Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Selasa, 26 Juli 2011

Anak Aset Peradaban

“Zaman sekarang punya anak banyak itu berat. Lebih baik punya anak dua tapi berkualitas, dari pada punya anak empat atau enam tapi kita tidak mampu membiayai pendidikannya secara layak!” Ungkapan senada kerap kita dengar di tengah masyarakat. Sebuah indikasi bahwa umumnya masyarakat hanya berani berinvestasi dengan dua anak dari pada empat, lima, apalagi sepuluh anak! Kenapa?
Banyak Anak Merepotkan?
Saat ini, banyak pasangan keluarga muda di Indonesia memiliki pandangan bahwa punya anak itu cukup dua saja. Anak tiga saja sudah kebanyakan. Ada berbagai faktor mereka berpandangan demikian. Diantaranya karena merasa repot mengurusnya, berat membiayai  hidupnya, takut tak bisa menyekolahkannya, khawatir tidak bisa mendidiknya, kesibukan ibu kerja, atau pertimbangan umur karena nikah telat.
Yati (30 tahun), ibu dua anak yang masih balita mengungkapkan keluhannya: “Udah ah, nggak mau nambah anak lagi, ngurus dua anak saja repot banget, berantem melulu, nggak kebayang kalau tambah lagi, bisa stress!”.
Lain lagi dengan Ibu Kris (35 tahun), dua anaknya sudah beranjak dewasa. Merasa kesepian ketika ditinggal sekolah anak-anaknya, Ibu Kris masih berharap punya bayi lagi. “Bisa untuk hiburan”, demikian tuturnya. Namun, suami Ibu Kris tak sepakat. Tak jelas kenapa, tetapi Ibu Kris menduga suaminya yang PNS mungkin mempertimbangkan gaji yang hanya cukup untuk membesarkan dua anaknya. “Suami saya ingin kalau nanti sudah pensiun, dua anak kami sudah selesai kuliah semua, dan ingin lebih banyak ibadah saja”, demikian bu Kris mengaminkan harapan suaminya.
Kenyataan ini berbeda dengan orang tua di era tahun 60/ 70-an. Mereka memegang pesan yang diwariskan orang tuanya dulu. “Banyak anak banyak rejeki!” begitu kata orang tua dulu. Itu sebab mereka tak pernah takut punya anak banyak, tak khawatir tidak dapat memberi makan, dan tak mengeluh direpotkan oleh anak-anaknya yang nakal. Bahkan, keikhlasannya menerima anugerah anak banyak, menyebabkan tangannya tak pernah berhenti bertengadah, mendo’akan anak-anaknya kelak menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan negaranya.
Perbedaan presepsi, ketrampilan mengurus dan mendidik anak, serta keyakinan terhadap jaminan rejeki Allah kepada setiap anak, menjadi kunci bagi orang tua memandang bahwa punya anak banyak akan merepotkan atau tidak. Dari ketiga faktor ini ada orang tua yang secara sadar atau tidak memandang bahwa punya anak itu adalah harapan sekaligus ancaman. Namun, dengan pemahaman agama yang benar, akan membimbing kita untuk memandang bahwa anak adalah anugerah, amanah dan aset masa depan Islam.

Kepunahan Generasi
Terlalu sempit bila orang berpikir bahwa anak hanyalah aset bagi masa depan keluarganya saja. Seolah anak hanya dijadikan sebagai simbol pewaris kekayaan, martabat, kehormatan dan tahta sebuah keluarga atau marga. Bila demikian, maka spirit untuk memiliki keturunan didasarkan pada keinginan individu disesuaikan dengan kondisi keluarganya saja. Sehingga, eksistensi anak dipandang sekedar sebagai penerus tradisi keluarga. Di zaman arus globalisasi tanpa batas dan sikap individualisme yang semakin nyata di masyarakat, tentu spirit ini sangat rentan dan bisa berdampak terhadap punahnya sebuah generasi.
Terbukti di beberapa negara maju kini tengah menghadapi krisis populasi. Austria, Swedia, dan beberapa Negara Eropa Barat mengalami apa yang dinamakan The Ageing of Europe. Jumlah penduduknya akan didominasi orang-orang usia lanjut. Rendahnya angka kelahiran di Negara-negara tersebut menimbulkan persoalan kurangnya generasi muda dan tenaga kerja usia produktif. Austria misalnya, pada tahun 2030 membutuhkan tenaga kerja imigran sebesar 100.000 di bidang sosial dan kesehatan.
Sebuah lembaga riset di Jepang menyatakan bahwa populasi di Jepang akan berkurang sepertiga pada tahun 2050. Dan pada tahun 2105 jumlah orang Jepang di dunia tinggal 44 juta. Total rasio kelahiran yang terus merosot (1,37 di tahun 2008), jauh dari rasio pertumbuhan penduduk yang dapat mendukung kestabilan populasi berkesinambungan (2,1). Jepang bisa dikategorikan sebagai decaying country, atau Negara yang menuju pada kepunahan. Karena itu pemerintah Jepang membuat berbagai program, salah satunya tunjangan sebesar 26.000 yen (sekitar 2,6 juta) per bulan per anak agar perempuan Jepang mau punya anak.

Anak, Aset Kejayaan Islam
Spirit memiliki anak sebagai aset masa depan sebuah peradaban telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan! Sebab aku akan membanggakan kalian di hadapan umat-umat lain kelak di hari kiamat.” Spirit itulah yang menyebabkan dari generasi ke generasi umat Islam mempunyai kebanggaan untuk memiliki keturunan yang banyak. Anak banyak bukan untuk kebanggaan diri atau keluarga, tapi untuk diinvestasikan bagi kejayaan peradaban Islam, sebagaimana harapan Rasulullah saw. Pun pasangan suami isteri yang tak dianugerhi anak, mereka tetap memiliki spirit untuk membina anak-anak kaum muslimin lainnya dengan berbagai cara.
Dengan kehendak Allah SWT, jumlah kaum muslimin yang mewarisi peradaban Islam tak pernah berkurang, bahkan terus bertambah. Berdasarkan studi Pew Forum on Religion & Public Life dalam laporannya yang berjudul “Mapping the Global Muslim Population” penduduk muslim telah mencapai 1,57 milyar (23 % dari penduduk dunia yang diperkirakan sebesar 6,8 milyar). Pemetaan ini cukup mengejutkan, karena hanya di Eropa Barat saja jumlah umat muslim berasal dari imigran, sementara separoh lebih muslim Eropa adalah penduduk asli di Eropa Timur.
Kini, dunia Barat sangat mengkhawatirkan ledakan populasi umat Islam yang diprediksi akan mendominasi penduduk dunia. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mempersembahkan kebanggaan pada Rasulullah saw? Jawabannya adalah, jangan pernah takut memiliki keturunan banyak, sebab kebangkitan dan kejayaan Islam membutuhkan generasi Islam yang banyak dan tangguh, menggentarkan musuh-musuh Allah yang menghalangi kebenaran Islam. Mari kita persiapkan pembinaan sebaik-baiknya untuk anak-anak agar menjadi asset peradaban yang gemilang. []Nanik Wijayati

Anak Dalam Naungan Khilafah Islamiyah

Nasib Anak Indonesia Masih Buruk dan Mengenaskan…..
Anak pemegang estafet kepemimpinan suatu bangsa dimasa mendatang pastilah menjadi asset yang tak ternilai harganya. Baik-buruk suatu bangsa di masa datang ditentukan oleh kualitas anak-anak di masa sekarang.   Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk terbesar ke 4 di dunia, memiliki potensi anak-anak yang sangat luar biasa.  Secara jumlah, struktur penduduk Indonesia yang berjumlah besar, memiliki jumlah anak yang mencakup 30 persen dari total penduduk Indonesia.   Bila negara mampu mencetak mereka sebagai generasi yang berkualitas maka kemajuan negeri ini sudah di depan mata.
Namun fakta berbicara lain, nasib anak bangsa Indonesia masih sangat  buruk dan mengenaskan.  Gambaran ini dapat terlihat dari fakta dibawah ini:
  • 5,4 juta anak Indonesia masih dalam kondisi terlantar, menurut data kementerian sosial (anataranews, com/5/7/2011);
  • Jumlah anak Indonesia yang terancam putus sekolah saat ini mencapai 13 juta yang terdiri dari usia tujuh sampai 15 tahun, demikian data BKKBN Tahun 2010 (beritasore.com/4/8/2010). Ditambah lagi sedikitya 37.294 anak-anak TKI tidak mendapatkan pendidikan selama berada di negeri Jiran Malaysia (republika.co.id/20 juli 2010)
  • Setiap tahun 7000 anak berurusan dengan hukum, dan 6000 org di antaranya masuk ke penjara, baik penjara anak, penjara dewasa, maupun tempat-tempat tahanan lainnya. (Hadi Supeno,2010)( Buku:Kriminalisasi Anak:Tawaran gagasan radikal peradilan anak tanpa pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama,2010)).
  • Riskesdas 2010 juga menemukan tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9 persen atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk (antaranews.com/25 jan 2011).
  • Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan sejak 2008 hingga 2010, sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6 di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi.  Sekitar 24 persen mengaku melihat pornografi melalui media komik. Selain itu, sekitar 22 persen melihat pornografi dari situs internet, 17 persen dari games, 12 persen melalui film di televisi, dan enam persen lewat telepon genggam. (vivanews.com/3/10/2010)
Kapitalisme biang Kerusakan dan Keburukan

Kelemahan manusia sebagai pembuat aturan terlihat pada  kebijakan yang dikeluarkannya, saling berbenturan dan gagal menyelesaikan masalah.     Kebijakan-kebijakan tersebut hanya sekedar lips servis demi membangun citra bahwa sistem ini masih bersifat manusiawi untuk menutupi kezholiman-kebobrokan dan keserakahannya.  Disisi lain banyak kebijakan dan program yang dikeluarkan seakan-akan peduli terhadap anak, namun membahayakan ‘aqidah dan akhlak.  Misal slogan anak Indonesia berakhlak mulia, bagaimana mungkin akan dicapai sementara situs, film, dan gambar porno, mudah diakses mereka.  Bagaimana anak Indonesia bisa sehat jika menutup pabrik minuman keras dan menghabisi jaringan bisnis narkoba saja tidak mampu. Alih-alih melakukan itu semua, faktanya ternyata Negara membiarkan bisnis haram itu terjadi dan malah difasilitasi.
Hal lain, ketika hak anak untuk hidup diperbincangkan, aborsi dilegalkan.  Atas nama Kehamilan yang Tidak diinginkan (aib), janin-jani hasil perzinahan diizinkan untuk dilenyapkan hak nya untuk hidup, apa bedanya dengan masa pra Islam di arab yang membunuh anak perempuan karena dianggap aib????.  Bayangkan saja, secara  nasional, jumlah remaja yang melakukan praktik aborsi mencapai 700-800 ribu remaja dari total 2 juta kasus aborsi (detik.com, 9/4/2009). Padahal konvensi Hak anak dan UU Perlindungan anak mengatakan  anak yang berhak mendapatkan perlindungan adalah  termasuk janin yang ada dalam kandungan.  Fakta maraknya aborsi menggambarkan negara  dan dunia Internasional tidak memberikan hak hidup secara adil pada setiap anak, buktinya 2 juta janin hasil aborsi telah dihilangkan haknya untuk hidup dalam rangka menutupi perbuatan buruk yang dilakukan oleh ibunya..  Seharusnya bukan janin yang mendapatkan hukuman tetapi orangtuanyalah yang harus dihukum karena telah berzina.  Dengan demikian hak hidup bagi anak dalam sistem kapitalisme hanyalah bersifat kamuflase.
Bagaimana dengan iming-iming bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan?.  Adanya kebijakan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak  dan disosialisasikan melalui program Education For All (EFA) atau Pendidikan untuk Semua (PUS) ternyata hanya bisa dirasakan oleh sebagian  anak, terbukti dengan adanya anak-anak yang masih belum bisa mengakses bangku sekolah. Ditambah lagi masih ada yang putus sekolah karena tidak bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan alasan tidak ada dana. Berdasarkan UU No 23 tahun 2000 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas pendidikan.  Naumn nyatanya Negara telah gagal memberikan pendidikan bagi semua anak Indonesia.  Meski ada yang gratis tidak semua bisa mengaksesnya.  Dan bila bicara mutu maka sangat  jauh dari yang diharapkan.  Bahkan ada pernyataan yang mengatakan, “Bila mau mendapatkan pendidikan yang bermutu harus mau mengeluarkan biaya yang tinggi “.  Ini adalah gambaran hakikat negara kapitalisme yang selalu menstandarkan segala sesuatu dengan untung-rugi atau manfaat semata.
Sekalipun negara  dalam UUD pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jawab negara.  Kenyataannya anak-anak terlantar semaikn tahun angkanya bertambah bahkan mengenaskan.  Hasil survei terakhir Kementerian Sosial pada tahun 2006 menunjukkan jumlah total anak telantar dan hampir telantar di Indonesia mencapai angka yang fantastis, yakni 17.694 juta jiwa atau 22,14 persen dari jumlah semua anak usia di bawah 18 tahun yang ada di Indonesia.  Data terakhir  dari kementerian sosial menyebutkan ada 5.4 juta anak di negeri ini yang terlantar pada tahun 2010.(antaranews.com/5/7/2011). Menurut  Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak DKI Jakarta Sunarto, setiap tahun jumlah anak jalanan di Jakarta bertambah 20-40 persen. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena kemiskinan   (90%) sebagaimana dilansir oleht Ketua Forum Komunikasi Rumah Singgah DKI Jakarta Agusman (kompas.com/24/10/2010). Mereka tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan rumah yang layak.  Bahkan mereka dibiarkan melakukan perbuatan amoral yang menjijikkan (pornografi dan pornoaksi) bahkan menjadikan mereka sebagai korban dan pelaku sekaligus dari kebejatan moral tersebut.   Orangtua mereka tidak difasilitasi dengan pekerjaan yang layak untuk mampu memenuhi kebutuhan pokok, selain itu orangtua tidak di bimbing untuk mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua yang mendidik dan menjaga anaknya dari siksaan api neraka.
Negara, sekalipun telah menggalakkan program rumah singgah untuk anak-anak jalanan, namun program ini tidak lebih dari komoditi politik bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan citra positif tanpa kejelasan langkah nyata untuk menuntaskan permasalahan anak-anak jalanan.  Bagaimana bisa mewujudkan kota yang layak bagi anak, bila perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak dilakukan dengan matang bahkan lebih di dominasi memenuhi kebutuhan pemilik modal dalam penataan kota.  Sudah sangat gamblang bagaimana kota lebih banyak di dominasi pembangunan fisik yang berbau kapitalistis semisal perkantoran, supermarket, mall yang menjulang tinggi.
Inilah hakikatnya Negara kapitalis yang bersikap regulator belaka yang tidak bergigi dan bertaring tajam.  Tidak heran jika persoalan tidak kunjung usai.  Berikutnya yang menjadi korban adalah anak-anak, generasi masa depan.

Saatnya Anak Indonesia berada dalam Naungan Khilafah…..
Rasulullah SAW sang “TELADAN MANUSIA” telah menyatakan bahwa anak merupakan buah hati dan makhluk suci. “Anak adalah ‘buah hati’, karena itu termasuk dari wangi surga” (HR Tirmidzi).  Beliau telah menetapkan dan memberi contoh langsung bahwa negara lah yang menjadi penanggung jawab utama bagi semua kebutuhan rakyatnya termasuk anak. Dalam hadits riwayat Imam bukhari-muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Anak sebagai bagian dari masyarakat juga harus mendapatkan hak-haknya secara utuh dan benar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.  Berikut adalah hak-hak anak yang wajib dipenuhi: 

1. MEMPEROLEH JAMINAN HIDUP YANG BAIK KETIKA DI DALAM RAHIM DAN SETELAH LAHIR
Islam  benar-benar memberikan hak hidup bagi  setiap anak dengan jaminan yang pasti.  Sejarah membuktikan, saat Islam datang maka kebiasaan orang  Arab yang membunuh anak perempuan telah di hapus dengan turunnya wahyu Allah Swt berfirman:
وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (الإسراء: 31)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.“(Q.S. Al-Israa: 31).
Rasulullah Saw bersabda:  “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhary).
Terhadap anak hasil perzinahan, Islam telah menghukum ibunya bukan anaknya, ini terdapat dalam kisah wanita Al-Ghamidiyah, yang datang pada Nabi bahwa dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata “pulanglah sampai engkau melahirkan“. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan membawa bayinya. Nabi berkata” Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai engkau menyapihnya“. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim). 

2. HAK UNTUK MENDAPATKAN NAFKAH
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(يَقُوتُ مَنْ يُضَيِّعَ أَنْ إِثْمًا بِالْمَرْءِ كَفَى)
Artinya: “Seseorang dianggap berdosa jika dia tidak menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[1]
أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ عَلَى دِينَارٌ الرَّجُلُ عِيَالِهِ  يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى الرَّجُلُ دَابَّتِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ عَلَى يُنْفِقُهُ وَدِينَارٌ أَصْحَابِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهلَّهِ
Artinya: “Dinar (uang) yang paling afdhal yang diinfakkan oleh seorang laki-laki adalah dinar yang diinfakkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, dinar yang diinfakkan kepada hewan tunggangannya (untuk berjihad) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya (yang sedang berjihad) di jalan Allah.”[2]
Bagi seorang ayah yang mampu bekerja, Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Adapun saat ayah dalam kondisi  tidak mampu baik karena cacat, sakit keras atau lemah, maka kewajiban memberi nafkah berpindah kepada ahli waris atau keluarga terdekat yang mampu sebagaimana firman Allah:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ  مِثْلُ ذَلِكَ
Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian(TQS. al-Baqarah [2]: 233).
Saat ayah atau ahli waris atau kerabat dekat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok anak, Islam telah menetapkan kewajiban atas Negara.  Negara memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan harta yang ada di baitul mal baik dari pos zakat, atau -jika pos zakat kosong-diambil dari pos pemasukan lainnya.  Dalam pandangan Islam, Negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan bertanggungjawab mewujudkan kemashlahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam secara kaffah. Rasulullah SAW bersabda:
الإمام راع و هو مسؤل عن رعيته
Seorang imam seperti penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang digembalakannya” (al-hadits).
Jika baitul maal (kas negara) banar-benar kosong, maka negara akan mewajibkan pemenuhannya kepada seluruh kaum Muslim yang mampu. Firman Allah:
وفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم
Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian.(TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).
Islam juga membentuk suasana saling tolong menolong di masyarakat untuk membantu orang yang kelaparan atau fakir miskin. Rasulullah saw bersabda:
Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)
Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar). 

3. HAK UNTUK MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN
Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya, menjaganya dari berbagai gangguan dan memberikannya rasa aman. Orang tua juga harus terus memantau keadaan anaknya dan mencarinya jika dia hilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhu ketika dia hilang di pasar Bani Qainuqa’ dan berkata, “Dimana Laka’? Panggilkan Laka[?"
Orang tua juga tidak boleh menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang bisa merusak mental dan agamanya, seperti mengancamnya dengan pisau atau perkataan kasar dan mengatakan kepadanya ketika malam datang, "Awas hantu?".
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يُرَوّْعَ مُسْلِمًا
Artinya: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim (yang lain)." Perkataan "Awas hantu !!!" ternyata dapat menumbuhkan rasa takut yang berlebih terhadap sesuatu yang tidak jelas. Jenis takut yang seperti ini dilarang dalam agama.
  1. HAK UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN
Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar sebagaimana kebutuhan terhadap makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Negara wajib menjamin pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara secara gratis hingga perguruan tinggi . dengan fasilitas sebaik mungkin (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islamiyah, hlm. 283-284). Jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka mendapatkan hak yang sama baik mereka berasal dari keluarga yang kaya maupun yang miskin. Mereka mendapatkan pendidikan yang gratis, guru yang profesional, sarana-prasarana yang lengkap berikut biaya hidup dan fasilitas yang memadai bila mereka tinggal di asrama. Pendidikan yang mereka terima juga mencetak mereka menjadi generasi yang berkepribadian Islam, memiliki tsaqofah Islam dan menguasai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan dan negara khilafah.
Rasulullah SAW untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di madinah telah mengambil kebijakan untuk menyediakan guru yang cukup melalui tawanan Badar dengan memberi kompensasi kebebasan bila mereka mengajarkan anak-anak muslim membaca.  Begitu juga dengan apa yang dilakukan Umar dengan menggaji 3 orang guru sebanyak 15 dinar untuk mengajarkan anak-anak di madinah.
Negara juga akan memastikan apakah setiap orangtua mampu memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan baik.  Islam telah menetapkan pendidikan seorang anak dimulai dari keluarga, rumah adalah sebagai sekolah pertama bagi anak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik." (HR.At-Tirmidzy).
"Tuntutlah Ilmu dari buaian hingga ke liang lahat"
Peran keluarga untuk mendidik anak sangatlah besar, baik yang dilakukan oleh ayah maupun ibu semuanya telah diatur dengan jelas. Hal ini digambarkan oleh Imam Al-Ghazali, "Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka  dan rusak, dan dosanya menimpa  pengasuh dan orang tuanya."
Seorang ayah mendapatkan kewajiban untuk mendidik anggota kelaurga agar terhindar dari api neraka, sebagaimana firman Allah Swt:
"Wahai orang-orang yang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan  batu'(TQS: A-t-Tahrim:6).
Seorang ibu memilki peran yang sangat luar biasa dalam mendidik anak-anaknya, mereka adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.  Sebagaimana gambaran dari suatu syair ""Ibu ibarat sekolah, jika engkau persiapkan diri berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi yang kokoh dan kuat."(Hafidz ibrahim)
Sehingga orangtua dituntut untuk memiliki ilmu agar bisa mendidik anaknya dengan baik atau menyekolahkan anaknya dengan memilihkansekolah yang terbaik.  Apabila ada orangtua yang tidak trampil dalam mendidik anaknya maka negara akan menyediakan berbagai fasilitas berupa kursus, latihan-latihan bahkan berbagai perlengkapan-perlengkapan yang memudahkan orangtua untuk bisa menjalankan tugasnya.  Bahkan bila ada orangtua yang lalai dalam menjalankan peran mendidik ini, Islam telah mengingatkan akan ganjaran sanksi yang akan diterima oleh orangtua baik di dunia dan diakhirat.  Didunia, orangtua akan mendapatkan peringatan dari negara untuk harus menjalankan kewajibannya, kalau tidak akan medapatkan sanksi tegas.
Orangtua juga tahu kapan saatnya menerapkan sanksi bagi anak saat melakukan pelanggaran sesuai dengan ajaran teladan Rasulullah SAW. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وا ضْرِبُوهُمْ عَلَيْها أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُو بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
Artinya: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika umur mereka tujuh tahun. Pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat ketika umur mereka sepuluh tahun. Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka."[3]
Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman yang tidak membekas di kulit dan bukan seperti yang dilakukan oleh sebagian orang ketika memukul anaknya. mereka memukul anaknya sampai berbekas di kulit, bahkan ada yang memukul anaknya sampai cacat.
Adanya pengenalan dan penerapan sanksi merupakan cara melindungi anak dari perilaku yang menyimpang dan merusak sehingga tidak merugikan dirinya dan manusia yang lainnya.  Jelas ini tidak ada dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan pada HAM, standarnya tidak jelas bahkan mengandung standar yang tidak jelas bahkan kontraproduktif antara yang satu dengan yang lainnya. 

4. HAK UNTUK SEHAT
Secara umum anak memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah dan bermutu. Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim). Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).
Kesehatan sebagaimana pendidikan juga merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, termasuk anak. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sejak berada dalam kandungan, lahir sampai  dewasa.  Kewajiban memelihara kesehatan anak dalam rahim dan bayi merupakan tanggung jawab seorang Ibu secara langsung dan  keterlibatan ayah.  Selama kandungan, ibu wajib memperhatikan asupan makan yang cukup bagi janin dengan memperhatikan kehalalan dan kethoyyibannya.  Allah SWT telah berfirman:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…”(TQS:2:168)
Sedangkan saat dia lahir, anak memiliki hak untuk mendapatkan ASI, sebagaimana penjelasan dalam firman Allah SWT yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi rezki (makanan) dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya. Dan orang yang mendapatkan warisan pun berkewajiban demikian…” (QS Al-Baqarah: 233).
Selama masa pemerintahan Khalifah Umar, ada kebijakan untuk memberikan upah setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari Umar (ra) mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia”. Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Umar (ra) takut Allah SWT akan meminta pertanggung jawabannya dan dia berkata sambil menangis “bahkan atas bayi-bayi ya Umar!” - yang berarti bahwa ia akan diminta pertanggungjawabkan karena tindakannya merugikan anak-anak.
Pada masa Nizhamul Muluk, di Kota Ray didirikan rumah sakit bersalin terbesar untuk seluruh Persia, selain didirikan sekolah tinggi ilmu kebidanan. Para bidan desa mendapat pembinaan 2 hari dalam sepekan oleh dokter-dokter ahli kandungan. Dokter ahli kandungan yang terkenal antara lain Az-Zahrawi, Abu Raihan Albairuni (374 H) dan Bahrum Tajul Amin (380 H). Kedua sarana ini dibangun atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid kepada al-Masawaih, dokter yang menjabat menteri kesehatan.
Ada ruangan perawatan khusus untuk anak-anak dan bayi, ruangan untuk pemeriksaan kandungan dan melahirkan. Ruangan juga dibagi berdasarkan jenis penyakit, seperti penyakit dalam, trauma dan fraktur dan penyakit menular. Pada masing-masing bagian bertugas seorang atau lebih dokter dan masing-masing tim dokter ini diketuai seorang dokter kepala. Semua dokter di rumah sakit dikepalai seorang dokter yang disebut “Al-Saur”. Para dokter ini ditugaskan secara bergiliran, pagi dan malam hari, agar mempunyai waktu istirahat yang cukup.
Semua ruangan dilengkapi dengan peralatan kedokteran dan peralatan yang dibutuhkan dokter. Rumah sakit juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan buku-buku kedokteran, seperti farmakologi, anatomi, fisiologi, hukum kedokteran dan berbagai ilmu lain yang terkait dengan kedokteran. Contoh rumah perpustakaan terbesar adalah perpustakaan Rumah Sakit Ibnu Tulun di Kairo, yang mengkoleksi 100.000 buku. Rumah sakit itu dilengkapi pula dengan laboratorium dan apotik yang memberikan obat berdasarkan resep dokter. Terdapat pula dapur dan berbagai ruangan lain yang dibutuhkan untuk pelayanan yang optimal. Sejumlah karyawan rumah sakit bekerja sebagai pekerja kesehatan, asisten atau dresser, servents, cleaning cervice, pembantu pasien.

5. HAK MENDAPATKAN PERLAKUAN YANG BAIK
5.1. Memperlihatkan rasa senang saat kelahiran anak
Ketika seorang anak dilahirkan sudah sepantasnya seorang ayah dan ibu menunjukkan rasa senangnya. Bagaimanapun keadaan anak itu, baik laki-laki maupun perempuan. Terkadang sebagian orang tua memiliki rasa benci jika yang dilahirkan adalah perempuan. Perlu kita ketahui ini, rasa kebencian itu merupakan sifat jahiliah yang masih dimiliki oleh sebagian kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan di dalam Al-Qur’an tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang Quraisy di masa Jahiliah. Mereka membunuh bayi-bayi perempuan mereka yang baru dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:  “Dan apabila seseorang di antara mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, maka hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah dia akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah! Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)
Terkadang Allah menguji sang Ayah dan sang Ibu dengan anak yang cacat. Mereka diuji dengan kebutaan, kebisuan, ketulian atau cacat yang lainnya pada sang Anak. Orang yang paham bahwa itu adalah ujian, maka dia akan berlapang dada untuk menerimanya dan tetap merasa senang. Sebaliknya orang yang tidak paham, maka dia tidak akan senang, tidak rida bahkan terkadang bisa sampai mengarah ke perceraian atau pembunuhan sang Anak.
5.2.Memperoleh nama dengan nama yang baik
Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik.  Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW:
“Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik”.
“Baguskan namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hiban).
Nama itulah yang mewakili diri anak untuk kehidupannya kelak. Oleh karena itu, janganlah salah dalam memilihkan nama. Islam telah mengajarkan agar memilih nama-nama islami dan menjauhi nama-nama yang mengandung unsur penyerupaan dengan agama lain atau penyerupaan dengan pelaku-pelaku kemaksiatan. Sudah sepantasnya seorang muslim bangga dengan nama islaminya. Pemberian nama oleh orangtua kepada anaknya merupakan do,a dan harapan yang ingin terwujud.  Dengan demikian sangat baik bila memberikan nama-nama, seperti: ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdurrahim dan sejenisnya, nama-nama para nabi, nama-nama sahabat yang terkenal dll. Begitu pula untuk anak perempuan, banyak sekali nama wanita-wanita solehah, seperti: Fatimah, Khadijah, Aisyah dll.
5.3 Di aqiqah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Artinya: “Seorang anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama dan dicukur kepalanya.”[4]. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang kewajiban berakikah, sudah sepantasnya sebagai seorang muslim untuk selalu berusaha mengikuti semua sunnah/ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5.4 Mendapatkan perlakuan yang adil
Orang tua wajib berlaku adil terhadap  semua anaknya. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Suatu hari An-Nu’man bin Basyir berkata di atas mimbar, “Ayahku telah memberikanku hadiah.” Kemudian ‘Amrah binti Rahawah (Ibunya) berkata, “Saya tidak rida sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi.” Kemudian Ayah An-Nu’man pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, “Saya telah memberi hadiah kepada anakku dari istriku yang bernama ‘Amrah binti Rawahah. Dia menyuruhku untuk memintamu, Ya Rasulullah, sebagai saksi pemberian ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memberikan hadiah kepada semua anakmu seperti itu juga?” Ayahnya pun berkata, “Tidak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah! Berbuat adillah terhadap semua anakmu.” Kemudian ayahnya pun kembali dan mengambil kembali hadiahnya.
5.5. Mendapatkan kasih sayang
Anak juga termasuk keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Dia adalah manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak diperlakukan seperti hewan yang hina. Dia harus dihormati dan dihargai. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk memberikan julukan-julukan atau panggilan-panggilan jelek kepadanya, seperti ucapan ‘anjing’, ‘babi’, ‘goblok’ dan sejenisnya.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk  yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)
5.6 Mendapatkan hak bermain
Anak pun  punya hak untuk bermain. Orang tua sudah sepantasnya memberikan waktu-waktu bermain untuk anaknya, baik di pagi, siang ataupun sore hari. Ketika waktu maghrib datang, orang tua diperintahkan untuk “memegang” anaknya dengan tidak membiarkan anaknya bermain di luar rumah sampai datang waktu ‘isya’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Jika malam atau awal malam datang maka ‘peganglah’ anak-anak kalian. Sesungguhnya setan-setan menyebar pada saat itu. Jika waktu isya’ telah masuk maka biarkanlah mereka.”[4]Setelah waktu isya’ datang tidak sepantasnya anak-anak bermain, karena waktu itu adalah waktu tidur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bersenda gurau pada saat itu.
Orang tua juga harus memperhatikan jenis permainan anaknya, jangan sampai dia bermain dengan permainan yang mengandung unsur dosa, seperti: adu kelereng dan kartu (yang mengandung unsur perjudian), memanah ayam atau sejenisnya dll. Orang tua sebaiknya memilihkan permainan yang bermanfaat untuk diri anaknya kelak dan mengandung unsur pembelajaran. Orang tua juga harus memperhatikan dengan siapa anaknya bergaul dan bermain. Anak-anak sangat mudah menerima rangsangan orang-orang di sekitarnya. Syaikh ‘Abdulmuhsin Al-Qasim[5] berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan siapa dia bergaul (berinteraksi).
5.7 Memperlakukan anak yatim dengan baik
Islam tidak memperbolehkan kaum muslimin mengabaikan keberadaan anak yatim. Ia adalah aset umat yang harus diselamatkan dan dipelihara agar tidak menderita. Allah telah menyiapkan kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi orang yang merawat anak-anak malang ini. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Aku dan orang-orang yang menanggung anak yatim, berada di surga seperti ini (lalu beliau mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, seraya memberi jarak keduanya).” (H.R. Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi). Dalam Al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menganjurkan untuk memperhatikan anak yatim. Dari mulai anjuran untuk memperlakukan dengan lembut, menyisihkan harta, mendidik, hingga merawat serta membesarkan mereka.
Rasulullah SAW melaksanakan langsung praktek memperlakukan anak yatim dengan baik, sebagaimana dikisahkan dalam shiroh Rasulullah SAW:
Di pagi hari yang cerah, Rasulullah Saw. bersama istrinya (Aisyah r.a.) hendak melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Di jalan, mereka melihat seorang bocah murung di tengah kerumunan anak-anak yang ceria merayakan datangnya Idul Fitri. Bocah murung tersebut terlihat termenung dengan penampilan kucel dan pakaian lusuh.
Rasulullah Saw. (yang tidak tega melihat bocah tersebut) mendekat seraya berkata (sambil mengusap kepala sang bocah), “Wahai bocah, kenapa wajahmu tampak bersedih padahal disekelilingmu banyak anak-anak yang begitu bahagia merayakan Idul Fitri?” Bocah tersebut diam sejenak dan meneteskan air matanya sebelum menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana diriku tak bersedih? Ketika teman-temanku bergembira ria merayakan Idul Fitri, aku tidak punya siapa-siapa. Wahai Rasulullah, aku hanyalah sebatangkara. Aku tak memiliki ibu yang dijadikan tempat mengadu. Ayahku pun sudah tiada. Hidupku tak menentu. Aku hanya mengharapkan belas kasihan Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki. Terkadang aku tak mendapatkan makanan satu atau dua hari. Aku hanya mengharapkan uluran tangan para dermawan untuk mendapatkan sesuap makanan.”
Mendengar rintihan hati sang bocah, Rasulullah berkata sambil meneteskan air mata, “Wahai anak yang malang, maukah engkau tinggal bersama kami? Maukah engkau aku jadikan sebagai anakku? Dan maukah engkau menjadikan Ummul Mukminin sebagai ibumu?” Mendengar jawaban Rasulullah, spontan bocah tersebut berubah wajahnya menjadi berseri-seri. Harapan hidupnya sudah terbuka. Dirinya tidak merasa sendiri lagi. Bergantilah air mata sedih menjadi air mata kegembiraan.
Pemeliharaan dan pembinaan anak yatim bukan hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat fisik semata, seperti makanan, minuman, dan pakaian. Pembinaan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah psikisnya, seperti memberikan perhatian, kasih sayang, perlakuan lemah lembut, bimbingan akhlak, dan lain sebagainya. Dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman,:
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9).
Dalam ayat lain ditegaskan,
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Maa’uun [107]: 1-2)
Artinya, kewajiban memberikan kasih sayang, pengajaran sopan santun, dan segala perlakuan yang baik berbanding lurus dengan kewajiban pemberian materi. Demikianlah Islam mengajarkan kepada kita untuk memperlakukan anak yatim dengan baik.
Dengan demikian hanya dalam naungan Khilafah Islamiyah sajalah anak-anak Indonesia termasuk anak-anak di dunia mampu menjalani kehidupannya dengan bahagia, ceria, menyenangkan dan berkualitas,  karena adanya jaminan yang pasti dari Allah SWT.  Sekarang “Saatnya setiap kaum muslimin yang memiliki kepedulian untuk menuntaskan permasalahan yang dihadapi anak-anak sudah selayaknya mengambil Islam dan Khilafah sebagai diin dan sistem yang sempurna dan menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh alam”.

Oleh: Lajnah Maslahiyah DPP MHTI

Mencetak Generasi Tangguh

Pondasi Aqidah di Usia Dini
“Mendidik anak sedari kecil adalah ibarat mengukir di atas batu.”  Sabda Nabi saw tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya mendidik anak sedini mungkin.  Anak yang masih kecil, mendidiknya membutuhkan kesabaran karena harus terus mengulang-ulang konsep yang hendak ditanamkan.  Namun begitu konsep tersebut sudah masuk, maka ia akan tertancap dengan kuat di sana, sulit hilang seperti ukiran di atas batu.

Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Pada masa ini pertumbuhan otak berlangsung sangat pesat (eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%.  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa informasi awal yang diterima anak akan cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa berikutnya. Oleh karenanya anak perlu rangsangan psikososial dan pendidikan.

Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi keberhasilannya pada masa yang akan datang.  Pendidikan agama tidak pelak lagi menjadi suatu kebutuhan bagi anak usia dini untuk membentuk kepribadian Islam.  Secerdas apapun seorang anak, tanpa memiliki pendidikan agama sebagai landasan hidupnya, maka hidupnya di dunia tidak ada nilainya.  Rasulullah saw bersabda :
Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati.  Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah” (HR. At tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, dan al-Hakim).

Dengan demikian pendidikan agama adalah kerangka yang kita gunakan dalam membentuk anak usia dini.  Ilmu-ilmu lain seperti matematika, membaca, kesenian, sains dan sebagainya adalah pelengkap, yang memberi warna dan penampakan luar bagi kerangka tersebut.

Yang terpenting bagi orangtua adalah mengubah paradigma berpikir tentang anak.  Selama ini orangtua berpandangan bahwa anak adalah asset, tempat orangtua bergantung nanti saat tua telah datang.  Paradigma semacam ini menempatkan anak dalam rangka kebutuhan orangtuanya.  Anak diarahkan untuk bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua kelak.

Ada pula paradigma yang lahir dari ide kapitalis-liberalis.  Bahwa anak adalah individu yang unik dan berbeda.  Maka anak diberi hak untuk bebas dalam menentukan pilihan, bebas untuk berkembang menjadi apapun yang ia inginkan.  Bahkan sampai dikeluarkan konvensi hak anak yang mencakup juga hak anak untuk memeluk agama berbeda dari orangtuanya.

Paradigma yang seharusnya kita bangun adalah setiap anak memiliki hak untuk masuk surga kelak. Orangtua harus memastikan agar anak memperoleh haknya tersebut.  Dengan demikian, orangtua mendidik anak untuk menjadikan hidupnya sebagai ladang amal.  Bila anak menyimpang, orangtua wajib untuk meluruskan anak, sekalipun untuk meluruskan tersebut orangtua harus melakukan pemaksaan.

Paradigma semacam ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya.  Orangtua dengan cermat akan mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa mengantarkan anak untuk meraih keridhaan Tuhannya dan apa saja yang bisa menghalanginya.  Ia akan merumuskan target-target yang harus dicapai dalam mendidik anak, bukan semata mengikuti keadaan dan keinginan anak, atau seperti mengikuti air mengalir saja.  Ia memilih apa yang bisa membahagiakan anak di akherat sekalipun pahit, bukan apa yang membahagiakan anak di dunia tapi mencelakakan akheratnya.

Untuk menguasai metode pendidikan anak yang paling tepat, kita terlebih dahulu harus mengenali potensi, karakter dan tahapan perkembangan anak dan menetapkan target-target yang jelas.
Mendidik anak usia dini pada dasarnya adalah mempersiapkan mereka untuk mampu menerima beban taklif hukum syara’ pada saat mereka mencapai usia baligh.  Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, antara lain :
  • Mempersiapkan indera, otak, fisik, emosi, dan seluruh potensi hidup anak sehingga pada tahapan selanjutnya (usia pra baligh dan baligh) telah terlatih dan dapat melakukan aktivitas berpikir dan bersikap berdasarkan Islam
  • Melakukan stimulasi (rangsangan-rangsangan) yang tepat sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (0-6 tahun)
  • Tidak memberi sanksi dan pembebanan yang lebih dari kemampuan pada anak usia dini
  • Belajar dilakukan sambil bermain tidak dengan pemaksaan
  • Tidak memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang telah sempurna akalnya hingga bisa mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri
Potensi Anak Usia Dini
Potensi yang dimiliki anak adalah sama dengan orang dewasa yakni akal, naluri dan kebutuhan fisik.  Akal adalah proses berpikir pada manusia.   Proses berpikir terjadi ketika indera menangkap fakta, kemudian mengirimnya ke otak yang menghubungkan fakta dengan informasi yang telah ada sebelumnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

Untuk mengasah kemampuan berpikir anak, orangtua harus memberikan stimulasi pada komponen-komponen dalam aktivitas berpikirnya.   Fakta yang dapat dicerap indera anak diperbanyak, misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan dan mengenalkan anak pada alam dan lingkungan di sekitarnya. Merangsang fungsi indera, seperti menyediakan berbagai mainan dengan berbagai warna, bentuk dan tekstur, memperdengarkan berbagai bunyi-bunyian, mengenalkan beraneka rasa dan seterusnya.  Orangtua mengoptimalkan pertumbuhan otak anak dengan memberikan makanan bergizi dan menciptakan suasana penuh kasih sayang. Orangtua memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak seperti mengenalkan nama-nama benda, memperkaya kosa katanya, membacakan cerita, mengenalkan anak pada Allah dan rasul, dan sebagainya.

Naluri memiliki tiga penampakan, yakni naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau’) dan naluri mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun).  Ketiga naluri ini juga perlu mendapatkan stimulasi sedari dini.
Anak kita ajarkan untuk mengontrol emosinya, menyampaikan pendapat secara terbuka dengan cara yang ma’ruf dan memupuk rasa percaya dirinya dalam naluri baqa’.  Untuk naluri nau’, anak kita ajarkan perbedaan laki-laki dan perempuan, mengungkapkan kasih sayang kepada keluarga, dan bersilaturahim.  Sedang untuk mengasah naluri tadayyunnya, kita ajak anak untuk mengenal Pencipta melalui alam semesta, menanamkan kekaguman atas keagungan-Nya dan mulai mengajak anak melakukan ibadah.

Untuk potensi yang terkait dengan kebutuhan fisik, maka yang perlu kita perhatikan adalah melatih kemampuan fisik anak, baik motorik kasar seperti berlari, melompat, merayap, berenang, dan sebagainya; juga motorik halus seperti menggunting, menggambar, menarik garis, menempel, dan sebagainya.  Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya anak mulai kita kenalkan dengan konsep halal haram, sehingga nantinya ia memiliki standar dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.


Karakteristik Anak Usia Dini
USIA 0-2 TAHUN
  • Anak berinteraksi secara fisik dan belajar dengan lingkungannya melalui panca indera (mencerap fakta dan informasi).
  • Pada awalnya perbuatan yang dilakukan hasil dari refleksi murni; lalu menjadikan dirinya sebagai obyek yang berhubungan dengan obyek-obyek lainnya (memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya dan berusaha memintanya)
  • Anak belum dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan, karena itu ia menerima segala informasi yang datang dari luar dirinya, memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, dan pasrah terhadap segala perlakuan yang diberikan kepadanya, baik yang sesuai dengan perkembangan dirinya maupun tidak sesuai dengan perkembangan dirinya.
  • Informasi yang masuk akan diterima anak dengan bentuk global (tidak memperhatikan bagian-bagian), langsung (diterima apa adanya dan langsung mengikutinya) , pasif (belum memberi tanggapan yang berarti), dan spontanitas (belum ada kontrol perilaku atau bahasa).
  • Cara berkomunikasi anak usia 0-1 tahun adalah melalui tangisan/jeritan; ocehan atau celoteh; isyarat serta ekspresi emosional, sedangkan pada usia 1-2 tahun anak  mulai mengeluarkan bunyi  (satu kata) yang mengandung arti yang berbeda-beda (sebagai satu kalimat penuh); menyebutkan dua kata dengan maksud yang lebih jelas (mampu mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya).
  • Kemampuan berbahasa anak usia ini diperoleh melalui proses  Imitasi (menirukan), pengulangan dan merangkai kata-kata.
  • Sedangkan cara bersosialisasi adalah dengan mengenal orang-orang yang biasa berada disekitarnya , mengajak berkomunikasi dan menjadikan mereka sebagai pemenuh kebutuhannya.  Anak juga belum mudah beradaptasi dengan orang-orang/tempat-tempat yang baru dikenalnya.  Dalam bermain, anak bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri tidak ada kontak satu sama lain (bila ada kontak, maka yang terjadi perebutan dan penguasaan mainan).
Pada usia 0-2 tahun ini, anak diajarkan berbagai ketrampilan untuk hidup mandiri, seperti mengenakan pakaian, makan, minum, dsb.  Periode ini juga periode perkembangan fisik yang pesat, sehingga anak perlu dirangsang untuk mengembangkan fisik dan motoriknya.  Begitu juga dalam perkembangan bicara, anak perlu dirangsang dengan banyak mengajaknya berbicara, mengenalkan berbagai nama benda dan kosa kata baru, serta membacakan buku cerita anak yang sederhana.
Yang paling penting, anak disuasanakan dengan suasana islami untuk menumbuhkan minat dan kecenderungannya terhadap agama.  Misalnya memperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, melibatkan anak dalam shalat, mengajarkan lagu anak-anak Islam, mengajarkan anak mengucap lafazh Allah dan Muhammad, membaca doa-doa harian, dan membiasakan anak perempuan memakai kerudung.

USIA 2-4 TAHUN
§  Latihan proses berpikir anak dilakukan dengan cara:
  1. Pengalaman (segala sesuatu yang dialami dan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan)
  2. Pengulangan (mengulang-ulang suatu perbuatan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan atas perbuatan tersebut
  3. Peniruan (imitasi):Mengikuti secara persis apa yang dilihat (perbuatan/perlaku) dan yang didengarnya (ucapan) orang disekitarnya
  4. Perhatian (Memperhatikan segala sesuatu yang baru dan yang kontras terhadap apa yang dilihat dan didengarnya)
§  Eksploratif secara individu (menjelajah segala sesuatu yang menjadi perhatiannya termasuk dalam bentuk eksplorasi penolakan/pembangkangan)
§  Berpikir statis (tidak dapat berpikir dibalik), telah dapat mengatur secara serial
§  Sudah dapat membedakan dan mengklasifikasi bentuk dan warna
§  Sudah dapat berpikir secara simbolik (menyesuaikan diri dengan pola pikir orang lain dengan cara meniru gerakan dan ucapan orang lain)
§  Belum mampu berpikir secara logis dan abstrak masih bersifat egosentris (berpikir terhadap dirinya sendiri)
§     Cara Berkomunikasi pada usia ini adalah menggunakan bahasa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (sudah mengerti hubungan sebab akibat) dan anak sudah bisa memberi umpan balik dalam berkomunikasi
§     Dalam hal bersosialisasi, anak sudah mulai melepaskan dirinya terhadap ketergantungan dengan orang lain.  Ia sudah bisa bermain bersama dengan caranya sendiri-sendiri dan mulai bermain bersama dengan melibatkan dirinya
§     Disiplin sikap mulai dilatih tanpa harus memaksanya untuk melakukan dengan benar,  begitu juga dengan disiplin waktu, karena anak belum bisa menerapkan disiplin waktu .

Selain terus mengajarkan apa yang harus diajarkan di tahap sebelumnya, anak usia ini sudah dapat diberikan stimulasi yang lebih luas.  Untuk merangsang proses berpikirnya, anak diberikan kesempatan  mengeksplorasi lingkungannya untuk mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya dalam hidup.  Misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan ke tempat-tempat yang berbeda, mengamati alam lingkungan dan melakukan berbagai aktivitas.  Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengenalkan keberadaan Pencipta pada anak melalui pengamatan terhadap ciptaan-Nya.

Dalam memberikan informasi untuk merangsang proses berpikirnya, orangtua hendaknya tidak bosan untuk mengulang-ulangnya.  Hal ini adalah bagian dari tahapan berpikirnya.  Maka buang jauh prasangka kita bahwa anak “bandel” karena terus melakukan apa yang kita larang atau melanggar apa yang kita perintahkan.
Karena masa ini adalah masa imitasi atau peniruan, kita perlu memberikan contoh keteladanan yang baik untuk anak.  Mengajaknya untuk ikut shalat, mengaji, dan melibatkannya dalam aktivitas dakwah kita adalah hal yang harus kita lakukan untuk membentuk kebiasaan dan karakter anak.  Begitu pula memberikan keteladanan dalam berkata yang baik, berbuat baik, serta mengasah perasaan peduli dengan orang lain.
Untuk memunculkan jiwa kepemimpinannya, beri kesempatan pada anak untuk membuat keputusan, menghargai pendapat-pendapatnya, dan merangsang keberaniannya untuk tampil di hadapan orang lain.
Pada usia ini, anak dapat mulai diajak untuk menghafal surat-surat pendek.  Sambil bermain, ibu dapat memperdengarkan surat-surat pendek berulang-ulang.  Anak akan secara otomatis merekam, sehingga mudah baginya untuk hafal lebih cepat. Ditunjang dengan sifat imitasinya, yaitu meniru, maka sekalipun anak belum mampu melafazhkan dengan  tepat, namun ia telah memiliki dasar untuk hafalannya. Begitu pula membacakan doa-doa rutin harian akan mempercepat anak untuk hafal dan menjadi kebiasaannya.
Hadist-hadist pendek juga sudah dapat mulai diajarkan.  Ketika menegur anak, atau mengajarkan sesuatu, bacakan hadistnya.  Misalnya saat anak bertengkar, kita dapat menyampaikan:”Kata nabi kita, al muslimu akhul muslim, sesama muslim itu bersaudara.” Membacakan hadist akan membangun ketaatan anak pada Rasulullah saw, dan memudahkan anak menerima beliau sebagai teladan.  Anak juga akan terbiasa untuk terikat dengan dalil pada saat melakukan sesuatu.

USIA 4-6 TAHUN
  • Masa keingintahuan (mulai berpikir dengan 4W+1H). Anak menjadi banyak bertanya tentang segala apa yang dilihat dan menjadi perhatiannya. Anak menjelajah untuk mengetahui bagaimana terjadinya benda atau sesuatu itu, dan bagaimana ia dapat masuk atau menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Anak juga memiliki kreativitas yang tinggi, suka membongkar pasang mainan dan mengubah bentuk yang sudah jadi atau mainan bongkar pasang
  • Proses terbentuknya kemampuan berpikir, meliputi poin-poin sebagai berikut :
  1. Pengalaman disimpan sebagai suatu pelajaran dan menjadi pemahaman bila diberi stimulus yang berhubungan dengan pengalaman tersebut
  2. Mengeluarkan informasi yang diperoleh dikeluarkan dalam bentuk pemahaman (bukan sekedar pengulangan kata)
  3. Pemahaman yang diperoleh belum mampu untuk direalisasikan, sebatas memahami sesuatu dan menanggapi atas pemahamannya
  4. Belum mampu menjabarkan, menguraikan dan menjelaskan secara rinci terhadap pemahaman tersebut
  • Perkembangan sosialisasi : masa ini adalah masa bermain dan berkelompok. Anak , banyak menghabiskan waktu dengan bermain secara bersama-sama dengan teman sebayanya (bermain sosial). Anak sudah dapat membedakan antara benda miliknya dengan miliknya orang lain; sudah dapat berhubungan dengan orang lain dan akan mencari teman sebaya untuk menjadi anggota kelompoknya.
    Anak sudah mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain dan mampu mengerti apa yang dilakukan orang lain untuk dirinya.  Namun di sisi lain anak belum mampu memposisikan dirinya pada tempat orang lain (empati).
  • Cara berkomunikasi:
  1. Sudah mampu secara aktif mengambil peran dalam komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya
  2. Sudah mulai menunjukkan sikap suka protes dan tidak mau kalah dalam berbicara
  3. Sudah mulai menggunakan kata-kata untuk mempertahankan pendapatnya
  • Masa negativisme, anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan
  • Berusaha menunjukkan perhatiannya dengan melakukan berbagai aktivitas untuk dapat perhatian orang lain
  • Mulai dilatih untuk memahami perpindahan obyek dengan bentuk yang berbeda akan menghasilkan berat yang sama. Sudah mulai bisa menerapkan disiplin waktu
  • Anak sudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan akhlaq, ibadah (puasa,berwudlu, sholat) dan muamalah (pinjam-meminjam dan jual-beli).
Untuk anak usia 4-6 tahun, lebih banyak lagi stimulasi yang dapat kita berikan.  Namun tetap dengan menciptakan suasana yang menyenangkan anak tanpa melakukan pemaksaan.  Rangsang rasa ingin tahu anak dengan memberikan banyak fakta untuk dieksplor.  Anak akan banyak bertanya pada usia ini, mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab semisal : aku darimana, Allah ada di mana, mengapa kita tidak dapat melihat Allah, kemana perginya orang yang mati, dan sebagainya.  Berikan jawaban yang sederhana tetapi tidak membohongi anak.  Bila mungkin sertakan dalil dari Qur’an dan hadist.
Untuk membentuk aqidah anak, kita teruskan mengenalkan ciptaan Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta.  Selain itu berikan gambaran tentang berbagai nikmat Allah untuk menanamkan kecintaan anak pada-Nya.  Misalnya bahwa Allah memberikan kita mata untuk melihat.  Minta anak untuk berjalan dengan mata tertutup.  Bagaimana bila Allah tidak memberikan mata untuk kita?  Begitu pula setiap kita mendapat nikmat Allah, maka ceritakan pada anak dan ajak ia untuk mensyukurinya.  Jelaskan bahwa Allah menyayangi kita.  Dengan memahami kasih saying Allah, anak akan belajar untuk mencintai-Nya.  Di kemudian hari, akan mudah bagi kita untuk memotivasi anak beribadah sebagai manifestasi cintanya kepada Allah.
Kenalkan juga anak dengan rukun-rukun iman lainnya.  Untuk iman kepada yang ghaib seperti malaikat dan hari akhir, berikan dalil dari al Qur’an.  Sedang keimanan terhadap al Qur’an, kita bisa jelaskan melalui bahasa sederhana, misalnya dengan penganalogan buku panduan penggunaan alat tertentu di rumah kita. 
Buku panduan penggunaan kompor misalnya.  Bila kita langsung menggunakan kompor gas yang belum pernah kita kenal sebelumnya, maka bisa terjadi kesalahan yang berakibat fatal.  Hidup adalah hal yang lebih penting dan lebih rumit.  Maka Al Qur’an adalah buku manual manusia agar tidak salah langkah menggunakan hidupnya.

Tanamkan kecintaan anak kepada Rasulullah saw dengan menceritakan kisah-kisah perjuangan beliau, sifat-sifat beliau yang utama, dan kecintaan beliau kepada umat.  Jelaskan juga bahwa cara kita mencintai beliau adalah dengan menjadikan beliau sebagai idola kita, teladan kita, mentaati semua ajarannya dan menjauhkan diri dari apa yang beliau larang dan tidak suka.

Sedangkan iman kepada qadha dan qadar Allah dapat kita jelaskan dari fakta yang ada di sekitar kita serta cerita-cerita, bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik untuk kita, sekalipun kadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Ajak anak untuk menghafal surat-surat yang lebih panjang dari juz amma.  Tidak sulit insya Allah bila kita terus menerus mengulangnya.  Anak memiliki kemampuan hafalan yang kuat.  Sedangkan untuk belajar membaca Al Qur’an, bisa dimulai pada usia ini namun tidak dipaksakan.  Usia ideal bagi anak untuk belajar membaca adalah 7 tahun.  Bila kita berkeinginan memulainya sebelum itu, buatlah suasana belajar menjadi suasana bermain yang anak merasa nyaman di dalamnya.  Tanpa tekanan, paksaan, atau unsur menyalahkan.
Untuk memotivasi anak dalam berbuat di usia ini, kita gunakan arah motivasi mendekat, yaitu motivasi yang membuat anak terdorong untuk melakukan hal yang ia anggap menyenangkan.  Bukan motivasi menjauh, yakni menakut-nakuti anak untuk menghindar dari suatu perbuatan.  Contoh motivasi mendekat adalah kalau ia berbuat kebaikan, maka Allah akan memberikan pahala dan akan menyayanginya.  Bila Allah sayang, maka Allah akan membalas dengan surga yang penuh dengan kenikmatan.  Ini akan membuat anak merasa bahwa Allah adalah dzat yang penyayang.

Sebaliknya, memberikan motivasi menjauh seperti bila ia berbuat maksiat Allah akan menghukumnya, atau nanti akan memasukkannya ke neraka, dapat menciptakan image di benak anak bahwa Allah itu kejam.   Dengan demikian, kenalkan anak terlebih dahulu dengan surga.  Bila ia telah tamyiz, mampu membedakan baik buruk dengan konsekuensinya, baru kenalkan anak pada konsep dosa dan neraka.

Motivasi mendekat dapat pula diberikan melalui pemberian hadiah dan pujian.  Hadiah tidak selalu dalam bentuk materi, namun bisa berupa cium sayang, pelukan, acungan jempol dan sebagainya.  Sedang untuk pujian, selama tidak terkait dengan ibadah, pujian sah-sah saja diberikan.  Namun bila terkait dengan ibadah, seperti anak melakukan shalat, pujian harus kita ubah, bukan dengan mengatakan “anak umi shalih”, namun katakan “Allah pasti akan memberimu pahala yang besar,” atau “anak umi pasti akan disayang Allah.”  Ini untuk menghindarkan anak dari sifat riya, yaitu beramal untuk mendapatkan pujian.

Di usia ini anak sudah bersosialisasi dalam kelompok.  Untuk mencetak anak dengan karakter pemimpin,  yang terpenting adalah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak.  Rasa percaya diri dapat ditumbuhkan bila kita membentuk konsep diri yang positif pada anak.  Konsep diri, yaitu cara pandang anak terhadap dirinya, bila positif, seperti aku anak pintar, anak shaleh, aku bisa, dan sebagainya, akan membuat anak menghargai dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam relasi yang setimbang dalam pergaulan kelompok.

Suasana rumah yang terbiasa memberikan penghargaan kepada anak, memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan membuat keputusan, memberikan kepercayaan pada anak untuk mengerjakan tugas-tugas yang mampu dikerjakan anak, serta menganggap anak memiliki posisi yang penting dalam keluarga, akan membentuk  sikap kepemimpinan pada anak.  Sikap ini tinggal dipupuk terus agar kelak lahir seorang pemimpin besar.


Target Pendidikan untuk Anak Usia Dini
Kita perlu membuat target dalam mendidik anak agar kita memiliki arah yang jelas seperti apa kita mendidik mereka.  Target akan membuat langkah kita lebih fokus.  Target sebaiknya kita buat dalam parameter-parameter yang terukur, bukan dalam bentuk global seperti menjadikan anak kita anak yang shaleh.  Bagaimana kriteria shaleh untuk anak usia dini?  Perlu kita jabarkan lagi.

Target yang harus kita capai dalam pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut:
  1. Anak telah mengenal Allah dan rasul-Nya serta rukun iman yang lain
  2. Anak hafal juz Amma
  3. Anak dapat mengerjakan sholat dengan sempurna (gerakan dan bacaannya)
  4. Anak hafal hadits dan do’a sehari-hari.
  5. Anak mengenal konsep pahala dan sorga, yang tampak dalam aktifitas sehari-hari,      misalnya : gemar beribadah, gemar berbagi (memberi kepada orang lain ), gemar menolong orang lain dan senang melindungi yang lemah, mau mengalah (mendahulukan kepentingan orang lain), sabar (menunggu giliran, menyelesaikan pekerjaanya)
  6. Anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok
  7. Anak memiliki kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan yang kuat
  8. Untuk anak perempuan, telah terbiasa menutup aurat saat bepergian keluar rumah
Dengan adanya target-target ini, kita sebagai orangtua akan lebih mudah untuk mengevaluasi kemampuan anak di setiap tahapan umurnya.

Inilah beberapa prinsip dalam mendidik anak di usia dini.  Ibu, yang merupakan pelaku utama dalam proses pendidikan ini, harus selalu belajar dan mengembangkan kreativitas dalam memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak.  Sekalipun sekolah-sekolah untuk anak usia dini telah banyak, termasuk yang bernafaskan Islam, tetapi tetap peran orangtua, terutama ibu tidak tergantikan.

Dari orangtualah anak mendapatkan pembiasaan, keteladanan, kasih sayang dan pengertian.  Maka orangtua juga perlu ikut membenahi diri, mendidik diri sehingga mampu mendidik anaknya.  Dengan cara inilah maka kita dapat menunaikan amanah yang diberikan Allah dan siap mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat.[]

Selasa, 05 Juli 2011

Catatan Kritis Hari Keluarga Nasional 2011

Hari Keluarga yang diperingati setiap tanggal 29 Juni sejatinya lebih dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mensukseskan program Keluarga Berencana (KB). Rangkaian kegiatan peringatan Hari Keluarga 2011 bahkan secara lugas mengangkat opini pembatasan kelahiran dengan jalan melibatkan baik laki-laki maupun perempuan dalam ber KB menggunakan kontrasepsi mantap (permanen) Vasektomi (MOP) dan Tubektomi (MOW). Demikian pula kampanye Generasi Berencana (Genre), ditujukan untuk membatasi kelahiran dengan cara mendewasakan usia pernikahan dan memberikan pandangan negatif terhadap pernikahan di usia muda yang pada gilirannya akan membatasi jumlah anak yang bisa dimiliki masing-masing keluarga.

Nampaknya pemerintah Indonesia- dan negara-negara dunia ketiga yang mayoritas muslim lainnya- menjadikan pertumbuhan penduduk sebagai momok yang menakutkan. Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai penyebab problem kelaparan, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial. Maka  berbagai kebijakan berikut anggaran pun dicanangkan untuk menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk melalui program KB. Semua itu bermula dari propaganda dan  opini negatif tentang pertumbuhan penduduk yang dikembangkan oleh negara-negara Barat kapitalis dengan berbagai kepentingannya. Sepantasnya ada pertanyaan kritis, benarkah problem kelaparan, kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah akibat tingginya pertumbuhan penduduk?  Dan apakah persoalan tersebut bisa diselesaikan dengan menurunkan jumlah penduduk?

Sebagai catatan kritis atas kebijakan-kebijakan terkait program KB, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1.      Problem kelaparan, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme yang eksploitatif, bukan karena tingginya pertumbuhan penduduk. Buruknya distribusi kekayaan dan gaya hidup konsumeristis yang diajarkan kapitalisme menjadikan penduduk negara-negara Barat menghabiskan 81% sumber daya yang dihasilkan dunia, sementara penduduk dunia ketiga hanya menikmati 3,1%.

2.      Kampanye penggunaan kontrasepsi mantap Vasektomi dan Tubektomi bisa menghantarkan masyarakat pada pengabaian dan pelanggaran syariat Islam. Metode KB di atas diduga kuat (ghalabah adz dzan) membatasi kelahiran secara permanen yang dilarang oleh syariat Islam sebagai panduan hidup mayoritas masyarakat Indonesia.

3.      Program penundaan usia perkawinan dan stigma negatif terhadap pernikahan  di usia muda di tengah gempuran budaya liberal, merebaknya kepornoan dan minimnya penanaman syariat Islam berpotensi meningkatkan pergaulan bebas (perzinaan) dan melahirkan berbagai problem sosial seperti aborsi dan berbagai kerusakan moral.

Hendaknya semua komponen umat menyadari betapa banyaknya persoalan yang membutuhkan solusi syariat Islam dan institusi Khilafah Islamiyah.  Syariat Islam dan Khilafah akan melindungi umat dari propaganda menyesatkan tentang masalah kependudukan. Pada faktanya negara-negara Barat sedang ketakutan menyaksikan kekuatan demografi umat karena pertumbuhan penduduknya tinggi. Khilafah Islamiyah juga akan memastikan hilangnya problem kelaparan dan kemiskinan tanpa menjajakan program pembatasan kelahiran yang diharamkan dan tanpa memunculkan masalah-masalah sosial berikutnya. Ingatlah pesan baginda Rasul SAW;

“Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena pada hari kiamat aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian,” (HR Abu Dawud).

Jurubicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Iffah Ainur Rochmah
Hp: 08123037573 Email: iffah@hizbut-tahrir.or.id

Terapkan Sistem Islam; Sistem Pro Ibu

Pada setiap tanggal 22 Desember di Indonesia diperingati hari ibu. Banyak cara untuk menghargai jasa-jasa kaum ibu di hari itu. Seperti memberikan bunga, kado spesial hingga membebastugaskan ibu dari rutinitas seharian penuh. Apapun, itu hanya secuil bentuk perhatian yang tak akan mampu membayar jasa-jasa seorang ibu.

Namun kalau kita mau lebih benar-benar lagi memberikan perhatian penuh pada ibu, maka terapkan sistem kehidupan yang pro ibu untuk menggantikan sistem kapitalisme yang sama sekali tidak pro Ibu. Betapa tidak, banyak problem yang hingga kini menimpa kaum ibu, disebabkan sistem sekulerisme yang menuhankan kebebasan dan materialisme. Kaum ibu -berikut keluarga dan anak-anaknya– akhirnya menjadi korban ketidakramahan sistem kapitalisme.

Kemiskinan misalnya, ibarat lingkaran setan yang membelit ibu-ibu hingga terpuruk dalam ketidakberdayaan. Mereka miskin karena tidak mendapat nafkah cukup dari pihak yang wajib menafkahi, seperti suami. Para bapak ini tidak bisa menafkahi karena bekerja dengan gaji kurang, atau bahkan tidak bekerja sama sekali. Mereka tidak bekerja bukan karena malas, tapi lowongan kerja tidak ada.

Perusahaan banyak yang mempekerjakan kaum perempuan karena digaji lebih rendah, atau pekerjaannya lebih teliti. Para bapak ini, mau buka usaha juga tidak punya modal. Mau bertani/berkebun/berhutan tak punya lahan, karena berhektare-hektare tanah dikuasai para konglomerat. Akhirnya, istri yang disuruh bekerja. Menjadi TKW misalnya. Sungguh, pilihan yang tidak membahagiakan kaum ibu. Mereka harus meninggalkan suami dan anak-anak tercinta, menekan fitrahnya sebagai perempuan. Terkadang bukan uang dibawa pulang, malah nyawa pun melayang.

Dilema Ibu Pekerja

Sistem kapitalisme saat ini, juga melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kaum ibu. Dengan dalih pemberdayaan perempuan dan kemandirian ekonomi, kaum ibu banyak yang terjebak pada aktivitas publik dibanding fokus pada kewajiban domestiknya. Menjadi ibu pekerja misalnya.
Banyak alasan mengapa ibu-ibu bekerja. Seperti untuk menambah penghasilan keluarga, mencari uang saku sendiri, eksistensi diri, prestise, menjadi tulang punggung keluarga, atau mengamalkan ilmunya. Istri nabi pun, Siti Khadijah adalah seorang pedagang (saudagar).

Ya, tak sedikit keahlian-keahlian khusus yang hanya dikuasai kaum perempuan (ibu). Atau, ada profesi khusus yang dibutuhkan kaum perempuan dan lebih mumpuni jika dikuasai oleh kaum perempuan. Seperti perawat, bidan dan dokter kandungan. Banyak ibu-ibu malu jika melahirkan pada dokter laki-laki. Karena itu, keberadaan kaum ibu di dunia kerja memang tidak bisa dihilangkan sama sekali.

Sayangnya, di dunia kerja saat ini, kaum ibu banyak yang mengalami tekanan batin karena terjebak pada dilema: antara karier dan keluarga. Islam membolehkan kaum ibu (perempuan) bekerja, dengan catatan tidak melalaikan tugasnya sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik anak. Ini bukan perkara gampang jika sistem tidak mendukung.

Seperti tugas menyusui bayi, saat ini tidak bisa dilakukan maksimal karena cuti melahirkan hanya tiga bulan. Padahal disunahkan menyusui selama dua tahun. Karena itu, dunia kerja harusnya menyesuaikan diri dengan hal ini. Misal memberikan cuti selama dua tahun kepada ibu yang bersangkutan. Mungkin gagasan ini dianggap merugikan perusahaan yang memperkerjakan ibu tadi, tapi itu bisa diatasi dengan membuat akad perjanjian kerja baru dengan si ibu. Misalnya selama cuti tidak mendapat gaji atau hanya menerima haknya separuh. Itu adalah pilihan bagi si ibu.

Bahkan jika ibu pekerja ingin cuti panjang, semisal lima tahun hingga anaknya masuk sekolah, pengusaha hendaknya mengakomodir. Tentu saja selama cuti panjang itu si ibu tidak mendapatkan gaji, karena posisinya bisa saja digantikan oleh pekerja lain. Hanya, harus ada kesepakatan jika ibu itu ingin kembali bekerja, hendaknya diterima dengan membuat perjanjian baru.

Sementara itu, dunia kerja hendaknya tidak mengabaikan ibu-ibu berusia tidak muda lagi, tapi masih produktif untuk kembali bekerja. Pasalnya, pilihan waktu bagi kaum ibu untuk bekerja, yang terbaik adalah ketika dia tidak lagi memiliki anak-anak usia balita. Ya, ketika anak-anaknya telah beranjak remaja, biasanya  kaum ibu yang sudah berusia 40-an tahun, banyak yang ingin kembali berkarir.

Selain mendapatkan tambahan penghasilan, juga demi mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Namun dunia kerja umumnya hanya menerima karyawan berusia muda. Mereka dikalahkan persyaratan berembel-embel: penampilan menarik.

Padahal, tak sedikit ibu-ibu usia 40-an tahun yang menjanda, suaminya meninggal, yang ingin bekerja demi menopang nafkah keluarga. Sayang, dunia kerja tak ramah padanya. Tak ada lowongan kerja untuknya.
Memang, idealnya ibu-ibu bekerja di sektor yang tak banyak memakan waktu. Atau paling tidak dia sendiri yang memenej waktu bekerjanya. Seperti menjadi freelancer. Karena itu, perusahaan seharusnya didorong memberikan kesempatan pada ibu-ibu untuk menjadi freelancer daripada merekrutnya menjadi karyawan tetap.

Yang penting, sistem harus menciptakan regulasi bahwa ibu-ibu yang mengabdikan diri di dunia kerja tidak terforsir waktunya hingga melalaikan urusan rumah. Misalnya dengan membatasi jam kerja karyawan yang sudah berprofesi sebagai ibu, memberikan toleransi ketika anak sakit, dll. Jangan ada ibu pulang larut malam, atau bahkan menginap ke luar kota atau luar negeri hanya karena urusan pekerjaan. Kecuali, memang didampingi mahromnya.

Pastikan tidak ada eksploitasi terhadap kaum ibu pekerja, baik fisik maupun pikirannya. Sebab jika ibu-ibu terlalu berat beban kerjanya, dipastikan ia akan pulang ke rumah dalam kondisi kelelahan dan stres. Kadang, anak-anak jadi sasaran empuk pelampiasan stres.


Ratu Keluarga

Kaum ibu membutuhkan jaminan kebahagiaan atas peran dan tanggung jawab yang harus dijalaninya. Ia butuh rumah yang nyaman dan kondusif untuk menjalankan tugasnya sebagai manajer rumah tangga. Ia butuh jaminan materi untuk menjamin kebutuhan anggota keluarga, khususnya anak-anak. Memang, materi bukan segalanya. Tapi kelangsungan hidup keluarga, khususnya anak-anak sangat membutuhkan materi. Yakinlah, kalau materi sudah tercukupi, kaum ibu akan lebih senang fokus mengelola rumah dan mendidik anak-anaknya.

Dan ini adalah kewajiban para suami untuk memenuhinya. Suami akan mampu mewujudkan manakala sistem yang diterapkan kondusif. Lapangan kerja mudah, gaji memadai, mau usaha gampang, lahan mati dihidupkan, biaya hidup terjangkau, harga sembako murah, akses pendidikan dan kesehatan murah, keadilan di depan hukum, birokrasi sederhana, kemaksiatan sirna, dst.

Semua itu tidak terwujud tanpa diterapkannya sistem syariah Islam dalam naungan Khilafah. Pasalnya, sistem sekuler-kapitalis saat ini telah nyata-nyata gagal memberi jaminan atas seluruh kebutuhan warga negara, termasuk kaum ibu dan anak-anak. [sumber: hizbut-tahrir.or.id/syabab.com]
*) Shabrina NA, Penggiat Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen Prosa), tinggal di Bogor.