Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Senin, 09 April 2018

Globalisasi Pendidikan Dan Revolusi Industri 4.0 Dalam Tinjauan Islam

Oleh: DR. Rini Syafri (*)

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..”
(TQS Al Anfaal: 24).


Abstrak

RI 4.0 Strategi Terkini Barat.  Globalisasi sebagai wujud penjajahan model baru  (neoimperialisme) tertinggi menemukan sinergisitasnya dengan agenda Revolusi Industri 4.0.  Yakni strategi terkini barat (AS dan sekutunya) menghadapi lonceng kematian peradaban mereka di tengah gaung syari’ah dan khilafah yang kian mendunia.  Melalui narasi RI 4.0 yang berbalut kecanggihan teknologi (digitalisasi-komputerisasi) barat berupaya meuniversalkan lebih deras peradaban barat dan nilai-nilainya. Di saat yang bersamaan dunia diprovokasi  agar syariat, Khilafah dan pengembannya dijadikan musuh bersama dunia melalui issue War on Terrorisme. Ini di satu sisi, pada sisi lain teknologi era IR 4. hanyalah dirancang bagi percepatan industrialisasi semua hajat hidup publik hingga aspek pertahanan dan keamanan.  Yaitu demi keselamatan perekonomian barat dan agar dunia kian tergantung pada barat.

Pemerintah Abai. DikTi dan Intelektual Dibidik menjadi pembela sekulerisme dan pelawan syariat dan khilafah. Di saat bersamaan target eksploitasi dan penggerak mesin industrialisasi agenda RI 4.0. Karenanya peran pemerintah dan kurikulum harus direvisi.

Peran Kunci Ideologi Dalam Kemajuan Sain dan Teknologi.  Penting diingat, kemajuan sain dan teknologi diraih barat setelah kehidupan mereka dilandaskan pada ideologi yaitu sekulerisme. Pun begitu dengan Rusia yakni ideologi komunisme/sosialisme.  Jauh sebelum itu bangsa Arab meraih kemajuan sain dan teknologi yang melampaui eranya setelah hidup berlandaskan ideologi Islam di bawah naungan Negara Khilafah.  Ini bukti yang tidak terbantahkan ideologi memiliki peran kunci dalam hal ini, terlepas ideologinya benar atau salah.

Kemajuan Sain-Teknologi Barat Vs Islam.  Fakta menunjukan sain dan teknologi yang diraih barat di atas peradaban yang berdasarkan ideologi batil (sekulerisme, sosialisme/komunisme)  hanyalah mengantarkan dunia pada kebaikan semu.  Dibaliknya krisis multi dimensi, kemanusiaan hingga lingkungan, terus menghantui dunia seperti kita saksikan hari ini. Sangat berbeda dengan peradaban Islam, sain dan teknologi yang spektakuler benar-benar membawa kebaikan bagi manusia bahkan seluruh alam.

Krisis Kemanusiaan IR 4.0.  Paradigma batil yang mendasari rancangan peruntukan teknologi IR 4.0 pada akhirnya benar-benar merontokkan  kemuliaan insan dan dunia kian sengsara.  Salah satunya tampak pada gelombang pengangguran massal yang melanda dunia dan jurang kemiskinan yang terus menganga. Inilah salah satu alasan kuat mengapa agenda IR 4.0 dan segala aspek pendukungnya harus dikoreksi total.

Khilafah Kebutuhan Dunia dan Kewajiban. Koreksi total yang dimaksud yakni dengan kehadiran khilafah sebagai pembebas dan pewujud kemajuan sain-teknologi yang menyejahterakan dunia.  Lebih dari pada itu kembali pada pangkuan Khilafah merupakan syariat Islam yang diwajibkan Allah swt pada kita semua.    Kemajuan sain teknologi berbuah kebaikan bagi seluruh alam niscaya segera terwujud.

“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (TQS Ali Imran (3): 137.


*****


Pendahuluan. 

Globalisasi dan Revolusi Industri ke empat merupakan dua fenomena peradaban barat yang menjadi issue dan arus global hari ini.  Didahului fenomena globalisasi sekitar satu dekade lebih awal, dan kemudian disusul Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0) sejak Forum Ekonomi Dunia di Davos tahun 2016.    Sebagaimana agenda Globalisasi AS hadir menjadi pemimpin RI 4.0.  Ini  ditegaskan Daniel Runde, Ketua William A. Schreyer di Pusat Studi Strategis dan Internasional. Ia menyatakan, “Bagaimana posisi Amerika Serikat? Kami berada pada posisi yang sangat baik. ….Sistem riset universitas dan investasi A.S. untuk penelitian dan pengembangan, ilmu dasar dan kehidupan, dan teknologi energi baru, semuanya aset strategis. Pasar modal A.S., dan sistem modal ventura yang mendukung inovasi dan dinamika ekonomi, juga merupakan keuntungan besar. Kita memiliki keunggulan yang harus kita pertahankan”.

Tidak saja digiring pada arus perubahan teknologi tetapi juga keharusan dunia mengikuti perubahan nilai-nilai sebagaimana yang diinginkan AS.  Tentang hal ini Klaus Schwab, Pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia menyatakan, “Dunia harus memiliki pemahaman menyeluruh dan global mengenai bagaimana teknologi tersebut mengubah secara dramatis aspek sosial, ekonomi, ekologi, dan kehidupan budaya. Bagaimana Industri 4.0 mengubah sektor kesehatan, pendidikan, dan banyak industri lainnya?  Bagaimana seharusnya peran pemerintah didefinisikan ulang.  Pemerintah dan pembuat kebijakan dituntut bereaksi cepat terhadap evolusi lanskap Industri 4.0 untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.

Pada gilirannnya kecanggihan teknologi era IR 4.0 seperti Internet Of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence - AI ) berupa robot pintar  hingga mobil tanpa sopir, ditambah narasi kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan yang terus digaungkan barat (AS), benar-benar melupakan banyak orang tak terkecuali kalangan intelektual  akan krisis multi dimensi lebih parah dari pada hari ini. 

Pemerintah Indonesia menegaskan sikap untuk berada dalam arus ini.  Tampak dari rumusan sejumlah kebijakan dan program sebagaimana disampaikan saat konfrensi pers di Jakarta, Senin, 29 Januari 2018 yang dituangkan dalam press release bertajuk “Kebijakan Kemenristek DikTi Menghadapi Globalisasi Pendidikan dan Revolusi Industri 4.0.”   Dimulai dengan suksesnya acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemristekdikti di USU, Medan, 16-17 Januari 2018,, dan kemudian dilanjutkan dengan partisipasi Indonesia di London, Inggris, 22-24 Januari 2018 dalam forum ‘’The Education World Forum 2018: Global Summit for Education Minister.”

Pertanyaan besarnya adalah apakah langkah politik pemerintah tersebut benar-benar akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi bangsa ini? Mengingat fakta globalisasi sudah berjalan satu dekade lebih dan revolusi industri telah berlangsung dalam tiga fase namun hasilnya,tidak lebih dari sekedar kemajuan semu.  Berbagai krisis mengerikan begitu gamblang.  Mulai dari krisis moral dan kemanusiaan, kemiskinan hingga meluasnya bencana ekologi yang mematikan. Ditambah lagi tuntutan keharusan pemerintah mengoreksi fungsinya, salah satunya berupa rencana pembukaan kampus asing. Tidakah ini taktik licik barat berkedok kemajuan teknologi untuk menggring dunia lebih mudah dan lebih cepat kepada agenda hegemoninya?  Tulisan berikut mencoba mengurai tiga hal utama, pertama tentang realitas globalisasi pendidikan tinggi dan revolusi industri ke-4.0; dan kedua, cara bijak membaca langkah politik pemerintah untuk menykseskan IR 4.0 dan ke Tiga, mengapa dunia juga Indonesia butuh khilafah untuk mewujudkan kemajuan sain dan teknologi yang memuliakan manusia dan menyejahterakan dunia.


Globalisasi Pendidikan Tinggi, Apa Substansinya? 

Memahami globalisasi pada pendidikan tinggi tidak dapat dipisahkan dari pemahaman globalisasi itu sendiri. Dimana globalisasi faktanya bukanlah sebatas terminologi yang menggambarkan kondisi dunia yang makin terhubung, akan tetapi sebuah fenomena yang dinyatakan sebagai penjajahan level tertinggi dan tanpa batas.  Demikian dikemukan penulis review sepuluh essay yang berjudul “Globalization- The Highest Level of Imperialism”. Kesepuluh essay tersebut adalah hasil riset para ilmuwan politik dan ekonomi terkenal yang menfokuskan studinya pada imperialisme dan pembangunan ekonomi kapitalis.  Semakna dengan itu ekonom kapitalis lain mengartikan globalisasi sebagai aktivitas sistem ekonomi kapitalisme  yang menghilangkan sekat-sekat dan batas negara.  Dimana inti dari sistem ekonomi kapitalisme sendiri adalah eksploitasi, sebagaimana dinyatakan,  “Globalisasi menggambarkan internasionalisasi eksploitasi sumber daya material untuk mempertahankan kekuatan otoritas kesatuan - untuk mempengaruhi kedaulatan yang dapat diidentifikasi. Dalam bentuk ideologisnya, Globalisasi menggambarkan internasionalisasi distribusi sumber daya di seluruh populasi global untuk mempertahankan populasi di atas kemiskinan absolut.”

Syaikh Fathi Muhammad Salim, ulama dan pemikir terkemuka Hizbut Tahrir, menganalisa secara mendalam dan akurat berbagai macam definisi globalisasi dalam bukunya berjudul Al-‘Aulamah Hiya Adah Ar-Ra`sumaliyah al-Haditsah li As-Saitharah ‘Ala Al-‘Alam (Globalisasi adalah Alat Kapitalisme Modern untuk Menguasai Dunia).  Beliau memfokuskan globalisasi pada dua dimensi, yaitu ideologi dan ekonomi.  Dimensi ideologi dijelaskan sebagai berikut, “Globalisasi adalah suatu proses menjadikan ideologi kapitalisme sebagai ideologi universal yang harus dianut oleh semua bangsa secara sukarela atau terpaksa, serta pemaksaan peradaban Barat dan nilai-nilainya kepada dunia.” Dan dalam dimensi ekonomi, ”Globalisasi adalah proses menjadikan sistem ekonomi kapitalis ala Amerika Serikat sebagai sistem dominan di dunia, dengan mengintegrasikan perekonomian lokal ke dalam tatanan perekonomian global melalui privatisasi, pasar bebas, dan mekanisme pasar pada semua perekomian negara-negara di dunia.” Jadi apa substansi globalisasi? Syaikh Salim menyimpulkannya sebagai “isti’mar jadid.” (imperialisme gaya baru). Dengan demikian Globalisasi Pendidikan adalah imperialisme gaya baru pada pendidikan, baik terkait dimensi ideologi maupun ekonomi.


Dimensi Ideologis Globalisasi Pendidikan Tinggi

Dimensi ideologis globalisasi pendidikan tinggi tampak dari “pemaksaan” penggunaan standar mutu barat sebagai satu-satunya standar yang harus diakui dan diikuti dunia dan hal ini direncanakan sejak awal globalisasi perdagangan bebas diaruskan sebagaimana penuturan Pusat Kerjasama Standarisasi BSN berikut,”Isi kesepakatan dalam Putaran Uruguay tersebut antara lain adalah penyelarasan standar nasional dengan standar internasional agar tercipta transparansi dalam Sistem Standardisasi Nasional yang merupakan tuntutan dalam perdagangan internasional”.

Khusus pada pendidikan tinggi melalui issue World Class University (WCU) pendidikan tinggi seluruh dunia juga Indonesia digiring mengikuti rumusan mutu institusi perenking WCU.   seperti Webometric, Shanghai Jio Tong Uinversity Rangking, Time Higher Education, dan QS.  Di Indonesia standar mutu WCU adalah acuan akreditasi pada tingkat perguruan tinggi, nasional oleh BAN-PT/ Badan Akreditasi Nasional-Pendidikan Tinggi.  Pun begitu di tingkat ASEAN oleh AUN QA Standard/ ASEAN University Network Quality Assurance sebagaimana arahan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM PT).,,

Hingga saat ini pemerintah terus merumuskan berbagai program peningkatkan mutu RisTekDikTi yang tentu saja dalam bingkai sekuler yang hegemonik.  Hasilnya, tujuan pendidikan, tata kelola pendidikan, arah riset dan tata kelola riset pendidikan tersandera kemauan dan agenda politik barat sebagaimana kita saksikan bersama.  Pembaratan jati diri  para intelektual muslim berlangsung massive di samping munculnya berbagai persoalan serius seperti diskriminasi layanan pendidikan tinggi dan disorientasi riset.

Sementara itu globalisasi menjadi ruang kondusif  bagi The War on Terrorism/ The Global War On Terror (GWOT).  Yakni, agenda politik luar negeri AS terpenting abad ini menghadang lahirnya kembali peradaban Islam setelah terbukti kegagalan sosialisme seiring keruntuhan Uni Soviet. Trump, sebagaimana dua Presiden AS terdahulu terus menggemakan GWOT pada berbagai kesempatan penting.  Seperti pada Forum Davos Januari 2018, dia menyatakan, “Kami juga bekerja sama dengan sekutu dan mitra untuk menghancurkan organisasi teroris jihad seperti ISIS. Amerika Serikat memimpin sebuah koalisi yang luas untuk menolak kontrol teroris terhadap wilayah dan populasi mereka, untuk memotong pendanaan mereka, dan untuk mendiskreditkan ideologi jahat mereka.”

Pada forum pembahasan kebijakan luar negeri AS April 2016 Donald J.  Trump menegaskan, “Dalam KTT ini, kita tidak hanya akan membahas penyatuan kembali komitmen keuangan, namun perhatikan bagaimana kita dapat menerapkan strategi baru untuk mengatasi tantangan bersama kita. Misalnya, kita akan membahas bagaimana kita dapat meningkatkan misi dan struktur NATO yang sudah ketinggalan zaman, yang tumbuh dari Perang Dingin untuk menghadapi tantangan bersama kita, termasuk migrasi dan terorisme Islam.”

Penting dicatat, meski narasi GWOT selalu diarahkan AS dan sekutunya kepada ISIS yang nota benenya adalah entitas rekaya dan didanai AS sendiri, namun semakin hari kian tampak bidikan sesungguhnya GWOT adalah gerakan Islam politik dengan visi perjuangan mengembalikan peradaban Islam yang membentang dari Laut Tengah hingga Asia Tengah dan Tenggara. Perlawanan berupa framing (pembentukan persepsi) dan blaming (tuduhan tanpa dasar) terhadap ide syari’ah dan Khilafah serta para pejuangnya merupakan petunjuk nyata.

Di saat yang bersamaan AS konsisten bersikap meuniversalkan institusi barat dan nilai-nilai mereka, sebagaimana terlihat pada pernyataan Trump berikut, “Akhirnya, saya akan bekerja sama dengan sekutu kita untuk menghidupkan kembali nilai dan institusi Barat. Alih-alih mencoba untuk menyebarkan nilai-nilai universal yang tidak dimiliki semua orang atau keinginan, kita harus mengerti bahwa memperkuat dan mempromosikan peradaban Barat dan prestasinya akan berbuat lebih banyak untuk mengilhami reformasi positif di seluruh dunia daripada intervensi militer.”13

Pada Pendidikan Tinggi di Indonesia agenda GWOT hadir dalam wujud program deradikalisasi atau yang disebut pemerintah (menristekdikti) sebagai perlawanan terhadap radikalisme dan paham radikal (baca: syari’ah dan khilafah), dalam bentuk berbagai kegiatan yang mudah terindera hingga yang samar.  Seperti kegiatan Deklarasi Kebangsaan, diikuti dengan peresmian Forum Kebangsaan UI yang diresmikan Presiden RI saat kunjungan diesnatalis UI pekan lalu.  Inti semua program tersebut sebagaimana jiwa agenda GWOT hanyalah untuk melahirkan kalangan terdidik yang “alergi” dengan  Islam politik (baca: syari’ah dan khilafah), penentang kelahiran kekuatan Islam politik dengan mengatasnamakan kemajuan dan sain-teknologi.


Dimensi Ekonomi Globalisasi DikTi

Dimensi ekonomi globalisasi pendidikan tinggi (DikTi) haruslah dipahami sesuai konteks politik ekonomi kapitalisme hari ini, yaitu Knowledge Based Economy (KBE). Konsep yang dicanangkan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development )  tahun 1996  di Paris.  Sebagai respon terhadap perekonomian dunia khususnya barat yang terus memburuk.   KBE sesungguhnya hanyalah teori usang  pasar bebas Adam Smith tentang pertumbuhan, yang dirancang ulang demi menyukseskan agenda globalisasi sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan berikut, “..knowledge economies diaruskan secara massive  seiring dengan agenda globalisasi.” 
Di era KBE yaitu ketika ilmu pengetahuan menjadi bagian dari faktor produksi, daya kontestasi politik dan ekonomi suatu negara tidak lagi ditentukan oleh penguasaan terhadap  sumber daya alam dan buruh, akan tetapi juga penguasaan terhadap teknologi terkini serta tenaga kerja terdidik.  Hal ini ditegaskan Peter F.  Drucker, pakar dan konsultan manajemen serta pengajar di sejumlah universitas di AS, “Aset paling berharga bagi perusahaan pada abad 21 adalah ilmu pengetahuan dan pekerja terdidik (knowledge worker). Disamping itu penting pula mendominasi pasar produk teknologi, dan mewujudkan masyarakat berbasis pengetahuan atau masyarakat berpengetahuan (knowledge society), yakni masyarakat sekuler yang dilingkupi mindset bahwa ilmu tak lebih sebatas komoditas.
Oleh sebab itu, posisi pendidikan tinggi menjadi begitu urgen, sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan berikut, “Sistem ilmu suatu negara memiliki peran yang semakin penting dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Laboratorium penelitian publik dan lembaga pendidikan tinggi adalah inti dari sistem ilmu pengetahuan, …. Dalam ekonomi berbasis pengetahuan, sistem ilmu berkonstribusi terhadap fungsi-fungsi kunci ..”

Lebih jauh lagi, dalam kaitan dengan dimensi  ekonomi dari globalisasi, sebagai pilar KBE pendidikan tinggi distandarisasi sesuai kebutuhan bisnis, yang tampak pada prinsip tata kelola pendidikan tinggi hari ini dan orientasi WCU, yakni komersialisasi ilmu  dan pencetak pekerja terdidik sesuai kebutuhan industri di era RI 4.0 yang serba digital.

Komersialisasi ilmu juga tampak pada riset, yakni sudut pandang dalam menentukan  bernilai tidaknya riset dan prinsip yang mendasari tata kelola riset. Riset dinyatakan bernilai bila berhasil dihilirisasi/ dikomersialisasi. Sebagaimana tampak pada konsep kolaborasi Pendidikan Tinggi (Academic - A) – Korporasi (Bussines – B) dan Pemerintah (Government – G)  atau  yang diistilahkan triple helix A-B-G atau  U-I-G (University-Industry-Government).  Pendidikan tinggi berfungsi sebagai penyedia sumber daya manusia dan riset;  Industri  sebagai perusahaan yang terkait dengan pasar;  dan Government dibatasi fungsinya sebagai pencegah kegagalan pasar.

Jelas, melalui konsep ini entitas bisnis korporasi menjadi sangat berkuasa terhadap para intelektual berikut hasil riset.  Korporasi mengindustrialisasi riset menjadi produk teknologi sesuai kepentingan pasar.  Sementara fungsi pemerintah telah jauh dari yang semestinya, yakni pelancar komersialisasi ilmu pengetahuan, riset dan dominasi korporasi.

Peta riset hari ini terkait food security mencakup bidang biomolekuler dasar, biofertilizer, genetically modified organism; Energy security mencakup bidang energi bersih yaitu biofuel dan energi baru terbarukan; bioteknologi industri mencakup bioscience-based yaitu  obat-obatan dan vaksin serta penyakit tropis, kosmetik dan herbal; Teknologi transportasi mencakup transportasi bersih yaitu mobil listrik, low cost low emission car, hybrid dan fuel cell car; nano technology mencakup nano based material, conservation of energy, water, health and environment.

Bila dicermati secara seksama peta riset demikian begitu kental dengan aroma kapitalisasi dan hegemoni barat, baik di bidang pertanian dan pangan, energi, kesehatan, transportasi, air bersih hingga lingkungan. Seperti riset untuk food security yang mencakup bidang biomolekuler dasar, biofertilizer, genetically modified organism, pada faktanya lebih mengarah pada kapitalisasi pangan dan pertanian dari pada upaya perwujudan kedaulatan, ketahanan dan keamanan pangan itu sendiri.

Demikian juga riset energi baru terbarukan yang sarat kepentingan bisnis teknologi dari pada upaya mewujudkan kedaulatan energi dan mengakhiri persoalan pemanasan global.  Sebagaimana terlihat pada biofuel berbasis sawit, Rainforest Foundation Norwegia berkesimpulan, “Terdapat bukti yang meyakinkan penggunaan biofuel kelapa sawit lebih buruk beberapa kali terhadap iklim dari pada bahan bakar fosil.”

Penyakit menular lama yang terus mewabah, seperti TBC, malaria, pertusis disertai munculnya jenis kuman baru, dijadikan indikasi oleh berbagai pihak adanya muatan kapitalisasi penyakit dan kesehatan di balik riset obat-obatan-vaksin dan penyakit tropis hari ini.
Pada tataran ini ketentuan dan keharusan para akademisi menuangkan hasil riset di jurnal internasional terindeks Scopus tidak dapat dimaknai kecuali sebagai strategi licik  barat mengintegrasikan para ilmuwan berikut produk intelektual mereka (hasil riset) ke dalam pasar bisnis riset dan teknologi global demi tujuan ekonomi dan hegemoni mereka.


Revolusi Industri 4.0 Strategi Efektif 

Istilah “Revousi Industri” pertama kali diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad 19. Faktor yang melatar belakangi terjadinya revolusi Industri adalah revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16. Hanya saja, pencermatan terhadap peradaban barat sekuler yang dibangun di atas paradigma pemisahan materi dan ruh serta menjadikan kesenangan materi sebagai kebahagiaan yang harus diraih sebagaimana termanivestasi pada sistem ekonomi kapitalisme yang sangat mengagung-agungkan konsep pertumbuhan ekonomi penggunaan, istilah revolusi industri terlalu naif jika dimaknai sekedar penanda kemajuan sain dan teknologi yang mereka raih, terutama bila dikaitkan dengan karakter politik luar negeri negara-negara pengemban ideologi sekuler kapitalisme yang hegemonik dengan tujuannya yang eksploitatif.
Misal penemuan mesin uap sebagai penanda “Revolusi Industri ke -1” yang terjadi  pada awal abad ke 19 dan penemuan energi listrik di pertengahan abad ke 19 penanda Revolusi Industri ke-2” pendorong industrialisasi di negara-negara barat seperti Inggris, Belanda, Portugis, Perancis dan Jerman.  Terbukti diikuti agenda kolonialisasi ke seluruh penjuru dunia.  Eksploitasi dan penjarahan berbagai sumber daya alam di wilayah kolonial termasuk di nusantara berlangsung melalui penjajahan yang bersifat fisik.  Artinya, “Revolusi Industri” pada kenyataannya adalah industrialisasi dan kolonialisasi itu sendiri.

Memasuki era “Revolusi Industri Ke-3” yang ditandai dengan penemuan teknologi informasi dan elektronika yang diterapkan pada sistem otomatik produksi dan selanjutnya diikuti perkembangan, perpaduan, modifikasi dan inovasi penemuan-penemuan sebelumnya telah mendorong lahirnya “Revolusi Industri Jilid Empat” yang ditandai dengan era digitalisasi dan komputerisasi yang  berkembang cepat.

Kecanggihan keterhubungan dan kemajuan yang melampau era sebelumnya digambarkan Kalus Schwab, Executive Chairman World Economic Forum dalam artikel ilmiahnya,  sebagai berikut, “…saat ini miliaran orang telah terhubung dengan perangkat mobile, penemuan kecepatan pemrosesan byte demi byte data internet, perkembangan besaran kapasitas penyimpanan hard drive data telah meningkatkan kapasitas pengetahuan manusia melebihi sistem konvensional yang didapatkan anak anak di bangku sekolah, bagaimana akses terhadap ilmu pengetahuan begitu terbuka secara nyata, tidak terbatas dan belum pernah terjadi sebelumnya. Semua ini bukan lagi mimpi, tetapi telah menjadi terobosan teknologi baru di bidang robotika, Internet of Things, kendaraan otonom, percetakan berbasis 3-D, nanoteknologi, bioteknologi, ilmu material, penyimpanan energi, dan komputasi kuantum.”8

Hanya saja penting diingat, fenomena “Revolusi Industri Ke-4.0” atau yang juga dipopulerkan dengan era disrupsi inovasi yang berlangsung sejak 50 tahun lalu dan seiring perubahan konstelasi politik global dari era penjajahan fisik ke era penjajahan non fisik (neo imperialisme) pada gilirannya mengantarkan “Globalisasi Pendidikan Tinggi” menemui sinergisitasnya dalam mewujudkan tujuan-tujuan hegemoni barat abad 21.

Artificial Intelligence (AI) dengan berbagai tingkatannnya, mulai dari yang sederhana (Artificial Narrow Intelligence), Artificial General Intelligence atau strong AI memiliki kecerdasan umum sama dengan kecerdasan rata-rata manusia, hingga tipe Artificial Superintelligence akan mempercepat penemuan-penemuan riset yang diinginkan barat.

Internet of Things (IoT) yang kemudian menghasilan berbagai Big Data yang penting untuk berbagai keputusan bisnis dan politik.  Di dunia riset dan teknologi misalnya, dengan konep IoT menjadikan pangkalan data Scopus, milik Elsevier raksasa bisnis penerbit dunia bekerja lebih cepat dan mudah mengintegrasi dan mengontrol hasil riset dunia.

Bagaimana AS akan memanfaatkan IoT untuk kepentingan ekonomi dan ideologi mereka cukup tergambar dari pernyataan James Clapper, direktur intelijen nasional AS.  Ia menegaskan dalam suatu kesempatan, "Ke depan, dinas intelijen mungkin menggunakan internet of Things untuk identifikasi, pengawasan, pemantauan, pelacakan lokasi, dan penargetan untuk rekrutmen, atau untuk mendapatkan akses ke jaringan atau kredensial pengguna."
Artinya situasi keterhubungan sebagaimana digambarkan Klaus Schwab pada hakekatnya hanyalah didesain sebagai “jalan tol” pencapaian agenda globalisasi, utamanya  agenda GWOT dan politik ekonomi KBE dengan peran kuncinya ada pada pendidikan tinggi.  Dua agenda penting barat ketika lonceng kematian peradaban mereka berbunyi kian nyaring. Satu aspek dari sisi ideologi dan aspek lainnya untuk mengembalikan kekuatan ekonomi mereka yang terus merosot.
Hal ini ditegaskan Klaus sendiri tentang konsep kepemimpinan sistem yang tidak hanya pada aspek teknologi tetapi juga nilai, sebagaimana ia nyatakan, “Berpikir dan bertindak sepanjang Revolusi Industri Keempat menuntut tipe kepemimpinan baru - sebuah pendekatan yang kita sebut "kepemimpinan sistem". Kepemimpinan sistem dalam konteks ini tidak hanya berarti mengarah pada disain teknologi itu sendiri tetapi juga bertindak sebagai pemimpin mengenai bagaimana mereka diperintah dan nilai yang mereka tunjukkan dalam bagaimana mereka mempengaruhi orang dari semua latar belakang.”

Disamping itu, juga ditegaskan pentingnya pemerintah membuka ruang bagi pendekataan tata kelola teknologi yang didominasi peran swasta dan agar semua orang menjadi bagian visi kedepan (baca sesuai hegemoni barat). Ia menyatakan, “Oleh sebab itu kita semua harus menjadi bagian visi masa datang, tentang bagaimana teknologi diadopsi dan dikembangkan.  Sebagaimana kita merubah jalan kita kita juga harus merubah cara berfikir kita…”24

Namun ketahuilah sesungguhnya tipu daya mereka itu lemah, hal yang akan dirasakan oleh hamba-hamba-Nya yang khaalish dan mukhlish lagi istiqmah menapaki jalan kebenaran.  Allah swt menegaskan dalam QS Ali Imran Ayat 54, yang artinya, “Mereka (orang-orang kafir itu) membuat maker, dan Allah membalas maker mereka.  Dan Allah sebaik-baiknya pembuat makar.”


Krisis Kemanusiaan dan Multi Dimensi, Kian Parah 

Dunia dibayangi krisis multi dimensi yang kian menakutkan, mulai dari krisis kemanusiaan, hingga lingkungan. Tidak sedikit para ahli yang mengkhawatirkan dampak buruk revolusi industri 4.0 terhadap kehidupan sosial dan mencoba mendesain solusi agar dampak tiga fase revolusi industri sebelumnya tidak semakin parah.1

Krisis kemanusiaan semakin parah.  Penghargaan dan pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk paling mulia dan sempurna pupus seiring terjangan gelombang inovasi digital dan computer yang dijiwai materi dan ruh (pemisahan agama dan kehidupan).  Hati dan kehidupan dunia digiring menuju kehidupan sekulerisme yang lebih dalam.

Dikhawatirkan pengangguran akan meluas,  kesenjangan ekonomi kian dalam berikut berbagai dampak negatifnya. Namun gelombang pengangguran tidak sekedar berdampak ancaman kemiskinan,kelaparan dan tidak terpenuhi kebutuhan fisik.  Tetapi lebih serius dari pada itu. Yakni, hilangnya ruang pengakuaan eksistensi dan penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt yang paling mulia.  Ini jauh lebih berbahaya.  Apakah ini menjadi potensi baru bagi krisis sosial yang kian parah? yang saat ini saja sudah cukup menyesakkan dada? Konflik pengendara angkutan tradisional dengan  pengendara berbasis on line yang meluas di seluruh Indonesia dan terus memakan korban hingga saat ini, menjadi indikasi kearah tersebut. 

Hanya satu aspek saja dari gelombang tekhnologi dalam hal ini mesin cerdas sudah cukup menimbulkan persoalan serius, yakni  pengangguran.  Ini dipaparkan Larry Elliott editor ekonomi “The Guardian” dua tahun lalu dalam tulisannya bertajuk Fourth Industrial Revolution brings promise and peril for humanity.  Ia mengomentari konsep Revolusi Industri Ke Empat yang dibahas pada World Economic Forum di Davos termasuk bahaya otomatisasi di AS dan menegaskan, “Hanya mengambil satu contoh, mesin cerdas akan segera mengganti semua jenis pekerja, mulai dari akuntan hingga pengantar pengiriman dan agen real estat hingga orang-orang yang menangani klaim asuransi motor rutin. Diperkirakan 47% pekerjaan AS berisiko dampak otomatisasi... .
Masih dari sumber yang sama, Schwab membandingkan Detroit pada tahun 1990 dengan Silicon Valley pada tahun 2014. Pada tahun 1990, tiga perusahaan terbesar di Detroit memiliki kapitalisasi pasar sebesar $ 36 miliar (£ 25 miliar), pendapatan sebesar $ 250 miliar dan  1,2 juta karyawan. Pada 2014, tiga perusahaan terbesar di Silicon Valley memiliki kapitalisasi pasar yang jauh lebih tinggi ($ 1,09tn) menghasilkan pendapatan yang hampir sama ($ 247 miliar) namun dengan jumlah karyawan sekitar 10 kali lebih sedikit (137.000).32

Tidak hanya di AS, Jerman, dan Jepang prediksi suram pengangguran massal dampak otomatisasi juga akan menimpa negara-negara di ASIA meski penggunaan robot jauh di bawah tiga negara tersebut.  Stephen Groff, Wakil Presiden Asian Development Bank dalam tulisannya bertajuk “Heres Haw Asia Can Resist The Rise of The Robots” menyatakan, “Pada 2014, China hanya memiliki 11 robot per 10.000 karyawan di industri non-otomotif, dan hanya 213 per 10.000 karyawan di lini perakitan otomotif.  Itu ratusan kurang dari Jepang, Amerika Serikat atau Jerman.”
Selanjutnya dinyatakan, “Sebuah studi tahun 2013 oleh Carl Frey dan Michael Osborne dari Universitas Oxford menunjukkan bahwa, dalam beberapa dekade mendatang, 47% dari total pekerjaan di AS akan berisiko mengalami otomatisasi. Demikian pula, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah memperingatkan bahwa 56% dari total lapangan kerja di Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam "berisiko tinggi mengalami perpindahan karena teknologi selama satu atau dua dekade mendatang."  Sementara studi OECD tahun 2016 yang memecah pekerjaan berdasarkan tugas, hanya 9% pekerjaan rata-rata di 21 negara OECD benar-benar berisiko.”33

Sementara itu rezim neolib hanya mampu melunakan dampak tersebut.  Seperti membuka pendidikan vokasi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.  Namun itupun tidak banyak berarti.  Di Indonesia lulusan pendidikan vokasi (SMK ) justru kelompok pengangguran terbesar.

Ancaman jurang kemiskinan yang semakin parah juga dikemukakan.  Dinyatakan, “Bukti sejauh ini menunjukan bahwa manfaat perubahan yang akan datang akan terkonsentrasi di kalangan elit yang jumlahnya relatif kecil, sehingga memperburuk kecenderungan saat ini menuju tingkat ketidaksetaraan yang lebih tinggi.  Ini adalah poin yang ditekankan oleh bank Swiss UBS dalam sebuah laporan yang diluncurkan di Davos. Akan ada polarisasi angkatan kerja karena pekerjaan dengan keterampilan rendah terus otomatis dan tren ini semakin menyebar ke pekerjaan kelas menengah."32

Akibatnya, makin banyak orang yang tidak bisa memenuhi hajat asasiyah mereka.  Sementara kekuasaan berada dikalangan plutokrat yakni berkuasa karena kekayaan dan keputusan politik dipengaruh oleh segelintir orang yang berkantong tebal.  Ini di satu sisi, hilangnya penghargaan pada aspek kemanusiaan merupakan sumber stressor sosial yang memperparah keadaan.

Ada tiga mitos RI 4.0 yang harus mendapat perhatian dunia. Pertama IR 4.0 tidak berdampak besar seperti revolusi industri periode sebelumnya; Kedua, IR 4.0 akan bebas masalah asalkan semua diserahkan ke mekanisme pasar; Ketiga, semua akan terbantu dengan baik karena buah ekonomi yang didominasi oleh kecerdasan buatan.

Eksloitasi sumber daya alam yang lebih massive berdampak berbagai bencana ekologi mematikan kian meluas dan kian sering.  Cyber crime dan penyalahgunaan Big Data di berbagai bidag kehidupan ideologi-sosial-budaya-pertahanan-keamanan semakin tidak tercegah.
Jika begitu, untuk siapa teknologi diadakan jika pada akhirnya umat manusia kehilangan kemualiaan dan sengsara? Bagaimanapun inilah realitas kemajuan sain teknologi peradaban  barat yang memisahkan materi dan ruh.  Tidak ada ruang bagi kemanusiaan yang sesungguh.


Bijak MembacaAgenda dan Narasi RI 4.0 

Sejumlah perubahan dipersiapkan pemerintah demi kesuksesan agenda globalisasi pendidikan tinggi dan RI 4.0.  Mulai dari aspek kelembagaan, pembelajaran dan kemahasiswaan, sumber daya iptek, hingga riset, dan pengembangan serta inovasi.  Program yang relevan dengan era RI 4.0 dan tidak akan diubah adalah Bidik Misi, Revitalisasi PT Vokasi, Pembelajaran daring, dan Peningkatan Kualitas PT (akreditasi dan reputasi internasional).  Program terkait Riset dan Pengembangan diarahkan pada penciptaan teknologi-teknologi masa depan yang mendukung RI 4.0.  Program terkait inovasi diarahkan pada pemanfaatan teknologi maju untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam.

Perubahan dalam bidang Kelembagaan berupa persiapan pembelajaran daring (Online/Distance Learning) dengan merujuk pada Peraturan Menteri tentang Standar Pendidikan Tinggi Jarak Jauh (PJJ).  Kebijakan baru yang dipersiapkan adalah:a. Permen PJJ agar perguruan tinggi Indonesia segera melaksanakan distance learning.  b. Akan memberikan fleksibilitas, otonomi atau pendelegasian kewenangan kepada unit, untuk mendorong kreatifitas dan inovasi.c. Memberi kesempatan untuk beroperasinya Universitas Unggul di dunia (internasional/ negara lain) beroperasi di Indonesia.

Pada aspek kelembagaan, memberi kesempatan untuk beroperasinya Universitas Unggul di dunia (internasional/ negara lain) beroperasi di Indonesia, meski belum pernah dilakukan sebelumnya namun untuk kepentingan RI 4.0 atau apa yang dinamakan dengan ‘Strategic Inflection Point’,6 sejumlah kampus asing akan dibuka.  Alasan pembukaan kampus asing untuk kepentingan IR 4.0 kembali ditegaskan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Nasir bahwa kebijakan tersebut diambil bukan hanya untuk meningkatkan layanan pendidikan tinggi, tapi juga menyangkut era revolusi industri 4.0.

Pertengahan 2018 ini diperkirakan 5-10 kampus asing sudah akan beroperasi di Indonesia melalui kemitraan dengan kampus lokal. yang nota benenya adalah kampus dari negara kafir penjajah, seperti Central Queens land Uni versity, University of Cambridge, dan National Taiwan University. Para pengamat kebijakan pendidikan memperkirakan jumlah peminat kampus asing akan membludak.  Selain ternama juga tawaran kualitas yang lebih baik karena kemampuannya berinvestasi untuk dosen, fasilitas, dan jaminan dapat pekerjaan.

Bukan saja soal besarnya keuntungan finansial yang akan mereka raup, lebih dari itu rencana pembukaan kampus asing semestinya mengingatkan para intelektual muslimah terhadap kejahatan dan kebencian barat terhadap Islam.  Kehadiran perguruan tinggi asing di sejumlah wilayah khilafah islamiah ketika itu hanyalah upaya Eropa untuk memerangi dunia Islam dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan sejumlah bukti yang akurat dan kajian yang mendalam Saikh Taqiyudin an Nabhani rahimahullah seorang intelektual muslim, negarawan dan pemikir besar abad ke 20  menyatakan tentang keberadaan sejumlah perguruan tinggi ketika itu sebagai berikut, “Strategi ini dimaksudkan untuk mengokohkan jaringan pusat-puast spionase politik dan penjajahan pemikiran yang sudah mulai memusat di negeri-negeri Daulah Islamiyah.  Operasi ini terus dilancarkan  hingga pasukan pengintai colonial barat berhasil menduduki posisi kuat di garda depan.  Dengan demikian lapangan bagi penjajah tersedia, pintu dunia Islam menjadi terbuka untuk serangan Barat, dan perguruan-perguruan misionaris tersebar luas di Negara Islam”.

Artinya bila pada waktu itu pendirian kampus asing untuk pengokohan pusat-pusat spionase dan penjajahan pemikiran dalam rangka melemahkan kekuatan politik negara Khilafah sehingga segera runtuh, maka saat ini sesuai agenda GWOT dan KBE semua itu ditujukan untuk menguatkan eksistensi peradaban barat yang sakarat.  Pada aspek ideologi mempercepat tergadainya perasaan dan pemikiran civitas akademika kepada Barat dan sekaligus menjauhkan para intelektual dan civitas akademi dari ide syariah dan khillafah serta para pengembannya.  Pada aspek ekonomi mempercepat penguasaan barat terhadap tenaga kerja terdidik, karya intelektual dan hasil riset.

Tentang Perubahan dalam bidang Pembelajaran dan Mahasiswa. Mengingat kembali apa sesungguhnya yang menjadi jiwa RI 4.0 maka reorientasi kurikulum untuk membangun kompetensi yang diperlukan oleh RI 4.0 tidaklah berlebihan bila dimaknai sebagai upaya sistematis melahirkan jati diri intelektual yang fikiran dan hatinya telah tergadai pada agenda politik barat terkini. Ini adalah langkah efektif untuk mencetak secara massal pekerja terdidik yang dengan tulus mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan hegemoni barat meski nyata-nyata tidak membawa kebaikan bagi islam dan kaum muslimin. 

Mindset neoliberal juga terbaca gamblang pada tujuan program peningkatan kualitas out put, yakni pencetak para pekerja terdidik yang mendedikasikan hidupnya bagi peradaban kapitalis.   Selaras dengan itu Parray (ILO, 2017) memberikan arahan bahwa Indonesia harus memperbaiki kualitas tenaga kerjanya dengan teknologi digital dan berinovasi.   Karena era ‘technology disruption’, sebagai salah satu kekhasan IR-4.0 memerlukan penguasaan kombinasi teknologi, seperti fisika, digital dan biologi (Schwab, 2017).  Penguasaan berbagai disiplin ilmu/ketrampilan seperti ‘Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), New Materials, Big Data, Robotics, Augmented Reality, Cloud Computing, Additive Manufacturing 3-D Printing, Nanotechnology, Biotechnology, Genetic Editing, e-Learning’,1 tidak lepas dari bingkai hegemoni tersebut.  Karenanya untuk kepentingan siapa sebenarnya kemampuan human literacy (literasi manusia),  Data Literation (Literasi Data), Technological Literation (Literasi Teknologi), yang dituntut di era IR 4.0 bagi setiap lulsan PT hari ini?

Perubahan Dalam Bidang Sumber Daya yakni Pengembangan kapasitas dosen dan tutor dalam pembelajaran daring. Pengembangan infrastruktur MOOC (Massive Open Online Course), teaching industry, e-library yang Kementerian memfasilitasi kemudahan konektivitas melalui IdREN (backbone) untuk online learning system di Indonesia (SPADA Indonesia), semuanya sepaket dengan makna perubahan aspek birokrasi dan kurikulum.

Sementara makna serupa juga akan didapati pada aspek Penguatan Riset & Pengembangan, serta Penguatan Inovasi.  Implementasi RIRN 2015-2025; Penerapan teknologi digital dalam pengelolaan riset; Harmonisasi hasil–hasil riset pengembangan dan penerapan teknologi melalui Lembaga Manajemen Inovasi, melaksanakan proses inovasi produk melalui inkubasi dan pembelajaran berbasis industri;Memanfaatkan kerjasama penelitian, publikasi, dan inovasi secara nasional & internasional,1 pada hakekatnya merupakan jalan pintas bagi pengendalian peta riset dan pemanfaatannya.

Pada gilirannya, per bagian maupun keseluruhan agenda pemerintah untuk menyukseskan globalisasi dan IR 4.0 hanyalah membawa kemajuan semu bagi negeri ini sebagaimana yang terjadi pada tiga era revolusi industri sebelumnya, dibaliknya krisis multi dimensi mengerikan terus mengancam kehidupan dunia, mengkerdilkan para intelektual muslim hingga menggiringnya ke dalam arus hegemoni barat.  Menguatkan eksistensi peradaban barat yang batil dan rendah di saat yang bersamaan menjadi musuh bagi Islam dan kaum muslimin, sungguh tragis.

Oleh karena itu, agenda globalisasi pendidikan tinggi dan Revolusi Industri fase empat dengan segenap aspek pendukungnya harus segera dihentikan. Termasuk mengakhiri dan mengganti sistem kehidupan sekuler  yang memberikan ruang bagi agenda berbahaya ini. 


Solusi Islam

Fakta sejarah menunjukan kemajuan sain dan teknologi yang diraih barat hari ini bermula dari revolusi politik dan pemikiran yang berlangsung di atas ideologi sekulerisme.  Pun demikian dengan Uni Soviet (sekarang Rusia) setelah melandaskan kehidupannya pada ideologi sosialisme/komunisme.

Jauh sebelum itu bangsa Arab telah meraih kemajuan sain dan teknologi yang melampaui masanya, juga setelah bangsa arab khususnya menjadikan Islam sebagai jalan hidup mereka dan mereka hidup di bawah naungan khilafah.  Ini menjadi bukti kemajuan sain dan teknologi yang bersifat spektakuler diraih bangsa-bangsa dunia setelah melandaskan kehidupannnya pada ideologi tertentu, terlepas benar salahnya ideologi tersebut.

Bedanya, kemajuan sain dan teknologi yang diraih di atas peradaban yang berdasarkan ideologi batil sekulerismekah atau sosialisme dan komunisme kah hanyalah mengantarkan dunia pada kebaikan dan kemajuan semu.  Sungguh jauh berbeda dengan kemajuan sain dan teknologi yang diraih di atas peradaban Islam, dunia benar-benar merasakan kebaikannya.

Keberhasilan khilafah Islam membangun sain dan teknologi yang begitu spetakuler tidak terlepas dari visi pemerintah yang orisinil dan kuat. Di samping wujud kehadiran negara yang benar, yakni penerap Islam secara kaafah.  Baik dari sisi politik dalam negeri maupun luar negeri.  Hal ini tampak pada  sejumlah aspek berikut.   

Pertama, desain politik dan sistem pendidikan khususnya pendidikan tinggi.  Yakni  pilar  bangunan peradaban Islam yang mulia lagi memuliakan.  Baik dari segi tujuan pendidikan, kurikulum hingga tata kelolanya.  Di antara paradigma penting yang melandasi semua ini adalah pandangan Islam tentang ilmu dan fungsi negara.  Ilmu bukan komoditas dan faktor produksi, akan tetapi jiwa kehidupan.  Ditegaskan Rasulullah saw melalui lisannya yang mulia, ”Perumpamaan  petunjuk dan ilmu yang Allah swt mengutusku karenanya seperti air hujan yang menyirami bumi, …”(Terjemahan hadist riwayat Imam Bukhari dari Abu Musa dari Rasulullah saw); “Diantara tanda-tanda (datangnya hari ) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan” (Terjemahan hadist riwayat Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Anas).  Dan karakter raain dan junnah begitu menonjol pada fungsi politik negara.

Terbukti sistem pendidikan khilafah sukses sebagai pencetak output pendidikan dengan karakter dan jati diri keislaman yang sangat kuat.  Melahirkan para ilmuwan, pakar dan ahli dengan penemuan-penemuan jenius bernilai tinggi melampaui masanya.  Peletak fondasi bagi kemajuan sain dan teknologi dunia hingga hari ini. Seperti Ibnu Haitsam pakar optik, matematika dan arsitektur; Ibnu Batutah pakar geografi; Ibnu Atsir ahli sejarah; Abu Nawas ahli sya’ir, dan masih banyak yang lain.  Tidak hanya itu, akses pendidikan setiap individupun terjamin hingga ke pelosok-pelosok negeri.  Hasilnya sungguh mengagumkan, pendidikan berkualitas terbaik menjadi realitas yang dapat dirasakan dunia, perguruan-perguruan tinggi di negeri Islam seperti Cordoba, Baghdad, Dasmaskus, Iskandariah dan Kairo menjadi pusat perhatian dan kiblat pendidikan dunia.

Kedua, desain riset negara khilafah, yakni selaras dengan politik dalam dan luar negeri negara khilafah yang berkarakter sebagai penyejahtera lagi memuliakan bani insan.  Mengurusi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di dalam negeri dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaafah, dan di luar negeri menyebarkan ideologi Islam dengan dakwah dan jihad.  Sehubungan dengan itu pengelolaan riset dan lembaga riset negara berlangsung di atas sejumlah prinsip sohih berikut:
a.  Negara bertanggung jawab secara langsung dan sepenuhya terhadap pengelolaan riset dan lembaga riset negara, mulai dari merumuskan peta dan pohon riset, pembiayaan, hingga pelaksanaannya,  apapun alasannya tidak dibenarkan negara hanya sebagai regulator.
b. Strategi riset dasar maupun riset terapan serta penemuan teknologi wajib mengacu pada politik eknomi Islam.  Baik dalam  rangka peningkatan produksi sumber-sumber ekonomi yaitu  terutama industri (disamping perdagangan, pertanian, dan jasa), maupun dalam upaya mempercepat terealisasinya pemenuhan  hajat kehidupan masyarakat seperti sandang,pangan,papan, air bersih, energi, transportasi,  kesehatan, pendidikan, dan keamanan.  Artinya apapun alasannya, tidak dibenarkan  strategi riset mengaju pada politik ekonomi batil neolib yang mengedepankan pertumbuhan dan daya saing.
c.  Institusi-institusi riset pemerintah berfungsi sebagai perpanjangan fungsi negara sebagai raa’in dan junnah.  Sehubungan dengan itu pengelolaannya langsung oleh pemerintah. Dengan alasan apapun tdk dibenaran di  UPT, di-BLU apalagi di PT-kan.
Keempat, konsep anggaran yang bersifat mutlak.  Artinya, ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pos riset wajib diadakan negara bila riset tersebut dibutuhkan untuk jihad dan terealisasinya kemashlahatan publik.

Ketiga, desain industri berlangsung di atas prinsip politik industri berbasis industri berat.  Kunci bagi terwujudnya kemandirian negara di bidang industri dan agar menjadi negara industri.  Hal ini meniscayakan negara mampu memiliki dan mengembangkan laboratorium dengan berbagai kelengkapan terbaik.  Baik untuk melakukan berbagai riset dasar maupun riset terapan.  Disamping menjadikan negara memiliki kapasitas memadai memproduksi mandiri berbagai hasil riset terkini menjadi produk fisik berteknologi tinggi  yang penting bagi segera terwujudnya tujuan politik dalam dan luar negeri negara khilafah. 

Sehubungan dengan itu negara wajib mendirikan dua macam industri.  Pertama, industri berat yaitu industri yang memproduksi mesin atau alat-alat produksi dan persenjataan termasuk industri obat-obatan,  senjata kimia dan senjata biologi ; kedua, industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Seperti industri penghasil listrik,industri penghasil minyak bumi dengan berbagai produk  yang dibutuhkan publik  (bensin, solar, avtur dll), industri pengelolahan berbagai jenis logam.

 Adapun status kepemilikan kedua kelompok industri tersebut adalah harta milik umum dan atau milik negara. Seperti industri penghasil energi listrik status adalah milik umum atau negara yang dikelola pemerintah  untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Hal ini kembali pada kaedah bahwa status hukum industri dikembalikan pada apa yang dihasilkannnya.

Pada keseluruhan maupun per bagian aspek tersebut tampak jelas negara Khilafah benar-benar hadir dengan fungsinya sebagai raa’in yakni pengurus pemenuhan hajat kehidupan masyarakat, sebagaimana tampak dari tutur Rasulullah saw melalui lisannya yang mulia, yang artinya, “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari). Demikian pula fungsi negara sebagai junnah (pelindung) dan pembebas dunia dari segala bentuk hegemoni dan penderitaan, sebagaimana terlihat dari tutur  tutur Rasulullah saw melalui lisannya yang mulia, yang artinya, Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim).

Berdasarkan paparan ini jelaslah kembalinya khilafah adalah kebutuhan dunia yang mendesak. Hadir sebagai pemimpin dunia dengan pemikiran-pemikiran yang sohih. Lebih dari pada itu kembali pada pangkuan khilafah adalah kewajiban yang disyariatkan Allah swt kepada kita semua.  Sungguh petunjuk dari Allah swt sajalah yang patut diikuti  agar kemuliaan dunia akhirat dapat diraih, Allah swt berfirman menegaskan hal itu yang artinya, “…. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia.  Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”(Terjemahan QS An Nuur: 35);  Allahu A’lam.

Depok 13 Maret 2018.

(*) Rini Syafri: Penelaah dan Peneliti Kebijakan Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi.




Rabu, 24 Januari 2018

AL QUR'AN BERISI HAL ITU?



Kisah yang ingin saya bagi kali ini adalah tentang seseorang yang sangat mengispirasi saya dan membuat saya sangat ingin memahami Al Qur' an. Setiap kali (dulu) sedang bersama beliau, berulang-ulang saya merasa terhenyak kaget dengan penuh keheranan bertanya dalam hati: "Al Qur'an berisi tentang hal itu?"

Kok bisa? Begini. Konon, -Anda boleh percaya, boleh juga tidak- menurut cerita ibu saya -semoga beliau senantiasa dalam keadaan sehat dan penuh limpahan berkah dari Allah swt- sejak kecil saya itu hobi membaca. Masa itu, dimana belum lazim anak usia TK bisa membaca (lancar), konon saya sudah bisa. Pada saat SD, hobi membaca saya semakin menjadi. Semua buku saya baca. Singkat cerita, untuk memenuhi kegemaran saya membaca tersebut, ibu saya yang seorang guru selalu memborong buku di perpustakaan sekolah tempat beliau mengajar untuk dipinjamkan kepada saya. Setiap pulang beliau membawa beberapa buah buku, kadang bahkan jumlahnya sangat banyak, keesokannya dikembalikan lagi ke perpustakaan sekolah beliau, untuk kemudian meminjam lagi beberapa buku baru lainnya untuk dibawa pulang kembali. Demikian setiap hari, hingga beliau katakan semua buku di perpustakaan tersebut sudah habis saya baca. Saat itu kami tinggal di kota kecil (Mojokerto), sekolah tempat beliau mengajar sepertinya juga sekolah swasta yang tidak besar. Mungkin saja koleksi perpustakaan di sana saat itu tidak terlalu banyak.

Singkat cerita, demikianlah, hingga pada usia SD tersebut saya sudah hafal betul semua kisah nabi dan Rasul, kisah-kisah fabel, legenda-legenda, asal muasal ini itu, kisah putri-putrian, kisah pangeran-pangeranan, hikayat ini itu dan semua konten-konten yang lazim ada pada buku bacaan anak saat itu. (Buku-buku anak Islami nan menarik dan bergizi ala jaman now saat itu belum lazim saya kira). Maka, saat itu memori saya tentang posisi kisah nabi dan Rasul sama dengan kisah selainnya. Saya kecil mengira semua adalah kisah atau dongeng biasa, ditulis atau dikarang oleh seseorang, yang sulit bagi saya membedakan mana fiksi mana non fiksi. Semuanya menarik, menyenangkan mendengarnya dan memang di dalamnya sarat dengan pengajaran. Kisah yang sama sering saya dengarkan ketika ibu saya mendongengkannya menjelang tidur.

Hingga ketika musim liburan panjang sekolah tiba, saya bersaudara pergi berlibur menginap di rumah seseorang yang saya katakan sangat mengisnpirasi saya di awal tulisan ini. Ya. Beliau adalah nenek saya, ibunda dari ibu saya. Orang-orang di sekitar beliau mengenal beliau dengan panggilan Nyai Athiyah. Selama tinggal berlibur di Surabaya, kota beliau tinggal, inilah saya untuk pertama kalinya kemudian merasa heran dan memiliki pertanyaan "Al Qur'an berisi tentang hal itu?".

Bagaimana hal itu terjadi?
Begini. Setiap malam menjelang tidur, seperti biasa saya meminta nenek saya tersebut untuk bercerita. Dan beliau kemudian selalu bertanya mau cerita nabi siapa? Setiap saya request kisah nabi A maka beliau pun kemudian menceritakannya dengan detil, hingga dialog-dialog yang terjadi di dalamnya. Kisah-kisah yang saya sudah menghapalnya luar kepala, namun selalu menemukan detil informasi baru dari cerita beliau. Padahal saya tahu persis, beliau tidak lancar membaca huruf latin. Bisa membaca, tapi tidak selancar saya. Menyadari hal itu membuat saya heran dan kemudian bertanya kepada beliau, "kok mbah bisa tahu cerita-cerita nabi itu darimana?" Beliau menjawab, "dari Qur'an". "Apaa?" heran saya dalam hati. Dari Al Qur'an? Yang tiap sore saya belajar di masjid sebelah rumah, dan malamnya setelah maghrib kami membacanya di rumah? Yang membacanya saja sulit (tidak semudah membaca latin bagi saya saat itu), apalagi untuk mengerti apa isinya.

Di kesempatan lain, ketika kemudian kami sekeluarga pindah ke Surabaya (saat itu saya duduk di kelas 5 SD), saya pun lebih sering ke rumah nenek saya ini dan akhirnya memiliki memori lebih tentang beliau dan keseharian beliau. Betapa beliau adalah seseorang yang sangat terjaga lisannya. Setiap saat senantiasa basah dengan dzikrullah, kalimat thoyyibah, dan lantunan ayat-ayat Al qur'an yang beliau baca perlahan sembari melakukan aktivitas apapun, dan hanya terputus ketika beliau butuh untuk bicara/bertanya sesuatu kepada orang lain. Saya menyaksikannya dengan lebih paham karena usia sudah semakin besar, bahwa sejak sebelum bangun tidur hingga beliau tidur lagi, itulah yang saya temui. Bahkan ketika dalam tidur, lalu beliau menggerakkan anggota tubuh apapun atau mengganti posisi tidur beliau maka kalimat-kalimat dzikrullah itu sangat jelas senantiasa saya dengar. Di pagi hari, masuk waktu dluha, datanglah rombongan ibu-ibu yang belajar mengaji (baca Al Qur'an) di rumah beliau. Mereka membacanya dengan keras, bareng-bareng, berbeda apa yang dibaca. Namun setiap kali ada yang salah membaca, nenek saya kemudian mengoreksinya. Padahal beliau tidak sedang di hadapan ibu-ibu tersebut. Nenek saya menyimak mereka sambil menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga beliau. Kok bisa? Itu keheranan saya berikutnya (saat itu). "Padahal Al Qur'an yang mereka (murid-murid beliau) baca kan sangat tebal?! Apa iya nenek saya ini hapal semuanya?!" batin saya saat itu yang belum mengenal program tahfidz dan semacamnya.

Ketika saya usia SMP-SMA dimana berita-berita atau informasi di koran ataupun media lain sudah menjadi konsumsi saya sehari-hari, saya pun kemudian sering membagi informasi kejadian-kejadian terkini yang saya ketahui tersebut dalam perbincangan bersama beliau. Ketika saya bercerita tentang peristiwa aborsi, berita pembunuhan, perang antar negara islam, berita seputar Palestina-Israel, kisah tentang keajaiban/kehebatan seseorang, kedloliman orang-orang tertentu, suku-suku di pedalaman dan sebagainya, kali ini beliau selalu merespon setiap cerita saya itu dengan menyampaikan bahwa apa yang saya ceritakan itu sudah diceritakan di Al qur'an sambil menyampaikan ayat mana yang beliau maksudkan. "Hellow....semua yang saya kisahkan itu adalah info mutakhir, berita terkini, up to date gitu loh ....tapi kok nenek saya yang tidak membaca koran ataupun melihat televisi, menerimanya tidak seperti bahwa itu semua adalah info-info yang membuat beliau merasa mendengar sesuatu yang baru ataupun heran. Sebaliknya semuanya seperti sudah beliau dengar. Sudah beliau tahu. termasuk apa yang kemudian menjadi lanjutan dan pelajaran dari kisah-kisah tersebut. Dan itu, karena beliau membaca Al Qur'an? WOW"....sekali lagi saya bertanya dalam hati "Al Qur'an juga membahas dan menceritakan hal itu? Apa lagikah yang dibahas oleh Al Qur'an?" Menyeruak rasa sangat ingin bisa paham apa yang ada di dalam Al Quran.

Maka apa yang beliau tunjukkan pada saya tersebut, benar-benar menginspirasi saya, memunculkan rasa takjub saya kepada Al Qur'an, membuat saya ingin memiliki kemampuan mengerti setiap bacaan Al Qur'an yang saya baca. Saya mau membaca kisah-kisah itu langsung dari Al Qur'an, bukan dari buku yang ditulis orang, ataupun dongeng yang diceritakan orang. Saya sangat ingin mengerti bahasa Al Qur'an. Keinginan ini terpelihara, sehingga setiap saya mendengar kajian tafsir yang selalu merinci lafadz demi lafadz sebuah ayat, menerjemahkannya, menjelaskan maknanya, selalu menjadi hal yang sangat menarik bagi saya. Hingga ketika kemudian dakwah islam Ideologis menyentuh dan membina saya, memahamkan saya akan posisi penting bahasa Arab dalam islam, bahwa kemukjizatan Al qur'an tidak bisa dipahami tanpa mengenal bahasa Arab, maka kelas-kelas belajar bahasa Arab pun saya kejar. Kursus-kursus ataupun pelatihan yang mengajarkan program terjemah Al Qur'an pun saya ikuti. Semua berawal diantaranya dari inspirasi seorang nenek yang dari lisan beliau selalu keluar ajaran-ajaran Al Qur'an, mengajar menggunakan Al Qur'an, menggunakan bahasa-bahasa Al Qur'an ketika berinteraksi dengan cucunya.

Maka menuliskan kisah ini adalah cara saya menasehati diri saya sendiri -syukur alhamdulillah jika bisa menginspirasi pembaca kisah ini- agar menjadikan Al Quran sebagai sumber / mata air tsaqofah kita, konten, alat & sarana pengajaran kepada anak-anak, murid-murid, maupun umat secara keseluruhan.

Jadi, bacalah Al Qur'an, fahami Al Qur'an, terapkan Al Qur'an, ajarkanlah Al Qur'an, mengajarlah dengan Al Qur'an dan gunakan Bahasa Al Qur'an. Satu lagi, perjuangkanlah Al Qur'an agar bisa diterapkan sempurna dalam kehidupan ini. Karena Al Qur'an diturunkan bukan untuk orang mati. Itulah pelajaran yang ingin saya bagi. Rasul Saw nan mulia pun menyampaikan: "Sebaik-baik dari kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al Qur'an."


Semoga saya dan para pembaca sekalian senantiasa Allah rahmati dengan Al-Quran yang agung. Semoga Allah senantiasa menjadikan Al qur'an bagi kita semua sebagai panutan, cahaya, petunjuk dan rahmat. Menjadi pengingat ketika kita lupa. Dan mengajarkan kepada kita apa-apa dari padanya yang belum kita tahu. Semoga Allah swt menganugrahkan kepada kita semua kesempatan untuk membacanya tengah malam dan siang hari, dan menjadikan sebagai hujjah yang kuat bagi kita. Aamin... wahai Tuhan semesta alam.

Faizatul Rosyidah


Ingin memiliki buku seperti di bawah ini? Silakan klik: bit.ly/FayzaBookGallery



Minggu, 21 Januari 2018

GADGET DAN GENERASI DIGITAL



Ini pengalaman pribadi yang membuat saya benar-benar ‘ngeh’ betapa mudahnya balita/kids jaman now nge-klik dan nge-blend dengan beragam gawai mutakhir sekalipun. Dan betapa mudahnya kemudian gawai tersebut tetiba mengambil alih ‘kendali’ atas anak kesayangan kita, menjadikan mereka begitu cinta dan merindukan untuk selalu berdekatan dengan gawai tersebut dan bahkan mulai menjauhkan mereka dari kita, ibunya.

Ceritanya, mulai bayi, Hafidz sudah terbiasa memiliki jadwal ‘membaca’ buku bersama saya. Mulai dari buku bantal, soft teether book, board book hingga sekarang di usianya yang ke-26 bulan Hafidz sudah terbiasa membaca (membuka-buka lembaran) buku-buku kertas tipis tanpa merobeknya, dan betah mengkhatamkan (gambar) di buku-buku tersebut hingga berjilid-jilid banyaknya. Malam hari sebelum tidur adalah salah satu diantara jadwal tetap yang juga menjadi favorit saya, karena selain sangat terasa nuansa menjalin bonding-nya, setelahnya juga menjadi lebih mudah untuk mengantarkannya tidur.

Maka dalam setiap lembaran yang saya buka, bisa jadi meluncurlah informasi seputar obyek-obyek di halaman tersebut, cerita atau kisah terkait obyek tersebut, pengalaman Hafidz terkait obyek tersebut yang saya recall-kan untuk membantu terciptanya sinaps2 syaraf otaknya, kadang disertai coretan di kertas lain untuk memperjelas, bahkan tidak jarang meluncurlah aneka macam lagu dan nyanyian baik dengan lirik dan nada
 lagu-lagu anak yang sudah ada maupun yang  secara mendadak tercipta dari lisan saya khusus pada momen tersebut. Sangat menyenangkan, dan saya pun benar-benar menikmatinya.

Hingga suatu saat, antara kebutuhan untuk membuka hp dan merespon banyak hal di sana, dengan keinginan yang (sedikit) terbersit untuk memberi gambaran yang lebih menarik dari paparan dan cerita-cerita yang pernah saya sampaikan sebelumnya kepada Hafidz; tentang berbagai macam binatang berikut suara khasnya, gambaran gunung meletus dengan deskripsi panasnya lahar yang mengalir, beragam alat berat dengan ‘tupoksi’nya masing-masing; tergodalah saya untuk menunjukkan kepada Hafidz beberapa gambar dan video tentang itu semua dari smartphone saya. Dan memang, semua yang saya cari ada di sana. Gambaran cicak yang menangkap nyamuk dengan lidahnya dalam lagu “Cicak-cicak di dinding”, bagaimana buldoser dan eskavator dirakit dan kemudian melaksanakan tugasnya dalam memperbaiki jalan, bagaimana gerakan dan suara singa secara live, dan lain-lain…..semua ada. This is really such an awesome technology. Sangat memudahkan dan tentu saja sangat menyenangkan bagi Hafidz.

Tidak membutuhkan berhari-hari, bahkan hanya beberapa kali saja, hingga apa yang ditampilkan gadget tersebut meninggalkan memori manis dan menyenangkan bagi Hafidz untuk meminta ditunjukkan lagi dan lagi. Saya segera menangkap alarm bahaya telah berbunyi dan mengingatkan saya agar tidak lagi memilih metode tersebut dalam melakukan pembelajaran pada Hafidz untuk saat ini. Belum saatnya.

Mengapa? Perlahan, saya melihat Hafidz mulai menikmati kesendiriannya bersama gadget dan apa yang ditampilkannya. Penjelasan yang saya berikan di sela-selanya memang masih dia dengarkan, tapi antusiasme responnya dengan setiap untaian kata dan kalimat yang saya sampaikan sudah berkurang, pengulangan yang dilakukannya setiap mendengar kosakata baru mulai tergantikan dengan keasyikan memandang tampilan di layar hp yang saya pinjamkan. Perlahan, saya merasa ‘akan’ kehilangan kehangatan dan kebersamaan saya dengannya karena sekarang dia begitu perhatian dengan hp tsb dan mulai seperti ‘tidak butuh’ saya, paling tidak ketika sedang asyik dengan apa yang dia lihat di hp. Hal itu tentu saja membuat saya sedih. Masalah lain yang muncul berikutnya adalah semakin sulitnya Hafidz memulai tidur padahal malam sudah larut dan saya sudah dengan jelas melihat gurat kelelahan itu di wajahnya. Ini adalah diantara efek radiasi layar hp pada otak kita yang justru membuat kita sulit mengistirahatkan diri, meski sudah lelah membaca banyak hal melalui hp kita tersebut. Selain itu, semakin sulit juga mengajak/membujuknya untuk mematikan hp untuk segera tidur. Alhasil, seringkali justru terjadi momen ‘tantrum’ di malam hari menjelang tidur.

Maka menyadari hal tersebut, saya pun bertaubat, insyaAllah dengan taubatan nasuha. Hafidz harus segera dikembalikan lagi kerinduannya akan kebersamaan kami membaca, bercerita, bernyanyi dan melakukan hal-hal (di dunia) nyata lainnya. Sebaliknya dia harus dibantu untuk bisa melupakan gadget yang sudah mulai dirindukannya. Bagaimana caranya?
1. Saya harus benar-benar memastikan tidak ada gawai apapun di antara kami ataupun di sekitar kami yang terjangkau/terlihat olehnya. Hp sementara waktu benar-benar saya tinggalkan. Ketika dia meminta dan menanyakannya bahkan sekalipun dengan lengkingan keras tangisannya, saya harus konsisten dengan komitmen ‘menjauhkan’ Hafidz (saat ini) dari gadget.
2. Komitmen ini juga harus saya komunikasikan kepada orang lain di rumah (dalam hal ini abinya) agar kami bisa satu frekuensi dan bekerjasama dalam mensukseskan target ‘melepaskan’ Hafidz dari merindukan gadget.
3. Mengalihkan perhatiannya dengan melakukan aktivitas bersama yang bisa menarik kembali perhatiannya hingga merasa nyaman, senang dan merindukan apa yang kita lakukan tersebut. Sebelum Hafidz bisa kembali asyik ‘tenggelam’ dengan buku-bukunya, kegiatan yang menjembatani pengalihan keasyikan memorinya tentang tampilan di gadget kepada kertas, pensil dan gambar adalah dengan cara saya melukis secara live di kertas hal-hal yang pernah dia lihat di hp, sambil lisan ini secara simultan mengeluarkan bunyi/menyampaikan kisah/menyanyikan lagu sebagaimana obyek yang sedang saya lukis di kertas tersebut. Jadi sambil menggambar seekor cicak yang merayap di tembok, dengan nyamuk yang melintas terbang di dekatnya hingga disambar cicak dengan lidahnya, semua saya lukis sekaligus saya nyanyikan secara bersamaan. Demikian pula dengan obyek-obyek lain yang pernah diingat hafidz dari hp.

Alhamdulillah, berhasil. Hafidz sangat menikmati lukisan saya berikut untaian keterangan lisan yang saya sampaikan ataupun nyanyikan. Lembar demi lembar dilihatnya kembali lukisan-lukisan saya tersebut sambil menceritakan apa yang dia pahami dari gambar-gambar tersebut. Yess, Alhamdulillah. Hafidz sudah kembali pada (apa yang ada di) kertas  dan bukunya. Bonding kami pun berjalan kembali. Memulai tidur pun kembali mudah, tanpa disertai tantrum dan lengkingan teriakan meminta ditunjukkan sesuatu dari hp. Alhamdulillah, Yang telah memudahkan hal ini bagi kami.

Seorang murid yang menyimak cerita saya ini bertanya, “Bagaimana kalau ibunya ga bisa menggambar?” Temans, para Ibu sholihat yang saya cintai karena Allah. Jangan khawatir dengan kemampuan kita dalam menggambar. Karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah bagaimana kita mengembangkan imajinasi atas gambar/lukisan yang kita buat, sejelek apapun itu. Meskipun jauh dari bentuk nyata seekor bebek, ketika bentukan angka ‘2’ kita berikan keterangan sebagai bebek, disertai penjelasan yang asyik dan menyenangkan seputar bebek tersebut, maka saya jamin anak kita akan sangat menikmati dan terpesona dengan lukisan ‘jelek’ kita tadi. Sekali lagi, yang penting, mainkan imajinasi.

Dari pengalaman tersebut, saya pun membayangkan bagaimana kiranya perasaan orang tua yang menyaksikan anak tercintanya terlanjur mengalami kecanduan gadget. Bagaimana pula usaha yang harus mereka kerahkan untuk membantu anak tersebut lepas dari kecanduannya. Tentu situasinya jauh lebih menguras airmata dan usaha terbaik dari semua yang berhubungan dengan sang anak. Sehingga memang seringkali bahkan dibutuhkan bantuan dari tenaga ahli/professional untuk melakukannya, dengan kedua orang tuanya sebagai terapis utama bagi sang anak. Tidak bisa hanya sang ibu ataupun sang ayah saja.

Itulah mengapa, saya sangat ingin berbagi kisah ini untuk berbagi pelajaran betapa sangat pentingnya menjaga anak kita agar tidak terjatuh pada kondisi ‘patologis’ kecanduan gadget. Kenalkan mereka pada gadget pada saat yang tepat. Tepat dalam konotasi dan cakupan apapun tentangnya. Karena anak-anak kita hari ini adalah generasi digital. Digital adalah dunianya. Mereka adalah penduduk aslinya.

Semoga kita dimudahkan Allah swt mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi berkualitas yang akan menjadi jalan kemuliaan kita di sisi-Nya, dan menjadi jalan tegaknya peradaban mulia bagi umat manusia di dunia ini dan bertemunya kita kembali bersama anak-anak kecintaan kita tersebut dalam kemuliaan di surga-Nya. Aamiin. Semoga bermanfaat.

-Faizatul Rosyidah-


Tertarik memiliki buku seperti di gambar2 ini?
Silakan klik: http://bit.ly/FayzaBookGallery





Mencegah Kecanduan Gadget pada Anak



Bagaimana Mencegah/Mengatasi Kecanduan Anak pada Gadget? 

Ini adalah pertanyaan yang akhir-akhir ini selalu saya dapatkan ketika sedang berbagi dalam forum-forum parenting/sejenis ketika sesi tanya jawab/interaktif, meski tema forum hari itu bukan secara langsung membahas hal tsb. Pun demikian dengan 2 forum yang saya hadiri akhir minggu ini, satunya forum yang mempertemukan para wali murid dan guru sebuah TK/KB di Surabaya Selatan yang meminta saya berbicara tentang "Pilih Pintar atau Karakter?" dan forum lainnya adalah pengajian umum keluarga besar karyawan sebuah pabrik beton di Pasuruan yang meminta saya melakukan sharing seputar "Mendidik Anak Bertanggung jawab". Beda peserta, beda rerata usia ortu dan juga usia anak yg sedang dikonsultasikan. Tapi sedang dalam masalah yang sama. Gadget telah mengendalikan anak saya! Begitulah kira-kira singkatnya.

Ya. Hari ini, di tengah era dan dunia digital yang menawarkan beragam paket kemudahan, kecanggihan, kreativitas, koneksi dan lainnya untuk kita melakukan banyak hal bermanfaat, di sisi lain, tidak kita pungkiri menyeruak banyak rasa sesak, galau, sedih, khawatir, ketakutan hingga kemarahan tertumpah, melihat pelan tapi pasti gawai-gawai canggih tersebut telah mengambil alih kendali anak-anak kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Sebelum bicara bagaimana solusi untuk anak-anak kita atau bahkan mungkin kita sebagai ortu yang sudah terlanjur kecanduan gadget, saya ingin memfokuskan tulisan kali ini pada bagaimana kita mencegah hal ini. Karena mengobati kecanduan selain membutuhkan effort yang lebih berat dan seringkali juga membutuhkan bantuan ahli/profesional tertentu, mencegah anak-anak ataupun kita sendiri terjatuh pada kecanduan gadget tentu saja lebih baik dan lebih mudah untuk dilakukan. Ibarat proses terjadinya sakit, maka kecanduan gadget bisa dianggap sebagai keadaan patologis/sakit, tentu saja mencegahnya adalah lebih baik.


Jadi bagaimana mencegah anak-anak kita agar tidak terjatuh pada keadaan kecanduan gadget?

1. Membangun kepribadian Islam yang kokoh pada anak kita adalah kuncinya. Gadget/gawai sejatinya hanyalah benda/alat, secanggih dan sehebat apapun dia, tidak akan bisa memaksa manusia menggunakannya dengan cara yang salah ataupun memaksanya untuk melakukan kesalahan, kemaksiatan atau keburukan dengannya. Dia hanyalah sebuah madaniyah 'aam (benda hasil teknologi yang bersifat umum) yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan melakukan kebaikan ataupun sebaliknya. Penentunya adalah siapa yang memegang dan menggunakannya. Maka memastikan anak kita terbangun pola pikir dan pola sikap Islamnya sehingga dia memiliki kemampuan berpikir dan bersikap dengan tepat, termasuk kapan,dimana dan untuk apa dia menggunakan gadget adalah modal dasar usaha kita ini.


2. Jangan pernah memberikan kepada anak usia dini (0-7 tahun) gadget sebagai sarana bermain ataupun belajar tanpa pendampingan orang tua. Jangan pernah pula menjadikan gadget sebagai alat untuk mendudukmaniskan anak-anak kita, semata agar kita tidak terganggu ketika melakukan aktivitas/kesibukan kita sendiri. Apalagi usia 0-4 tahun, dimana perkembangan otak anak sedang dalam kecepatan tertingginya. Membiarkan mereka tenggelam dalam gadget dengan alasan apapun, bukanlah melejitkan kemampuan mereka, justru sebaliknya. Speech delay, egois, tantrum dan kesulitan mengendalikan diri adalah diantara akibat yang sangat mudah kita temui ketika anak-anak kita tersebut mulai ‘dikendalikan’ gadget yang kita berikan kepada mereka.

Sebaliknya, perbanyaklah melakukan aktivitas yang memperkuat bonding kita dengan mereka, seperti bermain bersama, belajar bersama, story telling, membaca(kan) buku, dan aktivitas lain sejenis yang tidak hanya memperkuat bonding kita dengan mereka, namun juga bermanfaat dalam melakukan instalasi kepribadian Islam anak kita. Dan ingat, lakukan itu semua sepenuh hati dan perhatian, dengan tentu meninggalkan (godaan) gadget kita ketika sedang membersamai mereka.


3. Jangan memberikan gadget berjaringan internet sebelum anak kita siap. Kapan itu? Yaitu sebelum kita yakin pada diri anak kita sudah terbangun syakhsiyah Islamiyah (kepribadian islam), yang seharusnya sudah kita pastikan terbangun sebelum anak kita menjadi mukallaf (aqil baligh) dengan rerata usia biologis (secara fiqh) sekitar 14 tahun. Sebelum nanti pada kelanjutan usianya sang anak (dengan bantuan/arahan kita) meneruskan perjalanannya dalam membina diri untuk lebih menancapkan, memperkuat dan melejitkan lagi kualitas kepribadian islamnya.

Sebagai tambahan informasi, Bill gate dan steve Jobs sendiri sebagai inventor dan pendiri industri teknologi digital/komputer dunia menegaskan bahwa anak seharusnya TIDAK dibolehkan memiliki ponsel pintar atau sebelum usianya 14 tahun. Sebuah rekomendasi yang hari ini diamini oleh pakar parenting dan ahli teknologi, yang diperkuat oleh hasil penelitian mutakhir yang juga telah membuktikan bahwa membiarkan anak menyentuh teknologi terlalu dini bisa berdampak buruk.


4. Ketika dirasa memang sudah dibutuhkan gadget untuk berkomunikasi dengan anak-anak, berikanlah kepada mereka handphone dengan fitur standar, khusus untuk menelepon dan sms saja, bukan smartphone. Hal itu akan lebih memudahkan anak-anak kita menghindarkan diri dari berlama-lama melihat/menggunakan gadget tanpa ada keperluan.


5. Untuk anak-anak usia sekolah dimana mulai dibutuhkan akses internet untuk proses belajar mereka, maka berikanlah akses tersebut dengan orang tua sebagai pengendali pasokan jaringan internet bagi mereka, dan dampingi mereka dalam mengakses apa yang mereka cari/butuhkan. Kuota akses diberikan dalam bentuk jaringan wifi bersama di rumah, bukan di gadget pribadi mereka, dengan tempat mengaksesnya dilakukan di ruang keluarga (bukan di kamar tidur mereka) sehingga mudah bagi orang tua untuk memantau aktivitas mereka. Meletakkan dan membiarkan televisi, komputer maupun smartphone (diakses) di kamar tidur anak akan menciptakan kondisi ‘bedroom culture’ yang akan menjadi masalah tersendiri bagi kita kelak. (Sementara ini silakan cari sendiri apa itu bedroom culture.)


6. Pastikan konten yang diakses anak-anak kita steril dari pornografi. Karena pornografi itu sendiri memiliki mekanisme tersendiri untuk memunculkan kondisi kecanduan bagi pengaksesnya. Secara teknis, kita bisa menggunakan setting ‘ramah anak’ pada gadget yang mereka gunakan, termasuk melengkapinya dengan berbagai aplikasi (seperti kakatu/sejenis) untuk membantu mencegah anak-anak kita ‘tersesat’ mengakses konten-konten yang ‘berbahaya’ bagi mereka.


7. Tetapkan/beri batasan waktu ketika mereka menggunakan smartphone, dan tegaslah dengan batasan itu.


8. Alihkan perhatian atau kecenderungan anak-anak pada gadget kepada hal-hal lain (baik berupa aktivitas/kegiatan/prasarana) yang tidak hanya menyibukkan mereka hingga teralihkan dari gadget, namun juga sangat mereka butuhkan dalam membangun maupun memperkuat kepribadian islam mereka, seperti kegiatan olahraga yang akan memperkuat fisik mereka, melengkapi kebutuhan mereka akan buku-buku bergizi dan menarik yang hari ini sesungguhnya relatif sangat mudah kita dapatkan.


9. Bagaimanapun, harus kita sadari bahwa sebaik apapun kita sebagai orang tua berusaha melahirkan anak sholeh dan berkepribadian Islam, tidak akan bisa kita sempurnakan tanpa dukungan masyarakat dan sistem yang kondusif, yaitu masyarakat yang juga islami dengan kebijakan negara yang diderivasi dari sistem Ilahi.


Semoga Allah swt karuniakan kepada kita semua anak-anak yang senantiasa menjadi qurrata a’yun (penyejuk mata) dan pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Aamiin.


-Faizatul Rosyidah-

Tertarik memiliki buku seperti di gambar2 ini?
Silakan klik: http://bit.ly/FayzaBookGallery







Sabtu, 14 Februari 2015

JAMINAN OPTIMALISASI POTENSI INTELEKTUAL MUSLIMAH DALAM KHILAFAH

Faizatul Rosyidah

Perempuan terpelajar saat ini adalah segmen yang diklaim memiliki profil perempuan paling ideal oleh banyak kalangan, apalagi di mata kaum feminis. Muda, cerdas, dinamis dan berwawasan luas itulah karakter yang dikatakan mampu mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas kaum perempuan saat ini untuk menjawab seruan kemajuan dan profesionalisme. Beberapa indikator seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif, besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi, besarnya keterlibatan perempuan di ranah decision making / pengambilan kebijakan sebagai bagian dari pejabat publik, atau perempuan yang sukses berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang hari ini dijadikan standar keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan perempuan, termasuk kaum terpelajarnya. Betulkah demikian?


Derita Perempuan Terpelajar dalam Naungan Kapitalisme


Pada realitanya, rangkaian kebijakan ini harus diakui bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan, namun sebaliknya telah menciptakan suasana kondusif dan arus yang menggiring dan memaksa kaum perempuan terpelajar menghadapi setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik. Sekalipun pada mulanya pendorong para perempuan terpelajar tersebut terjun ke berbagai peran publik di masyarakat adalah idealisme untuk menyumbangkan pemikiran, kemampuan, keahlian dan kepedulian untuk merubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik, adil dan mensejahterakan semua, namun tidak bisa dipungkiri, pada perjalanan berikutnya arus besar yang mendominasi kehidupan masyarakat hari ini telah memaksa mereka harus berhadapan dengan dua bahaya di atas.
Kapitalisme dunia telah berhasil menciptakan ilusi yang diaruskan secara global hingga ke negeri-negeri muslim. Melalui penerapan nilai-nilai Kapitalisme dan liberalisme, ilusi ini mendorong para perempuan untuk bekerja agar mereka merasa berharga. Level perempuan ditentukan sesuai dengan nilai kekayaan yang mereka hasilkan. Arus materialisme yang inheren dalam kapitalisme secara langsung maupun tidak langsung telah ‘mengajari’ siapapun yang ada di dalamnya (termasuk para perempuan) untuk menjadi lebih materialistik dengan profesi yang digelutinya sehingga bahkan terkadang menyempitkan motivasi seorang profesional muslimah hanya demi uang dan status semata dan menghilangkan mentalitas pengabdian yang tulus. Demikian juga, derasnya tuntutan untuk menjadi profesional secara totalitas, yang diukur menggunakan standar kerja yang ditetapkan oleh instansi/ perusahaan, yang bukan hanya tidak sesuai namun seringkali bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam, telah dan akan membuat peran-peran perempuan lain yang lebih penting dalam kehidupannya menjadi terabaikan. Profesionalisme yang berkembang saat ini meminta semua orang (termasuk para perempuan terpelajar) untuk menjadikan profesi (pekerjaan) di atas segala-galanya. Atas nama profesionalisme seorang perempuan terpelajar yang juga istri dan ibu, dituntut untuk rela pulang larut malam demi menuntaskan deadline pekerjaannya, meskipun  mengabaikan kewajibannya terhadap anak dan suaminya. Atas nama profesionalisme, loyalitas mereka lebih dibentuk kepada sistem nilai dari lembaga/instansi tempat mereka bekerja daripada sistem nilai yang terpancar dari aqidah mereka (halal/haram). Bagaimana mereka berpakaian, berdandan, bertingkah laku, berinteraksi, mengambil keputusan, menetapkan skala prioritas hingga bagaimana perasaan yang harusnya mereka miliki diarahkan oleh tata nilai tersebut atas nama profesionalisme.
Kapitalisme telah mengobarkan perang terhadap peran keibuan, merampok waktu para ibu bersama anak-anak mereka serta mengorbankan tugas penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik generasi masa depan. Kapitalisme telah memberikan label harga kepada perempuan, menjadikan mereka layaknya budak ekonomi, dan memperlakukan mereka seperti obyek untuk menghasilkan kekayaan. Kapitalisme telah memanfaatkan bahasa ‘pemberdayaan perempuan’ untuk mengeksploitasi perempuan!
Alhasil, bisa kita lihat berbagai implikasi dari kemajuan semu yang mereka klaim. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free seks, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema perempuan karir, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari gagasan pembebasan perempuan dan pengarusutamaan gender. Hal ini terjadi karena kesalahan cara pandang terhadap perempuan serta kesalahan dalam menarik akar masalah perempuan sehingga mengakibatkan kian rancunya relasi dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan. Boleh jadi gagasan ini nampaknya menjadi jalan keluar persoalan ekonomi dan kesejahteraan perempuan, namun di saat yang sama ternyata memberi dampak yang lebih membuat perempuan, keluarga dan masyarakat di ambang keruntuhan akibat ancaman keamanan dan kehormatan seperti merebaknya pelecehan, kekerasan, eksploitasi, terlalaikannya peran keibuan (sebagai pendidik generasi), ketidakharmonisan relasi suami-istri, hingga perceraian, akibat perempuan terlalu disibukkan oleh aktivitas mengais kue-kue  ekonomi.
Bahaya kedua yang terpaksa harus dihadapi para perempuan terpelajar ini juga tidak kalah destruktifnya, bahkan menimbulkan multiply effect. Penerapan sistem pendidikan yang juga kapitalistik, telah menjadikan pendidikan hari ini layaknya barang dagangan atau komoditas karena lebih berorientasi pasar daripada kemaslahatan masyarakat. Beberapa kebijakan yang mengokohkan otonomi kampus, misalnya, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industry sebagaimana di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia. Pendidikan tinggi di Negara-negara tersebut memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Sehingga wajar, WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier.
Pada tingkat lanjut, dampaknya adalah kehancuran peran intelektual terpelajar dan jatuhnya kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi dan buruh murah yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan ilmu pengetahuan dan para pemilik ilmu pengetahuan pada derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam negeri ini. Undang-undang (UU) penanaman modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, adalah sekian dari hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalangan Intelektual dalam sistem kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang yang rusak, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu dalam rangka menghapus dosa-dosa para kapitalis dari berbagai kerusakan yang mereka perbuat, tanpa boleh melakukan kritisi dan koreksi terhadap kesalahan yang sudah dilakukan para kapitalis tersebut. Mereka pula yang telah memberi pertimbangan kepada para penguasa agar menandatangani perjanjian perdagangan bebas, menjual sumberdaya alam kita yang vital, mengambil pinjaman IMF, menerima reformasi ekonomi beracun, dan membentuk ekonomi kita ke arah yang menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional daripada rakyat. Alhasil, mereka terlibat dalam kepemimpinan gagal yang menerapkan sistem yang juga gagal hari ini.
Walhasil, dua bahaya ini akan selalu membayangi kehidupan perempuan terpelajar dalam system kapitalisme. Mereka akan terus menerus berada di bawah dilema antara tekanan profesionalitasnya dengan idealisme dedikasi ilmu yang dimilikinya, juga dilema antara tuntutan kesejahteraan dan peran kodratinya sebagai perempuan.


Peran Strategis Intelektual Muslimah dalam Peradaban Islam

Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang Sebagai seorang perempuan yang memiliki kelebihan ilmu pengetahuan dan keahlian/kepakaran tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakatnya, intelektual muslimah memiliki perpaduan posisi dan peran strategis paling tidak sebagai berikut: (1) Sebagai ibu, sekolah pertama dan utama bagi anak, (2) Sebagai ibu dan pembina generasi, (3) Sebagai pengemban dakwah dan pejuang Islam, terutama di komunitas alaminya, (4) Sebagai penyedia konsep penyelesaian berbagai problematika masyarakat, (5)  Sebagai Opinion leader dan opinion maker dan (6) Sebagai bagian dari pressure group/kelompok yang melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat


1. Intelektual Muslimah: Ibu, Sekolah Pertama dan Utama bagi Anak
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan, kemudian menyusuinya selama 2 tahun, serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang terbesar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun) dibandingkan orang lain. Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah orang yang paling dekat dengan anak sejak dalam kandungan dan awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sementara ayah meski juga memiliki peran dan tanggung jawab dalam proses pendidikan dan pembentukan kepribadian anak, tidak memiliki kesempatan sebesar ibu. Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengar anak, pemandangan apa yang pertama kali dilihat anak, hingga kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali berbicara adalah ibu sebagai guru pertama dan utama yang mengajarkannya. Lingkungan pertama yang masuk ke dalam 'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah rumahnya, apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama kali akan direkamnya, termasuk profil pertama yang dikenalnya yaitu ibunya adalah sumber belajar utamanya. Oleh karena itu ibulah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak-anaknya.

2. Intelektual Muslimah: Ibu Generasi (Ummu Ajyaal)


Dalam kaitannya dengan generasi, peranan kaum intelektual muslimah sangat penting sebagai bagian integral dalam menjamin masa depan generasi cemerlang. Sebagai seorang ibu, intelektual muslimah tentu saja tidak hanya akan sedih ketika melihat anak kandungnya mengalami gizi buruk karena kemiskinan, terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya, ataupun mendapati berbagai kerusakan pergaulan mengancam kehormatan dan kemuliaan mereka. Namun kesedihan yang sama akan mereka rasakan ketika mendapati siapa saja anak dari umat dan bangsa ini mengalami hal tersebut. Hanya saja dengan kapasitas keilmuannya, intelektual muslimah memungkinkan untuk lebih mampu berkontribusi secara langsung sebagai ibu generasi dalam ruang lingkup yang luas di berbagai bidang. Mulai dari menjadi para pendidik generasi secara langsung di ruang publik, seperti menjadi guru, ustadzah, dosen, trainer, fasilitator, narasumber forum-forum kajian ilmu pengetahuan dan sejenisnya yang memungkinkan intelektual muslimah melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat sehingga akan lahir generasi kuat yang berkepribadian Islam sekaligus menguasai bidang ilmu dan skill tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Selain itu para intelektual muslimah juga bisa melaksanakan posisi dan perannya sebagai ibu generasi dengan terlibat/memberi masukan dalam penyusunan kebijakan yang tepat bagi generasi, maupun melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak tepat atau bahkan membahayakan generasi.

3. Intelektual Muslimah: Pengemban Dakwah dan Pejuang Islam


Sebagai seorang muslim, sebagaimana muslim manapun, seorang intelektual muslimah adalah juga seorang penyeru kebenaran (Islam), yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tersebar di tengah masyarakatnya. Dengan ketinggian penginderaan dan ketajaman analisanya, maka seorang intelektual (muslimah) akan menjadi kelompok di tengah masyarakat yang bisa memahami apa sebenarnya akar persoalan yang sedang dihadapi masyarakatnya, apa solusi yang harus diambil, dan selanjutnya mereka pun akan menjadi pemimpin dalam melakukan perubahan ke arah perbaikan tersebut. Bersama dengan intelektual yang lain, tokoh-tokoh masyarakat dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat mereka secara bersama-sama bersinergis dalam mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam menjalankan amanahnya. Mereka pun berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, melalui pembinaan secara jama’iy (tatsqif jama’iy) dan pembinaan secara intensif (tatsqif Murakkazah), agar umat juga berani mengingatkan pemimpinnya. Intelektual Muslimah yang telah memperoleh kesadarannya dengan baik, wajib menjadi da’iyah (pengemban dakwah) di komunitas alaminya, maupun di tengah masyarakat secara umum.

4. Intelektual Muslimah: penyedia konsep penyelesaian berbagai problematika masyarakat


Agar seorang intelektual muslimah bisa mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka ada tiga hal yang harus senantiasa melekat pada dirinya yaitu memiliki kepakaran/keahlian tertentu sesuai dengan bidang yang dikuasainya, memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat (apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya), dan memahami ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Dengannya, seorang intelektual muslim bisa memberikan konsep solusi yang tidak hanya yang bersifat praktis dan pragmatis saja, namun lebih mendasar adalah solusi pada tataran ideologi yang akan membentuk system kehidupan lebih luas.
Sejak masa Nabi Muhammad saw., kaum perempuan telah berpartisipasi dalam menyebarkan ilmu dan membangun masyarakat. Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam kitabnya Al-Ishâbah fi Tamyîz Ash-Shahâbah menulis biografi 1543 shahabiyah, di antara mereka ada ahli fikih, ahli hadits, dan ahli sastra. Beberapa shahabiyah tercatat sebagai guru bagi para sahabat maupun tabi'in, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Ummu Habibah, Hafshah, Asma' binti Yazid binti As-Sakan, dan sebagainya.
Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak perempuan muslimah yang terlibat, namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang perempuan astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis). Di wilayah Islam bagian barat, Fathimah Al-Fihriyyah Ummul Banin membangun Universitas Al-Qurawiyyin di Fez pada abad III H. Universitas ini menjadi universitas Islam pertama di Dunia Islam, bahkan di seluruh dunia. Fathimah Al-Fihriyyah adalah seorang alim yang dihormati banyak orang.


5. Intelektual Muslimah: Opinion Leader dan Opinion  Maker

Di tengah derasnya arus informasi dengan beragam opini yang ditawarkan di tengah masyarakat, seorang intelektual muslim yang diberikan Allah SWT kemampuan berfikir, kesempatan dan kemudahan untuk mengakses beragam informasi, kebiasaan untuk senantiasa berfikir kritis, memilah dan memilih informasi yang benar dan kuat dari informasi yang salah dan lemah, posisi dan lingkungan kondusif untuk melakukan diskusi analitik yang sehat, diikat dengan sudut pandang khas Islam yang (mestinya embedded) dimilikinya, menjadikannya selayaknya dan seharusnya mengambil porsi dan peran sebagai Opinion leader dan opinion maker di tengah masyarakat. Terlebih, secara alami, kelebihan ilmu pengetahuan yang dimilikinya menjadikannya sebagai pihak yang sangat didengar dan dipercaya oleh masyarakat luas. 
Hari ini pun kita bisa melihat, tidak sedikit para intelektual muslim yang dijadikan sebagai corong opini dan legitimator ilmiah kebijakan rezim status quo, padahal jelas-jelas kebijakan tersebut jika ditakar dengan sudut pandang Islam merupakan kedloliman yang nyata.
Maka intelektual muslim yang menguasai/memiliki sudut pandang yang tertunjuki wahyu jelas lebih layak dan seharusnya memimpin  dan memproduksi opini dan analisis untuk membangun kecerdasan dan kesadaran politik masyarakat. 



6. intelektual Muslimah: Bagian dari pressure group di Masyarakat


Kekuatan iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para intelektual adalah modal potensial untuk menjadikan mereka secara komunal (berjamaah) menjadi komunitas yang memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan penguasa. Posisi tersebut bisa sebagai pemberi masukan bagi kebijakan yang akan diambil, maupun sebagai kelompok yang tidak hanya mampu melakukan kontrol dan koreksi atas kebijakan penguasa yang tidak tepat, namun juga menekan penguasa untuk segera mengakhiri kedloliman yang mereka lakukan (sebagai pressure group). Termasuk intelektual muslimah yang akan menjadi komunitas yang dianggap lebih layak untuk memberi masukan seputar persoalan perempuan, keluarga maupun generasi.
Pada masa Khalifah Rasyidah, Umar bin Khattab ra., Umar memberikan Khutbah di dalam masjid, membatasi mahar. Seorang perempuan berbicara di dalam masjid dan mengoreksi opini Umar ra. tentang mahar, menanyainya bagaimana dia bisa membatasi sesuatu ketika Allah SWT telah membolehkannya. Umar ra setuju dengan perempuan itu bahwa dia benar dan Umar salah, dan dia tarik kembali pengumumannya. Perempuan ini tidak takut pada Umar ra., meskipun dia adalah seorang Khalifah. Ketika dia memahami bahwa Umar salah, dia memprotesnya, memenuhi fardhu yang ditetapkan Allah SWT atas kita.
Terdapat banyak contoh lain kekuatan para perempuan muslimah dalam berbicara untuk menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang mungkar di area publik maupun privat. Asma binti Abu Bakar ra tercatat oleh sejarah senantiasa menyatakan kebenaran, hingga ketika dia sudah berusia renta tetap menyampaikan penentangannya terhadap pemerintah Hajjaj bin Yusuf yang dlolim.


Khilafah Islam Menjamin Optimalisasi Potensi Intelektual Muslimah

Di dalam peradaban Islam, laki-laki muslim dan perempuan muslimah sepanjang sejarah selalu bekerjasama dalam membangun keilmuan dan peradaban masyarakat. Tidak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah-masalah prinsip dan sama sekali tidak ada diskriminasi laki-laki terhadap perempuan, seperti yang sering dituduhkan Barat terhadap Islam.
Sesungguhnya Islam telah datang dengan seperangkat aturan yang berfungsi sebagai mu’alajah musykilah (solusi bagi setiap persoalan manusia). Sekecil atau sebesar apapun bentuknya, siapapun orangnya dan dimanapun dia berada, Islam memiliki solusinya. Yaitu berupa syariat Islam yang berisi aturan-aturan (baik mekanisme maupun sistem) yang berasal dari Allah SWT, sang Pencipta manusia dan alam seisinya. Sebuah solusi yang pasti pas untuk manusia karena berasal dari Dzat Yang paling Tahu hakikat manusia. Allah SWT sendiri juga menegaskan bahwa konsekuensi keimanan seseorang kepada-Nya adalah dengan mengambil Syariah (pengaturan)-Nya sebagai solusi kehidupan, dan menerimanya dengan sepenuh hati.
”Maka Demi Tuhanmu sungguh mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu (muhammad) sebagai hakim (pemutus) segala persoalan yang mereka perselisihkan, kemudian tidak kamu dapati pada diri mereka rasa keberatan sedikitpun atas kepeutusanmu, dan mereka menerimanya dengan sepenuh hati. (TQS. An Nisa: 56).
 Lebih lanjut Allah SWT mejelaskan bahwa kemuliaan hamba-Nya ditentukan dari sejauh mana mereka mau tunduk dan taat pada syariah-Nya tersebut, dan bukan pada apa posisinya. Apakah pemimpin atau rakyat, suami atau istri, anak atau orang tua, semua bisa menjadi orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah ketika mereka melaksanakan tanggung jawab mereka masing-masing dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan-Nya. ”Sesungguhnya Orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian.”
 Dalam rangka mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis dan menentramkan, Islam menetapkan bahwa suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan istri adalah manajer di dalam rumah tangga suaminya. Sekalipun kepemimpinan ada pada suami tidak menjadikan suami otoriter dan menzalimi isteri. Pergaulan suami-isteri adalah sebuah hubungan yang sangat harmonis, bagaikan dua orang sahabat dekat (Shahabani) -sebagaimana dikatakan Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzam Ijtima’i fil Islam-, yang mampu mengantarkan keduanya merasakan sakinah mawaddah warahmah. Hubungan persahabatan tersebut adalah hubungan yang penuh cinta kasih dan rasa sayang (bukan seperti atasan-bawahan, majikan-buruh, dsb), dimana suami menjadi tempat berbagi ketika si istri mengalami persoalan yang tidak bisa diselesaikan sendiri dan sebaliknya. Islam mewajibkan para suami untuk memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya dan menjamin agar istri bisa melaksanakan peran utamanya –sebagai ibu (ummun) dan pengatur rumah tangga (rabbatul bait)– dengan baik. Bantuan itu bisa secara langsung dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara ma’ruf. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233: Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.”
Di dalam Islam seorang perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian dan terakhir yang bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping itu, Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan agar nafkah setiap keluarga (sandang, pangan, papan) tercukupi dengan memastikan ketersediaan lapangan kerja dan ketrampilan yang memadai bagi seluruh warga negara. Islam juga mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: pendidikan, kesehatan, keamanan secara langsung (melalui mekanisme yang dilakukan negara).
Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan kemampuan manajerial yang tinggi seperti menjadi rektor perguruan tinggi, direktur perusahaan, kepala rumah sakit, ataupun pada bidang yang hanya membutuhkan tenaga/ketrampilannya saja (seperti buruh pabrik, penjahit, dsb). Semua hasil kerjanya adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan merupakan kesunnahan untuk di shodaqohkan ke keluarga. Sementara pada sisi yang lain, Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh anak dan mengatur rumah tangga pada seorang ibu.
Demikianlah, berbagi peran dan tanggung jawab adalah suatu kelaziman. Dan hal tersebut tidak serta merta menunjukkan posisi kemuliaan. Adalah satu hal yang sangat mudah dipahami, bahwa supaya suatu organisasi bisa berjalan dan mencapai tujuannya, maka harus ada kejelasan terhadap apa peran dan fungsi masing-masing SDM di dalamnya. Sebuah organisasi yang menjadikan semua SDM yang dimilikinya berperan sebagai direktur atau pimpinan justru akan mengalami kehancuran. Begitu pula saat peran (hak dan kewajiban) dalam keluarga tidak jelas siapa penanggung jawabnya, semua dibagi rata, ditanggung bersama agar dikatakan ’adil’,  misalnya wanita dan pria masing-masing punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, sama-sama punya kewajiban mencari nafkah, sama-sama punya hak menceraikan dan sama-sama wajib beriddah, maka jangan heran kalau pada saatnya nanti kehancuran sebuah keluarga menjadi fenomena yang biasa terjadi.
Di bawah naungan penerapan Islam (Khilafah), umat akan hidup sejahtera karena Khilafah akan memenuhi hak setiap warga negaranya, baik terkait jaminan kesehatan, keamanan, pendidikan ataupun kebutuhan fisik berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal, bagi warga negaranya yang muslim maupun non muslim, laki-laki maupun  perempuan. Sungguh khalifah tidak akan membiarkan seorangpun hidup terlantar dalam kemiskinan.
Khalifah Umar bin al- Khaththab ra,berkata ,”Demi Allah, aku tidak akan merasakan kenyang, sebelum seorang muslim yang terakhir di Madinah merasa kenyang!”.  Telah terjadi pula pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana tidak seorangpun rakyatnya mau menerima zakat, karena semua merasa kaya.
Dalam bidang Pendidikan, Khilafah menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan terjangkau, berikut penyediaan segala sarana dan prasarana yang memungkinkan. Sekolah haruslah berkualitas, dalam pengertian bertarget untuk membentuk kepribadian Islam, penguasaan sains dan teknologi serta ketrampilan hidup bagi anak didikSetiap rakyat diberi peluang untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi sesuai dengan kemampuan berfikirnya (bukan kemampuan biayanya).
Dalam sistem Khilafah, umat hidup dalam ketenangan dan rasa aman, karena kholifah akan memberikan perlindungan dan pertolongan kapan saja.  Tidak dijumpai pada masa Khilafah berbagai tindak kekerasan dan pelecehan, apalagi kepada perempuan.  Telah tercatat dalam sejarah dimasa Khalifah al-Mu’tashim Billah berkaitan dengan pembelaan Khilafah terhadap kehormatan wanita. Ketika seorang wanita menjerit di negeri Amuria karena dianiaya dan dia memanggil nama Al-Mu’tashim, jeritannya didengar dan diperhatikan. Dengan serta-merta Khalifah al-Mu’tashim mengirim surat untuk Raja Amuria “…Dari Al Mu’tashim Billah kepada Raja Amuria. Lepaskan wanita itu atau kamu akan berhadapan dengan pasukan yang kepalanya sudah di tempatmu sedang ekornya masih di negeriku. Mereka mencintai mati syahid seperti kalian menyukai khamar…!”  Singgasana Raja Amuria bergetar ketika membaca surat itu. Lalu wanita itu pun segera dibebaskan. Kemudian Amuria ditaklukan oleh tentara kaum muslim.
Demikian pula dalam bidang kesehatan, Negara Khilafah Islam memberikan jaminan pelayanan kesehatan gratis lagi berkualitas bagi setiap inidividu masyarakat. Tercatat pada masa kegemilangan peradaban Islam, hampir di setiap kota, termasuk kota kecil sekalipun, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai, di samping tercukupinya peralatan medis dan obat-obat yang dibutuhkan.
Suksesnya penyelenggaraan pendidikan murah dan berkualitas, dan jaminan kesehatan ini tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan keuangan yang efektif oleh Kholifah. Adalah baitul maal dengan beragam pos pemasukan yang ditetapkan syariah akan memiliki pos pendapatan yang besar yang memungkinkan Kholifah menyusun porsi dana pendidikan dan kesehatan yang besar.
Dalam aspek pergaulan dan kehidupan sosial, daulah khilafah mengatur sistem sosial yang mampu melindungi perempuan dan generasi dari kehancuran. Sistem sosial yang diterapkan adalah sistem yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan syariat Islam dan bukan liberalisme yang telah nyata menjerumuskan manusia kedalam kebebasan berfikir, berpendapat, kebebasan kepemilikan dan tingkah laku. Syariat Islam tidak mengekang manusia untuk memenuhi naluri seks, akan tetapi mengaturnya dengan pengaturan yang sempurna, dimana hubungan seks boleh dilakukan dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keturunan demi kelestarian jenis manusia. Penyaluran seks diluar pernikahan merupakan tindak kemaksiatan dan dosa sehingga sistem sosial Islam juga mencegah dan menutup jalan yang memungkinkan ke arah itu. Suasana di masyarakat senantiasa dijaga dalam keadaan bersih dari pornografi dan pornoaksi dalam dunia nyata maupun maya. Aturan Islam di kehidupan umum diberlakukan, yaitu kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan untuk menutup aurat, bagi perempuan untuk memakai pakaian syar’I yang sempurna (jilbab dan khimar) ketika keluar rumah, perintah menundukkan pandangan, larangan berkhalwat, memisahkan laki-laki dan perempuan dalam kegiatan umum dan menjaga setiap interaksi yang terjadi di dalamnya sebagai bentuk taawun (kerjasama) dalam merealisir kemaslahatan bersama, sembari menutup celah terjadinya interaksi yang bersifat seksual di kehidupan umum.
Khilafah akan menerapkan sistem sanksi Islam bagi pelanggar segala tindak kemaksiatan, baik kategori hudud (pelanggar hak Allah : zina, liwath, qadzaf, mencuri, murtad, pembegal, dan pemberontak) ataupun jinayat (pelanggaran terhadap nyawa dan tubuh manusia). Demikian pula dengan pelanggaran sistem sosial, seperti tidak menutup aurat ketika keluar rumah, berkhalwat, suami yang tidak memberi nafkah, tindak pelecehan dan pencemaran nama baik dll.  Dalam hal ini akan dikenai hukuman ta’zir (sesuai dengan ijtihad dari kholifah).
Inilah sistem yang benar-benar akan membuat kemiskinan, eksploitasi dan perbudakan menjadi sejarah. Sistem ini tidak pernah mentoleransi adanya kelaparan pada rakyat, meski untuk satu hari saja. Sistem ini akan membangun pertumbuhan yang berkelanjutan, membangun ekonomi di atas kekayaan, dan bukan hutang. Sistem ini akan menghilangkan pengangguran massal, membangun pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas yang gratis, menciptakan sebuah ekonomi yang benar-benar adidaya berbasis industri dan kemajuan teknologi sehingga benar-benar akan memberdayakan rakyatnya. Pengaturan dan penetapan kebijakan dalam industrinya tidak serta merta menjadikan keuntungan materi dengan berbagai indikator profesionalisme yang bertentangan dengan Islam sebagai kebijakan.
Sehingga di bawah naungan Khilafah dan peradaban Islam inilah, para intelektual muslimah (dan perempuan lainnya) akan mudah merealisasi idealismenya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, keahlian dan kepakaran yang dimilikinya, mengamalkan keahlian dan kepakarannya tersebut ditengah-tegah masyarakat dan juga melibatkan diri mereka dalam aktivitas mengoreksi penguasa, tanpa harus dibayang-bayangi beban sebagai pencari nafkah, ketakutan tidak bisa melaksanakan fungsi domestiknya, kekhawatiran terjun ke sektor publik karena penuh dengan suasana yang kondusif untuk terjadinya pelecehan kehormatan wanita, dsb, karena Islam sudah memberikan pengaturan rinci akan hal itu semua. Di dalam naungan khilafah mereka akan menjadi: (1) Perempuan bermartabat, yang dihormati, berdaya, dan menjadi pusat perhatian negara berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan pengaturan urusan hidup mereka. (2) Perempuan yang bekerja berdasarkan pilihannya –dan bukan karena keterpaksaan– dan mendapatkan haknya sebagai pekerja secara jelas; mendapat upah yang adil dalam jaminan lingkungan yang aman di bawah sistem sosial Islam. Interaksi mereka dengan laki-laki dipenuhi dengan kehormatan dan perlindungan. Setiap perkataan dan tindakan yang merepresentasikan bentuk pelecehan atau eksploitasi akan segera ditangani. (3) Perempuan yang dibesarkan dengan pijakan bahwa mereka adalah ibu dari umat ini. Mereka akan hidup di bawah sistem yang tidak pernah akan membiarkan mereka bekerja meski satu hari dalam rangka memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri atau anak-anak mereka. Mereka akan hidup di dalam sebuah masyarakat yang akan menunjukkan rasa terima kasih abadi kepada mereka yang telah mengasuh mereka sebagai seorang anak. (4) Perempuan yang akan membuat iri dunia karena status mereka dan akan menjadi panutan yang layak dan menginspirasi para perempuan secara global. Para perempuan terpelajar di dalam peradaban Islam akan mudah untuk tumbuh dan berkembang menjadi intelektual-intelektual yang tidak hanya tinggi keilmuannya, namun tinggi pula rasa takut pada Rabb-nya, tinggi pula semangat juangnya untuk melawan ketidakadilan. Semakin tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan persoalan umat dan tidak sibuk hanya mengejar target akademik demi kesejahteraan pribadi. Ketaatannya pada Tuhannya, menjadikannya senantiasa merasa puas dengan ketentuan dan pengaturan-Nya. Lebih dari itu, ketundukannya tersebut pula akan mengantarkan pada dioptimalkannya ikhtiarnya untuk bisa melaksanakan dan menyempurnakan porsi peran yang diembankan kepadanya: sebagai ibu dan pendidik generasi, manajer dan ratu di dalam rumah tangganya yang sakinah, dan melalui kepakaran/keahliannya masing-masing para perempuan adalah partner kaum pria untuk bersama-sama mewujudkan sebuah kehidupan bermasyarakat yang kondusif bagi terciptanya masyarakat yang penuh kemuliaan berdasarkan Islam. Mereka akan bersinergi dalam mengemban dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat dan juga dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan  penguasa yang salah. Dengannya akan tercipta masyarakat yang kondusif bagi kebaikan siapa saja yang hidup di dalamnya, termasuk anak-anak dan generasi penerus masa depan.


Seruan Untuk Intelektual Muslimah

Inilah visi Khilafah. Inilah realitas di masa lalu dan inilah yang akan terwujud kembali di masa datang ketika khilafah rasyidah kedua yang berdiri atas manhaj kenabian tegak kembali. Yang akan menunjukkan pada dunia kekuatan solusi Islam yang menjadi kenyataan ketika dilaksanakan secara nyata (praktis) dalam kehidupan.
Oleh karena itu, sekaranglah saatnya untuk mewujudkan visi baru ini di dunia Islam maupun dunia secara keseluruhan. Perlu ada tata dunia baru yang menempatkan jaminan atas kemanusiaan di atas capaian keuangan. Itulah Khilafah yang di dalamnya para perempuan di seluruh dunia benar-benar dapat melihatnya sebagai sebuah model negara yang melindungi mereka dari kemiskinan dan perbudakan, yang memandang mereka sebagai manusia yang bermartabat dan bukan sekadar obyek untuk mencari kekayaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, kami menyerukan kepada para intelektual muslimah untuk :
1. Meninggalkan kapitalisme-sekulerisme dan terus menerus melakukan upaya dekonstruksi terhadap ideologi kapitalisme-sekulerisme di tengah-tengah masyarakat, karena telah nyata bahwa kapitalisme telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri, kuat dan terdepan. Kapitalisme sudah terbukti tidak menjamin kesejahteraan tiap individu rakyat dan menyengsarakan rakyat. Juga meninggalkan perangkap demokrasi yang mengokohkan hegemoni kapitalisme global di Indonesia
2. Bergabung dalam arus perjuangan yang benar, yang berlandaskan metode dakwah Rasulullah saw untuk mengkonstruksi tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam demi tegaknya izzul islam wal muslimin. Hal ini bisa dilakukan dengan cara :
a. Terus mempelajari dan mendalami ideologi islam sebagai sebuah sistem hidup dengan bergabung dalam pembinaan islam ideologis, yang akan meningkatkan pemahaman terhadap Islam, merubah perilaku dan meningkatkan kualitas diri sebagai  seorang intelektual muslimah.
b. Berusaha meningkatkan kesadaran ideologis dengan cara selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekeliling Anda, serta kejadian politik di ranah lokal, bangsa, hingga dunia. Kemudian dianalisa berdasarkan sudut pandang aqidah dan syariah Islam
c. Terus-menerus mensosialisasikan ideologi islam dalam bentuk solusi masalah kehidupan masyarakat di manapun berada, sehingga masyarakat siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam.
d. Bergerak dan memimpin intelektual lain dan masyarakat secara umum untuk melakukan perubahan ke arah asas dan sistem Islam. Pastikan mereka bergerak karena Islam dan menuju Islam saja, dan bukan karena motif apapun lainnya.
e. Bersama dengan intelektual yang lain, menjadi pressure group bagi kebijakan pemerintah yang tidak tepat atau menyalahi syariat Islam. Termasuk menyelamatkan aset-aset umat yang tergadai kepada (penjajah) asing, untuk nantinya bisa dikelola dengan pengaturan Islam oleh khilafah.
f.  Mempersiapkan diri menjadi pakar islam ideologis yang siap melahirkan produk-produk ‘terideologisasi’ untuk kebangkitan dan kemuliaan umat. Termasuk di dalamnya adalah terlibat dalam penyempurnaan rincian perundang-undangan yang akan diterapkan segera setelah khilafah tegak, mempersiapkan diri menjadi SDM pengisi khilafah. Berkarya untuk mempersiapkan penerapan hukum syariat di berbagai bidang, berkiprah dan berkarya hanya untuk izzatul islam, negeri Islam dan kemashlahatan umat.
g. Bergabung dalam formasi barisan perjuangan penegakan syariah  dan khilafah yang rapi dan terorganisir, dengan terus-menerus mensosialisasikan ideologi islam dalam bentuk solusi masalah kehidupan masyarakat di manapun intelektual berada, sehingga masyarakat siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam, dalam rangka memperbesar kumpulan rakyat yang mengenal dan menginginkan penerapan hukum-hukum Allah

3. Kepada para tokoh perempuan dengan jaringan kontak luas yang dimiliki, wajib menggunakan posisi, kehormatan dan pengaruh yang telah Allah SWT berikan dengan membawa dakwah ini kepada semua orang yang dikenal untuk membuat dukungan bagi visi ini di tengah-tengah masyarakat.

Allah SWT berfirman: “Orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS az-Zumar [39]: 33-35). Wallahu ’alam bisshawaab.