Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Selasa, 25 Agustus 2009

HAKIKAT TAQARRUB ILALLAlAAH

Tak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilallah hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya. Sedang pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antar manusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda pemerintahan Islam, dianggap bukan taqarrub ilallah. Padahal sebenarnya tidak demikian.

Reduksi pengertian taqarrub ilallah ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama, dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua, adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub ilallah itu sendiri.

Pengertian dan Ruang Lingkup Taqarrub Ilallah

Istilah taqarrub ilallah berasal dari nash-nash syara' yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT. Antara lain hadis qudsi dari Nabi SAW bahwa Allah berfirman,"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim, Fathul Bari, 18/342; Syarah Muslim, 9/35).

Dari frase "mendekatkan diri kepada-Ku" (yataqarrabu ilaiyya) inilah kemudian lahir istilah taqarrub ilallah. Kata "taqarrub" secara bahasa artinya adalah mencari kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi taqarrub ilallah artinya secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 18/342).

Dari pengertian bahasa inilah para ulama berusaha merumuskan pengertian taqarrub ilallah secara syar'i. Para ulama, seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, menyatakan arti kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti jarak (masafah) jelas adalah mustahil. Jadi hadis Nabi SAW di atas tidak dapat diartikan menurut arti hakikinya, melainkan harus dipahami dalam arti majazinya (arti kiasan) yang telah masyhur dalam gaya bahasa orang Arab. Maka dari itu, makna syar'i dari taqarrub ilallah adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. (Fathul Bari, 21/132; Syarah Muslim, 9/35; Al-Muntaqa Syarah Al-Muwaththa`, 1/499; Syarah Bukhari li Ibn Bathal, 20/72).

Secara lebih rinci, Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam (38/9-12) menerangkan ruang lingkup taqarrub ilallah. Menurut beliau, orang yang melakukan taqarrub ilallah ada dua golongan/derajat. Pertama, orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (ada` al-faraidh), yang meliputi perbuatan melakukan yang wajib-wajib (fi'lul wajibat) dan meninggalkan yang haram-haram (tarkul muharramat), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan sholat lima waktu. Kedua, orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawafil), misalnya sholat tahajjud dan tarawih.


Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilallah bukan hanya berupa ibadah mahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan yang wajib-wajib dan yang sunnah-sunnah. Baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antar manusia. Termasuk juga taqarrub ilallah adalah aktivitas meninggalkan segala macam yang haram-haram, dan juga yang makruh-makruh. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).

Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilallah, sebagaimana sholat dan puasa. Sebab berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, membayar utang, bekerja mencari nafkah juga taqarrub ilallah, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab semuanya adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada sesama muslim adalah taqarrub ilallah, sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin Kamis, sebab semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub ilallah, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub ilallah. Tidak makan makanan yang berbau tajam sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilallah, sebagaimana tidak berbicara dalam kamar mandi. Sebab keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya.

Menerapkan Syariah Islam Juga Taqarrub Ilallah

Para ulama juga menegaskan bahwa taqarrub ilallah juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.

Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa (6/410) berkata,"Adalah suatu kewajiban, menjadikan kepemimpinan [imarah] sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan mentaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubat]. Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia hanya mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu."

Dalam kitabnya yang lain, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharfu as-sulthan] dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilallah dan infaq fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak."

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam (38/11) menerangkan,"Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilallah, adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada isteri dan anaknya."

Kemudian Ibnu Rajab Al-Hanbali menyebutkan beberapa hadis yang mendasari pernyataannya itu. Kewajiban menegakkan keadilan secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi SAW : "Setiap-tiap diri kalian adalah bagaikan penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya." (HR Bukhari & Muslim).

Adapun kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam (Khalifah) dalilnya antara lain sabda Nabi SAW : "Sesunguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah, berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya, dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang), dan kedua tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam pemerintahan mereka dan di tengah keluarga mereka, dan mereka tidak berpaling." (HR Muslim no 3406).

Rasulullah SAW juga bersabda : "Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan yang paling dekat majlisnya dengan-Nya, adalah Imam (Khalifah) yang adil." (HR Tirmidzi, no. 1250).

Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka aktivitas menerapkan Syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilallah. Bahkan, seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilallah yang paling utama [min afdhal al-qurubat].

Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilallah akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilallah secara kaffah.

Dengan kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme dan tanpa adanya Khilafah seperti kondisi saat ini, akan banyak hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak bisa dijalankan. Padahal menerapkan semua hukum Syariah Islam adalah suatu kewajiban (QS 2:208). Maka kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilallah yang kaffah. Dan selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi kerusakan belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah,"Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak." (As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, 1/174).

Urgensi Taqarrub Ilallah

Urgensi taqarrub ilallah adalah demi mencapai kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi SAW : "Dan tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim).

Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah, maka dia akan dicintai Allah. Dan orang yang dicintai Allah, akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhoan dan rahmat Allah, limpahan rizqi-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/10-12; Syarah Muslim, 9/35).

Sebaliknya orang yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah, maka dia tidak akan dicintai Allah, tak akan mendapat berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan diganti Allah dengan orang lain yang mencintai-Nya. Firman Allah SWT (artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Maidah [5] : 54)

Ibnu Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan berkata,"Dalam ayat ini terdapat isyarat seakan Allah berkata orang yang berpaling dari mencintai Kami, yang tidak mau mendekatkan diri kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan dia, dan akan Kami ganti dia dengan orang yang lebih layak mendapat karunia ini." (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian taqarrub ilallah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah baik yang wajib maupun yang sunnah (nafilah), dan dengan meninggalkan larangan-larangan Allah baik yang haram maupun yang makruh.

Taqarrub ilallah tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan meliputi pula segala ketaatan dalam interaksi antara manusia, termasuk penerapan Syariah Islam secara menyeluruh oleh seorang Khalifah dalam bingkai negara Khilafah.

Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilallah, karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai kewajiban lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah mereduksi taqarrub ilallah secara paksa, dan hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi karena telah memisahkan kekuasaan dari bimbingan agama. Wallahu a'lam. [shiddiq al-jawi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar