Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Sabtu, 20 Juli 2013

MENGAJARI ANAK MAKNA HARI RAYA

RUBRIK KONSULTASI PARENTING ISLAMI 

Bersama dr. Hj. Faizatul Rosyidah


PERTANYAAN:

Ustadzah, apa makna yang bisa diambil dan diajarkan kepada anak tentang hari raya? (Ibu Sri Wahyuni, Sidoarjo)

JAWABAN:
Bagi anak-anak, hari raya memang seringkali dikaitkan dengan momentum sukaria dan kegembiraan. Banyak makanan, kue enak, baju baru, jalan-jalan, dan mendapat salam tempel, adalah gambaran tentang lebaran atau hari raya di pikiran polos bocah-bocah tersebut. Bagaimana mengajarkan anak-anak kita makna Lebaran sesungguhnya? Apa saja pelajaran yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita melalui momentum hari raya?

Tradisi 1: Suasana penuh kegembiraan. Bergembira di hari raya adalah suatu hal yang wajar dan memang seharusnya. Sebagaimana yang disampaikan Rasul SAW bahwa bagi orang berpuasa akan mendapatkan 2 kegembiraan; yang pertama adalah ketika dia berbuka (termasuk berhari raya setelah selama Ramadhan berpuasa), dan yang kedua adalah ketika dia menemui tuhannya (karena mendapatkan keridloan dan balasan kenikmatan dari Allah SWT). Jadi menciptakan hal-hal yang bisa membuat suasana gembira bisa dirasakan oleh semua, adalah hal yang diperbolehkan dan tidak masalah. Hanya saja pelajaran yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita adalah pada apa yang sebenarnya membuat kita gembira. Kita bergembira karena telah berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT (menyempurnakan puasa Ramadhan) dengan segenap usaha kita dalam menghadapi tantangan ataupun kesulitan apapun ketika menjalankan ketaatan tersebut.Kita juga bergembira karena kelak kita akan mendapatkan kenikmatan dan Ridlo dari Allah SWT sebagaimana yang Dia janjikan. Dan sebagai bentuk rasa syukur kita, maka kemudian kita berbagi dengan orang lain agar juga merasakan kegembiraan kita tersebut dengan menyediakan suguhan berupa makanan yang enak, berbagi hadiah, dan sejenisnya, agar orang lain tersebut juga menyebut Allah SWT dengan penuh kesyukuran atas segala nikmat-Nya. Namun kalau selama Ramadhan kita tidak melakukan puasa dan ketaatan pada perintah Allah SWT lainnya, maka sebenarnya kegembiraan tersebut adalah hal yang ‘semu’ atau tampilan luar saja. Bagaimana kita bisa bergembira sementara kita tahu bahwa kita akan menghadapi kemurkaan dan adzab dari Allah SWT karena telah melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT?! Jadi tekankan pada anak untuk melakukan ketaatan, maka kita pasti akan merasakan kegembiraan yang sesungguhnya.

Tradisi 2: Baju Baru. Sebuah pepatah mengatakan “Hari raya bukanlah bagi mereka yang memakai baju baru, namun hari raya hakikatnya adalah bagi mereka yang ketaatannya bertambah”. Baju baru bisa menjadi simbol ke 'baru'-an atau bersih. Namun, tak berarti tanpa baju baru kita tidak bisa berhari raya. Harus diakui, terkadang stimulus dari orang tua maupun lingkunganlah yang membentuk anak terbiasa harus berhari raya dengan baju baru. Misal, orangtua selalu membiasakan membeli baju baru, tanpa memberikan pengertian. Atau anak melihat dari lingkungan, dimana tetangga atau masyarakat yang biasa membeli baju baru saat Lebaran. Pembiasaan inilah yang pada akhirnya membentuk pandangan atau persepsi bahwa Lebaran identik dengan baju baru. Agar anak tidak salah memahami, ada baiknya orangtua memberi contoh dengan tidak memakai baju baru saat hari Lebaran. Pakailah baju yang masih pantas dan bersih untuk shalat dan silaturahmi. Dengan keteladanan tersebut, sangat memungkinkan, anak akan bertingkah laku sama seperti orangtua; tidak menjadikan baju baru sebagai hal utama dalam berhari raya.

Tradisi 3: Angpau atau salam tempel. Sebenarnya filosofi pemberian angpau adalah berbagi kebahagiaan dengan menunjukkan atau berbagi kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada kita. Akan lebih baik lagi, jika uang tersebut dibagikan kepada mereka yang tidak mampu, agar dapat merasakan kegembiraan Lebaran. Libatkan si kecil saat kita menyisihkan angpau untuk dibagi-bagikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan begitu, si kecil akan memaknai Lebaran sebagai momen memberi kebahagiaan kepada orang lain atau berbagi. Bukan malah menganggap bahwa Lebaran adalah saat untuk ‘jajan’ banyak karena mendapat uang berlebih dari sanak saudara. Perlu diingat, berbagi kebahagiaan pada anak sebenarnya tidak harus dilakukan dengan memberikan uang. Bisa dengan memberikan hadiah bermanfaat yang menjadi ‘impian’nya sebagai sebuah reward/penghargaan atas usaha anak untuk melakukan ketaatan selama ramadhan. Artinya, sebenarnya tradisi pemberian angpau atau berbagi boleh-boleh saja asal disesuaikan dengan kemampuan, tidak dipaksakan dan filosofinya dipahami oleh anak-anak kita.

Tradisi 4: Mudik. Pulang kampung untuk merayakan lebaran juga menjadi tradisi. Ada baiknya memberikan pemahaman kepada anak esensi di balik mudik ini. Katakan kepada anak bahwa bertemu sanak saudara bukan tanpa maksud, bukan sekadar berkumpul untuk bersenang-senang. Lebih daripada itu adalah untuk menjalin silaturahmi. Juga merupakan momen tepat untuk memperkenalkan dan menjalin kedekatan dengan sebagian besar anggota keluarga yang selama ini mungkin masih belum dikenal oleh anak. Bagi kita yang kebetulan ”kaum urban”, ini persoalan yang sangat perlu mendapatkan perhatian khusus. Jangan sampai anak kita hanya tahu, tapi tidak memiliki kedekatan emosi dengan keluarga lain karena kita tidak pernah memfasilitasinya. Dengan begitu, perlahan-lahan, anak akan mengerti bahwa hari raya adalah kesempatan yang baik untuk menyambung tali silaturahmi dan saling memaafkan. Kita bisa menambahkan penjelasan Islam mengenai rahasia di balik silaturahmi yang mudah ditangkap oleh anak, misalnya orang yang membiasakan silaturahmi akan dipanjangkan umurnya atau akan dibukakan pintu rejeki yang lebih banyak atau juga akan diberikan berbagai kebaikan dalam hidup.

Tradisi 5: Saling maaf-memaafkan. Pada saat lebaran, anak kita melihat secara langsung betapa semarak dan semangatnya orang-orang di sekelilingnya untuk saling meminta dan memberi maaf. Realita tersebut bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk menjelaskan mengenai pentingnya berjiwa besar untuk bisa memaafkan orang lain atau meminta maaf atas segala kesalahan yang kita lakukan.Pada saat anak berlebaran di kampung atau bersama keluarga besar, sangat mungkin di sana terjadi gesekan antara anak kita dengan anak lain. Maka pada saat gesekan tersebut muncul, ini juga momen yang bagus untuk mengajarkan kebiasaan saling memaafkan ini.Yang perlu ditekankan bahwa meminta maaf dan memberi maaf, sebenarnya harus kita lakukan kapanpun dan tidak harus menunggu momen hari raya.

Pelajaran lain yang bisa kita lakukan selama momen hari raya, adalah menanamkan kemandirian pada anak. Jika selama ini ada pembantu di rumah yang mengerjakan pekerjaan rumah, kini saatnya mengajarkan pada anak membagi pekerjaan tersebut dengan seluruh anggota keluarga, agar mereka juga belajar mandiri. Semoga bermanfaat.[]