Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Minggu, 31 Mei 2009

Kapan Ghibah Diperbolehkan? (DARI KITAB RIYADUSH-SHOLIHIN IMAM AN NAWI)

Oleh: Alfath Fathonie

Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang (seandainya orang tersebut mendengarnya) tidak disukainya. Ghibah dalam bahasa Indonesia biasanya disamakan dengan menggunjing, yaitu aktivitas membicarakan aib orang lain. Pada asalnya hukum ghibah adalah haram, kecuali pada kondisi tertentu yang diperbolehkan oleh syara'. Tulisan berikut mencoba memaparkan kondisi-kondisi tertentu dimana ghibah boleh dilakukan, sesuai dengan penjelasan di dalam kitab Riyadhush Sholihiin karya Imam An Nawiy. --pengantar blogger---

*****

Ketahuilah bahwa Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang membolehkan ghibah dilakukan:

Pertama, mengadukan kezhaliman (at-tazhallum). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu
Kedua, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran (al isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb). Maka seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal semacam ini, maka tersebut adalah haram

Ketiga, permintaan fatwa (al istiftâ`). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), ayahku (atau saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini. Lalu apa yang harus aku perbuat padanya?; bagaimana cara agar aku terlepas darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang orang atau seoseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil (jawaban) tanpa harus menyebutkan rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk melakukan rincian (at ta’yîn), sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti, insyaallah.

Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap suatu keburukan dan menasihati mereka (tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa nashîhatuhum). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya (jarhul majrûhîn) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi (di pengadilan, red). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu. Contoh lainnya adalah meminta masukan atau pendapat (musyawarah) tentang rencana melakukan pernikahan dengan seseorang (mushâharah), kerjasama, memutuskan kerjasama, mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat. Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian itu. Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat, akhirnya ia terjerumus dalam fitnah.

Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak. Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu. Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk mendorongnya agar istiqomah atau menggantinya.

Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan (al- mujâhir) kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan (mujâharah). Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah kami sebutkan pada empat point sebelumnya.

Keenam, penyebutan nama (at-ta’rîf). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab (julukan) seperti al-A’masy (Si Kabur Penglihatannya) atau al-A’raj (Si Pincang), atau al- Ashamm (Si Tuli), al-A’maa (Si Buta), al-Ahwal (Si Juling), dan lain sebagainya maka boleh menyebut nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan.
Inilah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati. Adapun dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shohih yang masyhur, diantaranya adalah,

عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “ائذنوا له، بئس أخو العشيرة؟ ” ((متفق عليه)).

Dari Aisyah r.anha bahwa seseorang meminta izin pada Nabi SAW, lalu beliau berkata: izinkanlah ia, seburuk-buruk saudara suatu kabilah. (Muttafaq Alaih)

Al Bukhori berhujjah dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad (pembuat kerusakan) dan ahlu ar rayb (menciptakan keraguan).

وعنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من ديننا شيئًا” ((رواه البخاري)). قال الليث بن سعد أحد رواة هذا الحديث: هذان الرجلان كانا من المنافقين

Dan masih dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami. (HR al Bukhari). Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: kedua orang yang disebut di sini adalah orang munafiq.

وعن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه” ((متفق عليه))

Dari Fathimah binti Qays r.anha, ia berkata: aku mendatangi Nabi SAW lalu aku berkata, sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah SAW berkata, adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. (Muttafaq alaih)

Dan dalam riwayat Muslim, haditsnya berbunyi:

”وأما أبو الجهم فضراب للنساء”

Adapun Abul Jahm ia suka memukul wanita.

Ini merupakan penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian.

وعن زيد بن أرقم رضي الله عنه قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي: لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه: ما فعل، فقالوا: كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي {إذا جاءك المنافقون} ثم دعاهم النبي صلى الله عليه وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم. ((متفق عليه))

Dari Zaid bin Arqam r.a, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu aku mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan¸ “Zaid telah membohongi Rasulullah SAW”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang orang-orang katakan hingga Allah SWT menurunkan apa yang dapat membenarkanku {إذا جاءك المنافقون} “apa bila datang orang-orang munafiq” (QS Al Munaafiquun). Kemudian Nabi SAW memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan wajah mereka. (Muttafaq alayh)

وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا يعلم؟ قال: ”خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف” ((متفق عليه))

Dari Aisyah r.anha, ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya”. Lalu Nabi SAW berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (bil ma’ruf)” (Muttafaq Alayh). (Zendarr)

Persembahan bagi Muslimah: Karakteristik Istri Shalehah

Oleh: Hazna Alifah

Karakteristik Istri Shalehah:
• Selalu konsisten dalam menjalankan agama Allah lahir dan batin, tanpa ragu, malas ataupun nafsu. Tidak ada masalah antara dirinya dengan sang suaminya dalam hal ketaatan terhadap Allah dan RasulNya. Senantiasa menjalankan Syariat, menjauhi semua larangan Nya. Dia adalah istri yang sangat komitmen dengan penuh kesadaran.
• Akhlaknya baik, sikapnya tenang, lembut dan fleksibel, ucapannya bagus, penampilannya sederhana, perilakunya konsisten, tidak dengki, tidak pula pendendam, tidak membangkang perintah suaminya, juga tidak sombong.
• Dia menuntut ilmu syariat, mengetahui kedudukan ilmu dan keutamaan serta urgensinya. Dia antusias dalam menuntutnya, memiliki suatu metode ilmiah yang sesuai kemampuannya. Dia meneladani para Ummahatul Mukminin dan para istri pendahulu umat ini dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya.
• Dia mengerti kedudukan suami yang telah digariskan oleh Islam. Dia menunaikan kewajibannya dengan sesempurna mungkin, berdasarka kesadaran bahwa kewajiban ini merupakan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.
• Dia memiliki kepekaan untuk meminta keridhaan dari sang suami. Perasaannya kuat dan tajam. Dia memiliki wajah yang berseri-seri dan cerah yang semakin menambah kebahagiaan rumah tangganya.

• Dia siap berkorban dan lebih mengutamakan suaminya daripada diri sendiri. Mendahulukan keridhaan suami daripada keridhaan dirinya sendiri, keinginan suami daripada keinginannya sendiri, hal yang disukai oleh sang suami daripada yang disukai oleh dirinya sendiri. Ketaatannya dalam hal selain maksiat benar-benar tulus murni berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam.
• Seorang istri yang hemat, tidak boros dan tidak berbangga diri dengan harta suaminya jika sang suami kaya, tidak pula ngeluhkan sedikitnya harta jika sang suami miskin. Dia tau kapan harus berinfak, dia dermawan dan tidak kikir, pandai mengatur keuangan dan tidak menghambur-hamburkan uang. Rela dengan pembagian dari Allah dalam segala hal, bersyukur atas rezeki yang Allah karuniakan kepadanya.
• Dia cerdas dan bersikap zuhud, dia mengoleksi perhiasan rumah tangganya di dunia dengan iman dan amal shaleh.
• Dia memperhatikan kecantikan diri, menebar aroma harum di dalam rumahnya sehingga membuat suasana rumah menjadi nyaman.
• Berterimakasih kepada suami atas kerja keras dan kelelahannya dalam mencukupi diri dan anak-anaknya. Berterimakasih juga atas terpenuhinya kebutuhan primer, seperti makanan dan minuman yang diusahakan suami. Senantiasa mendoakan suami agar memperoleh ganjaran dan pahala pengganti dari jerih payahnya serta tidak mengingkari kenikmatan yang diberikan suami.
• Berbakti kepada keluarga suami, yakni orangtua dan saudari-saudarinya serta menjalin silaturahmi dengan mereka dalam rangka menyenangkan hati suami sekaligus menjalankan perintah Allah.
• Dia adalah seorang istri yang cerdas dan bijaksana, tidak mengeluhkan suaminya kepada seorangpun, meski kepada kedua orangtuanya sekalipun, tidak membawa problema rumah tangga ke luar rumah. Apabila suatu masalah menjadi serius, dia bersama suaminya berkonsultasi kepada ulama yang bertakwa dan saleh, itupun dalam batasan yang paling ketat. Dia tidak membocorkan rahasia-rahasia rumah tangganya, menasehati suaminya untuk menjaga adab, bersikap tawadhu’, dan berakhlak baik.
• Apabila hendak keluar rumah, dia meminta izin dari suami. Dia keluar rumah dengan pakaian yang menutup aurat sesuai syariat, tidak memakai wewangian, berjalan dengan sikap tawadhu’ dengan penuh adab, penuh rasa malu dan tenang. Dia tidak menggubris suara-suara yang ditujukan kepadanya di jalanan dan tidak memakai gelang kaki ataupun sepatu yang berbunyi sewaktu dipijakkan ke tanah.
• Dia menaruh perhatian besar pada pendidikan islam yang sempurna dan menyeluruh bagi anak-anaknya. Targetnya adalah menyiapkan sebuah generasi saleh mujahid, yang kelak menjadi seorang pejuang syariah dan khilafah.
• Istri salehah sangat menjaga waktu dan mengerti betul untuk apa dia menggunakannya. Dia tidak memiliki waktu untuk bergosip ataupun bersenda gurau.
• Istri salehah senantiasa beribadah kepada Allah, banyak berdzikir, bertahajjud, bersedekah, banyak berpuasa dan khusyu.
• Dia senantiasa mengingat kematian, mempersiapkan diri untuk memsuki alam kubur. Tidak emlalaikan pertemuan dengan Allah dan akhirat.
• Dia adalah seorang mukminah yang berjuang dengan penuh kesabaran. Apabila diuji dengan suatu cobaan mengenai dirinya, hartanya, anaknya atau suaminya, dia bersabar dan mengharapkan pahalanya di sisi Allah.
• Dia ber-amar ma’ruf nahiy munkar. Dia tidak mengambil keuntungan dari dakwahnya. Dia berdakwah dengan akhlak mulia. Dia tidak mengharapkan pujian dan mengikhlaskan amalnya, dan bahkan sebisa mungkin menyembunyikannya.

Jumat, 29 Mei 2009

‘Kespro’: Proyek Liberalisasi di Bidang Kesehatan

Faizatul Rosyidah

”Kolonialisme lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan.” (Vandana Shiva)

Berbeda dengan kolonialisme Eropa sebelum Perang Dunia I yang hanya merampas tanah dan bahan baku industri, kolonialisme gaya baru yang dipromotori para kapitalis neoliberal merampas seluruh kehidupan umat manusia. Di Indonesia liberalisasi masuk ke seluruh aspek kehidupan melalui pintu-pintu sistem politik dan pemerintahan, perundang-undangan, pendidikan serta media massa.

Liberalisasi politik berlangsung massif sejak reformasi bergulir tahun 1998. Pemilihan umum yang biasanya hanya diikuti oleh tiga kontestan Pemilu sejak tahun 1971 berubah. Orang dengan mudah membuat partai politik. Partai politik yang dulu eksis di era Orde Baru pun pecah. Partai-partai politik baru tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menikmati euforia reformasi. Pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Pujian demi pujian pun datang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Liberalisasi ekonomi terjadi ketika UUD 1945 yang baru membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak mengherankan jika kemudian lahir UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal sebagai turunan dari UUD 1945 hasil amandemen. Asing boleh menguasai sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tak cukup hanya bidang politik dan ekonomi, liberalisasi pun merambah di bidang sosial. Ini tampak dari penentangan terhadap Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (APP). Lebih dari 7 tahun RUU itu tak berhasil disetujui dan disahkan menjadi UU. Kalangan liberal tidak menginginkan Indonesia lebih baik. Mereka berharap Indonesia bebas sehingga semua produk pornografi dan pornoaksi bisa masuk ke Indonesia dengan leluasa. Perlu diingat, produk ini merupakan salah satu barang/jasa yang paling besar keuntungannya di dunia. Bahkan survei yang dilakukan oleh kantor berita Associate Press (AP) menunjukkan, bahwa Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi.

Satu hal lagi yang kini digencarkan kaum liberal di Indonesia, yakni liberalisasi agama, khususnya Islam. Berbagai upaya dilakukan agar Islam bisa menerima penafsiran baru yang datang dari luar Islam. Mereka menggiring Islam ke arah ‘Islam moderat’, yakni Islam yang lebih pro-Barat dan tercerabut dari akar pemahaman Islam yang sebenarnya. Munculnya aliran-aliran sesat, seperti Ahmadiyah merupakan salah satu jalan untuk menggerogoti pemahaman Islam. Dengan berbagai cara, kaum liberal mendukung keberadaan aliran sesat ini, termasuk aliran sesat lainnya seperti Salamullah (Lia Eden), Bahai, dan Al-Qiyadah (Mosadeq). Ini adalah proyek besar. Jika Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka ini menjadi pintu masuk untuk merusak bagian-bagian Islam lainnya.

Bidang kesehatan pun tak luput dari bidikan liberalisasi ini. Atas nama kesehatan reproduksi, mengalirlah pemikiran-pemikiran (liberal) berbahaya ke tengah-tengah masyarakat.

’Membaca’ dengan Jernih Kespro
Kesehatan reproduksi (kespro) diartikan sebagai suatu keadaan utuh secara fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. 2 Sehat secara fisik, mental, dan sosial suatu masyarakat tentu saja dipengaruhi oleh sudut pandang kehidupan (ideologi). Pada ideologi Barat, aborsi dipandang sebagai satu upaya untuk mewujudkan kesehatan secara mental dan sosial. Mengapa demikian? Sebab, seorang perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) merasakan ketidaknyamanan dalam hidupnya. Apalagi jika perempuan merasa bersalah dan tertekan akibat pandangan negatif masyarakat kepadanya. Oleh karena itu, KTD harus dihilangkan dengan jalan aborsi yang legal dan aman. Akibatnya, legalisasi aborsi menjadi satu bahasan penting dalam isu kespro. Mereka cenderung mengabaikan faktor penyebab timbulnya KTD, yang sebagian besar disebabkan oleh seks bebas. Seks bebas sendiri yang menjadi penyebab KTD tidak diurusi karena telah menjadi gaya hidup dan bagian dari kebebasan berperilaku yang mereka anut.


Definisi kespro tersebut pertama kali diluncurkan pada tahun 1994 dalam sebuah konferensi internasional yang membahas populasi penduduk dunia dan pembangunan di Kairo, Mesir. Dalam rencana aksi konferensi tersebut dan juga dalam rencana aksi Konferensi Dunia tentang Perempuan IV satu tahun kemudian (Beijing, 1995), perempuan diakui memiliki empat macam hak dasar:3
1. Hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual.
2. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kebebasan reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan.
3. Hak untuk bebas memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak-anak serta hak untuk memperoleh informasi sekaligus sarananya.
4. Hak untuk mendapatkan kepuasan dan keamanan hubungan seks.

Keempat hak tersebut dirumuskan di atas landasan pemikiran feminis yang lahir dari ide sekular-liberal. Dengan prinsip dasar hak asasi individu, hak untuk menentukan nasib sendiri, serta integritas dan kepemilikan tubuhnya sendiri, perempuan bebas mengambil keputusan untuk melakukan apapun yang terkait dengan reproduksi seksualnya. Ketika perempuan memilih untuk melakukan hubungan seksual dengan siapapun tanpa ikatan perkawinan, misalnya, hal itu dianggap sah-sah saja karena ia sendiri yang menentukan pilihannya. Hubungan ini diakui karena dilakukan tidak atas dasar paksaan, diskriminasi, dan kekerasan; asalkan mereka bertanggung jawab atas pilihannya. Agar hubungan ilegal ini aman (bebas dari infeksi HIV/AIDS), pelaku seks bebas (umumnya remaja) diberi akses besar terhadap alat kontrasepsi. Pemberian akses ini pada hakikatnya memberi ruang yang lebih luas bagi perilaku seks bebas.
Jika seks bebas telah menjadi pilihan, manusia tidak lagi memilih ikatan perkawinan sebagai sarana menyalurkan keinginan seksual. Ikatan perkawinan dianggap beban karena laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab besar terhadap anak. Dalam seks bebas tidak ada konsekuensi perempuan untuk hamil, melahirkan, menyusui, dan mendidik anaknya. Kalaupun hamil, agar sehat secara mental ia boleh melakukan aborsi.

Di sisi lain, dalam suasana kehidupan kapitalis, perempuan didorong untuk meraih materi dengan bekerja. Rumah tangga dan seluk-beluknya dianggap menjadi rintangan untuk meraih sukses dalam karir. Akibatnya, perempuan memilih tidak menikah dan untuk menyalurkan keinginan seksualnya ia melakukan hubungan seks tanpa ikatan perkawinan.

Begitupun laki-laki, dengan seks bebas ia tidak terikat untuk membiayai kehidupan istri dan anaknya. Ia bisa beralih pada perempuan manapun saat ia bosan dengan satu perempuan. Kondisi ini sudah terjadi pada masyarakat Barat yang menganut ideologi sekular-liberal. Saat ini mereka terancam kepunahan generasi akibat masyarakatnya enggan untuk menikah, hamil, dan berketurunan. Inilah dampak dari adanya seks bebas: institusi keluarga terancam hancur, generasi akan punah, dan yang tersisa adalah generasi pesakitan yang sedang menanti datangnya ajal. Di beberapa negera Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Swiss, pemerintah mereka memberi penghargaan kepada pasangan yang menikah dan melahirkan anak, karena jumlah pertumbuhan penduduk mereka mengalami penurunan yang signifikan.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa konsep kespro dimaksudkan untuk melegalkan seks bebas yang akan menghancurkan institusi keluarga dan mengancam lestarinya generasi manusia. Kondisi seperti inilah yang mereka (Barat) hendak berlakukan terhadap negeri-negeri kaum Muslim melalui konsep kespro, yang digagas pada pertemuan kependudukan dan pembangunan tingkat dunia di Kairo.
Sangat jelas, even ini penuh dengan konspirasi menghancurkan negeri-negeri Muslim. Ini terihat dari perubahan paradigma pendekatan demografi yang berkedok menyelesaikan persoalan ledakan penduduk (baca: KB) ke pendekatan kesehatan reproduksi (baca: seks bebas) yang dikemas dengan slogan kesehatan perempuan. Alih-alih meningkatkan derajat kesehatan perempuan, yang terjadi adalah semakin banyaknya masalah kesehatan yang menimpa masyarakat.


Kespro: Menuju Liberalisasi
Aroma liberalisasi jelas tercium pada gagasan ini. Hal ini bisa disimpulkan dengan mengamati rencana kerja ICPD dalam menjelaskan kerangka bagi 4 tujuan status kesehatan reproduksi yang lebih baik, yaitu: tujuan agar setiap kegiatan seks harus bebas dari paksaan serta berdasarkan pilihan yang dipahami dan bertanggung jawab; setiap tindakan seks terbebas dari infeksi; setiap kehamilan dan persalinan harus diinginkan; serta setiap kehamilan dan persalinan harus aman.
Elemen-elemen kespro di Indonesia menurut Departemen Kesehatan tahun 1995 adalah keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR) dan HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi remaja. Dengan membawa semangat ICPD dan melandasinya dengan tujuan dan rencana kerja yang ada, elemen kespro tersebut diterjemahkan dengan persepsi atau sudut pandang liberal yang mengagung-agungkan hak reproduksi perempuan.

Pada elemen keluarga berencana, misalnya, dengan pemahaman dasar bahwa perempuan berhak untuk menentukan kapan dia akan bereproduksi atau tidak, maka seseorang bisa kapan saja memakai atau tidak memakai alat kontrasepsi. Seorang istri bisa memakai alat kontrasepsi, sekalipun tanpa izin dari suami, saat ia tidak menginginkan kehamilannya. Atas nama hak reproduksi, seorang perempuan yang belum menikah pun boleh memakai alat kontrasepsi jika suatu ketika dia menginginkan atau membutuhkannya.

Pemikiran liberal juga tampak saat gagasan kespro berusaha meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Angka kematian ibu yang tinggi hanya disoroti dari sisi banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan. Seorang ibu yang khawatir, tertekan, dan merasa tidak bisa menerima kehamilannya karena kegagalan alat kontrasepsi dapat saja dianggap tidak sehat secara mental dan sosial. Lalu kondisinya dapat dianggap sebagai kegawatan medis yang membolehkan tindak aborsi. Demikian pula bagi seorang perempuan yang merasa khawatir, tertekan, dan gelisah karena hamil akibat perselingkuhan, hubungan pra nikah atau bahkan perkosaan dan incest; ia dapat dianggap tidak sehat secara mental dan sosial sehingga dibolehkan melakukan tindak aborsi.

Demikian halnya dengan pemikiran yang dikembangkan gagasan kespro saat harus menanggulangi ISR dan HIV/AIDS. Adanya jargon, “Jauhi AIDS, Jangan Orangnya,” mengajari kita untuk toleran dengan orang-orang yang hobi berganti-ganti pasangan. Atas nama hak reproduksi perempuan, solusi untuk permasalahan ini adalah kampanye penggunaan kondom, pendidikan seks dan kespro bagi remaja agar mampu melakukan hubungan seks secara sehat dan tidak berisiko, mendorong para remaja untuk melakukan KB (KB pra merital) dengan suntikan anti hamil, dan yang semisalnya. Kalaupun hubungan seks bebas ini berisiko menghasilkan janin, tidak perlu khawatir, karena aborsi telah dilegalkan.

Alhasil, gagasan kespro yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas kesehatan kaum perempuan dan meningkatkan kualitas generasi mendatang hanyalah omong-kosong. Gagasan kespro tidak lebih merupakan usaha musuh-musuh Islam untuk menjadikan negeri-negeri kaum Muslim seperti negeri-negeri mereka. Pelaksanaan hak reproduksi perempuan versi liberalis hanya akan memicu konflik peran antara suami dan istri, meningkatkan eskalasi kekerasan dan konflik dalam rumah tangga. Akibatnya, tatanan keluarga Muslim yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam akan mengalami kehancuran. Dalam kehidupan masyarakat umum, gagasan ini akan memicu maraknya pergaulan bebas, seks bebas, aborsi, perselingkuhan, KB pra merital, dan penyakit sosial lainnya yang akan merobek jaring-jaring tatanan masyarakat Islami.
Dengan demikian, gagasan kespro di Dunia Islam tidak lebih merupakan upaya Barat untuk menghancurkan institusi keluarga Muslim dan merusak tatanan masyarakat Islam.

Kespro Menyerang Nilai-Nilai Islam
Konsep kespro nyata-nyata dilandaskan pada pandangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (keadilan dan kesetaraan jender). Pandangan ini mengajarkan tentang otonomi perempuan, penentuan nasib dirinya, integritas dan kepemilikan tubuhnya yang menjadi prinsip-prinsip pokok kesehatan, serta hak-hak reproduksi dan seksual perempuan.

Dalam konteks ini, hak-hak reproduksi perempuan meliputi hak untuk: (1) menentukan perkawinannya sendiri; (2) penikmatan seksual; (3) menentukan kehamilan; (4) mendapatkan informasi kesehatan reproduksi; (5) menentukan kelahiran; (6) terkait khitan perempuan.
Agama Islam lalu dipandang sebagai faktor penghalang dalam merealisasikan hak-hak perempuan. Sebagai contoh, Hadis Nabi saw. yang menyatakan bahwa perempuan yang menolak hasrat seksual suaminya dikutuk malaikat sampai pagi (Al-Bukhari, Ash-Shahîh, V/1992) diinterpretasikan secara bias. Mengapa? Sebab, kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suaminya tanpa bisa menolak sungguh dapat menyulitkan perempuan untuk mengendalikan hak-hak reproduksinya; bukan saja karena ia tidak dapat menikmati kenikmatan seksual, tetapi boleh jadi merupakan tekanan berat secara psikologis. Lebih jauh ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki dapat menimbulkan akibat-akibat buruk bagi kesehatan reproduksinya.
Hadis di atas dianggap tidak menghormati hak reproduksi seksual perempuan dan sangat tidak memperhatikan aspek kesetaraan jender.

Padahal dalam Islam, hubungan antara suami istri harus dibangun atas dasar mu‘âsyarah bi al-ma‘rûf” (perlakuan yang baik). Kehidupan suami-istri adalah kehidupan dua orang sahabat dengan dasar kesadaran menjalankan hukum Allah dalam rumah tangga. Suami yang baik tidak akan meminta dan memaksa istrinya untuk melayaninya saat kondisi istrinya tidak memungkinkan seperti sedang sakit, lelah, dan sebagainya. Saat kondisi istri siap untuk melayani dan suami bersikap ma‘rûf kepadanya, maka sudah semestinya istri tidak mencari-cari alasan untuk menolak permintaan suami. Hubungan suami-istri ini harus dipandang sebagai penunaian hak dan kewajiban.

Contoh lain mengenai khitan perempuan. Khitan anak perempuan dianggap menjadi bagian dari persoalan reproduksi perempuan. Ia dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, karena telah terjadi pemotongan bagian tubuh perempuan yang paling sensitif (klitoris).
Lagi-lagi, dengan alasan kesehatan reproduksi, syariat Islam (Hadis Nabi tentang khitan) dikritisi. Hadis Nabi saw. menyatakan: Potonglah ujungnya dan jangan berlebihan karena itu akan membuat wajah dia (perempuan) berseri-seri dan menyenangkan laki-laki. (Abu Dawd, As-Sunan, IV/368). Hadis ini diinterpretasikan sebagai respon Nabi saw. atas budaya khitan yang masih berakar kuat dalam masyarakat Arab waktu itu. Beliau berusaha melakukan reduksi atas budaya ini secara persuasif dan bertahap. Sebab, jika budaya yang telah berakar kuat ini serta-merta dihapuskan, ia akan menimbulkan resistensi yang besar dari masyarakat. Dengan begitu, pernyataan Nabi saw. tersebut juga dapat mengarah pada upaya penghapusannya, terutama ketika praktik khitan perempuan menurut pertimbangan kesehatan (medis) tidak memberikan manfaat bahkan menyakiti atau merusak anggota tubuh.4 Jelas, ini adalah upaya menyerang dan mendiskreditkan syariat Islam.

Islam dan Hak Reproduksi Perempuan
Kemuliaan perempuan terbukti kembali dicampakkan manakala Islam tidak lagi diterapkan dalam sebuah sistem dan pranata-pranata sosial, khususnya yang mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumah tangga maupun di masyarakat. Kaum perempuan kembali menjadi obyek garapan manusia-manusia tak bermoral. Mereka dijadikan obyek perdagangan (trafficking), obyek eksploitasi (model iklan, kontes kecantikan, dll), korban kekerasan, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Di sisi lain, masuknya gaya hidup Barat ke negeri-negeri Muslim membuat maraknya pergaulan bebas dan menimbulkan penderita HIV/AIDS. Lihat saja kasus HIV/AIDS di Indonesia yang terus meningkat tajam. Tingginya angka infeksi di kalangan remaja dan pemuda ini disebabkan oleh perilaku seksual remaja yang semakin berisiko. Selanjutnya bagi remaja putri yang hamil akibat free seks, yang menjadi pilihan adalah tindakan aborsi yang tidak hanya merusak kesehatan fisik maupun mental, namun bisa berujung pada kematian.

Akibat tidak diterapkannya Islam dalam mengatur kebutuhan hidup masyarakat, khususnya kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak, hidup perempuan dipertaruhkan. Tidak sedikit perempuan meninggal saat melahirkan karena faktor kurangnya layanan kesehatan. Ini terbukti dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), khususnya di Indonesia yang mencapai angka 307 per 100.000 kelahiran hidup.2 Angka ini adalah yang tertinggi di seluruh negara ASEAN. Faktor penyebab tingginya AKI, 28% diakibatkan kasus pendarahan karena lambatnya penanganan. Belum lagi angka yang tinggi pada penderita anemia yang dialami remaja putri (57%).2

Kondisi kesehatan perempuan yang demikian memprihatinkan sesungguhnya disebabkan oleh tidak adanya jaminan kesehatan bagi masyarakat. Kesehatan dalam sistem sekular adalah barang mahal.
Sebaliknya, dalam Islam layanan kesehatan berkualitas menjadi tugas negara, karena kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat di samping pendidikan dan keamanan. Islam telah memuliakan perempuan dan menempatkan mereka pada posisi yang semestinya sesuai dengan kodrat penciptaannya. Perempuan adalah ibu generasi yang di pundaknya terletak tanggung jawab besar untuk melahirkan dan mendidik generasi berkualitas sebagai aset besar suatu bangsa. Menjadi seorang ibu adalah tugas utama dan pertama bagi perempuan.

Agar fungsi dan peran penting perempuan tersebut terwujud, Islam menetapkan sejumlah aturan. Aturan tersebut mengatur pola relasi laki-laki dan perempuan di rumah tangga seperti pernikahan, kehamilan, kelahiran, penyusuan, jaminan nafkah, pendidikan anak dan lain-lain.

Pernikahan ditujukan untuk melahirkan keturunan dan melestarikan jenis manusia (QS an-Nisa’ [4]:1; QS an-Nahl [16]: 72). Di sisi lain Islam mengharamkan perzinaan dan menetapkan sanksi bagi pelakunya (QS an-Nur [24]: 2). Ini dimaksudkan untuk memelihara kesucian, kebersihan, dan kejelasan keturunan. Bandingkan dengan sistem sekular demokrasi yang memberikan kebebasan berperilaku, berhubungan seksual, melakukan homo-seksualitas, lesbianisme, dan lain-lain atas nama HAM. Semua itu bermuara pada tidak jelasnya keturunan, banyaknya perselingkuhan, putusnya hubungan keluarga, serta merajalelanya HIV/AIDS dan penyakit menular seks lainnya.
Dengan pernikahan, perempuan diberi hak untuk diperlakukan secara hormat. Kehidupan fisiknya terjamin dengan adanya nafkah. Dengan ini perempuan tidak harus menghidupi dirinya apalagi dengan cara-cara yang merusak kodratnya, seperti melacurkan diri, yang dampaknya akan merusak organ-organ reproduksinya.

Terkait dengan kehamilan, al-Quran memberikan empati yang tinggi kepada seorang ibu yang sedang menjalani proses kehamilan yang menjadi hak dirinya. Allah telah mewasiatkan kepada seluruh umat manusia untuk menghormati ibunya. (QS Luqman [31]: 14).

Begitu juga dalam hak menyusui bagi seorang ibu. Allah Swt. telah memberikan penegasan kepada kita, bahwa seorang ibu diberi hak menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Kemudian, apa yang harus diterima oleh perempuan selama menyusui anaknya? Allah menegaskan, bahwa seorang bapak (suami) wajib mencukupi gizi, sandang, pangan, dan papan sang ibu ketika proses menyusui itu berlangsung. (QS al-Baqarah [2]: 233).
Menyusui anak bagi ibu adalah hak yang dimilikinya, bukan beban yang ditimpakan kepadanya. Dengan persepsi bahwa menyusui anak adalah hak bagi ibu dan anak adalah amanah yang diberikan kepadanya, seorang ibu akan merasakan kebahagiaan saat menyusui dan mengurus anaknya. Sebaliknya, seorang bapak memiliki kewajiban untuk mencukupi seluruh kebutuhan istri dan anaknya selama menyusui. Bapak dituntut untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab bagi proses reproduksi perempuan. Artinya, janganlah ibu yang melahirkan dan menyusui masih dibebani untuk mencari nafkah. Hal ini membuktikan, bahwa Islam memberikan perhatian yang cukup besar dalam hal ini.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

disampaikan dalam "Sarasehan Muslimah Komunitas Kesehatan", Malang, 31 Mei 2009

Catatan kaki
1. “Korban HIV/AIDS di Kalangan Remaja Terus Bertambah, Jaga Keharmonisan Keluarga,” Pos Kota, 21/4/2004.
2. Anonim. Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta. Depkes RI dan WHO. 2003. 2,3,17-20, 63-71.
3. “Islam dan Hak Perempuan dalam Kesehatan Reproduksi dan Seksual dalam Konteks Kekinian di Senegal,” www.law.emory.edu/IHR/BAHASA/ms_codou_reseach.htm 15 k.
4. Muhammad, Husein. “Hak-hak reproduksi Perempuan Perspektif Islam,” www.rahima.or.id/makalah/HAKHAK%20REPRODUKSI%20PEREMPUAN.doc.


Memantapkan Fungsi Ibu dalam Pendidikan Anak Dini Usia

Pendahuluan
Kemajuan sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM-nya. Jepang, misalnya, negerinya tak terlalu kaya, tetapi SDM yang dimilikinya ternyata cukup berkualitas untuk mengelola SDA-nya. Berbeda dengan Indonesia. Walaupun SDA –nya cukup kaya, tetapi SDM tidak mendukung. Mereka tak punya kemampuan untuk mengelola SDA yang dimilikinya. Jika kualitas SDM sangat mempengaruhi kemajuan suatu bangsa maka persoalan yang sebenarnya ada pada sistem penanganan generasinya. Dan sistem ini berkaitan erat dengan masalah pendidikan.
Meraih SDM potensial di masa yang akan datang bukan semudah membalik telapak tangan. Sebab untuk hal tersebut mutlak dibutuhkan kehidupan anak yang layak, terutama dalam bidang pendidikan semenjak sekarang. Dan ini tak hanya dibebankan pada tiap-tiap keluarga yang memiliki anak tetapi hal ini memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat. Kini, jumlah penduduk Indonesia ada 240 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, anak dari usia 0-18 diperkirakan 30-40 juta jiwa.
Menggapai SDM yang berkualitas harus dimulai semenjak periode pertumbuhan terpenting, yaitu ketika janin masih tumbuh dalam kandungan ibu dan berlanjut ke tahapan golden ages, yaitu ketika anak mencapai usia lima tahun. Fase tersebut harus terjaga sedemikian baik agar pondasi SDM kokoh kuat. Dan, dalam semua fase terpenting tersebut otomatis anak hidup bersama orang tua. Mulai dari tidur, bangun, berbicara, bermain, orang tua selalu bersama anak. Hanya satu kalimat singkat: kita harus bekerja keras agar kehidupan anak sehat, cerdas, dan berkualitas. Betapa tidak, kita berhadapan dengan beragam permasalahan anak yang masih belum tuntas. Bayi yang diperjualbelikan karena orang tua miskin, atau bayi lahir secara ilegal. Bayi telantar, gizi buruk, angka kematian bayi yang masih tinggi, semuanya belum tertangani dengan baik. Anak telantar, anak jalanan, anak bergizi buruk, pengemis anak, pemerkosaan anak, sodomi terhadap anak, anak usia sekolah tapi tidak sekolah, anak buta huruf dan buta angka, anak putus sekolah, pekerja anak, anak yang dilacurkan (ayla), perdagangan anak (trafficking), anak korban tindak kekerasan orang dewasa, anak terinfeksi HIV/AIDS dari orang tuanya, anak korban konflik horizontal atau korban konflik politik menderita akibat operasi militer, anak dilibatkan dalam kampanye pemilihan umum; semua hadir dihadapan kita.

Banyak contoh nestapa kemiskinan ekonomi mengakibatkan anak yang tidak mampu membayar uang sekolah karena merasa malu, mencoba bunuh diri (gantung diri) atau menenggak racun serangga. Inilah gambaran solusi yang dicari sendiri oleh anak untuk memecahkan masalah mereka. Padahal mereka belum memiliki kesempurnaan dalam berpikir dan masih banyak membutuhkan pendampingan oleh orang tuanya.

Masa balita adalah golden ages
Banyak penelitian menunjukkan betapa masa dini usia, yaitu masa lima tahun ke bawah, merupakan golden ages (masa keemasan) bagi bagi perkembangan kecerdasan anak. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan anak telah mencapai 50%. Seperti diungkapkan Direktur Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), Depdiknas, Dr. Gutama, kapasitas kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini menunjukkan pentingnya memberikan perangsangan pada anak dini usia, sebelum masuk sekolah.
Setiap bayi memiliki potensi milyaran sel otak yang siap mendapat rangsangan. Sentuhan, lingkungan yang ramah otak, dan hands on, adalah beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi otak anak. Sebagian ahli berpendapat, sel otak seorang bayi sebanyak bintang yang bertebaran di langit. Ada pula yang menduga, jumlah sel otak kurang lebih 100 milyar. Seluruh sel ini punya peran penting dalam menunjang fungsi otak sebagai pengatur semua kemampuan manusia di masa dewasa.
Namun, meski ada milyaran sel otak, nyatanya tak semuanya berkembang sempurna, karena amat tergantung pada stimulasi yang diterimanya. Konsultan Keluarga Budi Darmawan, menyatakan stimulasi ini memang amat menentukan sejauh mana jaringan sel-sel otak dapat berkembang. Jika sedikit mendapat stimulasi, bisa jadi yang berkembang hanya 1 persen dari sekian milyar sel otak. Sebaliknya, bila stimulasinya banyak, perkembangannya pun bisa lebih besar lagi.
Maxwell Malt, seorang peneliti asal Amerika mengemukakan pendapatnya tentang hubungan sel otak yang aktif dengan kecerdasan. Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7 persen saja dari sel otaknya, ujar Malt, maka gambaran kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12 bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan, dan hapal ensiklopedi lembar-demi lembar, huruf demi huruf, yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh buku. Menanggapi ini, Budi Darmawan menyatakan, “Kalau kemampuan itu digunakan seorang muslim untuk menghapal, tentu dia mampu menghapal Qur’an dan sunnah Rasulullah sekaligus.”
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa pesat perkembangan otak hingga masa ini sering disebut sebagai golden periode. Bahkan, anak di usia 5 tahun pertama diketahui punya kemampuan photographic memory, mengingat seperti mata kamera. Di atas lima tahun, kemampuan memorinya menurun. Tidak sehebat dan sepeka di masa keemasan ini.Lebih jauh Emmy Soekresno, Konsultan pendidikan Jerapah Kecil, menjelaskan, meski secara keseluruhan, fungsi otak bekerja bersamaan, namun, ada penekanan-penekanan atau waktu prima (prime time) bagi otak. Misalnya, untuk belajar bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, waktu primanya adalah pada usia 4-12 tahun. Pada usia ini, belajar dengan permainan dan sambil ketawa-ketawa pun, anak sudah bisa bicara bahasa Inggris. Setelah itu, ada second chance, kesempatan kedua untuk belajar, yaitu pada usia 12-15 tahun. Setelah usia 15 tahun, masih bisa belajar bahasa Inggris, tetapi lebih sulit.
Milyaran sel otak ini terbagi dalam beraneka bagian seumpama wadah yang siap diisi. Pada usia 12-13 tahun, akan terjadi pemangkasan sel otak. Pada saat itu, otak akan memeriksa isi otak itu sendiri. Jika ada tempat kosong, misalnya bagian kecerdasan emosi yang tidak pernah dilatih sejak usia 1 hingga 12 tahun, maka bagian itu akan dibuang.
Itu sebabnya, target orang tua setiap hari adalah bagaimana caranya mengisi otak dengan maksimal dengan memberi stimuli yang maksimal pula. Meskipun egitu, jangan tergesa-gesa. Bila suatu ketika guru atau orangtua ingin anaknya mampu menulis, membaca dan berhitung di usia dini, sama saja mereka tengah menghilangkan beberapa aspek kehidupan anak. Karena sebelum melakukan ketiga hal tersebut, ada tahapan yang harus dijalani.Sebelum bisa menghitung, anak harus bisa menggambar. Sebelum bisa menggambar, anak harus mampu memegang pensil. Sebelum mampu memegang pensil, maka anak perlu melatih motorik halusnya misalnya dengan bermain pasir. Dengan bermain pasir, anak sesungguhnya sedang menghidupkan otot tangannya dan belajar estimasi dengan menuang atau menakar, yang kelak semua itu ada dalam matematika.
Oleh karena itu, ibarat sebuah bangunan, pondasi amat menentukan kokohnya bangunan tersebut. Bagi anak, menurut Fasli Jalal, PhD, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, pendidikan di dini usia merupakan pondasi yang amat menentukan perkembangan selanjutnya. Sebab itu ia mengingatkan, “Kalau tidak baik pondasi yang kita bangun di usia dini, bangunan tidak akan kokoh.”

Peran Orang Tua
Karena itu orang tua perlu memahami pentingnya memberikan stimulator pada anak-anaknya pada masa-masa ini, sebab masa balita ini adalah penentu bagi pembentukan kepribadian anak kelak. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya (terdiri dari) manusia dan batu.” (TQS. At Tahrim: 6)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ali ra. berkata, “Ajarilah dan didiklah mereka.”Berarti mengajar, membina, dan mendidik anak adalah surga. Sedangkan mengabaikan aktivitas tersebut berarti neraka. Itulah sebabnya, sebenarnya tak ada alasan bagi siapapun untuk mengabaikan tugas yang mulia ini. Dalam hal ini Nabi bersabda:
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik dari pendidikan (adab) yang baik” (HR. Hakim)
“Setiap anak yang dilahirkan berada dalam kondisi fitrah (Islam) kedua orang tuanyalah yang berperan menjadikan ia seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi.” (HR. Bukhari)
Imam al-Ghazali ra. dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin menyatakan, “…Ketahuilah bahwa mendidik anak merupakan perkara urgen dan penting. Anak merupakan amanah bagi orang tua, Hatinya yang masih suci merupakan potensi yang berharga… Jika ia dibiasakan dan diajari kebaikan-kebaikan nscaya ia akan tumbuh baik sehingga ia kelak akan menikmati kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tetapi jika ia dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan begitu saja seperti halnya binatang, maka ia akan sengsara dan celaka…”
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa kewajiban mendidik anak ada pada orang tua. Sehingga proses pembentukan kepribadian pada diri si anak sangat dipengaruhi oleh cara orang tua mendidiknya. Jika standar pendidikan yang diberikan oleh orang tua adalah aqidah Islam, Insya Allah anak akan menjadi generasi unggulan yang memang patut diteladani.Kita bisa melihat kembali sejarah, bagaimana Nabi dan para shabatnya dalam mendidik putra-putri mereka, sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Adalah Umar bin Abdul Aziz yang mendidik putranya dengan kejujuran dan penuh amanah. Ketika Khalifah Umar sedang bekerja di kantornya di istana, salah seorang putranya masuk untuk membicarakan suatu masalah keluarga. Tiba-tiba Umar memadamkan lampu yang menerangi ruangan itu, sehingga anaknya bertanya, “Mengapa dipadamkan? Bukankah lebih baik kita berbicara dibawah lampu yang terang?” Umar menjawab, “Memang lebih baik kita berbicara di bawah lampu yang terang. Tetapi, lampu ini adalah milik negara, minyaknya dibeli dengan uang negara. Sekarang, kemukakanlah apa yang hendak kau bicarakan.”Kisah ini sering kita dengar, tapi sedikit sekali dari kita yang mau menerapkannya. Apalgi jika melihat fenomena sekarang. Yang terjadi justru sebaliknya. Setiap orang berlomba-lomba untuk menggunakan fasilitas negara secara gratis. Naudzubillahi min dzalik!
Contoh lain untuk menggambarkan bagaimana para sahabat dulu melatih anaknya menjadi sosok yang berani adalah sebuah kisah dari Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan dari Asy Sya’by. Diriwayatkan seorang ibu telah menyerahkan pedang kepada anaknya pada hari (perang) Uhud. Tetapi anak itu tidak kuat membawanya. Kemudian sang ibu mengikatkan pedang itu pada tangan anaknya lalu membawanya kepada Rasulullah saw dan berkata. “Wahai Rasulullah, anakku ini akan berperang bersamamu!”. “Anakmu dimana?” tanya Rasulullah, “Bawa dia kemari (suruh dia bertempur dan menyerang disekitar sini)!” Kemudian anak itu terluka dan pingsan. Lalu dibawa ke hadapan Rasulullah dan beliau berkata, “Wahai anakku, apakah engkau kesakitan?” Anak itu berkata, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Inilah gambaran model pendidikan yang diberikan orang tua pada masa Rasulullah. Kita bisa membayangkan bagaimana anak kecil yang belum sanggup membawa pedang saja sudah berani maju perang.
Selain itu kita juga bisa bercermin dari para sahabat ketika mereka mendidik anak-anaknya agar mencintai ilmu. Anak-anak para sahabat sering diajak oleh bapak-bapak mereka untuk turut menghadiri majelis ilmu yang suci itu. Rasulullah bersabda,“Barang siapa yang tidak belajar di masa kecilnya, tidak akan berkembang di masa dewasanya.” Ali bin Abi thalib juga pernah mengatakan,”Siapapun yang bertanya di masa kecilnya, akan memperoleh jawaban di masa dewasanya.” Umar ra, pernah membawa puteranya ke majelis Rasulullah saw Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwa ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tahukah kalian tentang sebuah pohon yang perumpamaannya adalah seperti seorang muslim yang memberikan buah setiap saat dengan izin Rabbnya dan daun-daunnya tidak melukai?” Lalu terbetik dalam pikiranku bahwa pohon yang dimaksudkan adalah pohon kurma, namun aku tidak ingin berbicara. Ketika Abu bakar dan Umar tidak juga memberi jawaban, maka Nabi bersabda, “Jawabannya adalah pohon kurma.” Ketika aku telah keluar bersama ayahku, aku katakan, “Wahai ayah, telah terpikir olehku bahwa jawabannya adalah pohon kurma.” Ayah berkata, “Apa yang menghalanginmu untuk mengatakannya? Andaikan kamu mau mengatakannya, maka itu lebih aku sukai dari pada ini dan itu.” Aku menjawab,”Tidak ada yang menghalangiku kecuali karena aku melihat bahwa ayah dan Abu Bakar belum bicara sehingga aku pun enggan untuk berbicara.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Ternyata aku adalah orang yang paling kecil sehingga aku memilih diam.”
Sementara Imam Bukhari dan Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud meriwayatkan dari Anas ra. bahwa ia berkata: “Rasulullah saw adalah manusia yang paling baik akhlaqnya. Saya punya saudara laki-laki yang biasa dipanggil Abu Umair yang usianya sekitar 2 tahun. Ketika datang kepada kami, beliau berkata, “Wahai Abu Umair apa yang dilakukan oleh burung nughar kecil itu?” Ia biasa bermain dengan burung itu. Barangkali sudah tiba waktu shalat, sedangkan beliau masih di rumah kami. Beliau berdiri dan kami turut berdiri di belakang beliau untuk kemudian mengerjakan shalat bersama-sama dengan kami.” Sedangkan hadits yang diriwayatkan Ahmad, sedikit berbeda. Dari Anas ra., bahwa ia berkata: “Adalah Rasulullah saw bergaul dengan kami sampai akhirnya berkata kepada saudaraku yang masih kecil, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh burung Nughar kecil itu?” Ketika itu ia sedang bermain-main dengan burung itu. Beliau kemudian mengerjakan shalat dan membariskan kami di belakang beliau.”
Rasulullah saw juga telah menyaksikan hadirnya anak-anak dalam pesta perkawinan dan beliau menyetujui kehadiran mereka dalam acara tersebut, menyambut mereka serta memberikan doa kepada hadirin seluruhnya sehingga mencakup anak-anak kecil itu juga.
Begitulah Rasulullah. Beliau senantiasa membawa anak-anak kecil ke majelis-majelis orang dewasa. Tak hanya majelis ilmu, tapi juga membawa mereka ke acara-acara perayaan, seperti pesta perkawinan. Bahkan Rasulullah membolehkan membawa anak-anak ke tempat wisata atau tempat hiburan yang tidak melanggar syara’.Ini sekilas gambaran pendidikan yang telah diberikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya pada anak-anak mereka. Beliau telah memberikan teladan bagaimana mengembangkan seluruh aspek dari kehidupan anak dan meletakkan pondasi yang kuat pada dirinya, sehingga dia menjadi pribadi yang benar-benar tangguh. Beliau tak hanya menanamkan aqidah yang kuat, aqliyah yang mantap tetapi juga melatih pembentukan nafsiyah dan pengendalian diri secara sempurna.Mestinya sebagai orang tua muslim, cukuplah Rasulullah dan para sahabatnya yang patut kita tiru dalam mendidik anak.
Namun, pada faktanya tak sedikit dari kaum muslim yang membanggakan model pendidikan ala Barat. Mereka sekedar meniru dan membebek gaya mendidik anak dari orang-orang Barat karena mereka anggap bagus. Padahal sistem pendidikan Barat tersebut lahir dari sebuah ide sekularisme yang sangat jauh bahkan bertentangan dengan Islam.

Pengabaian Fungsi Ibu
Meskipun kewajiban mendidik anak itu adalah tanggung jawab kedua orang tua, namun ibulah yang memiliki potensi lebih besar dalam hal ini. Ibu adalah sosok yang pertama kali berhubungan dengan pendidikan anak, sebab dialah satu-satunya orang yang akan memberikan pendidikan anak sejak dalam kandungan. Tanggung jawab ibu sebagai pendidik yang pertama dan utama tak akan mampu digantikan oleh siapapun dan tak mampu terjangkau dengan dana sebesar apapun. Oleh karena itu, peran ibu dalam proses pendidikan anak seharusnya perlu mendapat perhatian khusus bagi siapa saja yang konsen terhadap pembentukan generasi muda bangsa yang akan meneruskan estafet pembangunan ini.Sayangnya, acapkali fungsi ibu yang satu ini sering diabaikan dan terabaikan. Diabaikan demi meningkatnya karir sang ibu. Wanita-wanita karir bukanlah orang sembarangan. Mereka tentu punya tingkat intelegensia tertentu sehingga mereka terpilih sebagai “tokoh” dalam karirnya. Mereka juga bukan orang yang sangat sulit untuk memahami bagaimana menjadi sosok ibu yang baik. Namun, fenomena telah menjadi dalil atas benarnya tindakan mereka. Ditambah lagi dengan muncul konsep tentang ukuran kesejahteraan masyarakat. Angka yang diukur berdasarkan besarnya partisipasi kerja ibu di sektor publik ternyata telah memaksa para ibu meninggalkan rumah dan anak-anak mereka, menyerahkannya pada pembantu rumah tangga atau baby sitter, kemudian terjun bebas ke dunia kerja bersaing dengan para laki-laki dalam mencari nafkah.
Anak-anak yang diasuh orang lain, misalnya pembantu, baby sitter, atau para pengasuh di TPA (Tempat Penitipan Anak) akan tumbuh sesuai dengan “warna” tertentu yang dipoleskan padanya. Andaikan saja seorang anak diserahkan pada pembantu, maka jarang sekali pembantu memikirkan masa depan anak kemudian mendidiknya sebagaimana ibunya. Target si pembantu adalah bagaimana tugas rumah tangga beres, anak tidak rewel, dan dia sendiri tak terlalu capek. Maka jadilah ketika anak mulai rewel, pembantu cukup membelikannya jajan kecil supaya dia bisa diam. Anak yang mulai bisa berjalan biasanya akan sering melakukan eksplorasi pada sekitarnya. Jika si kecil ini mulai memuaskan rasa ingin tahunya, rumah pasti berantakan. Maka cara efektif bagi para pembantu adalah membuatnya duduk manis di depan televisi. Padahal tidak semua acara televisi baik untuk dilihat.
Pada umumnya wanita karir lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Pagi berangkat, sore bahkan malam baru pulang. Mereka tak sempat bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anaknya. Inilah yang dapat menyebabkan anak mengalami masked deprivation (deprivasi terselubung) Anak secara fisik tak terpisah dari orang tunya namun secara psikologis ia tidak mendapatkan kasih sayang yang memadai. Atau lebih khususnya, bila ibu terlalu banyak diluar rumah anak akan mengalami deprivasi maternal, yaitu hilangnya atau kurangnya ia mendapat kasih sayang ibu.
Sementara itu sedikitnya waktu untuk berkomunikasi hanya akan mampu membuat adanya komunikasi kursif (courcive comunication), yaitu bentuk hubungan dua orang atau lebih yang ingin menyampaikan pesan dengan efek memaksa pada orang yang menerima pesan. Sebab komunikasi yang mereka lakukan dalam kondisi serba terbatas dengan kondisi tubuh sudah letih. Inilah fenomena yang sering kita jumpai pada keluarga para wanita karir.
Ironisnya disisi lain, kita melihat banyak ibu yang hanya tinggal dirumah, namun mereka tak mampu berbuat apa-apa dalam mendidik anak-anaknya. Mereka adalah orang-orang yang tak berkualitas, tak mudah paham dengan penjelasan bahwa mereka adalah pendidik anak-anaknya. Mereka adalah orang-orang dengan tingkat intelegensia tertentu pula yang sulit untuk memberdayakan dirinya, selain tak ada pihak yang mengajaknya berdaya. Maka tentu saja fungsi ibu pada orang-orang semacam ini terabaikan dengan sendirinya.
Tugas-tugas rumah tangga yang menumpuk dan menunggunya setiap hari, membuat ibu-ibu ini kehilangan waktu untuk mendidik anak-anaknya dengan baik. Praktisnya mereka berpikir bagaimana agar pekerjaan rumah itu terselesaikan tanpa gangguan si kecil. Maka si kecil dibiarkan bermain apa saja yang dia suka, entah nonton teve, bermain sendiri, bermain bersama teman-temannya di luar, bahkan mungkin ia bermain sesuatu yang berbahaya, meyakiti orang lain dan sebagainya, si ibu tak peduli. Si ibu tak mau tahu interaksi model apa yang didapatkan anaknya dari lingkungan sekitarnya. Yang penting pekerjaan rumah beres dan anak tidak jatuh sakit atau kelaparan.
Fenomena semacam ini sebenarnya perlu mendapat perhatian khusus. Sebab jika gambaran seperti ini yang terus menerus terjadi maka hasilnya adalah gemerasi muda yang tidak berkualitas.

Potensi Ibu sebagai Pendidik pada Masa Golden Ages
Seorang ibu memiliki potensi yang sangat besar dalam pendidikan anak. Sebab seorang ibulah yang melahirkan generasi umat manusia. Melalui tangan seorang ibu inilah generasi manusia akan tumbuh dan berkembang. Karena itu ibu harus mengerti akan besarnya tugas dan kewajibannya. Ada beberapa potensi ibu yang perlu diperhatikan pada masa-masa golden ages ini, antara lain:
1. Potensi ibu dalam mendidik anak dalam kandungan
Menarik sekali bahwa masa awal kehidupan anak bersama ibunya sangat berpengaruh terhadap pembentukan watak anak. Muhammad Fauzil Adzhim, seorang pemerhati pendidikan anak, dalam bukunya yang berjudul “Bersikap pada Anak” menyatakan bahwa masa ini juga membentuk sikap orang tua, terutama ibu, terhadap anak. Tetapi sebenarnya sikap yang terbentuk pada masa ini lebih banyak bergantung pada orientasi orang tua terhadap anak maupun nilai-nilai dasar, khususnya agama. Sementara proses interaksi pada masa menyusui hanyalah sekedar peneguhan atau penguatan atas kesadarannya terhadap nilai-nilai dan cita-citanya tentang anak.
Bahwa sikap ibu dapat mempengaruhi bayi dalam kandungannya sebenarnya telah banyak dipahami oleh para ahli. Pandangan ibu terhadap anak yang dikandungnya dan bagaimana cara ia memandang kehidupan ini sangat kuat pengaruhnya pada pembentukan sikap ibu terhadap anaknya tersebut. Contohnya jika seorang ibu punya keinginan kuat untuk memiliki anak laki-laki tetapi ternyata setelah lahir ia mendapatkan anak perempuan, maka keinginan ini akan mempengaruhi bagaimana ia memperlakukan atau bersikap pada anaknya. Dan sikap ini akan mempengaruhi watak anak kelak. Oleh karena itu sang ibu perlu mengkomunikasikan perasaan kasih sayangnya pada bayi dalam rahimnya. Ikatan emosional ini akan terjalin selama ibu mengandungnya dan berlanjut ketika anak sudah hadir ke dunia.

2. Menyusui sendiri bayinya
M. Fauzil Adzhim menyatakan bahwa secara psikis seluruh tubuh ibu merupakan pengirim pesan tentang keadaan hati ibu. Suhu tubuh, permukaan payudara, dan dekapan ibu mengabarkan pada anak mengenai suasana hati ibu. Demikian juga detak jantung ibu – yang sangat disukai anak selama menyusui – memberi petunjuk tentang perasaan hati ibu, khususnya terhadap anak.
Jika ibu jengkel terhadap anaknya, maka seluruh tubuh ibu memberitahukan perasaannya terhadap anak. ASI juga tidak keluar dengan lancar sehingga anak rewel. Ia merengek terus seharian tanpa diketahui sebabnya. ASI akan keluar dengan lancar jika ibu bahagia. Dengan kata lain kondisi psikis ibu sangat berpengaruh terhadap produksi ASI dan kelancarannya, disamping juga berpengaruh pada jiwa anak karena pesan-pesan yang diperolehnya.Allah swt berfirman dalam Al Qur’an:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun.” (TQS. Al Baqarah:233)
Adalah Khalifah Umar bin Khattab yang berkeliling untuk melihat langsung keadaan masyarakatnya. Suatu malam ia mendengar suara tangis bayi. Ketika Umar telah mendapati ibunya beliau berkata, “Wahai ibu, takutlah kamu kepada Allah dan berbuat baiklah kamu kepada bayimu!” Tidak begitu lama terdengar bayi itu menangis lagi, maka Umar bergegas ke sumber suara dan mengatakan hal yang sama. Hingga ketika malam telah melewati sepertiga malam suara tangis itu terdengar lagi. Beliau kembali ke tempat semula. “Ibu yang jahat,” ucap Umar jengkel, “Celaka kau! Malam ini saya sama sekali tidak menyaksikan bayimu tenang dan tentram.” “Wahai hamba Allah!” jawab sang ibu yang tidak mengetahui bahwa di hadapannya itu khalifah Umar, “Dia (bayi ini) menangis karena saya tidak memberinya makanan (yakni sudah disapih dan tidak lagi disusui)”“Kenapa?”“Karena Umar hanya memberi makanan kepada anak yang sudah disapih.”“Berapa umur anakmu sekarang?” “Baru beberapa bulan.”“Tercela kau! Jangan terlalu cepat untuk menyapih anak.”Selang beberapa saat, ketika beliau sedang sholat Subuh, para jamaah nyaris tak mendengar suara bacaan beliau karena bercampur dengan suara tangisnya yang tak kunjung reda. Selesai sholat beliau berkata, “Celaka Umar! Berapa banyak anak-anak orang Islam yang telah ia binasakan”Setelah itu beliau berkata dengan lantang, “Mulai saat ini, janganlah kalian terburu-buru untuk menyapih anak. Setiap anak orang Islam akan saya beri bagian tertentu.”Itulah kebijakan Umar tentang masalah penyusuan bayi. Ia menetapkan kebijakan itu setelah ia melihat anak (bayi-bayi) selalu menangis, gelisah dan khawatir terhadap dampak buruk pada proses pertumbuhan dan perkembangan anak karena disapih terlalu dini atau tidak diberi ASI sama sekali.
Seorang ibu yang menyusui sendiri anaknya, disamping akan memberi manfaat banyak bagi kesehatan si bayi, juga dapat menumbuhsuburkan rasa kasih sayang antara si ibu dan anak. Anak menyusu dalam dekapan ibu yang hangat dengan penuh kasih sayang, diiringi irama denyut jantung ibunya yang terdengar di telinganya akan menambah rasa aman, tenang dan tentram bagi si bayi.
Keadaan seperti ini sedikit banyak akan dapat membekas dan memberikan dampak kejiwaan anak khususnya dalam hal terpenuhinya rasa kasih sayang seorang ibu yang sangat diharapkan anak. Aktifitas seorang ibu selama menyusui, sejak dari sentuhannya, tatapan matanya, ketulusan hatinya, dekapannya, cara menghentikan suusuannya, perhatiannya kepada bayi selama menyusu, dan semua aktifitas yang dilakukan seorang ibu pada saat itu akan bisa mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Oleh anak hal itu merupakan “pendidikan” (pesan) yang sangat berharga buatnya.

3. Waktu luang untuk anak
Ketika anak mulai tumbuh dan berkembang, maka perhatian ekstra sangat diperlukan dari seorang ibu. Sebab mereka adalah anak-anak yang belum bisa membedakan baik buruk. Karena itu ibu harus punya waktu yang cukup untuk anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nu’man:
“Wanita-wanita yang duduk (berkumpul bersama) dengan anak-anaknya di rumah maka ia bersama kami di surga”
Seorang ibu perlu menyisihkan waktu yang lebih banyak untuk bergaul dengan anak-anaknya di rumah. Dengan waktu yang tersebut, diharapkan ia bisa mengerjakan tugas pokoknya di rumah untuk mengurusi, mengawasi dan mendidik anak-anaknya di rumah dengan penuh kasih sayang. Sementara itu kalaupun toh seorang ibu harus bekerja untuk mencukupi kehidupan hidup diri dan keluarganya hendaknya tidak dihabiskan seluruh waktunya di luar rumah sehingga dapat menelantarkan anak-anaknya.
Anak-anak berapapun usinya tetap akan mendambakan kasih sayang orang tua. Hal ini bisa dipupuk melalui bincang-bincang, bersantai, bermain bersama serta yang lainnya. Dan ini semua hanya bisa dilakukan dengan alokasi waktu tertentu.
Memang ada anggapan yang menyatakan bahwa yang penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah kualitasnya. Jika ini yang terjadi maka pertanyaannya adalah bagaimana hubungan yang berkualitas tersebut. Perhatian dan kasih sayang orang tua tidak berarti bahwa orang tua harus memenuhi segala permintaan yang bersifat materi. Biasanya karena sibuk orang tua tidak dapat memperhatikan dan mencurahkan kasih sayangnya kepada anak. Akhirnya untuk menutupi atau mengganti kekurangan ini maka segala permintaan anak dipenuhi begitu saja oleh orang tuanya.
Pemberian kasih sayang dari orang tua pada anaknya sebenarnya tak mampu digantikan dengan ‘sekedar’ pemenuhan materi. Sebab tidak jarang kita jumpai anak yang kurang mendapatkan kasih sayang orang tua memiliki kecenderungan negatif, walaupun secara ekonomi dan kepentingan lahiriyah tercukupi. Jadi baik secara fisik maupun emosional ibu sangat berpotensi untuk menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak.

Solusi Efektif
Walhasil, solusi praktis untuk membumikan fungsi ibu sebagai pendidik pertama dan utama saat ini adalah, mengajak mereka, para ibu yang berkualitas, untuk kembali ke rumah, mendidik anak-anak mereka dengan kasih sayang sekaligus memberi contoh dan teladan bagi para ibu lainnya yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anaknya. Ibu-ibu yang berkualitas ini haruslah dikembalikan pada fitrahnya sebagai seorang ibu yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Caranya tak terlalu sulit, sebab mereka adalah orang-orang yang mudah diberi pemahaman. Yang jelas mereka harus punya kesadaran untuk kembali ke rumah.
Adapun bagi para ibu yang kurang berkualitas, maka harus ada upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Selayaknya dan seharusnyalah pemerintah yang menjadi pemelihara segala urusan rakyatnya menjadi pihak yang merancang upaya-upaya untuk pemberdayaan para ibu agar kualitasnya dalam mendidik anak bisa memenuhi target yang diharapkan.
Oleh karena itu bagi mereka yang peduli terhadap upaya penanganan generasi ini perlu ada penataan ulang terhadap sistem pendidikan kita dan sistem makro yang melingkupinya.
Wallahu A’lam bish showab


Peran Politik Perempuan Dalam Pandangan Islam

Oleh: Hazna Alifah

Sebagian dari kaum muslim masih banyak yang salah kaprah mengenai peran politik seorang perempuan,,mereka masih banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan dikatakan memiliki sbuah peran politik ketika mereka duduk di parlemen dan menjadi seorang anggota legislatif atau bahkan menjadi seorang presiden. Apalagi ditambah dengan adanya kuota 30% dalam parpol, sehingga dapat menambah porsi perempuan dalam kekuasaan. Lantas, bagaimanakah islam memandang hal ini??? Lalu bagaimana sebenarnya peran politik perempuan dalam pandangan Islam???

Sebelum melanjutkan pada pembahasan politik perempuan dalam pandangan Islam, perlu diketahui bahwa politik dalam Islam sangat berbeda dengan politik dalam pandangan sekularisme. Tujuan berpolitik dalam Islam bukanlah untuk meraih kekuasaan seperti yang terjadi pada masa kini sebaliknya tujuan politik adalah ‘ria’yah asy-syu’un al-ummah’ (mengatur urusan umat). Mengatur urusan umat berarti menjamin seluruh permasalahan umat diselesaikan dengan aturan Allah. Jadi, kemampuan berpolitik bukan hanya menjadi hak dan kewajiban para penguasa, malah seluruh umat Islam, termasuk kaum wanita.

Sayangnya hal ini tidak disadari oleh sebagian besar umat Islam, menyebabkan mereka terjebak dalam sistem demokrasi yang membawa bencana pada diri mereka sendiri. Tidak ketinggalan dengan para Muslimahnya yang mana atas nama demokrasi, mereka menuntut hak untuk duduk di Parlemen, seterusnya menggubah undang-undang yang dapat “menguntungkan” kaum perempuan. Padahal, seharusnya mereka tahu bahawa pada hakikatnya, siapa pun yang menduduki kursi parlemen adalah manusia-manusia yang ingin mensejajarkan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membuat hukum. Dengan hanya berusaha meraih suara mayoritas, mereka dengan berani membuat hukum yang akan diterapkan, sesungguhnya hak membuat hukum itu hanyalah pada Allah. Padahal kepada siapa mereka akan kembali dan kepada siapa mereka akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka kalau bukan kepada Allah Subhanahu wa Taala, yang telah menciptakan mereka.

Kewajiban berpolitik sebenarnya merupakan sebagian dari dakwah Islam. Islam mewajibkan seluruh kaum Muslim baik laki-laki maupun wanita untuk berdakwah mengajak kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Amar maaruf nahi mungkar ini bermaksud menyeru untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan menerapkan seluruh hukum syariat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” [TQS Ali-Imran (3):104].

Perlu kita ketahui, ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan negara Islam dan hukum-hukum yang diturunkan di Madinah bukan hanya mengatur bagaimana cara beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal sholat, zakat dsb, tetapi juga yang mengatur dalam sistem kehidupan. Pada saat itu, hukum-hukum yang mengatur masyarakat seperti politik luar negeri, uqubat, sistem sosial (pergaulan), sistem ekonomi, pemerintahan dan pendidikan telah diturunkan. Oleh karena itu, agar kaum Muslimin dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar mereka harus memiliki kesadaran berpolitik. Maka, baik laki-laki maupun wanita, mereka mempunyai hak yang sama untuk berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar.

Pada masa ini, perempuan diharapkan bangkit dari berbagai problem yang selama ini menyelimuti mereka. Seperti adanya diskriminasi, kekerasan, pelecehan seksual, kemiskinan, dll. Sistem demokrasi memandang, bahwa permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan keterlibatan perempuan dalam politik praktis. Seperti menjadi aleg, menteri atau bahkan presiden. Lantas, bagaimana sejatinya peran politik perempuan dalam konteks Syariah islam…???

Dalam hal ini, Allah telah menetapkan rambu-rambu bagi perempuan dalam beraktivitas politik. Islam telah memberikan batasan dengan jelas dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan. Diantaranya:

1. Hak dan kewajiban Baiat. Ummu Athiyah berkata:”Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW lalu beliau membacakan kepada kami agara jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata,”Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari). Ini memberikan penjelasan kepada kita semua bahwa di hadapan Rasulullah kaum perempuan tersebut membaiat beliau dan rasullah pun menerima baiat mereka.

2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Perlu dijelaskan, bahwa Majelis Umat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati penguasa apabila cara yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya

3. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa. Nasihat tersebut bisa langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau melalui partai.

4. Kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah SWT, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang artinya:”Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Partai politik ada untuk menjaga agar semua hukum-hukum Allah tetap diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin, baik di dunia ini diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah tegak, menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum muslimin-termasuk para muslimah-untuk menegakkan Syariat Islam bersama sebuah partai. Wallahu A’lam.



Kesetaraan (equality) dalam perspektif Islam

Kondisi yang dialami para wanita di Barat sangat berbeda dengan yang dihadapi oleh para Muslimah di dunia Islam. Dalam dunia Islam, para wanita diperlakukan dan dilayani sebagai manusia, yaitu mereka (wanita) dan lelaki adalah makhluk Allah Subhanahu wa Taala. Selain itu, dalam dunia umum, wanita diberi kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu dan berpolitik. Hal ini dapat kita lihat pada masa Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam dan Umar bin Al-Khatab Radiallahu Anhu, yang mana Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan Al-Quran kepada kaum wanita dan juga menerima baiat dari dua orang perempuan pada masa Baiat Al-Aqabah II. Selain itu, pada masa Umar bin Al-Khattab Radiallahu Anhu ada seorang wanita yang menegur Umar karena ingin menetapkan jumlah mahar perkawinan.

Akan tetapi dari semua kesetaraan yang ada, kesamaan yang paling mendesak yang perlu kita sadari adalah adanya persamaan hak dan kewajiban untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala.

”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam” [TQS. Ali-Imran:102].

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membedakan kemuliaan seseorang berdasarkan jenis kelaminnya tetapi menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur atau ‘standard’ kemuliaan seseorang. Jadi, inilah persamaan yang semestinya para wanita perjuangkan. Persamaan untuk menerapkan syariat Islam, untuk menjadi manusia yang bertakwa, serta manusia yang mulia di dunia dan akhirat. Justru, seandainya wujud perbedaan peranan dan cara mengatur urusan wanita dalam Islam, itu bukanlah suatu masalah karena yang menentukannya adalah Sang Pencipta lelaki dan perempuan yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, apa pun peranan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan, pasti akan mendapatkan pahala di sisi-Nya. Di sini kita boleh menilai bahwa keadilan di dalam Islam adalah adanya kesamaan hak dan kewajiban untuk melakukan ibadah. Akan tetapi dalam hal peranannya, adil bukan berarti sama tetapi (adil) adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya. Alhamdulillah, untuk menghindari perdebatan di antara manusia, Allah menjadikan penentuan peranan antara lelaki dan wanita sebagai hak Nya.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses, tapi tidak lantas menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan tersebut. Pada faktanya, ketika perempuan masuk ke dalam parlemen, bukan hanya UU yg berkaitan dengan perempuan saja yang mereka urusi, tapi semua UU akan mereka urusi, termasuk UU yang bertentangan dengan hukum Islam. Tak perlu saya sebutkan satu per satu, saya yakin akhi sudah tau. Banyak UU yg isinya justru untuk meliberalisasi, mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, SDA, dan banyak lagi...masuk parlemen dan memenuhi 30% kuota perempuan tidak menjamin dapat mengubah UU. Coba saja akhi cari UU yang benar2 pure murni tanpa sedikitpun tercampuri unsur konspirasi di dalamnya, setau saya tidak ada. Padahal kuota 30% perempuan sudah di berlakukan sejak beberapa tahun kebelakang. Banyak orang2 yang soleh dan solehah yang duduk di parlemen, tapi apa jadinya jika mereka tidak berani menentang peng-gol-an UU yang bertentangan dengan hukum Islam, tentu yang ada mereka malah ikut menyetujui peng-gol-an UU itu. Karna jika menentang, maka konsekuensi dy akan langsung dikeluarkan. Dan tidak ada yang berani mengambil konsekuensi itu. Pada akhirnya mereka terjebak dengan keadaan. Jalan untuk memperjuangkan islam bukan hanya dengan masuk parlemen. Kalo ada argumen bahwa hanya dengan masuk parlemen sebagai jalan yang bisa ditempuh untuk menegakkan islam untuk sekarang ini, maka itu adalah pendapat yang keliru.Ada jalan lain, yaitu jalan umat, dimana kita dapat memberikan pemahaman dengan mengadakan suatu pembinaan (tasqif) kepada masyarakat bahwa betapa pentingnya menegakkan suatu institusi yang nantinya akan diterapkan sistem islam di dalamnya secara kaffah, yaitu khilafah...dengan sendirinya, nanti rakyatlah yang akan menuntut untuk diterapkan sistem islam secara kaffah di negeri tercinta ini, bukan hanya untuk Indonesia saja tapi juga seluruh negeri muslim lainnya ikut bergabung di dalamnya.


MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS

Oleh: Lathifah Hasna Nugraheni

Motivasi awal yang benar merupakan pondasi untuk membangun kehidupan rumahtangga yang kokoh. Dalam hal ini, Islam menetapkan bahwa motivasi seseorang melangsungkan kehidupan suami-istri adalah untuk melaksanakan salah satu dari bentuk ibadah kita kepada Allah Swt. Kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara seorang suami dan istrinya. Suami menjadi sahabat bagi istrinya dan istri menjadi sahabat bagi suaminya secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat ketenangan bagi pasangan suami-istri, sebagaimana firman-Nya: Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakan-Nya untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri—supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya—dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS ar-Rum [30]: 21).
Bagaimana kita dapat membentuk keluarga yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt., yakni sebuah keluarga yang berbasiskan ideologi Islam?
Pertama, pondasi dasar dari pernikahan tersebut adalah akidah Islam bukan manfaat ataupun kepentingan. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga tersebut dikembalikan pada Islam semata.
Kedua, adanya visi dan misi yang sama antara suami-istri tentang hakikat dan tujuan hidup dan berkeluarga dalam Islam.
Ketiga, memahami dengan benar fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya semaksimal mungkin menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, menjadikan Islam dan syariatnya sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarganya. Halal-haram dijadikan landasan dalam berbuat, bukan hawa nafsu.
Kelima, menumbuhsuburkan amar makruf nahi mungkar di antara sesama anggota keluarga sehingga seluruh anggota keluarga senantiasa berjalan pada rel Islam.
Keenam, menghiasi rumah dengan membiasakan melakukan amalan-amalan sunnah, seperti membaca al-Quran, bersedekah, mengerjakan shalat sunnah, dan sebagainya.
Ketujuh, senantiasa memanjatkan doa kepada Allah dan bersabar dalam situasi apapun.

Peran Penting Keluarga
Itulah bangunan dasar untuk membentuk keluarga yang kokoh dan ideologis. Lebih dari itu, bangunan keluarga tersebut akan mencapai kekuatan yang hakiki jika berhasil berpengaruh di tengah-tengah lingkungannya, karena keluarga memiliki peran yang penting dalam pembentukan sebuah masyarakat. Keluarga adalah pranata awal pendidikan primer bagi seorang manusia. Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental, maka keluarga adalah pemberi pengaruh pertama.
Keluarga memiliki peran strategis dalam proses pendidikan anak, bahkan umat manusia. Keluarga lebih kuat pengaruhnya dari sendi-sendi yang lain. Sejak awal masa kehidupannya, seorang manusia lebih banyak mendapatkan pengaruh dari keluarga. Sebab, waktu yang dihabiskan di keluarga lebih banyak daripada di tempat-tempat lain.
Pada hakikatnya pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan dan pengembangan kepribadian serta penguasaan tsaqâfah Islam dilakukan melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, terutama ibu dan bapaknya.
Begitu pentingnya pembinaan dan pendidikan di dalam keluarga, pendidikan anak sejak dini dalam keluarga akan tertanam secara kuat di dalam diri seorang anak. Sebab, pengalaman hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri-ciri khas, baik dalam tubuh maupun pemikiran, yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya sesudah masa itu.
Untuk itu, keluarga secara langsung ataupun tidak turut mempengaruhi jatidiri sebuah masyarakat. Dari keluargalah muncul generasi manusia yang bermartabat, memiliki rasa kasih sayang, dan saling tolong-menolong di antara mereka. Dengan begitu, akan terciptalah tatanan kehidupan masyarakat yang kuat, yang didukung keluarga-keluarga yang harmonis dan berkasih sayang, karena memiliki pemikiran ideologis sebagai pondasinya.

Kebutuhan Sistem Politik yang Kondusif
Akhirnya, hal penting lainnya yang tidak bisa kita abaikan dalam pembentukan keluarga yang kuat dan ideologis adalah peran sistem yang mendukung hal tersebut. Sebab, bagaimanapun kuatnya kita memproteksi keluarga dengan ide-ide Islam dan pembinaan yang intensif kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya, apabila sistem yang berlaku di tengah kehidupan keluarga itu tidak menggunakan aturan-aturan Islam, maka sulit bagi bangunan keluarga yang kokoh itu bisa bertahan. Sebab, gempuran dari luar akan senantiasa menghadang, baik itu berupa pemikiran-pemikiran yang bertentangan yang bisa mempengaruhi tingkah laku dan moral anggota keluarga maupun rintangan berupa kesulitan ekonomi yang berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan fisik dan non-fisik anggota keluarga. Dari sinilah biasanya muncul tindak kriminalitas dan penyimpangan sosial lainnya.
Untuk itu, penataan kehidupan yang benar berkaitan dengan semua urusan masyarakat sangat diperlukan. Dengan sistem politik Islamlah semua ini bisa terwujud.
Sistem politik Islam memiliki kemampuan untuk memberikan solusi atas semua persoalan, baik menyangkut persoalan individu, keluarga, maupun masyarakat. Sistem Islam mampu membendung serangan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum Muslim dan menjaga masyarakat agar tetap dalam keimanan dan tatanan yang sesuai dengan aturan Islam. Hal ini dilakukan dengan cara penerapan aturan-aturan Islam yang komprehensif. Sebab, sistem politik Islam itu sendiri intinya adalah bagaimana menciptakan pengaturan urusan masyarakat sesusai dengan tuntunan syariat Islam hingga tercipta tatanan masyarakat yang baik, damai, dan sejahtera; yang dipenuhi dengan ampunan dan keridhaan Allah Swt.

Membendung Penghancuran Keluarga Muslim
Untuk membendung upaya penghancuran keluarga Muslim dan Islam pada umumnya, maka kaum Muslim secara bersama-sama dituntut untuk memiliki kesadaran dalam memahami Islam secara menyeluruh dari segala aspeknya. Dengan begitu, kaum Muslim akan mampu mencermati dan mengantisipasi bahaya ide-ide asing yang bertentangan dengan Islam seperti feminisme, kesetaraan jender, emansipasi, liberalisme, dan sebagainya. Pemahaman Islam seperti ini bisa kita peroleh dengan cara membina diri kita dan kaum Muslim secara terus-menerus dengan tsaqâfah Islam. Tsaqâfah Islam tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan atau pijakan dalam menyikapi berbagai pemikiran dan pemahaman asing yang menyerang. Hal ini harus dibarengi dengan senantiasa mengikuti berita dan fakta-fakta yang berkembang, kemudian menyikapinya dan memberikan solusi sesuai dengan Islam.
Selain itu, penting untuk melibatkan diri secara aktif dalam upaya menyebarkan ide-ide Islam tersebut ke tengah-tengah masyarakat. Sebab, membentuk keluarga yang kokoh tidak cukup dilakukan oleh individu di dalam sebuah keluarga semata. Akan tetapi, hal itu juga harus ditempuh secara politis, sistimatis, dan ideologis dalam suatu gerakan yang terorganisasi secara rapi. Sebab, kaum feminis pun, dalam menghancurkan keluarga Muslim, melakukannya bukan hanya sebatas aktivitas penyebaran ide secara individual semata, tetapi melalui sebuah gerakan yang memiliki kekuatan besar dan didukung oleh ideologi tertentu (kapitalis sekular) di belakangnya.
Oleh karena itu, yang perlu menjadi agenda kaum Muslim saat ini untuk membendung upaya penghancuran keluarga Muslim adalah bagaimana menghadirkan Islam dengan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh dalam pengaturan umat secara nyata, baik dalam tingkat individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan begtiu, kaum Muslim bisa keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai umat terbaik (khayr al-ummah), yang tegak di atas keluarga-keluarga yang kuat.
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.

Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami dan Ideologis untuk saat ini dan masa depan.
Wallahu A’lam bish Showaab

Kamis, 28 Mei 2009

Wanita, Jadilah Ahli Politik Sejati..!!

Oleh: Hazna Alifah

Siapakah Ahli Politik Sejati ?

Pertama: Ahli politik memperjuangkan Islam sebagai mabda’ (ideologi), yaitu memperjuangkan Islam sebagai aqidah dan sistem kehidupan untuk menyelesaikan masalah umat. Allah Subhanahu Wa Taala menegaskan bahwa tugas partai/gerakan adalah memperjuangkan penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah). Allah Subhanahu Wa Taala berfirman: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”[TQS Ali-Imran (3): 104]. Menyeru Islam Kaffah ini membawa makna bahwa perjuangan dilakukan agar seluruh hukum terlaksana secara keseluruhan dan serentak, serta bukan berangsur-angsur (tadarruj).

Kedua: Ahli politik yang memberikan kemaslahatan dan berjuang bagi umat. Politik merupakan pengurusan urusan umat atau rakyat. Oleh karena itu, ahli politik ketika berkecimpung dalam dunia politik, berarti telah mengorbankan dirinya demi rakyat. Ketika faham feminis yang dibawa oleh Sisters In Islam (“SIS”) menyerang umat, dia akan berteriak lantang. Ketika hasil bumi umat dirampas penjajah sejak zaman penjajahan hingga kini, dia akan membongkarnya. Ketika gejala sosial kelahiran bayi di luar nikah makin parah, dia mengajak umat memberantasnya. Begitulah seterusnya. Dia juga hanya memberikan penyelesaian yang hanya berasal dari syariah Islam, bukan yang lain. Walhasil, dia memperjuangkan kepentingan rakyat dan menentang kezhaliman penguasa.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab, “Kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” [HR Ahmad).

: Ahli politik yang berpolitik tanpa putus asa, hanya semata-mata meraih keridhaan Allah Subhanhu wa Taala. Contoh paling tepat sebagai teladan adalah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabat. Mereka berjuang dan berpolitik sejak di Makkah tanpa putus asa. Dorongannya hanyalah aqidah. Ini berbeda dengan realitas politik acuan sekular-demokrasi yang mengacu pada asas manfaat, kekuasaan dan harta.

Keempat: Memperkua partai ideologis. Ahli politik sejati meletakkan aktivitas politiknya sebagai perjuangan untuk memperbaiki masyarakat dengan syariah. Juga perlu disadari bahwa tidak mungkin kita mampu berjuang secara sendiri. Perjuangan perlu dilakukan bersama-sama kelompok, dalam gerakan atau jamaah. Namun, bukan sembarang kelompok tentunya, melainkan kelompok yang secara terbuka, sungguh-sungguh dan konsisten memperjuangkan tegaknya hukum Allah Subhanahu wa Taala demi kebaikan rakyat. Oleh itu, dia akan memperkuat barisan partai yang benar-benar memperjuangkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Allah Subhanahu wa Taala memerintahkan adanya di antara umat Islam yang bersatu di dalam kelompok/partai seperti itu sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”[TQS Ali-Imran (3): 104]
Menurut Imam Ibnu Katsir: “Ayat ini memerintahkan agar ada sebagian dari umat ini yang melaksanakan tugas tersebut (menyeru kebaikan (al-khair), melakukan amar makruf nahi mungkar.” Beliau juga menyatakan, ketika Rasulullah membaca ayat ini baginda menjelaskan bahwa “menyeru kebaikan (al-khair)” adalah menyeru orang untuk mengikuti al-Quran dan as-Sunnah.

Kelima: Memperkuat konsistensi thariqah (metode perjuangan) partai. Perjuangan hanya akan berhasil jika mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Nabi Sallallahu Alaihi Wa Sallam menempuh perjuangan politik dengan dasar pembinaan (tasqif). Seterusnya baginda bersama para sahabatnya berjuang di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya duduk-duduk di belakang meja. Mereka menyatu dengan masyarakat; berjuang bersama-sama. Akhirnya, dengan dokongan berbagai pihak, termasuk para pemilik kekuatan (ahl al-quwwah), Allah memberikan kemenangan dan kejayaan. Begitu juga dalam perjuangannya mewujudkan masyarakat Islam, baginda memegang prinsip tanpa kekerasan fisik serta tidak bekerjasama menerapkan dan mempertahankan sistem Kufur. Ahli politik sejati konsisten dalam berpegang kepada thariqah partai yang diambil dari Rasulullah, bukan mengambil kaidah al-ghayah tubarrirul wasilah sehingga sanggup bersekongkol dengan kaum Kuffar dalam sistem politik kapitalis-demokrasi.

Keenam: Membina Nafsiyah (cara bersikap). Selain cara berfikir, ahli politik sejati memiliki cara bersikap Islami (Nafsiyah Islamiyyah). Ridha dan bencinya, senang dan susahnya didasarkan kepada Islam. Banyak disebutkan dalam berbagai hadis bahwa tidaklah seseorang beriman hingga hawa nafsunya tunduk pada Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam; lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada mencintai ibubapa, keluarga, harta bahkan diri sendiri. Dengan demikian, ahli politik susah tergiur oleh apapun juga, baik tahta, wanita dan harta.

Ketujuh: Memperkuat pembinaan umat tentang Syariah dan Khilafah. Berbicara tentang politik Islam bererti membicarakan tentang bagaimana mengatur berbagai urusan rakyat dengan Islam. Sistem apa yang diterapkan dan siapa yang menerapkan dan menjamin pelaksanaannya? Bagaimana agar terbebas dari cengkaman Kapitalisme global yang dipaksakan oleh Barat? Sistemnya adalah syariah Islam. Dan institusi yang ditetapkan syariah sebagai pelaksana untuk menerapkan hukum-hukum tersebut dan menyatukan umat adalah Khilafah. Dengan ini, umat dibangkitkan hingga tidak lagi berada dalam pelukan penjajahan asing dan para pengikutnya.
Jelaslah ahli politik sejati akan terus melakukan pembinaan tentang syariah dan Khilafah di tengah-tengah umat. Kesadaran bahwa ada kesalahan dalam mengelola Negara-negara umat Islam perlu ditumbuhkan dalam jiwa masyarakat seraya memaparkan penyelesaiannya yang digali dari syariah. Semua ini dilakukan sebagai tanggungjawab besar terhadap kebaikan umat seluruhnya.

Kedelapan: Perlu memiliki pengalaman dan pengetahuan politik. Pengalaman dan pengetahuan politik bukan berarti mesti menjadi wakil rakyat misalnya menjadi anggota legislatif. Pengalaman politik ditempuh melalui terjun secara langsung di tengah masyarakat, bergaul dengan masyarakat dan turut menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, mereka sentiasa memuhasabahi penguasa jika penguasa melakukan kedzaliman kepada rakyat. Namun, tentu saja ini semua memerlukan pengetahuan tentang konstelasi politik global, cara berfikir politik Islam dan analisisnya perlu difahami. Hal tersebut diberikan dalam proses pengkaderan (tasqif).

Jika para ahli politik termasuk Muslimah mempunyai ciri-ciri seperti di atas, InsyaAllah kemenangan hanya menunggu masa saja (victory is a matter of time). Dunia juga akan tau bahwa masa depan adalah milik umat Islam.
Dalam menghasilkan ahli politik sejati, pastilah memerlukan usaha yang ampuh dari orang yang paling dekat dengannya; yaitu kita para ibu. Tanggungjawab ibu memberi pendidikan kepada anak-anak sejak dalam kandungan.

Namun pendidikan yang bagaimana?
Awalnya pendidikan dimulai dengan ibu itu sendiri. Ibu mengikuti pengkaderan dan memahami Islam secara kaffah. Kemudian melalui pengkaderan ini diberikan pencerahan politik dan dilatih kecerdasan politiknya. Seterusnya dia terjun secara langsung dalam masyarakat dan menjadi ahli politik juga. Peran politik bagi wanita adalah seperti apa yang telah saya paparkan pada minggu lalu (Silakan dibuka kembali topic minggu lalu dengan judul “Peran Politik Perempuan dalam Pandangan Islam bag. II).
Kisah shahabiyyah Asma’ binti Abu Bakar yang mendidik anaknya hingga menjadi ahli politik ulung. Beliau sabar dalam memberi motivasi pada anaknya agar tetap mempertahankan yang haq dan mengajak kepada kebenaran ketika tentara Hajjaj bertempur dengannya walaupun beliau menyadari bahwa nyawa anaknya menjadi taruhan dalam mempertahankan kebenaran.
Bagi para remaja, walaupun belum pasti mempunyai anak, namun suatu saat nanti kita akan menjadi seorang ibu. Maka persiapkan diri menjadi ahli politik dan juga penghasil ahli politik ulung!

Penutup
Sebagai usaha memenuhi sebagian syarat untuk menjadi golongan yang beruntung(Muflihun), menjadi ahli politik bukan satu pilihan sebaliknya ia adalah satu kewajiban. Dalam menjalankannya, harus sesuai dengan hukum syara’, maka sangat penting bagi Muslimah memahami ciri-ciri ahli politik sejati. Pemahaman yang mendalam akan hal ini akan dapat menjauhkan Muslimah dari pemahaman politik yang salah, yaitu pemahaman politik sekuler-demokrasi. Pemahaman politik yang benar akan menjadi pendorong seorang Muslimah itu untuk melahirkan anak-anak untuk meneruskan perjuangannya dalam dunia politik. Bukan politik sembarangan, melainkan politik untuk mengatur urusan umat melalui penegakkan Negara Khilafah yang akan menerapkan Syariah Islam secara Kaffah. Wallahu ‘alam.

Selasa, 26 Mei 2009

ANCAMAN LIBERALISASI DI SEMUA LINI

Liberalisasi menjadi jalan bagi penguasaan seluruh kekayaan alam Indonesia sekaligus menghadang Islam politik tampil memimpin negeri ini.

Ada seorang perempuan Muslimah taat di Jakarta. Pakaiannya berupa gamis panjang sampai mata kaki dan longgar (jilbab). Kerudungnya pun panjang ke bawah dan lebar. Ibadahnya rajin. Siapa yang bertemu dia pada saat itu tentu akan mencitrakan dirinya sebagai seorang muslimah yang taat.
Namun, siapa sangka dalam beberapa waktu kemudian dia berubah 360 derajat. Awalnya dia mengubah gaya berpakaiannya menjadi modis. Mengenakan pakaian jeans dan baju ketat. Kerudungnya pun tak lagi panjang dan lebar. Lama-kelamaan ditanggalkan kerudungnya. Bajunya pun mulai memperlihatkan bagian-bagian tertentu tubuhnya. Siapapun yang melihat, pasti mencitrakannya bukan lagi sebagai Muslimah yang taat.
Perubahan itu terjadi begitu dia masuk ke sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) HAM di Jakarta. Perempuan itu didoktrin dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) ala Barat yang mengagungkan kebebasan dan membebaskan manusia dari aturan Sang Pencipta. Sedikit demi sedikit pemahaman Islamnya luntur digantikan pemikiran sekular. Seperti aktivis-aktivis HAM lainnya, kini dia menjadi pejuang HAM yang mendewakan Barat dengan segala kebebasannya.
Kisah perempuan itu hanya satu contoh kecil dari proses serangan pemikiran yang diarahkan kepada kaum Muslim. Liberalisasi di segala bidang berlangsung secara massif melalui banyak jalur; melalui pendidikan di sekolah formal, media massa, dan ceramah-ceramah oleh kalangan aktivis sekular-liberal di berbagai tempat.


*Liberalisasi Politik*
Liberalisasi politik berlangsung massif sejak reformasi bergulir tahun 1998. Pemilihan umum yang biasanya hanya diikuti oleh tiga kontestan Pemilu sejak tahun 1971 berubah. Orang dengan mudah membuat partai politik. Partai politik yang dulu eksis di era Orde Baru pun pecah. Partai-partai politik baru tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menikmati euforia reformasi. Pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Pujian demi pujian pun datang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Proses pemilu tersebut didahului dengan proses perubahan paket UU politik. Di sinilah proses liberalisasi politik berlangsung. Barat mengawal proses ini dengan serius. Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, mengutarakan agenda tersebut dalam pernyataannya di depan World Economic Forum, di Davos, Swiss tahun 1999, “Hal ini (Pemilu mendatang), secara fundamental, merupakan suatu rentang waktu yang sangat penting bagi Indonesia. Pemilu mendatang di Indonesia harus sukses. Pemilu itu selayaknya menjadi ‘katup pengaman’ untuk meredakan gejolak dan tekanan dalam negeri. Tetapi, bila Pemilu yang dipercaya gagal diselenggarakan, maka potensi ketidakstabilan akan bertambah besar dan integritas negara akan dipertanyakan.”
Di dalam negeri berdiri LSM Cetro (Centre for Electoral Reform) atau Pusat Reformasi Pemilu yang memperoleh dana dari asing melalui berbagai lembaga donor asing yang beroperasi di Indonesia seperti USAID dan UNDP.
Hasil Pemilu ini kemudian melahirkan perombakan politik secara besar-besaran. Ini ditandai dengan amandemen Undang Undang Dasar 1945. Akhirnya, Indonesia berubah secara fundamental menjadi sangat liberal dalam semua sektor.
Secara politik, Indonesia yang semula menganut sistem kesatuan, pelan-pelan mempraktikkan sistem yang mirip federasi. Otonomi daerah dibuka. Kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerahnya. Hubungan dengan kekuasaan di pusat seolah menjadi hanya sekadar hubungan administratif. Akibatnya, birokrasi pemerintahan tidak berjalan harmonis.
Pemilu yang diikuti oleh banyak partai politik tak mampu melahirkan kestabilan politik. Para desainer pun beranggapan ini akibat presiden kurang mendapat legitimasi rakyat. Solusinya, presiden dan wakil presiden serta seluruh kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat. Akhirnya, Pemilu tak cukup hanya memilih wakil rakyat, tetapi juga presiden dan wakil presiden serta para kepala daerah.
Namun, hingga 10 tahun berlangsungnya proses liberalisasi politik ini, rakyat belum menggapai impiannya, yakni pemerintah yang mampu mensejahterakan mereka. Presiden selama reformasi ternyata hanya sekadar ganti orang, sementara wakil-wakil rakyat justru banyak yang berkhianat. Semua memikirkan diri dan kelompoknya demi kelanggengan kursi dan kekuasaannya. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap penguasa dan wakil rakyat kian hari kian menurun.

*Liberalisasi Ekonomi*
Yang paling menonjol dari perubahan tersebut adalah liberalisasi ekonomi. UUD 1945 yang baru membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak mengherankan jika kemudian lahir UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal sebagai turunan dari UUD 1945 hasil amandemen. Asing boleh menguasai sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Liberalisasi ekonomi ini merupakan wujud atas kesepakatan Pemerintah¬waktu itu Soeharto¬dengan IMF (International Monetary Fund) guna menangani krisis ekonomi Indonesia sejak 1997. Resep IMF itu adalah: penghentian subsidi harga, pemotongan pengeluaran Pemerintah, dan dibukanya berbagai penghalang bagi investor asing.
Dampak liberalisasi ekonomi yang paling terasa bagi rakyat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan UU Migas No 22 Tahun 2001, harga BBM disesuaikan dengan harga pasar BBM dunia. Pertamina tak bisa lagi menjadi pemain tunggal di sektor hilir. Walhasil, pelan-pelan Pemerintah mencabut subsidi BBM. Tahun 2005, Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM hingga 125 persen. Tahun ini Pemerintah menaikkan lagi hingga sekitar 30 persen. Rencananya kenaikan itu akan terus dilakukan hingga harga BBM dalam negeri sama dengan harga BBM internasional. Bahkan Bappenas telah menyusun rencana untuk menaikkan harga BBM ini setiap bulan. Jika harga BBM sudah sesuai dengan harga pasar internasional, pemain asing akan ikut berjualan BBM. Ini sesuai dengan pernyataan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Jauh sebelum harga BBM sesuai pasar internasional, para pemain telah mengajukan izin untuk membuka stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (*Trust*,* *edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Masuknya perusahaan multinasional ke sektor hilir migas kian menambah cengkeraman asing di sektor ini. Sebelumnya mereka telah menguasai sektor hilir (eksplorasi dan penambangan). Hingga tahun 2008, berdasarkan data dari Serikat Pekerja Pertamina, perusahaan asing menguasai sekitar 90 persen migas Indonesia. Bahkan penguasa tambang emas terbesar di dunia di Timika, Papua, adalah Freeport Mcmoran (AS).
Di sektor lainnya, Pemerintah melalui UU Sumber Daya Air memberikan kesempatan kepada investor asing untuk masuk dalam penguasaan air di Indonesia. Privatisasi air ini ditandai dengan bercokolnya dua perusahaan asing di Ibukota Negara, yakni Thames (Inggris) dan Lyonase (Prancis). Beberapa perusahaan asing lainnya telah mengikat kerjasama dengan PDAM di daerah. Bahkan perusahaan air kemasan terbesar di Indonesia kini telah jatuh ke tangan Danone dari Prancis.
Perusahaan-perusahaan asing berhasil pula menguasai Indosat; perusahaan yang mengendalikan satelit dan seluruh jalur komunikasinya. Hutan-hutan Indonesia pun menjadi milik mereka, termasuk perkebunan kelapa sawit. Beberapa perusahaan semen milik Pemerintah juga berpindah kepemilikan kepada asing. Terakhir, asing mau mengincar Krakatau Steel, salah satu perusahaan strategis Indonesia dan pabrik baja terbesar. Proses liberalisasi ekonomi ini menjadi sangat mungkin dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal. UU itu tidak lagi membatasi siapa pun yang akan berbisnis di Indonesia, lokal maupun internasional. Malah, dengan UU itu, asing bisa mendapatkan hak guna usaha sepanjang 95 tahun! Padahal di zaman VOC saja HGU ini maksimal 75 tahun.

*Liberalisasi Sosial*
Tak cukup hanya bidang politik dan ekonomi, liberalisasi pun merambah di bidang sosial. Ini tampak dari penentangan terhadap Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (APP). Lebih dari 7 tahun RUU itu tak berhasil disetujui dan disahkan menjadi UU. Kalangan liberal tidak menginginkan Indonesia lebih baik. Mereka berharap Indonesia bebas sehingga semua produk pornografi dan pornoaksi bisa masuk ke Indonesia dengan leluasa. Perlu diingat, produk ini merupakan salah satu barang/jasa yang paling besar keuntungannya di dunia. Bahkan survei yang dilakukan oleh kantor berita Associate Press (AP) menunjukkan, bahwa Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03).
Beberapa waktu lalu, kalangan sekular menggugat UU Perfilman. Mereka menginginkan lembaga sensor dihapuskan karena dianggap mengebiri kreativitas insan perfilman. Para pembebek kebebasan itu menginginkan film Indonesia bisa seperti film di Amerika, tidak ada pembatasan. Selama ini mereka kesal karena adegan-adegan mesum di-cut oleh lembaga sensor film.
Belakangan muncul kampanye penggunaan kondom. Bahkan beberapa ATM kondom berdiri di mal di kota-kota besar. Beberapa kalangan menilai ini bukan sekadar kampanye penggunaan kondom semata, tetapi lebih dari itu, merupakan kampanye seks bebas di kalangan remaja.
Semua itu terjadi, menurut budayawan Taufik Ismail, karena Indonesia sedang dikepung apa yang disebutnya sebagai Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Gerakan ini menyebabkan hilangnya rasa malu orang Indonesia. Dia khawatir hilangnya rasa malu ini lambat laun meruntuhkan bangunan bangsa. “Gerakan Syahwat Merdeka ini tak bersosok organisasi resmi dan jelas tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya. Ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan eletronik menjadi pengeras suaranya,” kata Taufiq.
Taufik menyebut paling tidak ada 13 pihak yang menjadi pendukung fanatik gerakan ini. *Pertama*, praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. *Kedua*, para penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. *Ketiga*, produser, penulis skrip, dan pengiklan televisi. “Semua orang tahu betapa ekstentifnya pengaruh layar kaca. Setiap tayangan televisi rata-rata 170 juta pemirsa. Untuk situs porno kini tersedia 4,2 juta di dunia dan 100 ribu di internet Indonesia. Untuk mengaksesnya malah tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Fransisco, maupun Klaten,” tegasnya.
Pendukung *keempat* adalah penulis, penerbit, dan propagandis buku-buku sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya adalah penulis pria. Di Indonesia sebaliknya. Penulis yang asyik menulis wilayah ’selangkangan dan sekitarnya’ mayoritas perempuan. Ini membuat para penulis di negeri jiran itu heran.
*Kelima*, penerbit dan pengedar komik cabul. *Keenam*, produsen VCD/DVD porno. *Ketujuh*, pabrikan alkohol. *Kedelapan*, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. *Kesembilan*, pabrikan, pengiklan, dan pengisap rokok. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks, narkoba, dan nikotin akrab sekali; sukar dipisahkan.
Selanjutnya, komponen ke-10 adalah para pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Ke-11, germo dan pelanggan prostitusi. Ke-12 adalah dukun dan dokter praktisi aborsi. “Bayangkan data menunjukan angka aborsi di Indonesia mencapai 2,2 juta setahun. Maknanya, setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas,” tandas Taufik.
Liberalisasi sosial ini bahkan melebihi negara pengusungnya, Amerika. Will Tuchrello, Direktur Perpustakaan Kongres AS Perwakilan Indonesia, kepada Taufik menyatakan di Amerika tidak ada tayangan seperti yang ada di televisi Indonesia saat ini. Tayangan berbau pornografi dan pornoaksi ditayangkan dini hari pukul 03.00. Di Indonesia tayangan ini malah mendapatkan tempat di prime time/jam tayang utama (pukul 19.00-21.00). Tak mengherankan jika generasi muda rusak karenanya.

*Liberalisasi Agama*
Satu hal lagi yang kini digencarkan kaum liberal, yakni liberalisasi agama, khususnya Islam. Berbagai upaya dilakukan agar Islam bisa menerima penafsiran baru yang datang dari luar Islam. Mereka menggiring Islam ke arah ‘Islam moderat’, yakni Islam yang lebih pro-Barat dan tercerabut dari akar pemahaman Islam yang sebenarnya.
Munculnya Ahmadiyah merupakan salah satu jalan untuk menggerogoti pemahaman Islam. Dengan berbagai cara, kaum liberal mendukung keberadaan aliran sesat ini, termasuk aliran sesat lainnya seperti Salamullah (Lia Eden), Bahai, dan Al-Qiyadah (Mosadeq). Ini adalah proyek besar. Jika Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka ini menjadi pintu masuk untuk merusak bagian-bagian Islam lainnya.
Proyek liberalisasi agama ini muncul dari cendekiawan yang telah dididik Amerika dan Barat. Pemahaman menyimpang itu masuk melalui beberapa perguruan tinggi Islam dan program beasiswa terhadap anak bangsa yang belajar ke Amerika dan Barat. Aktivitas mereka didukung sepenuhnya oleh media massa.
Akhirnya, ujung dari proyek liberalisasi di segala bidang ini tidak lepas dari upaya penjajahan Barat di negeri-negeri Muslim. Mereka menciptakan situasi yang kondusif agar mereka bisa dengan leluasa mengeruk sumberdaya alam Indonesia tanpa ada hambatan. Selain itu, Amerika dan Barat berusaha mencegah Islam politik tampil ke permukaan sebagaimana jatidiri Islam yang sebenarnya. Dokumen Rand Corporation makin memperjelas tujuan itu. Pengamat intelijen Wawan Purwanto, menegaskan, Barat tak ingin Islam terwujud di Indonesia secara *kaffah*, karena kalau itu terjadi, kekuatannya bisa powerfull. Inilah yang sangat ditakuti Barat. [Oleh: Mujiyanto]