Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Selasa, 28 April 2009

Memerangi Pornografi dan Pornoaksi (Perspektif Islam Sebagai Solusi)

Oleh: Dr. Faizatul Rosyidah


Pornografi, Masalah Bersama
Pornografi tidak akan menjadi masalah bila ia tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan moral agama seperti Indonesia. Faktanya pornografi telah berpengaruh secara signifikan terhadap rusaknya moral masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan, pornografi dianggap sebagai salah satu pemicu berkembangnya perilaku seks yang menyimpang.
Pornografi yang merajalela membuahkan berbagai problema sosial. Di Inggris, setiap 1 jam rata-rata terdapat seorang perempuan diperkosa, 18 pasangan suami-isteri bercerai, 20 orang melakukan aborsi, dan 24 bayi lahir dari perempuan tidak bersuami. Kejadian-kejadian semacam ini terus terulang lagi pada jam-jam berikutnya, dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Amerika Serikat merupakan negara yang paling parah. Negara kampiun demokrasi itu menempati urutan pertama di dunia dalam hal angka pemerkosaan. Angka pemerkosaan di AS mencapai 4 kali lipat angka pemerkosaan di Jerman, 18 kali lebih besar dari angka pemerkosaan di di Inggris, dan hampir 20 kali lipat lebih besar dari angka pemerkosaan di Jepang.
Di negara bagian Utah saja, angka pemerkosaan mencapai 44,6 per 100.000 jiwa penduduk. Pada tahun 1995, 2.071 anak-anak di Utah yang berusia kurang dari 18 tahun menjadi korban pemerkosaan, 633 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur 6 tahun. Angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap jamnya, atau 1.872 pemerkosaan setiap harinya, atau 683.280 pemerkosaan setiap tahunnya.
Berikutnya, tindak pemerkosaan bisa menimbulkan dampak-dampak emosional, mental, dan psikologi bagi korban dan keluarganya. Sensus di AS mengatakan, 1,3 juta penduduk AS sekarang mengidap suatu penyakit akibat pemerkosaan yang dikenal dengan nama Rape Related Post Traumatic Disorder (RR-PTSD), 3,8 juta pernah mengidap RR-PTSD, dan diperkirakan 211.000 perempuan akan mengidap RR-PTSD setiap tahunnya.
Perilaku seks bebas yang dipicu oleh maraknya pornografi juga telah mengakibatkan berbagai masalah kehidupan. Tingginya angka aborsi, single parents (tepatnya single mother), perceraian, dan AIDS termasuk di dalamnya. Di Inggris, pada tahun 1991 aborsi mencapai 180.000. Dari angka tersebut, 110.000 di antaranya terjadi pada perempuan yang tidak menikah. Hanya 1% di antaranya yang dilakukan karena alasan medis. Dua tahun kemudian, tahun 1993 aborsi meningkat pesat, hingga mencapai 819.000 aborsi. Lebih dari 3.000 aborsi dilakukan pada gadis berusia 15 tahun ke bawah (di Inggris, remaja usia 16 tahun dianggap sudah dewasa, sehingga boleh ‘menentukan sendiri’ sesuatu yang dianggapnya baik); dan lebih dari 31.000 aborsi dilakukan pada gadis 19 tahun ke bawah (Ismail Ada Patel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, 33).
Gambaran di atas menunjukkan betapa besar harga yang harus dibayar akibat merajalelanya pornografi. Jadi, jika tak rela mengalami nasib yang sama dengan negara-negara kapitalis itu, sudah seharusnya kita mengatakan ‘stop’ terhadap pornografi dan pornoaksi.



Akar Masalah
Arus utama (paradigma) berpikir masyarakat saat ini memang sangat terpengaruh oleh Kapitalisme; paham yang menganggap bahwa kehidupan tidak perlu diatur oleh agama, namun cukup ditentukan oleh asas manfaat. Faktanya, apa yang dianggap bermanfaat ini ditentukan secara sangat egoistik dan berwawasan pendek oleh para pelaku yang kebetulan mendominasi arena.
Dalam Kapitalisme, apa saja yang bisa dijadikan komoditas/barang dagangan akan diperlakukan sebagai komoditas/barang dagangan. Andaikata air ludah itu bisa dijual, tentu akan ada bisnis di sana.
Wanita sudah dianggap sebagai "barang dagangan" sejak lama, bahkan eksploitasi wanita dalam berbagai bentuknya (dari pamer aurat hingga pelacuran) sering disebut sebagai bisnis "tertua" di dunia. Sebutan ini dijadikan alasan seakan-akan mustahil memberantas pornografi dan pornoaksi, karena hal itu sudah menyatu dengan sejarah manusia.
Bahkan sejumlah teori ilmiah dicoba dibuat oleh para psikolog Barat. Sigmund Freud, misalnya, mengatakan bahwa aktivitas seks (tanpa peduli segi halal-haramnya) adalah sumber energi, yang tanpa itu manusia tidak bisa hidup normal.
Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan berperilaku. Dalam demokrasi yang diyakini Barat (dan juga dijajakan sebagai "kebenaran universal" ke negeri-negeri Islam), seseorang seharusnya bebas berekspresi dan berperilaku apa saja. Batasnya hanyalah kebebasan orang lain. Kalau tidak mengganggu orang lain, mengapa harus dibatasi? Kalau ada yang keberatan dengan tayangan (porno) di TV, ya tidak usah nonton, pindah saluran saja, atau matikan saja TV-nya. Begitu kilah mereka.
Pandangan-pandangan di atas bertemu dengan alasan ekonomi. Realitasnya, sebagian wanita "memilih" bidang "bisnis" ini karena tekanan atau tarikan ekonomi. Ketika pendidikan mahal dan lapangan kerja susah, maka eksploitasi aurat dan seks adalah jalan pintas untuk meraih uang dan materi. Aksi anti pornografi dan pornoaksi pun sering ditolak dengan alasan ekonomi, "Kalau mereka dilarang, terus siapa yang kasih makan?"
Memang, ditemukan sejumlah pemain dangdut pengumbar aurat atau pelacur pengobral syahwat yang melakukan pekerjaannya ini demi sekolah adik atau anaknya, atau demi orangtuanya yang renta, setelah suaminya tiada atau tidak berdaya; sementara penguasa yang semestinya melindungi mereka, juga tidak melakukan apa-apa.
Sepintas memang aktivitas pornografi/pornoaksi itu tidak merugikan yang tidak berkepentingan. Mereka yang bertransaksi juga melakukannya suka sama suka. Namun, ada yang dilupakan: masa depan!
Di Barat, pornografi/pornoaksi baru menjadi sangat liberal sejak ditemukan alat pencegah kehamilan pada akhir tahun 60-an. Sejak itulah orang bisa memisahkan antara tanggung jawab kehamilan dengan kenikmatan seksual. Sejak itu pula "bisnis" ini menjadi fenomena global. Namun, kini dampaknya mulai terasakan. Anak-anak, remaja, dan pemuda yang lahir di Barat pada era 70-an ke atas memiliki semangat juang atau motivasi yang lebih rendah daripada orangtua atau moyang mereka. Ada kecenderungan mereka menghindari persoalan-persoalan yang lebih rumit, semacam sains dan teknologi. Mereka juga tidak lagi begitu peduli pada persoalan politik. Dunia mereka kini adalah 3F—football, fashion, & fun—(permainan, penampilan, dan bersenang-senang).
Karena itu, generasi Jena Bush (anak George W. Bush) tidak lagi setangguh generasi George Washington. Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sampai akhirnya tiba generasi terakhir dalam sejarah mereka.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, fenomena 3F—yang antara lain tampak dari pornografi/pornoaksi—selalu merupakan gejala kehancuran bangsa itu.

Serangan Barat
Jika dicermati, munculnya pro kontra pada pembahasan RUU APP hingga kini setelah disahkannya menjadi UU Pornografi, bisa jadi adalah bagian dari serangan budaya Barat yang sedang dilancarkan oleh ideologi Kapitalisme Sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Entah disengaja atau tidak setelah Islam dicap oleh Barat sebagai “ideologi setan”, setelah Khilafah Islam dipandang sebagai ancaman, setelah jihad disamakan dengan aksi teror, setelah kurikulum madrasah dan pesantren dipandang sebagai lembaga yang berpotensi mengajarkan terorisme, setelah para khotib dicurigai sebagai penebar kebencian, dan setelah kaum muslim diidentikkan dengan kaum teroris, kini kaum muslimin di Indonesia dihadapkan pada berbagai serangan budaya Barat yang semakin gencar.
Belum reda umat dibombardir oleh rencana di seputar legalisasi aborsi dan pendirian ATM kondom yang secara tidak langsung akan mendorong tumbuh suburnya budaya seks bebas khas Barat, kini umat Islam dibuat gerah dengan munculnya majalah yang telah menjadi ikon majalah porno dunia, majalah Playboy. Dari sini, akhirnya muncullah RUU APP yang dibuat untuk membendung semua itu. Namun, perjalanan RUU ini tak mulus, karena kubu penentangnya sangat getol mengupayakan agar RUU ini kehilangan arah dari tujuan awalnya dan pada akhirnya kalaulah bisa menjadi UU, akan menjadi UU yang mandul. (Sebagaimana yang terlihat dari perubahan draft II RUU APP, baca juga Waspadai Pembelokan RUU APP! –Pen.-)
Tampaknya, Indonesia memang menjadi sasaran utama dari serangan budaya Barat sekuler melalui pornografi, pornoaksi dan seks bebas ini. Barat menyadari bahwa Indonesia sebagai negeri Islam dengan jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia, berpotensi menjadi salah satu ancaman bagi mereka. Karena itu untuk melemahkan moral generasi muda muslim dan melenakan mereka dalam kubangan hedonisme tanpa disadari oleh mereka sendiri, Barat melancarkan serangan budaya permissive (serba boleh) seperti pornografi, pornoaksi dan seks bebas. Tujuan akhirnya adalah semakin menjauhkan kaum muslim dari ideologi Islam. Dan pada akhirnya akan menghancurkan ideologi Islam itu sendiri.

Islam Menjawab dengan Kâffah
Berlarut-larutnya pembahasan pornografi dan pornoaksi saat ini adalah akibat ketidakjelasan standar pijakan untuk menilai pornonografi dan pornoaksi. Standar porno diserahkan kepada akal dan hawa nafsu manusia. Akibatnya, kesimpulan yang dihasilkan berbeda-beda. Bergantung dengan kebiasaan, pengalaman, selera, budaya, dan pikiran masing-masing.
Jika sejak awal pornografi dikembalikan kepada Islam, persoalan pornografi tidak akan berlarut-larut seperti saat ini. Sebab, Islam memiliki konsep jelas mengenai definisi pornografi dan bagaimana cara mencegahnya dalam kehidupan bermasyarakat dengan basis teologis yang jelas pula.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia tak pernah terlepas dari kehidupan di akhirat kelak. Sebab kelak manusia akan diminta pertanggungan jawab dari semua perbuatannya di dunia. Karena itu, perbuatan manusia di dunia pun memiliki aturan tertentu. Bukan aturan hidup yang dibuat oleh manusia sendiri, tapi aturan yang berasal dari Allah swt sebagai pencipta manusia, sehingga aturan itu pasti bisa dijamin kebenarannya dan kemampuannya dalam menyelesaikan segala problema kehidupan manusia.
Sebagai ajaran yang diturunkan oleh Sang Pencipta Yang Mahabijaksana , Islam memberikan syariat yang sangat lengkap. Wanita dipandang sebagai sosok yang diberi kehormatan dan tugas yang mulia, yakni sebagai "madrasah/sekolah" pertama bagi generasi baru dan mitra bagi suaminya; bukan sebagai komoditas ataupun lawan bagi para lelaki.
Hasrat seksual ataupun pamer aurat dipenuhi di dalam pernikahan, yakni antara suami-istri. Kaum wanita tidak perlu menjual dirinya karena alasan ekonomi, karena sistem nafkah dalam Islam membentuk jaringan yang rapi, sehingga tidak perlu seorang wanita menjadi terlunta-lunta. Setiap wanita akan dinafkahi oleh ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya, pamannya, atau bahkan anak laki-lakinya. Jika tidak ada kerabatnya ini yang mau menafkahi, negara wajib campur tangan, dan ini tidak dianggap sebagai intervensi negara ke ruang privat. Jika dia tidak memiliki kerabat, atau ada tetapi juga tidak mampu, negara membantunya secara langsung dengan menunjuk hakim yang adil untuk menjadi wali bagi wanita itu.
Tentu saja negara juga menyelenggarakan sistem pendidikan dengan kurikulum yang islami. Bahan ajar yang mendewakan kebebasan berekspresi atau berperilaku, atau teori Freud, tentu saja harus dibongkar kepalsuannya, dan digantikan dengan ajaran-ajaran Islam yang menyejukkan kalbu, memuaskan akal, dan menenangkan jiwa.
Negara juga menegakkan syariat tentang aurat dalam Islam. Islam telah memberikan definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah segala jenis produk grafis (tulisan, gambar, film) –baik dalm bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya - yang mengumbar aurat (baik aurat laki-laki maupun perempuan) yang dipertontonkan dan dijual ke tengah-tengah masyarakat (ke public) atau kepada orang yang tidak berhak.
Adapun pornoaksi adalah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara langsung dari mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-tempat hiburan khusus (diskotek, klub malam, dan sebagainya)
Pornografi dan pornoaksi ini hukumnya haram dalam Islam, karena mempertontonkan aurat di muka umum (selain kepada yang berhak, dengan alasan yang dibenarkan syariat) adalah haram. Tentu saja, dalam konteks ini yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Hendaklah mereka menutupkan kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka; kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai hasrat (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita." (QS an-Nur [24]: 31).
Islam telah menetapkan batas-batas aurat, baik laki-laki maupun perempun, yang tidak boleh dibuka di sembarang tempat dan sembarang orang. Dalam Islam, batas aurat wanita bagi laki-laki asing adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Suatu saat Asma’ binti Abu Bakar masuk ke dalam ruangan Rasulullah saw. Dia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun berpaling, kemudian bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهه وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’, sesungguhnya wanita apabila telah sampai pada usia baligh, tidak diperkenankan terlihat darinya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya (HR Abu Dawud).
Itulah batas aurat yang harus ditutup ketika wanita keluar rumah. Lebih dari itu, mereka diperintahkan mengenakan pakaian khusus yang ditentukan oleh Allah Swt. Pakaian tersebut adalah al-khimâr (kerudung) yang harus menutupi seluruh kepala (kecuali wajah) hingga dada (QS al-Nur: 31) dan al-jilbâb (QS al-Ahzab: 59). Jilbab adalah baju kurung atau terusan yang longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh hingga kaki.
Allah SWT berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." (QS al-Ahzab [33]: 59).
Demikian juga dengan laki-laki. Meski batas auratnya tidak seperti perempuan, laki-laki pun memiliki batas aurat yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. Batas auratnya adalah antara pusar dan lutut. Dari Muhammad bin Jahsy, suatu saat Rasulullah saw melewati Ma’mar yang kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda kepadanya:
يَا مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat (HR Ahmad).
Dalam berpakaian dan berperilaku, diharamkan pula tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), yang memungkinkan munculnya hajat seksual lawan jenisnya. Islam juga melarang wanita berduaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya (khalwat).
Di sisi lain, negara justru harus mengupayakan agar wanita-wanita yang diperlukan keahliannya dan akan bekerja tetap dapat melakukan aktivitasnya sekalipun berjilbab. Tidak seperti sekarang, wanita yang berusaha menutup auratnya malah dipersulit, sekalipun mereka profesional.
Mereka yang harus mengajar ilmu di depan majelis yang juga dihadiri laki-laki juga tetap diberi hak untuk itu, karena suara bukanlah aurat.
Kalau satu pihak (wanita) diperintahkan menutup aurat, maka pihak yang lain (laki-laki) diperintahkan menundukkan pandangan. Demikian Allah SWT berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka." (QS an-Nur [24]: 30).
Laki-laki yang "ingin segera melihat aurat wanita" dibantu dengan jalan dipermudah menikah. Syariat mendorong masyarakat dan negara untuk menjadi fasilitator bagi mereka yang ingin menikah, bahkan sebagian harta Baitul Mal bisa dipakai untuk mensponsori pernikahan ini, sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Allah SWT berfirman:
Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. (QS an-Nur [24]: 32).
Untuk mencegah masuknya pornografi dari luar negeri, negara menerapkan syariat hubungan luar negeri yang berbasis pada dakwah dan jihad. Perdagangan luar negeri dipandang dalam kerangka yang akan menguatkan Khilafah Islam dan kaum Muslim. Segala komoditas yang berpotensi melemahkan—termasuk melemahkan akidah dan kepribadian kaum Muslim—harus dicegah.
Agar semua hukum itu berjalan, negara menerapkan sanksi tegas kepada siapa pun bagi pelanggarnya. Dalam syariah, sanksi itu tercakup dalam hukum ta’zir, yang jenis sanksinya diserahkan kepada qadhi (hakim). Yang terpenting, sanksi hukum itu dapat memberikan efek jera kepada pelanggarnya dan mencegah bagi yang belum melaksanakan.
Itulah ketetapan Islam. Jelas dan baku sepanjang zaman. Dalam Daulah Islam, ketetapan itu tidak hanya diberlakukan terhadap rakyat yang muslim, tetapi juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi. Dengan aturan yang jelas itu, masyarakat akan bersih dari pornografi dan pornoaksi. Walhasil, hanya dengan Islam masyarakat yang tenteram, adil, dan sejahtera akan terwujud. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah pornografi ini, mengapa tidak ‘melirik’ pada Islam?

Agenda Bersama
Yang ironis, aparat di negeri ini seringkali lebih senang bersikap reaktif menunggu masyarakat marah dan kemudian merusak sarana-sarana maksiat (termasuk arena pornoaksi atau lapak-lapak penjualan pornografi). Padahal, seharusnya aparatlah yang proaktif melakukan pencegahan. Bukankah mereka yang mempunyai kekuatan? Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan (kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun, itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim).
Karena itu, kita menyerukan kepada seluruh aparat negeri ini, agar kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka digunakan untuk mencegah kemungkaran ini terus berlanjut. Mereka tidak boleh ada dalam posisi hanya sekadar bicara atau membuat wacana.
Sementara itu, tugas para ulama adalah senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam menjalankan amanah di atas. Mereka berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, agar umat juga berani mengingatkan pemimpinnya, dan secara pribadi juga tidak justru menikmati keberadaan pornografi itu.
Walhasil, tugas kita bersama untuk mencegah pornografi. Bukan sekedar terjebak pada aksi mendukung atau menolak UU Pornografi- saja, karena hakekatnya –sebagaimana keyakinan kita sebagai seorang muslim- UU Pornografi tersebut tidak akan bisa menjadi solusi kecuali bila disandarkan pada tuntunan syariah-Nya. Dan tugas kita bersamalah untuk membangun satu barisan perjuangan yang rapi dan kokoh demi tegaknya syariat Islam dan institusi yang akan menjadi pelindung dan penjaga umat ini, termasuk masa depan kita dan anak-cucu kita.
Wallâh a’lam bi al-shawâb.

Senin, 20 April 2009

MENGHANCURKAN AGENDA GLOBAL BARAT : FEMINISME

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Umat Islam sedunia terperanjat ketika Amina Wadud Muhsin seorang feminis, mengimami shalat Jumat di sebuah gereja di New York 18 Maret 2005. Berbagai komentar, kecaman, dan kritikan pun tak ayal lagi banyak tertuju kepada aksi bid’ah dan mungkar tersebut. Sesungguhnya, kritik komprehensif terhadap aksi tersebut harus menggunakan dua perspektif yang saling melengkapi. Pertama, tinjauan fiqih (hukum Islam), yakni tinjauan terhadap aksi tersebut dari sudut pandang fiqih Islam. Kedua, tinjauan ideologis, yaitu tinjauan terhadap konsep feminisme dan kesetaraan gender (gender equality) yang menjadi paradigma aksi tersebut.

Tulisan ini hendak memfokuskan diri pada tinjauan kedua, yaitu tinjauan ideologis dengan mengkaji feminisme dan menyorotinya dengan timbangan akal sehat dan dalil-dalil syariah

Feminisme : Agenda Global Barat

Feminisme sesungguhnya adalah alat penjajahan negara-negara Barat terhadap Dunia Islam di bidang hukum keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah). Dalam hal ini, AS dan negara-negara Barat lainnya telah memanfaatkan PBB sebagai salah satu ujung tombak untuk memaksakan pandangan hidup kapitalisme-sekuler di seluruh Dunia Islam.

Hal ini dapat dibuktikan, bahwa ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan –-seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995-- maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan1.

Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan dan sebagainya2.

Memahami Feminisme

Feminisme, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut” 3. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis4.

Adapun seorang feminis muslim, menurut Yuhanar Ilyas, selain harus memenuhi kriteria tersebut, yakni memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender (gender inequalities), yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam5.



Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin6. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.

Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi7.

Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan mereka8. Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis8.

Ketika ide-ide feminisme ini tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender. Menurut Asghar Ali Engineer, terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat asumsi-asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumi-asumi ini menurut Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al Qur’an untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan9.

Para feminisme muslim pun lalu mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem ketidaksertaan gender tersebut. Asghar, salah seorang dari mereka, mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan 2 (dua) hal :

Pertama, dalam pengertiannya yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara.

Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung jawab dan kebebasan10.

Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taqiyyuddin An Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al-musaawah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan11. Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang dibangun di atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak-hak antara laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan konsep kesetaraan hak itulah, para feminis muslim membatalkan dan mengganti banyak ide dan hukum Islam yang mereka anggap tidak sesuai dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun mereka tidak menyebutnya sebagai “penggantian” atau “pembatalan” hukum Islam, melainkan “penafsiran ulang” atau bahkan “pelurusan” dan “koreksi”. Jadi seolah-olah hukum-hukum Islam itu keliru, atau ditafsirkan secara keliru, sehingga perlu diluruskan oleh para feminis muslim. Para mufassir atau mujtahid yang mengistinbath hukum-hukum yang dianggap mengekalkan ketidakadilan gender tersebut, oleh kaum feminis muslim dicap secara sepihak sebagai orang yang terkena bias gender dalam ijtihadnya, serta dinilai hanya bermaksud mengekalkan dominasi laki-laki atau penindasan wanita. Mereka, misalnya, menolak konsep penciptaan Hawa dari Nabi Adam AS, konsep kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum kesaksian 1:2 (satu laki-laki dua perempuan), hukum kewarisan 2:1 (dua bagian laki-laki satu bagian perempuan), kewajiban berjilbab/batasan aurat perempuan, kebolehan poligami, dan sebagainya. Mereka menolak pula keharaman melakukan hubungan seksual dengan suami saat isteri haid, dan menolak keharaman wanita melakukan sholat saat haid. Mereka tolak pula ketentuan hukum shaf laki-laki dalam sholat di bagian depan shaf perempuan. Mereka menolak hukum haramnya wanita menjadi penguasa. Sebaliknya, mereka malah membolehkan wanita menjadi imam sholat dalam jamaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka bolehkan pula wanita memberikan khutbah Jumat dan mengumandangkan azan12.

Untuk menjustifikasi penafsiran mereka, mereka menggunakan metode historis–sosiologis untuk memahami nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan. Tegasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyarakat dalam konteks ruang (tempat) dan waktu (fase sejarah) yang tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah, maka peraturan dan hukum turut pula berubah13. Dalam hal ini, para feminis memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukum-hukum Islam seperti di atas. Karenanya, hukum-hukum itu harus ditafsirkan ulang agar sesuai dan relevan dengan konteks masyarakat modern saat ini.

Menolak Feminisme

Feminisme apa pun bentuknya harus ditolak, mengingat argumen-argumen berikut ini :

Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat terutama pada abad XIX–XX M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Di AS, misalnya, kaum wanita baru mempunyai hak pilih dalam pemilu pada tahun 1920. Maka dari itu, mentransfer ide ini ke tengah umat Islam, yang memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Klaim bahwa wawasan sosiologis bersifat universal, mengandung kepongahan yang dapat mengakibatkan dilema serius bagi para sosiolog. Robert M. Marsh menandaskan :

“Sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut kecil dunia, dan dengan demikian, amat terbatas sebagai suatu skema universal.”14

Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tak bersandar pada satu pun dalil syar’i. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai menjadi Musyarr’i (Sang Pembuat Hukum), bukan Allah Azza wa Jalla. Maka dari itu, tanpa keraguan lagi dapat ditegaskan, feminisme adalah paham kufur. Allah SWT berfirman :

“Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Maaidah : 44).

Adapun para feminis muslim yang mencoba membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil syar’i, sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil syar’i sebagai tumpuan ide feminisme. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah mengambil asumsi-asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari ayat atau hadits untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau hadits yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang mereka anut secara fanatik, maka ayat atau hadits itu harus diubah maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender. Ketika mereka mendapatkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan konsep tersebut, seperti hukum waris 2:1 (dua bagian laki-laki setara dengan satu bagian perempuan), atau ketidakbolehan perempuan menjadi penguasa), mereka lalu menta`wilkan –tepatnya memperkosa-- ayat atau hadits tersebut agar sesuai dengan selera mereka. Ini artinya, sebenarnya ide feminismelah yang menjadi standar, bukan ayat atau hadits itu sendiri. Andaikata ayat atau hadits yang menjadi standar, niscaya mereka akan tunduk kepada makna yang terkandung dalam ayat atau hadits apa adanya, serta tidak akan melakukan berbagai re-interpretasi yang malah menghasilkan pendapat-pendapat rusak seperti yang telah disebutkan di atas.

Ketiga, para feminis muslim, menggunakan metode historis-sosiologis khas kaum modernis untuk memahami nash-nash syara’. Metode ini sebenarnya berasal dari sistem hukum Barat yang memandang kondisi masyarakat sebagai sumber hukum15. Fakta masyarakat dianggap sebagai dalil syar’i yang menjadi landasan penetapan hukum. Jelas di sini bahwa metode “ushul fiqih” mereka adalah “ushul fiqih” yurisprudensi hukum Barat, bukan ushul fiqih yang murni diambil dari para ushuliyun kaum muslimin. Tentu saja ini sangat keliru. Sumber hukum tiada lain adalah wahyu, yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan realitas masyarakat yang ada. Realitas sosial pada saat suatu ayat hukum turun, atau ketika suatu hukum disimpulkan dari ayat atau hadits oleh seorang mujtahid, adalah fakta yang kepadanya hukum diterapkan, bukan fakta yang darinya hukum dilahirkan. Jadi sebenarnya ada perbedaan tegas antara wahyu sebagai sumber hukum dengan realitas masyarakat sebagai objek penerapan hukum. Karena itu, hukum Islam tidak perlu ditafsir ulang, sebab selama manathul hukmi (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) di masa sekarang sama dengan masa Nabi dan sahabat, hukum tertentu untuk satu masalah tertentu tidaklah akan berbeda. Jika ada manathul hukmi di zaman sekarang yang tidak terdapat pada masa sebelumnya, yang harus dilakukan adalah ijtihad untuk menggali hukum baru bagi masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada agar sesuai dengan realitas baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum seperti yang dilakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah ijtihad, melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab manathul hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.

Keempat, para feminis muslim gagal memahami kehendak Syari’at Islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan. Mereka menganggap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan, otomatis menyebabkan kesetaran hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Ini keliru. Karena, cara berpikir demikian adalah cara befikir logika (mantiqi) yang tidak berlandaskan pada dalil syar’i mana pun. Selain itu fakta Syari’at Islam menunjukkan bahwa kedua ide itu (yaitu kesetaraan kedudukan dengan kesetaraan hak) tidaklah ber-relasi sebab-akibat yang bersifat pasti (absolut) seperti dipahami feminis muslim, yakni kesetaraan kedudukan lelaki dan perempuan, pasti menghasilkan kesamaan hak dan kewajiban di antara keduanya. Memang benar, Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Islam memberikan beban hukum (taklif syar’i) yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya. Ini ketentuan secara umum. Namun, Islam menetapkan adanya takhshish (pengkhususan) dari hukum-hukum yang bersifat umum, jika memang terdapat dalil-dalil syar’i yang mengkhususkan suatu hukum untuk laki-laki saja atau untuk perempuan saja. Dan takhshish harus proporsional, yakni hanya boleh ada pada masalah yang telah dijelaskan oleh dalil syar’i. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
“Al-‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at-takhshish.”

“Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”

Dengan demikian, dapatlah diterima bila Islam mengkhususkan hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk perempuan, bukan lelaki, karena memang terdapat dalil-dalil syar’i untuk itu. Dapat dibenarkan bila Islam mengkhususkan pakaian perempuan yang berbeda dengan laki-laki, karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan pengkhususan ini. Demikian seterusnya16. Pengkhususan inilah yang diingkari oleh para feminis, padahal pengkhususan ini semata berdasarkan dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan mengikuti hawa nafsu para mufassir atau mujtahid, yang dicap oleh kaum feminis secara zalim sebagai laki-laki yang terkena bias gender dalam penafsirannya terhadap Al-Qur`an dan As- Sunnah. Yang juga patut dicatat, pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya dominasi/penindasan dari satu pihak kepada pihak lain, sebagaimana ilusi feminisme. Ilusi seperti ini tentu logis bagi feminisme, karena feminisme beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan lelaki/wanita mutlak ditentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban, yang berarti, tolok ukurnya adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas, bukan kualitasnya. Ilusi ini timbul karena paham materialistik yang inheren dalam ideologi kapitalisme/sosialisme. Padahal dalam Islam, tolok ukur kemuliaan adalah ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa –bukan sebanyak apa-- seseorang itu menjalankan aktivitas dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Bukan diukur secara kuantitaif yang mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan banyak-sedikitnya peran atau aktivitas yang dilakukan. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS Al-Hujuraat : 13).

Allah SWT berfirman :
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS Al-Mulk : 2)

Dalam ayat di atas Allah menyatakan bahwa hikmah penciptaan hidup dan mati adalah, Dia menguji kita siapakah di antara kita yang ahsanu ‘amala (lebih baik amalnya), bukan aktsaru ‘amala (yang lebih banyak amalnya). Jadi yang dinilai Allah adalah tingkat ihsan (kebaikan) dari suatu amal atau kualitas amal, bukan kuantitas amal.

Mewaspadai Feminisme

Jelaslah, ide-ide feminisme memang wajib diwaspadai. Di balik advokasinya terhadap kaum wanita yang seakan tulus, ternyata terselip racun-racun ideologis yang berbahaya dan amat mematikan. Memang benar, kita perlu memuliakan kaum wanita, tetapi haruskah kita bunuh diri secara bodoh dengan menenggak racun-racun ideologisnya tanpa sadar ?

Feminisme setidaknya berbahaya terhadap umat Islam karena tiga hal berikut :
Pertama, Menjadi paradigma yang akan melegitimasi paham-paham kufur dan sesat dengan mengatasnamakan agama. Umat di sini akan dapat terkecoh bila tidak waspada dan membekali diri dengan Tsaqafah Islamiyyah (ilmu-ilmu keislaman) yang memadai.

Kedua, Menjadi alat kontrol bagi pemerintah sekuler yang ada, agar konsisten menjalankan peraturan internasional yang dikeluarkan PBB. Ini artinya, feminisme telah dimanfaatkan negara-negara kapitalis-sekuler seperti Amerika Serikat dalam mendominasi Dunia Islam.

Ketiga, Menipu umat Islam –-khususnya muslimah-– agar ridha dan ikhlas menerima paham-paham yang batil, seperti lontaran ide bahwa perempuan boleh menjadi imam sholat bagi jamaah laki-laki.

Dari adanya ketiga hal tersebut, jelaslah ke mana arah yang dituju oleh paham feminisme. Arahnya adalah mendukung dan melegitimasi konspirasi internasional negara-negara kapitalis Barat untuk menjadikan ideologi kapitalisme yang kufur sebagai agama bagi seluruh umat manusia dan membuang ideologi Islam yang sahih dari perannya mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. [HT]

CATATAN AKHIR :

1.Farha Ciciek, Wacana Keperempuanan Mutakhir, Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.

2.F. Syarifah, Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416 H/April 1996. hlm. 11–16.

3.Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 5.

4.Ibid, hlm 6.

5.Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 55–56.

6.John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan XVIII, 1990, hlm. 265 dan 517.

7.Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 11–20.

8.Yunahar Ilyas, op, cit, hlm. 46–53. Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari sistem patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan ekonomi.

9.Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994, hlm. 55.

10.Asghar Ali Engineer, Ibid, hlm. 57.

11.Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fil Islam, Darul Ummah, Beriut, 1990, hlm. 77 – 78.

12.Untuk uraian terperinci mengenai ide-ide feminis muslim ini, lihat Yunahar Ilyas, op.cit., hlm 61 – 104. Juga lihat laporan Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanggal 9–11 Desember 1995.

13.Yunahar Ilyas, op.cit., hlm 142 - 144

14.Robert M. Marsh, Comperative Sosiology, Brace and World, New York, 1967, hlm 19.

15.Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri’ wa Sannul Qawanin fid Daulah Islamiyyah, Darun Nahdlah Al Islamiyyah, Beirut, 1992, hlm. 12.

16.Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Dustur, t.p., t.t.p., 1963, hlm. 235–257

Sumber: http://swaramuslim.net/more.php?id=54_0_1_0_M

MENYIKAPI FEMINISME DAN ISU GENDER (BAG DUA-HABIS)

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif *)
Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.

Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.

Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.

Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.

Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.

Agama samawi terakhir ini datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur Jahiliyah yang dikenal sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga menemukan bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai layaknya manusia dan warganegara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan aktif dalam berbagai sektor, termasuk politik dan militer.

Kesimpulan senada juga dicapai oleh para peniliti Barat (Lihat misalnya: Dorothy van Ess, Fatima and Her Sisters (New York, 1961); Magali Morsy, Les Femmes du Prophete (Paris, 1989); D.A. Spellberg, Politics, Gender, and the Islamic Past: the Legacy of ‘A’isha bint Abi Bakr (New York, 1994).

Dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Islam datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.



Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya.

Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai isteri. Kadangkala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya.

Praktek ini mereka namakan nikah as-syighâr. Ada juga yang saling bertukar isteri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal.

Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al istibdhâ‘, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.

Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. (Lihat: W.R. Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia (London, 1907).

Gerakan feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.

Sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.

Kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.

Bagi para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya patriarkis. Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.

Seperti kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (humâ ataupun kumâ).

Disamping itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian.

Di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya.

Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisâ’ syaqâ’iqu r-rijâl) (HR Abu Dâwud dan an-Nasâ’i).

Oleh karena itu, meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Toh, di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan hasil sebuah survei, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Sementara mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa dalam tiap 10 detik di Inggris terjadi tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini belum termasuk tindak pelecehan seksual dan sebagainya.

Dr. Lois Lamya al-Faruqi mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja.

Terakhir, pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak ‘menuai badai’.

Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzâ bâlagha haddahu in‘kasa ‘alâ dhiddihi). (Habis)

*) Penulis sedang melanjutkan program Phd keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Kajian Wanita Online (KWOL) Bidang Kewanitaan PIPPKS Jerman, Rabu, 26 Oktober 2005/hidayatullah.com)

MENYIKAPI FEMINISME DAN ISU GENDER (BAGIAN PERTAMA)

Oleh: Syamsuddin Arif *)
Tiga-puluh-lima tahun silam, pada 1970, sebuah acara mewah meriah di Royal Albert Hall, London, tiba-tiba berubah menjadi huru-hara. Sang pembawa acara, Bob Hope, disemproti tinta, dilempari bom tepung, tomat dan telur busuk. Hadirin panik, dewan juri melarikan diri keluar, kontestan menangis, sementara gerombolan demonstran mengamuk sambil meneriakkan yel-yel: “We’re not beautiful, we’re not ugly. We are angry !” Protes keras untuk kontes Miss World Beauty itu dilakukan oleh sejumlah aktivis wanita yang tergabung dalam Women Liberation Movement. Bagi mereka, perhelatan itu tak ada bedanya dengan ‘pasar hewan’.

Gerakan feminis di Barat, tak dapat dipungkiri, merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana. Penyebab utamanya adalah pandangan ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny), bermacam-macam anggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif yang mengejawantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik.

Sejak zaman dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang-keladi kejatuhan Adam dari sorga.

Akibatnya, peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah-tangga saja. Mereka tidak dibenarkan ikut campur dalam ‘urusan laki-laki’. (Lihat: John Mary Ellmann, Thinking About Women (New York, 1968) dan Frances Gies dan Joseph Gies, Women in the Middle Ages (New York, 1978).

Kaum feminis umumnya menganggap Mary Wollstonecraft sebagai nenek-moyang mereka. Lewat bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (London, 1792), ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage).

Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah-tangga dan ‘penjara-penjara’ lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan ‘dari sono-nya’. Laki-laki pun, kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal, ujarnya.

Gebrakan Wollstonecraft menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, “Femme: ose être !” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos alias ‘Colombine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.



Selain hak pendidikan dan politik, aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan.

Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) segera dihapuskan. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan anak.

Agenda emansipasi selanjutnya ialah bagaimana membebaskan wanita dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world).

Hanya dengan cara ini, konon, perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan subordinasi.

Namun pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat kelihatan mengalami stigmatisasi dan nampak seperti ‘kena batunya’.

Munculnya feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan itu. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy..

Reaksi tajam terhadap radikalisasi feminis datang dari banyak kalangan. Mantan calon Presiden Amerika, Pet Robertson, pernah berkomentar bahwa para feminis itu kerjanya cuma ‘mengompori’ wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak mereka, mengamalkan pedukunan, menjadi lesbian dan meruntuhkan kapitalisme (“Feminists encourage women to leave their husbands, kill their children, practise witchcraft, become lesbians and destroy Capitalism”).

Penulis terkenal Susan Jane Gilman pun menangkap kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini, keluhnya, menganggap feminisme tidak ketahuan ‘juntrungan’nya dan tidak jelas apa maunya. Sementara kalangan lain menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman, kekanak-kanakkan, dan tidak relevan lagi (“For women today, feminism is often perceived as dreary. As elitist, academic, Victorian, whiny and passé”).

Gerakan feminis juga disalahkan karena dianggap telah mengebiri laki-laki, menyuburkan pergaulan sesama jenis, dan mengubah perempuan menjadi mahluk-mahluk yang gila karir, hidup dalam kesepian, balik ke rumah hanya untuk memberi makan kucing dan anjing.

Diakui atau tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang dan Singapura kini tengah berupaya mengatasi apa yang mereka sebut sebagai krisis demografis.

Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan dipastikan akan berdampak sangat buruk bagi masa depan negara bersangkutan. Menurut laporan majalah Stern (no. 27, edisi 28 Juni 2005), jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian seperti sekarang ini, maka pada tahun 2060 Jerman diprediksi akan menjadi tempat penampungan generasi tua jompo, menjadi Land ohne Kinder.

Barangkali karena terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan kini nyaris tinggal wacana. Nampak telah terjadi semacam kejenuhan, keresahan dan rasa bersalah karena melawan naluri dan mengingkari kodrat sendiri.

Akhirnya muncul gerakan anti-tesis yang menyeru kaum wanita agar kembali ke pangkal jalan. Erin Patria Pizzey (penulis buku Prone to Violence), Caitlin Flanagan (kolumnis tetap the Atlantic Monthly), professor Iris Krasnow (penulis buku Surrendering to Motherhood), dan mantan pengacara F. Carolyn Graglia (penulis buku Domestic Tranquility) dapat dikatakan mewakili arus balik ini. Demikian pula Lydia Sherman and Jennie Chancey yang mendirikan yayasan Ladies Against Feminism (LAF).

Menurut hemat mereka, gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dalam arti saling menegasikan, melainkan dalam perspektif kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain. (bersambung bagian kedua)


*) Penulis sedang melanjutkan program Phd keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman. Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Kajian Wanita Online (KWOL) Bidang Kewanitaan PIPPKS Jerman, Rabu, 26 Oktober 2005/hidayatullah.com)

GERAKAN FEMINISME KEMBALI KE "SUNNATULLAH"?

oleh Santi Soekanto*

Salah satu icon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah kaum feminis terkemuka Ms. (edisi musim panas 2003), sebuah artikel yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad lalu. Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai pembagian kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan antara manusia dengan alam, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang sama.

Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang dipilih dari kalangan pria tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum wanita. "Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara pria dan wanita, antara tiap manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dan alam– kalau pun memang semuanya itu dianggap terpisah satu sama lain."

Sungguh kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could Menstruate (Kalau Saja Lelaki Bisa Menstruasi) yang penuh dengan olok-olok tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan dijadikannya alasan untuk menancapkan supremasi kekuasaan mereka. Kalau saja lelaki bisa mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah male competition tentang misalnya "Saya ganti pembalut 3 kali sehari, Anda berapa?" "Berapa lama Anda mens? Wah, banyakan juga saya!" atau bahkan dijadikannya mens sebagai syarat untuk menjadi tentara ("Anda harus meneteskan darah diri sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!").

Salah satu icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar 30 tahun lalu menulis buku terkenal berjudul The Female Eunuch. Dia berargumentasi bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum feminis. Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman, yang menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer menggambarkan betapa pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan seakan-akan demikian dekat dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang mereka saksikan adalah semakin memudarnya cita-cita mereka – bukan saja karena negara dan pemerintahan dianggapnya masih terus mempertahankan pola kekuasaan lama, tetapi juga tidak bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang pertama kali diusung di Barat ini. Selain itu, yang terpenting, Greer masih menyoroti apa yang dianggapnya sebagai dominasi pria, tetapi juga tampak mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah dari spesies yang bernama manusia ini.


Greer menggambarkan betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme, gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep "wanita cantik" yang sama – miliaran anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetika dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria. Bahkan, menurut Greer, "kebebasan seks yang menyertai revolusi gender malahan lebih sering merugikan wanita." Apa yang disebut "kebebasan seks" hanya menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus merasakan efek terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.

Satu lagi area yang menggambarkan betapa feminisme berpuluh tahun tidak berefek baik pada wanita adalah pornografi. Greer menyoroti betapa sesudah feminisme yang berusaha menjadikan wanita sebagai subjek, industri pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran dolar tiap tahunnya!

Akhirnya Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan. Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih dari sekedar menggantikan ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.

Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel "Martin, What Should I Do Now?" (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.

"Saya memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya saya tergantung pada Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami orang-orang yang hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan? Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’. Belum lama ini saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu menghilang."

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme yang sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an, ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang yang beragam, mulai dari "persamaan hak", "persamaan kekuasaan", "perbedaan pria dan wanita hanyalah soal pengasuhan dan social concepts" sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa dielakkan. Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan gerakan di awal-awal lahirnya dulu.

Professor T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah "feminisme kesejajaran" yang berjuang menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah "feminisme perbedaan" yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature) itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan perilaku pria dan wanita.

Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa pada akhirnya memang ada faktor-faktor tak terbantahkan yang bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan "gender free approach" dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku feminis Muslim maupun feminis doang? Sama seperti banyak wacana di Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari yang berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah. Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai memprotes yang mereka sebut "dominasi budaya patriarki".

Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi informasi dan media. Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan pria dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru paling harmonis dengan kehidupan.

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi rabbi’l-alamin

Jakarta, 22 April 2006

* penulis adalah wartawan senior yang 11 tahun silam meliput Konferensi Wanita Dunia di Beijing

www.hidayatullah.com

MENGATUR INTERAKSI PRIA WANITA MENURUT SYARIAH

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar

Telaah ini bertujuan menerangkan pengaturan interaksi pria dan wanita dalam kehidupan publik menurut Syariah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam (2003), khususnya hal. 25-30 pada bab Tanzhim Ash-Shilat Bayna Al-Mar`ah wa Ar-Rajul (Pengaturan Interaksi Wanita dan Pria).
Pengaturan tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah. Karena menurut An-Nabhani, pengaturan yang ada hendaknya dapat mengakomodasi dua faktor berikut ini; Pertama, bahwa potensi hasrat seksual pada pria dan wanita dapat bangkit jika keduanya berinteraksi, misalnya ketika bertemu di jalan, kantor, sekolah, pasar, dan lain-lain. Kedua, bahwa pria dan wanita harus saling tolong menolong (ta'awun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan, pendidikan, pertanian, dan sebagainya. (h. 25-26).
Bagaimana mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar hasrat seksual tidak bangkit, bisa jadi muncul pandangan bahwa pria dan wanita harus dipisahkan secara total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun jika demikian, tolong menolong di antara keduanya terpaksa dikorbankan alias tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar pria dan wanita dapat tolong menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan tanpa mengenal batasan. Tapi, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat seksual secara liar, seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah menghilangkan kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq).
Hanya Syariah Islam, tegas An-Nabhani, yang dapat mengakomodasi dua realitas yang seakan paradoksal itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi Syariah mencegah potensi bangkitnya hasrat seksual ketika pria dan wanita berinteraksi. Jadi pria dan wanita tidaklah dipisahkan secara total, melainkan dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan Syariah. Sementara di sisi lain, Syariah menjaga dengan hati-hati agar tolong menolong antara pria dan wanita tetap berjalan demi kemaslahatan masyarakat.


Pengaturan Syariah
An-Nabhani kemudian menerangkan beberapa hukum syariah untuk mengatur interaksi pria dan wanita. Hukum-hukum ini dipilih berdasarkan prinsip bahwa meski pria dan wanita dibolehkan beriteraksi untuk tolong menolong, namun interaksi itu wajib diatur sedemikian rupa agar tidak membangkitkan hasrat seksual, yakni tetap menjaga kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq). (h. 27). Di antara hukum-hukum itu adalah :
1. Perintah menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Pria dan wanita, keduanya diperintahkan Allah SWT untuk ghadhdhul bashar. (QS An-Nuur : 30-31). Yang dimaksud ghadhdhul bashar menurut An-Nabhani adalah menundukkan pandangan dari apa-apa yang haram dilihat dan membatasi pada apa-apa yang dihalalkan untuk dilihat (h. 41). Pandangan mata adalah jalan masuknya syahwat dan bangkitnya hasrat seksual, sesuai sabda Nabi SAW dalam satu hadits Qudsi :
"Pandangan mata [pada yang haram] adalah satu anak panah di antara berbagai anak panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku, Aku gantikan pandangan itu dengan keimanan yang akan dia rasakan manisnya dalam hatinya." (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 4/349; Al-Baihaqi, Majma'uz Zawaid, 8/63). (Abdul Ghani, 2004)
2. Perintah atas wanita mengenakan jilbab dan kerudung. Menurut An-Nabhani, busana wanita ada dua, yaitu jilbab (QS Al-Ahzab : 59) dan kerudung (khimar) (QS An-Nuur : 31). Jilbab artinya bukan kerudung, sebagaimana yang disalahpahami kebanyakan orang, tapi baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah, yang dipakai di atas baju rumah (h. 44, 61). Sedang kerudung (khimar) adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (h. 44). Penjelasan An-Nabhani mengenai arti "jilbab" ini sejalan beberapa kamus, antara lain dalam kitab Mu'jam Lughah Al-Fuqaha` :
"[Jilbab adalah] baju longgar yang dipakai wanita di atas baju (rumah)-nya." (Qal'ah Jie & Qunaibi, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jamul Wasith, 1/128).
3. Larangan atas wanita bepergian selama sehari semalam, kecuali disertai mahramnya. Larangan ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali dia disertai mahramnya." (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban).
4. Larangan khalwat antara pria dan wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya. Khalwat artinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtima' bayna itsnaini 'ala infirad) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat. (h. 97). Misalnya, di rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan keramaian manusia. Khalwat diharamkan, sesuai hadits Nabi SAW :
"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya." (HR Bukhari dan Muslim).
5. Larangan atas wanita keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya. Wanita (isteri) haram keluar rumah tanpa izin suaminya, karena suaminya mempunyai hak-hak atas isterinya itu. An-Nabhani menukilkan riwayat Ibnu Baththah dari kitab Ahkamun Nisaa`, ada seorang wanita yang suaminya bepergian. Ketika ayah wanita itu sakit, wanita itu minta izin Nabi SAW untuk menjenguknya. Nabi SAW tidak mengizinkan. Ketika ayah wanita itu meninggal, wanita itu minta izin Nabi SAW untuk menghadiri penguburan jenazahnya. Nabi SAW tetap tidak mengizinkan. Maka Allah SWT pun mewahyukan kepada Nabi SAW :
"Sesungguhnya Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatannya kepada suaminya." (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, h. 29).
6. Perintah pemisahan (infishal) antara pria dan wanita. Perintah ini berlaku untuk kehidupan umum seperti di masjid dan sekolah, juga dalam kehidupan khusus seperti rumah. Islam telah memerintahkan wanita tidak berdesak-desakan dengan pria di jalan atau di pasar (h. 29). (Al-Jauziyah, 1996).
7. Interaksi pria wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus. Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya saling mengunjungi antara pria dan wanita yang bukan mahramnya (semisal "apel" dalam kegiatan pacaran), atau pria dan wanita pergi bertamasya bersama. (h. 30).

Syariah : Obat Mujarab Bagi Penyakit Sosial
Beberapa hukum syariah yang disebutkan An-Nabhani di atas sesungguhnya merupakan obat bagi penyakit sosial saat ini, yaitu interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita yang rusak, yakni telah keluar dari ketentuan Syariah Islam. Penyakit sosial ini tak hanya ada di masyarakat Barat (AS dan Eropa), tapi juga di masyarakat Dunia Islam yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini misalnya pelecehan seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit menular seksual (AIDS dll), prostitusi, homoseksualisme, lesbianisme, perdagangan wanita, dan sebagainya. (Thabib, 2003:401-dst).
Pada tahun 1975 Universitas Cornell AS mengadakan survei mengenai pelecehan seksual (sexual harassement) bagi wanita karier di tempat kerja. Ternyata sejumlah 56 % wanita karier di AS mengalami pelecehan seksual pada saat berkerja. Di AS, sebanyak 21 % remaja puteri AS telah kehilangan keperawanan pada umur 14 tahun, dan satu dari delapan remaja puteri kulit putih AS (7,12 %) tidak perawan lagi pada umur 20 tahun (Abdul Ghani, 2004). Satu dari sepuluh remaja puteri AS (berumur 15-19 tahun) telah hamil di luar nikah, dan satu dari lima remaja puteri AS telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. (Andrew Saphiro, We're Number One, h.18; dalam Abdul Ghani, 2004).
Beberapa data tersebut menunjukkan bobroknya masyarakat Barat, yang sebenarnya berakar pada pengaturan interaksi pria dan wanita yang liberal dan sekular, yang telah menjauhkan diri dari nilai-nilai moral dan spiritual.
Sayang kenyataan pahit itu tak hanya terjadi di Barat, tapi juga di Dunia Islam, termasuk Indonesia. Indonesia yang sekular juga tidak menjadikan Syariah untuk mengatur interaksi/pergaulan pria dan wanita. Akibatnya pun sama dengan yang ada di masyarakat Barat, yaitu timbulnya berbagai penyakit sosial yang kronis yang sulit disembuhkan. Di RSCM Jakarta, setiap minggunya didatangi 4 hingga 5 orang pasien HIV/AIDS (data tahun 2001). Kasus aborsi terjadi 2,5 juta per tahun, dan 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja. LSM Plan bekerjasama dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pernah meneliti perilaku seks remaja Bogor tahun 2000. Hasilnya, dari 400-an responden, 98,6 % remaja usia 10-18 tahun sudah melakukan apa yang disebut "pacaran"; 50,7 % pernah melakukan cumbuan ringan, 25 % pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5 % pernah melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (pria dan wanita) telah melakukan seks bebas, 6 orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman, dan 17 orang dengan pacar. (Al-Jawi, 2002:69)
Data-data ini menunjukkan penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita, yang telah mengekor pada masyarakat Barat yang bejat dan tak bermoral. Sungguh, tidak ada obat yang mujarab untuk penyakit itu, kecuali Syariah Islam, bukan yang lain.
Di sinilah letak strategisnya gagasan An-Nabhani di atas, yaitu menjadi obat atau solusi terhadap penyakit sosial yang kronis dengan cara mengatur kembali interaksi pria wanita secara benar dengan Syariah Islam. Hanya dengan Syariah Islam, interaksi pria wanita dapat diatur secara sehat dan berhasil-guna. Yaitu tanpa membangkitkan hasrat seksual secara ilegal, namun tetap dapat mewujudkan tolong menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Wallahu a'lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-'Adalah Al-Ijtimaiyah fi Dhau` Al-Fikri Al-Islami Al-Mu'ashir, (T.Tp. : T.p), 2004
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi al-Kitab wa As-Sunnah), Penerjemah Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf, (At-Tibyan : Solo), 2001.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Ath-Thuruq Al-Hukmiyah fi As-Siyasah Asy-Syar'iyah, (Makkah : Al-Maktabah At-Tijariyah), 1996
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah, (Bogor : Al Azhar Press), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 2003
Anis, Ibrahim dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, (Kairo : Darul Ma'arif), 1972
Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra'sumaliyah Al-Gharbiyah, 2003
Qal'ah Jie, Rawwas, & Hamid Shadiq Qunaibi, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, (Beirut : Darun Nafa`is), 1988

IDE KEBEBASAN DEMOKRASI MERUSAK PEREMPUAN*

Oleh Ummu Aziz**

Pendahuluan
Banyak orang terbius oleh demokrasi. Mereka terlena oleh janji-janji muluk yang digembar-gemborkan oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem demokrasi akan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih modern. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari kebebasan, sebab kebebasan merupakan prasyarat agar rakyat dapat melaksanakan kedudukannya sebagai sumber kedaulatan dan sumber kekuasaan. Kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat. Dengan itu, mereka dapat melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri, serta melaksanakan haknya dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Dalam sistem demokrasi, ada empat kebebasan yang bersifat umum, yaitu: (1). Kebebasan beragama, (2).Kebebasan berpendapat, (3).Kebebasan kepemilikan, dan (4).Kebebasan berperilaku.
Tulisan ini mencoba membuktikan bahwa ide-ide kebebasan yang ditawarkan oleh demokrasi tidak membawa kebaikan dan kemuliaan sama sekali, tapi justru membawa kerusakan dan kesengsaraan, terutama bagi perempuan.

Memahami Kebebasan
Menurut Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Kaifa Hudimat al-Khilafah (terj.) hal. 65, pengertian kebebasan umum adalah : kebebasan yang dimiliki setiap orang untuk melakukan sesuatu sesuai kehendaknya.
Dari definisi ini, maka menurut Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur (terj.) hal. 79, kebebasan bertingkahlaku didefinisikan sebagai kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan, dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan. Kebebasan bertingkahlaku juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga.
Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan. Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat Barat menjadi "masyarakat binatang" yang sangat memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina daripada binatang ternak.


Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya; sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan, baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, dan melakukan perbuatan apa saja, dengan sebebas-bebasnya; tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.

Kebebasan Yang Merusak
Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia ialah ide kebebasan yang berlaku umum yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.
Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam mereka, sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai agama, akhlak dan kemanusiaan.
Keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis yang luar biasa, telah mengakibatkan berkobarnya bencana dan peperangan di antara bangsa terjajah. Dengan begitu, negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya, sekaligus mengembangkan industri militernya yang bisa menghasilkan keuntungan besar. Sementara di sisi lain, negara-negara terjajah yang menjadi korban perang mengalami penderitaan yang luar biasa, termasuk para wanita yang telah kehilangan suami-suami mereka akibat perang, harus menanggung beban hidup yang lebih berat lagi.
Kerusakan dan kebobrokan akibat ide-ide kebebasan demokrasi sebenarnya juga terjadi di negara-negara modern penganut demokrasi. Contohnya di Amerika Serikat, dari sebuah penelitian disebutkan bahwa : 91 % orang Amerika menyatakan bahwa berbohong telah menjadi bagian perilaku dan kebiasaan dalam hidup mereka. Lebih dari 20.000 kasus kejahatan pembunuhan terjadi di tengah masyarakat Amerika setiap tahunnya, atau satu kejahatan pembunuhan dalam setiap 25 menit. Banyak di antara pelaku kejahatan pembunuhan adalah pecandu obat bius. Kenyataan ini membuat dunia memandang masyarakat Amerika Serikat sebagai masyarakat yang paling banyak tindak kejahatan dan kekerasannya di muka bumi.
Data lain menyebutkan, mayoritas orang Amerika (62%) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-sah saja, tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat atau moral. Banyak remaja putri Amerika telah kehilangan keperawanannya sebelum usia tiga belas tahun. Satu dari sepuluh gadis Amerika berusia antara 15-19 tahun mengalami kehamilan akibat seks bebas. Setengah dari para remaja putri tersebut melahirkan bayi haram dan 36% mereka melakukan aborsi.
Istilah perkawinan dan pengertiannya masih semu bagi masyarakat Amerika. Lebih dari setengah penduduk Amerika mengemukakan bahwa di sana tidak ada alasan yang mendorong seseorang untuk menikah. Satu dari lima orang Amerika pria maupun wanita mengalami kelainan seksual. (Lihat: Amerika Di Ambang Keruntuhan (terj), Dr. M. Saud Al-Basyr, 1995, hal. 18-48).
Sementara itu, opini tentang ide-ide kebebasan semakin gencar dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Opini ini telah berhasil mengubah pemikiran sebagian besar kaum perempuan. Atas nama kebebasan, yang didukung oleh paham feminisme, perempuan muslimah berbondong-bondong keluar rumah untuk berkarier dan menuntut persamaan kedudukan dan hak-haknya agar setara dengan kaum laki-laki.
Di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam finansial. Selanjutnya perempuan yang telah mandiri secara finansial, tidak perlu bergantung pada laki-laki (suami). Konteks kemandirian perempuan juga terkait dengan tidak adanya kewajiban untuk taat kepada suami. Bila perempuan telah berperan dalam finansial keluarga, maka peran domestik tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan.
Bagaimana dengan anak-anak? Bila laki-laki dan perempuan sama-sama tersita dalam aktivitas publik, maka aspek finansial akan menyelesaikannya dengan menggaji pembantu. Pada titik inilah, kehancuran institusi keluarga muslim akan semakin jelas. Peran kepemimpinan yang dibebankan pada kaum laki-laki akan melemah, karena para perempuan pun menuntut kepemimpinan tersebut. Peran keibuan dan pengelola rumah tangga akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas.
Di bidang kesehatan, perempuan diarahkan pada kebebasan dalam menentukan hak reproduksinya sendiri. Perempuan tidak lagi menjadikan kehamilan sebagai faktor penghambat aktivitas publik, dengan adanya alat kontrasepsi, aborsi aman, dan lain-lain. Menurut data BKKBN tahun 1999, dari 2 juta aborsi, 1,25 juta dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Dengan legalisasi aborsi, kaum perempuan tidak perlu khawatir untuk menghentikan kehamilan yang menghambat mereka beraktivitas publik. (Lihat : Aliansi Penulis Pro Syariah, Keadilan dan Kesetaraan Gender, 2007, hal. 20).
Dengan isu kesehatan pula, legalisasi seks bebas dikuatkan melalui program kondomisasi dengan dalih mencegah HIV/AIDS dan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Kemandirian perempuan dalam ekonomi, sekaligus dukungan terhadap kesehatan reproduksinya secara bertahap akan membuat perempuan tidak lagi mementingkan institusi keluarga. Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika, single parent banyak menjadi pilihan para perempuan yang berkarir. Pernikahan tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.
Kebebasan berperilaku, juga telah menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi kapitalisme melalui perhelatan Miss Universe dan sejenisnya. Perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata.
Semakin maraknya perilaku seks bebas, meningkatnya aktivitas pornografi dan pornoaksi, serta berkembangnya perilaku menyimpang yang terjadi pada perempuan (lesbianisme) menunjukkan keberhasilan Barat dalam merusak kaum perempuan melalui ide-ide kebebasan.
Lebih jauh lagi, kebebasan dalam demokrasi telah memutarbalikkan hukum-hukum Islam, diantaranya: perselingkuhan dianggap "pertemanan", cerai dilarang, tetapi poligami justru dianggap perbuatan kriminal, dan lain-lain.
Sistem sosial yang bobrok seperti ini telah terbukti menghancurkan institusi keluarga, menyebarkan penyakit kelamin, menimbulkan kebejatan moral dan melahirkan anak-anak hasil zina.

Hentikan Perusakan Perempuan
Setelah melihat fakta-fakta di atas, ternyata, setelah perempuan diberi ide-ide kebebasan demokrasi, kedudukannya tidak bertambah mulia, tapi justru bertambah rusak moralnya. Hal ini membuktikan bahwa ide-ide kebebasan yang ditawarkan demokrasi tidak membawa kebaikan, kebahagiaan dan kesejahteraan sama sekali, tapi justru membawa kerusakan dan kesengsaraan di semua aspek kehidupan.
Dalam Islam, segala aspek kehidupan (sistem politik, ekonomi, sosial dan lain-lain) dibangun di atas dasar akidah Islamiyah, sehingga berbagai aturannya akan bersifat spiritual (ruhiah), yaitu terkait dengan Allah SWT, terkait dengan pahala dan dosa. Sistem yang demikian akan menentukan makna kebahagiaan bagi individu. Orang akan bahagia saat merasa telah menaati Allah dan merasa mendapat pahala. Sebaliknya, orang akan merasa khawatir saat berbuat maksiat kepada Allah dan merasa mendapat dosa. Oleh karena itu, kebobrokan sistem demokrasi ini harus dihentikan.
Adapun cara menghentikannya, terutama harus dari akarnya, yaitu ide-ide kebebasan itu harus dicabut dari benak kaum muslimin dan dihilangkan dari prakteknya. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain :
1. Langkah pemikiran, yaitu dengan membongkar/menjelaskan kepada masyarakat, terutama kaum perempuan, tentang kebobrokan-kebobrokan demokrasi, dan menjelaskan pula tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan sistem sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.
2. Langkah politik, bisa ditempuh dengan menekan pemerintah untuk mencabut undang-undang yang memberikan kebijakan yang salah.
3. Langkah pembinaan ketakwaan. Selain itu perlu pula dilakukan upaya untuk menanamkan ketakwaan pada individu masyarakat, termasuk kaum perempuan.
4. Langkah amar ma'ruf nahi mungkar. Juga harus ada upaya menumbuhkan amar ma'ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
5. Langkah penerapan hukum Islam oleh negara. Dan yang tak boleh dilupakan, harus ada penerapan hukum Islam oleh negara Khilafah, seperti sanksi untuk lesbianisme, dan sebagainya.

Penutup
Jelaslah bahwa masyarakat, khususnya kaum perempuan, harus sadar agar kembali kepada hukum Islam dan membuang jauh-jauh ide-ide kebebasan demokrasi yang kufur, yang telah terbukti tidak membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan, tapi justru membuat perempuan jadi rusak, bejat, dan hidup dalam kehinaan dan kesengsaraan. Hanya Islam saja yang menjadi jalan keselamatan umat manusia, bukan yang lain. Wallaahu a'lam bi ash-shawab. [ ]
= = = =
**Ibu rumah tangga; alumnus Fakultas Pertanian IPB; aktivis Muslimah HTI, tinggal di Yogyakarta.
Referensi :
Al-Basyr, Muhammad bin Saud, 1995, Amerika di Ambang Keruntuhan, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Aliansi Penulis Pro Syariah, 2007, Keadilan dan Kesetaraan Gender Tipu Daya Penghancuran Keluarga.
Al-Wa'ie, No.97 Tahun IX, Edisi September, 2008.
Zallum, Abdul Qadim, 2001, Demokrasi Sistem Kufur, Bogor : Pustaka Thariqul 'Izzah.
----------. 2001, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Kaifa Hudimat al-Khilafah), Bangil : Al-Izzah


Sabtu, 11 April 2009

Bersikap Tepat Menghadapi Pertengkaran Antar Anak

(Berbagi Pengalaman Mendidik Ahmad -edisi 15)
Oleh: Ummu Ahmad


Sebagai anak dengan tipe yang ‘mandiri’, sejak awal sekolah play group kami tidak perlu menunggunya sekolah secara penuh. Kami hanya perlu memastikan bahwa semua kebutuhannya selama di sekolah sudah kami siapkan. Tasnya selain berisi buku, juga kami isi dengan makanan, minuman, baju ganti hingga persiapan pampers. Sekalipun waktu itu Ahmad sudah tidak lagi memakai pampers. Kami tunjukkan dimana kami meletakkan tasnya, kami beritahu kalau dia membutuhkan bantuan tinggal cari bu guru, dan sebagainya.
Dari sisi kemandiriannya ini banyak wali murid yang biasa menunggu anak-anak mereka sekolah ‘cukup terpesona’ melihat keberanian dan kemandirian Ahmad. Namun wali murid yang merasa ‘resah’ melihat Ahmad yang seringkali menangiskan anak-anak mereka mungkin juga tidak sedikit. Pada titik inilah kita sebagai orang tua dan guru harus bisa menempatkan diri dan juga bersikap arif. Satu sisi sebagai orang tua atau guru kita tidak boleh melakukan stigmatisasi kepada seorang anak ‘jagoan’ dengan stigma ‘nakal’ , ‘jahat’ dan semisalnya, karena sebenarnya memang mereka tidaklah demikian. Namun kita juga harus bisa berempati kepada anak-anak ‘korban’ anak ‘jagoan’ dan orang tuanya yang khawatir terhadap anak-anak mereka.
Kami sendiri, tentu saja tidak pernah membiarkan Ahmad melakukan sesuatu yang tidak ‘tepat’ kepada teman-temannya. Berbagai cara yang bisa kami tempuh untuk ‘meluruskan’ Ahmad pun kami lakukan. Namun pada saat usia anak belum mencapai usia berpikir kritis (sekitar 7-8 tahunan) yang perkembangannya baru dimulai sekitar usia 3 tahun, maka memang sifat-sifat dasar yang dimiliki merekalah yang lebih sering muncul ketimbang pemahaman mereka. Tentu saja bagi seorang anak yang cenderung pemalu dan penakut, dia akan sangat jarang menangiskan temannya, namun mungkin seringkali justru sering menangis. Bisa karena temannya, bisa pula tanpa harus ada alasan yang ‘pantas’ membuatnya menangis. Ini pun sebuah karakter bawaan yang adakalanya membuat orang tua juga ‘gemas’ namun harus tetap sabar kepada sang anak, kala membantunya untuk bisa mengendalikan rasa takut dan pemalunya.


Demikian pula dengan anak-anak yang bertipe seperti Ahmad. Mereka memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang dominan dengan keberanian dan kemandiriannya. Namun ketika proses menuju terbentuknya mafhum yang akan mengendalikan potensi tersebut belum sepenuhnya sempurna, sedikit banyak pasti mereka memang akan menjadi anak-anak yang tampil dominan dan ‘jagoan’ di tengah-tengah temannya yang bertipe lain. Namun kalau anak ‘jagoan’ bertemu anak ‘jagoan, maka ada dua kemungkinan. Mereka bisa terlihat sangat cocok ketika bermain, namun ketika ada hal yang memicu ‘pertengkaran’ maka ‘pertengkaran’ yang terjadi pun bisa lebih hebat, karena tidak ada yang merasa ‘pantas’ untuk mengalah/dikalahkan.
Sebuah panduan yang pernah saya dengar dari seorang pakar pendidikan anak tentang ‘perkelahian’ antar anak (sebaya) adalah sepanjang anak-anak tersebut berkelahi dalam keadaaan tangan kosong (tidak membawa sesuatu yang berbahaya), bukan keroyokan, sedahsyat apapun kelihatannya perkelahian tersebut, sekeras apapun tangisan anak yang terjadi di situ, tidak akan berbahaya bagi mereka. Jadi ketika kita sudah memastikan bahwa anak-anak kita bermain dalam keadaan ‘aman’, sedikit terjatuh, tercakar, terdorong, hingga menangis karena pukulan yang dirasakan oleh anak kita, bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka untuk tumbuh menjadi individu yang peka, ‘kuat’ dan siap mengarungi kehidupan yang memang kaya warna dan rasa ini.
Ada terlalu banyak hal yang bisa membuat dua anak berkelahi. Semuanya wajar, sebagai proses pembelajaran dalam mengurangi rasa keakuan (ego) nya untuk bisa memahami dan menghormati hak teman. Justru ketika seorang anak tak pernah bertengkar, selalu mengalah dan menghindari perselisihan, maka perkembangan kepribadian mereka menjadi pasif dan kurang memiliki inisiatif. Orang tua tidak perlu cemas dengan perselisihan antar anak.
Sebaliknya yang jangan sampai terjadi adalah orang tua kemudian terpancing masuk dan intervensi ke dalam ‘pertengkaran’ semu anak-anak mereka. Misalnya orang tua jadi musuhan dengan orang tua yang lain gara-gara anak mereka. Karena sebenarnya anak-anak itu bisa segera dan secepat mungkin lupa dengan perselisihan mereka. Jarak berpikir mereka demikian pendeknya, sehingga apa yang terjadi bisa terlupakan dengan demikian cepatnya. Adu pukul yang terjadi pagi hari, bisa segera disambung main bersama di siang harinya. Saling tendang di sore hari, pagi harinya bisa bercanda dan berangkat sekolah bersama-sama. Seperti itulah fitrah mereka.
Fitrah ’bermusuhan’ dan berdamai’ bisa begitu cepat terjadi, karena merupakan bagian dari fase normal perkembangan anak. Jika ada pihak ketiga yang mengganggu, menghambat dan terlalu turut campur di dalamnya, justru akan merusak fitrah ini sehingga tidak berlaku lagi. Nasehat yang bersifat provokatif dan justru mengajarkan anak agar memendam permusuhan seperti: ”khan sudah Mama bilang, jangan main sama si Momo, memang dia itu anak nakal. Kamu pasti nanti dipukulnya. Biar saja, biar nanti dia gak punya teman”,atau ”Dibilangin Bunda berapa kali, jangan main sama si Mimi! Anaknya itu emang nangisan, manja. Kalau kamu mainan sama dia, kesenggol dikit pasti nangis, nanti kamu dimarahin mamanya lho!”, ketika mendapati anak atau murid kita mengadukan seorang temannya yang dianggap nakal atau cengeng, adalah salah satu hal yang bisa merusak fitrah anak sehingga mereka justru terbiasa ’memelihara’ permusuhan ketimbang ’memupuk’ perdamaian dan kemaafan.
Saya ingat sebuah kisah yang disampaikan kakak saya tentang dua tetangganya di suatu daerah yang saling berseteru hingga ke pengadilan gara-gara ‘perkelahian’ yang terjadi antar anak mereka. Orang tua yang merasa anaknya jadi korban kenakalan temannya melaporkan anak ‘nakal’ tersebut ke pihak berwajib. Begitu seterusnya hingga kedua orang tua tersebut pun berhadapan sebagai ‘musuh’ untuk membela anak masing-masing. Apa yang terjadi? Ketika kedua orang tua tersebut harus berhadapan di kantor polisi dalam keadaan ‘berseteru’, ternyata anak-anak yang menjadi pangkal ‘perseteruan’ mereka, di tempat yang sama malah bermain bersama dengan rukunnya, tidak nampak sedikit pun sisa-sisa ‘permusuhan’ diantara mereka.
Nah, kalau sudah begini, pantaskah kita sebagai orang tua tetap memelihara ’sakit hati’ sementara anak-anak kita bahkan tidak merasa ada yang salah?!