam Negara Khilafah ada 2 (dua) macam. Pertama: sistem pendidikan formal (at-ta’lim al-manhaji), yaitu sistem pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan negara, baik diselenggarakan oleh negara maupun oleh swasta. Sistem pendidikan ini dilaksanakan secara berjenjang mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (at-ta’lim al-’aaliy). Kedua: sistem pendidikan non-formal (at-ta’lim ghayr al-manhaji), yaitu sistem pendidikan yang tidak tunduk pada peraturan negara dalam hal pengaturan pendidikan, misalnya pendidikan yang dilaksanakan di rumah, mesjid dan pesantren; juga berbagai forum seperti seminar, konferensi, pelatihan/training, dan sebagainya.
 

Meskipun sistem pendidikan non-formal tak tunduk pada peraturan negara, Khilafah tetap bertanggung jawab dan mengawasi materi yang diberikan, tidak berbeda dengan sistem pendidikan formal. Negara berkewajiban mengawasi agar materi yang diberikan tetap berupa ide yang lahir dari akidah Islam, seperti materi tauhid, fikih, tafsir, dan sebagainya; atau berupa ide yang dibangun di atas akidah Islam, yaitu meski tidak lahir dari wahyu tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan akidah, misalnya sains dan teknologi. Jika ada bagian sains dan teknologi yang bertentangan dengan Aqidah, seperti teori Evolusi Darwin, negara akan melarang pengajaran teori tersebut dalam berbagai lembaga pendidikan (Usus at-Ta’lim al-Manhaji, hlm. 9; Muqaddimah Ad Dustur, II/120).

Dengan demikian, negara akan menindak tegas sekolah atau lembaga pendidikan yang mengajarkan ide-ide yang bertentangan dengan Islam, misalnya ilmu-ilmu sosial dari Barat, seperti ekonomi, sosiologi, psikologi; juga berbagai ide dan filsafat Barat seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, marxisme, eksistensialisme, utilitarianisme, pragmatisme, darwinisme, dan sebagainya; kecuali jika materi-materi seperti itu diajarkan dalam level pendidikan tinggi dan diajarkan bukan untuk diyakini, melainkan sekadar untuk diketahui serta dijelaskan kekeliruandan pertentangannya dengan Islam (Muqaddimah Ad Dustur, II/168).
 

Beberapa Prinsip dalam Penyelenggaraan Pendidikan Formal oleh Daulah Khilafah adalah Sebagai Berikut:
a.    Pendidikan untuk Semua
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Besarnya perhatian terhadap pendidikan ditunjukkan oleh Rasulullah ketika menetapkan tebusan bagi tawanan perang Badar dengan mengajar membaca sepuluh anak Muslim. Berdasarkan segmen peserta didik, saat ini terdapat dua jenis pendidikan, yakni pendidikan untuk kalangan orang berada dan pendidikan untuk masyarakat umum.
Daulah Khilafah tidak akan menyelenggarakan pendidikan secara diskriminatif. Pendidikan bebas bea yang bermutu dari tingkat dasar hingga menengah akan disediakan untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, mazhab, ras, suku bangsa maupun jenis kelamin. Untuk pendidikan tinggi, Daulah Khilafah akan menyediakan sesuai kemampuan


b.    Membangun Kepribadian yang Islami
Dalam Daulah Khilafah, pendidikan akan diselenggarakan dengan dasar akidah Islam yang tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum, dan silabi serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).
Pendidikan harus diarahkan bagi terbentuknya kepribadian Islam anak didik dan membina mereka agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta tsaqafah Islam. Pendidikan juga harus menjadi media utama bagi dakwah dan menyiapkan anak didik agar kelak menjadi kader umat yang akan ikut memajukan masyarakat Islam. Kebijakan pendidikan seperti ini berlaku umum pada sekolah negeri maupun swasta. Allah SWT. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. at-Tahrim [66]: 6)

 

c.    Meningkatkan Keahlian dalam Seluruh Bidang Kehidupan
Melalui pendidikan, Daulah Khilafah akan memastikan bahwa warga negaranya mampu menguasai berbagai bidang keahlian yang diperlukan untuk kemajuan masyarakat. Secara garis besar, seperti yang disebut oleh Imam Ghazali, ilmu pengetahuan dapat dikategorikan menjadi dua, yakni ilmu kehidupan dan tsaqafah Islam.
 

Berkaitan dengan tsaqafah Islam, negara akan mendidik anak-anak agar dapat menguasai tsaqafah Islam seperti fiqih, tafsir, ulumul Quran dan hadits dan lainnya. Berkaitan dengan ilmu kehidupan, Daulah Khilafah akan mengarahkan agar putra-putri umat Islam unggul dalam berbagai bidang pengetahuan dan teknologi seperti teknik mesin, ilmu kimia, fisika, kedokteran, dan sebagainya. Rasulullah saw. mengatakan:
“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” (Hr. Muslim) 

Dari sistem pendidikan yang bermutu tinggi di masa lalu lahir pribadi-pribadi istimewa yang mampu menjadi pemimpin politik dan pemerintahan serta militer sepertAbu Bakar ra, Khalid bin Walid ra, dan Shalahuddin al-Ayyubi. Pada saat yang sama, lahir pula sosok-sosok yang luar biasa seperti Imam Abu Hanifah dan al-Khuwarizmi yang ahli dalam ilmu fikih maupun cabang ilmu tsaqafah Islam yang lain
 

d.    Pendidikan Bahasa
Bahasa Arab memegang peranan penting dalam kehidupan umat Islam. Bahasa Arab adalah bahasa al-Quran dan hadits; bahasa dalam ibadah shalat, juga bahasa internasional, khususnya untuk dunia Islam. Seorang qadhi (hakim) tidak akan mungkin bisa berijtihad tanpa memahami bahasa Arab. Maka, dalam Daulah Khilafah Bahasa Arab akan menjadi bahasa resmi negara. Pengajaran bahasa Arab menjadi bagian dari kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Sementara, bahasa asing boleh diajarkan untuk kepentingan dakwah dan demi melancarkan urusan umat Islam, di antaranya untuk menerjemahkan buku-buku pengetahuan yang diperlukan oleh masyarakat.
 

e.    Metode Pengajaran yang digunakan Adalah Untuk Membangkitkan Kecerdasan dan Memperbaiki Perilaku
Metode belajar mengajar harus dibuat sedemikian rupa agar mampu membangkitkan kecerdasan dan mengubah perilaku yang buruk menjadi lebih baik. Metode belajar dengan cara menghafal harus diterapkan secara tepat, karena metode ini bila salah penerapan bisa mengekang kecerdasan anak didik karena kemampuan berfikir anak tidak terasah. Ketika mengajarkan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan pandangan hidup, para guru wajib menanamkan pandangan hidup Islam dan menjadikan syariah Islam sebagai tolok ukur perbuatan, serta menanamkan rasa suka dan benci sesuai sudut pandang Islam. Dengan cara ini diharapkan anak didik akan dapat terdorong untuk berpikir dan bersikap sesuai dengan petunjuk wahyu. 

Sementara ketika mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak terkait dengan pandangan hidup tertentu, seperti ilmu fisika, matematika, kimia atau teknik, kedokteran, dan ilmu lainnya, para guru mendorong anak didik mempelajarinya sebagai bagian dari ibadah dan demi kemaslahatan umat serta dan keridhaan Allah SWT. Dalam al-Quran, Allah SWT. Berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (Qs. al-Qashash [28]: 77)

f.    Pendidikan Tinggi
Ada karakter khusus dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berbeda dengan jenjang pendidikan sebelumnya. Kalau jenjang pendidikan sebelumnya lebih bertujuan ke arah membangun profil anak didik, maka pendidikan tinggi dalam Daulah Khilafah bertujuan:
1.    Melakukan Tarkiiz (penancapan) profil kepribadian Islam secara intensif agar mahasiswa bisa menjadi PEMIMPIN dalam MEMANTAU & MENGATASI:

i.    Permasalahan mendasar dan krusial masyarakat (qadhaya mashiriyah: permasalahan yang diharuskan atas kaum Muslimin untuk menyelesaikannya dengan resiko hidup atau mati)
ii.    Persoalan umum yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari 2.    Mencetak para pemimpin umat yang benar-benar berkepribadian Islam, kompeten, dan siap menerapkan Islam, melindungi dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia.
3.    Menghasilkan himpunan ulama sekaligus ilmuwan dan para ahli di berbagai bidang, seperti kedokteran, teknik, pertanian, guru, hakim atau ahli syariah dan bidang lain yang mampu mengurus kemaslahatan hidup umat melalui penyusunan rancangan strategis jangka pendek dan jangka panjang, yang siap dijalankan negara (Khilafah), dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
4.    Mempersiapkan individu yang akan menjadi pelaksana praktis dan pengelola urusan umat: para hakim (qadhi), dokter, insinyur, guru, dsb.
5.    Pendidikan tinggi juga diselenggarakan untuk tujuan menghasilkan peneliti yang mampu melakukan inovasi di berbagai bidang yang memungkinkan umat ini mengelola hidupnya secara mandiri.
6.    Di samping itu, pendidikan tinggi juga bertujuan membangun ketahanan negara dari ancaman disintegrasi dan berbagai ancaman lain dari luar negeri.
Untuk kepentingan tersebut, Khilafah akan mendirikan perguruan tinggi dalam berbagai bentuknya (universitas, institut,sekolah tinggi, akademi atau lainnya) lengkap dengan pusat-pusat penelitian, laboratorium, perpustakaan dan sarana lain sesuai dengan kebutuhan. Dengan cara ini ketergantungan umat Islam kepada negara-negara kolonialis bisa dihindari. Dengan cara ini pula, maka kemaslahatan masyarakat dan negara tidak akan jatuh dibawah pengaruh dan kendali asing, sekecil apapun bentuknya.
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 141)
Perlu dicatat, pendidikan tinggi dengan program studi apapun tetap akan mengajarkan tsaqafah Islam kepada para mahasiswa. Pengajaran tsaqafah Islam di dalam pendidikan tinggi ini bertujuan agar kelak ketika mereka menjadi pemimpin benar-benar memahami Islam dan memiliki bekal tsaqafah yang mencukupi, sehingga bisa mengurus kepentingan rakyatnya dengan baik, apa pun bidang yang dia tekuni.

2. Menerapkan Syariah Islam Secara Umum.
 

Negara bertanggung jawab menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan (nizham ijtima’i), sistem pidana (nizham uqubat), dan sebagainya.
 

Penerapan syariah ini secara tidak langsung juga menjadi cara untuk membentuk generasi yang islami. Misalkan, sistem pendidikan formal yang cuma-cuma kepada seluruh rakyat. Kebijakan negara ini akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh rakyat, termasuk anak-anak dan remaja, untuk menikmati pendidikan gratis dan berkualitas dari negara (Muqaddimah Ad Dustur, II/173).
 

Contoh lain, sistem ekonomi yang diterapkan negara akan memberikan bantuan harta kepada kaum fakir dan miskin, baik melalui pembagian harta zakat maupun harta selain zakat. Maka dari itu, para pemuda yang miskin yang tidak mampu menikah karena tak punya harta untuk membayar mahar akan mempunyai kesempatan untuk menikah. Jadi penerapan hukum zakat ini akan berkontribusi besar menjaga moralitas generasi muda karena mereka akan terhindar dari perbuatan tercela seperti zina akibat ketidakmampuan ekonomi. (Muqaddimah Ad Dustur, II/7-8).
 

Contoh lain, dalam sistem pemerintahan, akan ada departemen khusus yang menangani media massa, yaitu Departemen Penerangan (jihaz al-i’lam). Tugasnya antara lain mengawasi segala bentuk media massa dalam negara Khilafah. Lembaga negara inilah nanti yang akan menjalankan fungsi pengawasan tersebut yang menjamin generasi Islami tetap aman dari segala pengaruh media massa yang negatif dan destruktif, seperti situs-situs porno, dan sebagainya. (Muqaddimah ad-Dustur, II/291).
 

Contoh lain, dalam sistem pergaulan (nizham ijtima’i), negara akan menerapkan wajibnya infishal, yaitu pemisahan komunitas laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan khusus seperti di rumah, maupun dalam kehidupan umum seperti di sekolah dan jalan raya. Hanya kondisi-kondisi tertentu saja yang dibolehkan untuk ikhtilath, seperti saat bersilaturahmi antarkerabat, berjual-beli di pasar, beribadah haji (seperti tawaf), dan sebagainya. Peraturan ini tentu akan sangat kondusif untuk melahirkan generasi islami yang salih dan salihah, karena akan menghindarkan mereka dari pergaulan bebas dan liar ala Barat seperti sekarang ini (Muqaddimah ad-Dustur, I/321).

3. Mewujudkan Lingkungan Islami.


Negara Khilafah bertanggung jawab untuk mewujudkan lingkungan yang baik (al-bi‘ah as-shalihah) bagi generasi muda umat Islam. Hal ini karena lingkungan berpengaruh besar terhadap individu yang hidup di dalamnya. Lingkungan yang buruk dapat merusak individu-individu yang baik, sebaliknya lingkungan yang baik dapat memperbaiki individu-individu yang buruk. (Fathi Salim, Bina‘ an-Nafsiyah Al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm.13).
 

Negara melakukan tanggung jawabnya untuk membentuk lingkungan Islami ini dengan mengawasi 2 (dua) hal. Pertama: kebiasan atau adat-istiadat yang berlaku di masyarakat (‘urf ‘am). Kedua: pendapat umum yang berkembang di masyarakat (ra`yu ‘am) (Fathi Salim, Bina` an-Nafsiyah al-Islamiyah wa Tanmiyatuha, hlm. 22-23).
 

Maka dari itu, negara akan melarang berbagai kebiasaan yang bertentangan dengan Islam yang merusak proses pembentukan generasi islami. Misalnya adanya geng-geng di lingkungan kampung atau sekolah, termasuk geng motor yang marak belakangan ini. Negara juga akan mengawasi dan menindak komunitas hobi, seperti perkumpulan musik, perkumpulan olah raga, jika aktivitasnya bertentangan dengan syariah islam.
 

Negara juga akan melarang berbagai kafe, bar, klub, atau lokasi-lokasi wisata, seperti hotel dan pantai; juga berbagai play station, warung internet (warnet) dan sebagainya yang umumnya menjadi tempat kumpulnya anak muda jika di tempat-tempat tersebut terjadi penyimpangan syariah, seperti membolos dari sekolah, beredarnya minuman keras, adanya transaksi narkoba, aktivitas pacaran, dan semisalnya.
 

Negara pun akan melakukan pengaturan dan pengawasan media massa seperti koran, majalah, buku, tabloid, televisi, situs internet, termasuk juga sarana-sarana hiburan seperti film dan pertunjukan, berbagai media jaringan sosial seperti Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tujuan pengawasan ini agar semua sarana itu tidak menjadi wahana penyebarluasan dan pembentukan opini umum yang dapat merusak pola pikir dan pola sikap generasi muda Islam (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Wasa’il al-I’lam fi ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 6-7).

4. Menerapkan Sanksi Hukum.


Negara Khilafah akan memberlakukan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) yang tegas sebagai upaya kuratif terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran syariah, baik sanksi itu berupa hudud, jinayat, mukhalafat maupun ta’zir. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 17-21).
 

Penerapan sanksi-sanksi hukum oleh negara ini juga merupakan upaya kuratif untuk melahirkan generasi islami. Sebab, upaya preventif bisa jadi masih dilanggar juga. Maka dari itu, maka hukum-hukum syariah yang bersifat kuratif ini akan memainkan perannya secara efektif. Sebagai contoh, Islam telah mengharamkan zina; juga mengharamkan perbuatan-perbuatan yang dapat menghantarkan zina, seperti khalwat (berduaan dengan lain jenis). Ini hukum preventif. Namun, kalau hukum ini masih dilanggar juga, sanksi syariah sebagai hukum kuratif mau tak mau akan diterapkan. Mereka yang berzina akan dijatuhi hukuman cambuk 100 kali cambukan jika yang berzina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2). Khalifah boleh menambah hukuman ini dengan hukuman pengasingan (taghrib) selama satu tahun. Adapun jika yang berzina sudah muhshan, hukumnya dirajam sampai mati, berdasar hadis-hadis Nabi saw. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 27-29). Contoh lain, Islam telah mengharamkan homoseksual. Islam juga mengharamkan dua orang laki-laki tidur di bawah satu selimut. Ini hukum preventif. Namun, kalau ada laki-laki yang tetap nekat melakukan perbuatan homoseksual, maka syariah memberikan hukuman tegas sebagai hukum kuratif, yaitu menjatuhkan hukuman mati (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 40).
 

Demikianlah, negara Khilafah akan menerapkan sanksi-sanksi syariah (al-‘uqubat) ini bagi siapa saja yang melanggar syariah Islam. Maka penerapan sanksi ini diyakini akan dapat turut melahirkan generasi islami yang bermoral. Sebab, di balik sanksi-sanksi yang tegas itu sebenarnya tersembunyi suatu hikmah yang baik, yaitu menimbulkan efek jera (zawajir) di kalangan masyarakat luas, sehingga individu masyarakat (termasuk kaum mudanya) tidak berani melakukan pelanggaran syariah, seperti berzina atau melakukan liwath (homoseksual).

Penutup
 

Demikianlah gambaran ringkas bagaimana tanggung jawab negara Khilafah dalam upayanya untuk melahirkan generasi Islami. Hanya dalam negara Khilafah sajalah, berbagai tanggung jawab tersebut akan dapat dilaksanakan. Tanpa Khilafah, tak akan ada pihak yang bertanggung jawab untuk melahirkan generasi Islami yang kita harapkan, kecuali institusi keluarga.
 

Memang dalam negara demokrasi yang sekuler dan liberal ini masih bisa lahir generasi Islami, tetapi itu hanyalah anomali. Kebanyakan generasi muda umat Islam saat ini akan mudah sekali terjerumus menjadi generasi yang bejat dan amoral, akibat tiadanya Khilafah dan pengaruh destruktif negara demokrasi-sekular saat ini.
 

Walhasil, sistem demokrasi-sekular ini wajib kita hancurkan dan kita ganti dengan Khilafah. Kalau tidak, generasi muda Islamlah yang justru akan hancur. WalLahu a’lam.

Senin, 20 Februari 2012

Mempertanyakan Kesahihan Pendidikan Kespro dalam Penanggulangan Seks Bebas

Pergaulan bebas rupanya masih menjadi bagian dari kehidupan remaja di negeri muslim ini.  Di tengah keinginan menyelamatkan para remaja dari pergaulan bebas, sebuah video pesta seks pelajar  justru beredar baru-baru ini. Kali ini terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Dalam video tersebut terdapat tujuh anak laki-laki serta dua perempuan melakukan pesta mesum di hutan Semampir, Desa Semugih Rongkop.  Diduga kuat peristiwa itu diabadikan dengan kamera ponsel oleh salah satu pelaku (Kompas.com, 01/02/2012).


Sebagaimana yang sudah-sudah, merebaknya seks bebas di kalangan remaja (pelajar) selalu mengingatkan pada sebuah program yang kini giat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan, yaitu pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).  Dalam kasus ini pula, salah seorang pemerhati sosial Gunung Kidul, Tri Asmiyanto, berpendapat bahwa pemerintah setempat seharusnya lebih berperan dengan pemberian pelajaran kesehatan produksi (kespro) bagi pelajar dan harus diberikan secara tuntas di sekolah.

Mengapa pada setiap kasus seks bebas remaja selalu memunculkan solusi pendidikan KRR?  Benarkah seks bebas remaja dapat ditanggulangi dengan pendidikan kespro?  Atau dengan kata lain, benarkah jika mereka telah memahami pendidikan kesehatan reproduksi ini lantas mereka manjauhi perilaku gaul bebas dan free seks?  Mengapa seiring dengan digulirkannya program pemerintah ini justru angka kejadian tindakan tak senonoh itu makin tinggi?  Dengan demikian, sejauh mana efektivitasnya?  Jika memang tidak efektif, apa yang sebenarnya diperlukan para remaja agar terhindar dari perilaku seks bebas tersebut?


Gaul Bebas, Persolaan Ideologis

Semua kalangan tentu sepakat bahwa pergaulan bebas, termasuk perzinahan adalah tindakan kotor dan merusak.  Apalagi di kalangan remaja - masa yang semestinya tidak memikirkan persoalan tersebut apalagi melakukannya, karena mereka seharusnya disibukkan oleh padatnya kegiatan belajar di sekolah dan berbagai aktivitas yang menyertainya.  Kenyataannya, banyak dari mereka yang terjerumus pada jebakan syaitan ini.
Bila dicermati, perilaku menyimpang remaja ini tentu tidak lepas dari semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab membentuk perilaku baik pada remaja.  Mereka itu adalah orang tua (keluarga), sekolah (masyarakat) dan negara.  Ketika tatanan kehidupan yang ada pada keluarga, sekolah atau masyarakat bahkan negara menyimpang jauh dari yang seharusnya, maka bisa dipastikan perilaku remaja pun akan menyimpang.  Dan kini, sekulerisme, kapitalisme dan turunannya yaitu liberalisme betul-betul telah menyatu dengan pola pendidikan yang diberikan oleh ketiga pihak tersebut kepada para remaja.
Kini, semakin banyak keluarga yang sekuler, cenderung berlepas tanggung jawab dalam membina ketaatan para remaja kepada Sang Khalik.  Berbekal minimnya pembinaan ketaatan dari keluarga, mereka pun memasuki dunia pendidikan di sekolah yang juga tak memberinya cukup imunitas terhadap derasnya serangan budaya kufur (pergaulan bebas).  Apalagi , kini sekolah sudah semakin kapitalis dengan kecenderungannya menitik beratkan aspek kognitif dan kemampuan akademis serta mengabaikan target-target pembentukan kepribadian dan perilaku shalih pada peserta didik.

Di sisi lain, negara selaku penyelenggara berlangsungnya kehidupan bermasyarakat tak punya nyali untuk memberantas serangan virus-virus jahat.  Pornografi dan pornoaksi belum juga terbendung.  Berbagai sarana dan tempat maksiyat bagi kebiasaan gaul bebas tumbuh subur tak tersentuh racun pembasmi.  Sanksi pun tak pernah membuat jera pelaku, apalagi mencegah pelaku lain untuk meninggalkan perbuatan buruknya.
Tatkala penjagaan dari ketiga pihak itu pun lemah, maka remaja benar-benar harus berhadapan dengan ideologi sesat dan sistem hidup yang rusak.  Kehidupan mereka semakin liberal, tak terkecuali saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis.  Dorongan seksual yang tak terbendung, sementara kontrol diri mereka lemah, ditambah lingkungan yang mendukung, benar-benar telah memuluskan jalan bagi tindakan bejat ini.  Oleh karenanya, selama sekulerisme, kapitalisme dan liberalisme ada di sekitar mereka, maka pergaulan bebas akan subur berkembang. Inilah akar persoalannya, pergaulan bebas adalah buah dari liberalisme, paham kehidupan yang menjauhkan perilaku remaja dari pengaturan syariat Islam.

Berbagai keprihatinan bukan tidak banyak diungkapkan, berbagai upaya penanggulangan pun bukan tidak pernah dilakukan.  Namun sayang, semua itu belum membuahkan hasil yang nyata karena belum menyentuh akar persoalannya yaitu pandangan hidup sekuler, kapitalis dan liberalis.  Inilah persoalan utama yang seharusnya menjadi perhatian semua pihak tatkala hendak mencari solusi bagi masalah yang semakin rumit ini.  Masalah pergaulan bebas adalah persoalan ideologi (pandangan hidup).  Maka solusi dari semua persoalan ini tentu haruslah menyentuh pandangan hidup, baik yang diemban keluarga, sekolah (masyarakat) maupun negara.  Dari sini, akan nyatalah kesahihan dan efektivitas solusi yang diambil.


Menyoal Pendidikan Kespro Remaja (KRR)

Selama statistik kejadian seks bebas di kalangan remaja meningkat, berbagai program yang telah dicanangkan pun layak mendapat sorotan, sejauh mana efektivitasnya.  Pemerintah Republik Indonesia telah memaklumkan pentingnya kesehatan reproduksi remaja, setidaknya hal ini sudah tertuang dalam Propenas 2001.  Pendidikan kesehatan reproduksi remaja pun mulai digencarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sebagai upaya untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang kesehatan reproduksi remaja.

Kekhawatiran pun telah mulai muncul, terutama begitu melihat konten pendidikan KRR yang biasa disampaikan.  Diantaranya adalah konsep ABCD (Abstinensia, Be faithful, use Condom, no Drug) yang berpeluang besar disalahgunakan remaja.  Konsep ini memang dirancang agar remaja tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, setia dengan pasangan, menggunakan kondom agar terhindar dari penyakit menular seksual, dan menghindari obat terlarang sebagai sarana penularan penyakit.  Intinya, remaja harus memiliki perilaku seksual yang bertanggung jawab.  Memang, program tersebut terkesan baik dan menjanjikan perbaikan bagi perilaku seksual remaja.  Namun, bernarkah?

Jika ditelusuri dalam implementasinya barulah nampak bias dari tujuan yang dikehendaki.  Dalam berbagai bentuk dan sarana penyampaiannya, pendidikan KRR selalu diawali dengan mengajak remaja untuk memahami proses pubertas yang mereka alami, dengan berbagai perubahan yang terjadi pada tubuh (fisik), mental dan libido mereka. Intinya bahwa eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh remaja, karena kondisi libido mereka yang memang sedang tinggi-tingginya. Namun agar tidak sampai terjatuh pada resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan atau tertular penyakit menular seksual, maka perilaku seksual mereka haruslah senantiasa ‘aman’ dan ’sehat’.  Dari sisi inilah “konsep ABCD” diperlukan. Dengan konsep ini, maka remaja tidak bisa disalahkan jika mendapati dirinya harus bereksplorasi seksual asal dilakukan secara bertanggung jawab.

Dalam konsep atau kampanye ABCD, maka A adalah Abstinensia, artinya bahwa mereka tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah.  Ini tentu bukan kampanye yang salah.  Andaikan konsep ini hanya berhenti pada huruf A, tak ada masalah.  Sayangnya, mereka melanjutkannya dengan konsep B, C, dan D.

Adapun B berarti Be faithful atau setialah. Maksudnya, hubungan seksual baru aman jika dilakukan dengan pasangan yang setia (tidak gonta-ganti pasangan).  Bagi para remaja, kampanye ini tentu sangat menyesatkan, karena kebanyakan mereka memang belum menikah.  Dengan konsep ini, mereka akhirnya merasa memiliki jalan untuk melakukan aktivitas seksual secara ‘aman dan bertanggung jawab’ yaitu asal setia dengan pasangan (pacarnya).

Belum lagi bila hal itu ditambah dengan konsep C (use Condom), yaitu menggunakan kondom.  Dikehendaki, dengan alat ini hubungan seksual akan terhindar dari kehamilan tak diinginkan dan penularan penyakit seksual (dual protection).  Dengan kondom pula, mereka malahan merasa lebih aman untuk melakukan hubungan seksual meski dengan berganti-ganti pasangan.  Jelaslah bahwa program kondomisasi hanya akan membuat remaja semakin berani, ‘nyaman dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ‘nyaman dan aman’ tersebut adalah semu. Sebab, seks bebas tak akan pernah aman dari murka Allah SWT meskipun menggunakan kondom.

Adapun D (no Drug) menghendaki remaja agar menghindari obat terlarang.  Meski kampanye ini tidak salah, namun pada tataran solusi bagi yang sudah terinfeksi kecanduan obat, penanganan yang diberikan tidak menuntaskan masalah, malah membawa persoalan baru. Seperti dengan pembagian jarum suntik steril, obat-obatan substitusi (pengganti) narkoba, dan lain-lain yang masih berdampak buruk bagi remaja dan perilaku seksualnya.

Intinya, pendidikan KRR sesungguhnya hingga kini belum menampakkan efektivitasnya.  Adapun Barat yang konon telah menjalankan pendidikan semacam ini dan diklaim terjadi perubahan perilaku seksual remaja, perubahan tersebut sebenarnya tidak otomatis menunjukkan tingkat keberhasilan program ini.  Sebab, kita semua tentu mengetahui rusaknya kehidupan seksual remaja di Barat yang telah mencapai klimaknya akibat sistem kehidupan liberal yang berlaku.  Titik jenuh itulah yang membuat remaja berpikir ulang untuk mencari bentuk pelampiasan seksual yang lebih aman.  Namun, tetap saja perubahan tersebut tidak mengarah pada perilaku seksual yang benar dan diajarkan agama.  Mereka bukan meninggalkan seks bebas sama sekali, namun mereka hanya menggantinya dengan seks yang ‘bertanggung jawab’.

Sementara di Indonesia, dengan tingkat pendidikan seksualitas yang rendah, komoditas seksualitas masih menjadi barang yang banyak diminati semua kalangan, bahkan anak kecil.  Oleh karena itu, meski bertujuan baik, pendidikan KRR yang sarat dengan muatan materi seksualitas kerap menjadi ajang remaja membicarakan persoalan ini di antara mereka.  Yang terjadi justru munculnya rangsangan seksual akibat pemikiran, ditambah fakta-fakta yang banyak mereka jumpai di sekitarnya.

Meski mereka telah memiliki pemahaman tentang kesehatan reproduksi, tingginya gejolak nafsu yang tanpa diimbangi kekuatan taqwa kepada Allah SWT kerap mengantarkan remaja pada perbuatan maksiyat (zina).  Inilah yang selama ini menjadi sorotan banyak pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan KRR yang diajarkan di lembaga pendidikan.  Mengapakah pendidikan seksual (sebutan yang lebih pantas daripada KRR) semata-mata mengajarkan agar hubungan seks berlangsung aman dan bertanggung jawab?

Tak hanya sisi seksualitas yang menonjol dalam pendidikan semacam ini.  Namun, target-target dan metode penyampaiannya pun jauh dari upaya mendobrak akar liberalisme pergaulan remaja.  Lebih-lebih aspek normatif yang digunakan tidaklah berbasis akidah yang bisa melahirkan keyakinan dan dorongan untuk bersikap.  Dalam keadaan seperti ini, tak jarang dijumpai peserta didik yang mengetahui masalah seks bebas, bahaya dan resikonya, namun mereka tidak memiliki dorongan yang kuat untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut.  Semua ini terjadi karena pendekatan yang digunakan bukan pendekatan ideologis.  Dengan demikian, pendidikan KRR memang layak dinyatakan tidak efektif hingga seharusnya diganti dengan pendidikan berperilaku berbasis akidah Islam.


Islam Menuntaskan Pergaulan Bebas

Sesungguhnya syariat Islam memiliki sejumlah aturan yang berkaitan dengan penanaman pemahaman agar setiap muslim (termasuk remaja) bertanggung jawab atas kehormatan dirinya (QS. An Nuur [24] : 30-31) .  Hukum Islam juga mengatur apa yang mesti dilakukan remaja bila kebetulan libido mereka muncul, sabda Rasulullah SAW: “Yaa ma’syara Asysyaabaabi manistathoo’a minkum alba-ata falyatazawwaj faiinahu aghadhdhu lilbashari wa ahshanu lilfarji wa man lam yastathi’ fa’alaihi bi ashshawmi fainnahu lahu wijaaun”(muttafaq ‘alaihi) yang artinya: “wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah.  Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.” Islam bahkan mengatur kehidupan masyarakat agar interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan umum dan khusus tidak menimbulkan rangsangan seksual. Semua itu tercakup dalam hukum-hukum pergaulan dalam Islam.
Aturan Islam tersebut juga mengatur bagaimana rangsangan seksual boleh diimunculkan (yaitu dalam hubungan pernikahan) dan menjaga dari perilaku dan segala hal yang memunculkan rangsangan seksual.  Dengan penerapan aturan ini maka kehidupan remaja akan jauh dari pergaulan bebas.  Oleh karena itu, solusi bagi meningkatnya kasus pergaulan bebas remaja sebenarnya adalah dengan menerapkan hukum-hukum pergaulan Islam.

Di sisi lain, jika negara memiliki kapasitas menerapkan hukum Islam dalam semua persoalannya, tentu kemunculan kasus pergaulan bebas akan segera diminimalisir.  Diantaranya adalah melalui sanksi yang tegas dan kebijakan yang mengikat baik bagi pelaku seks bebas maupun para pemilik modal yang mendapatkan keuntungan dari bisnis seks ini.  Selama ini, kebijakan setengah hati inilah yang  membuat pelaku khilaf karena berbagai sarananya bertebaran di mana-mana.  Memblokir situs porno, menjatuhkan sanksi tegas pengedar pornografi dan pelaku pornoaksi, menghentikan kondomisasi dan lokalisasi miras maupun PSK, hingga kebijakan pendidikan yang integral dengan aqidah dan hukum syariat Islam, adalah hal-hal yang seharusnya menjadi prioritas utama negara untuk menyelesaikan persoalan ini.

Sembari berharap perubahan kebijakan yang signifikan dari negara, tentunya upaya preventif yang dilakukan oleh pihak terdekat dengan remaja harus tetap dilakukan.  Keluarga sebagai benteng terakhir pembinaan remaja di rumah selayaknya mengambil peran lebih.  Mereka berkewajiban memberikan pemahaman ke-Islaman yang kuat kepada anak-anak remaja sekaligus mengawasi perilaku dan mendorong para remaja untuk terlibat dalam berbagai aktivitas produktif.  Semua itu diharapkan dapat menyalurkan energi remaja yang tinggi dan menghindarkan dari pelampiasan energi secara keliru.  Orang tua tak perlu latah ikut-ikutan memberikan pendidikan seks yang justru hanya akan menggairahkan rangsangan seksual remaja.


Penutup

Sungguh bangsa ini akan tetap terpuruk manakala generasi mudanya masih bersimbah lumpur kehinaan akibat pergaulan bebas.  Remaja hanyalah salah satu korban dari bercengkeramnya ideologi kufur sekulerisme dan turunannya (liberalisme).  Oleh karena itu, satu-satunya cara menyelamatkan mereka adalah dengan mencabut akar ideologi kufur tersebut dan menanamkan ideologi Islam yang terbukti shohih dan membawa kebaikan bagi manusia di dunia dan akhrat.  Semoga kita semua kian menyadari pentingnya kembali kepada negara Islam yang manjadikan ideologi Islam tersebut sebagai satu-satunya pengatur kehidupan manusia.  Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin. []

Oleh: Noor Afeefa
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/02/16/mempertanyakan-kesahihan-pendidikan-kespro-dalam-penanggulangan-seks-bebas/