Oleh: Salma Nurul Izza
IBU adalah dahan pijakan anak untuk meraih pucuk kehidupannya. Bila dahan itu patah, anak akan jatuh bersamanya dan tidak akan pernah sampai di puncak.
Tidak ada yang dapat mengingkari betapa pentingnya peran sosok yang kita sebut IBU. Banyak orang besar yang tampil di kancah dunia karena peran seorang ibu. Thomas Alva Edison, tentu kita semua mengenal nama ini. Penemu besar yang memiliki ribuan hak paten. Namun tahukah Anda bahwa dia hanya mengenyam dunia pendidikan formal 3 bulan?
Thomas Alva Edison dikeluarkan dari sekolahnya karena gurunya beranggapan ia terlalu bodoh untuk bersekolah. Ibu Edison tidak mempercayai hal tersebut. Dengan gigih ia didik sendiri Edison di rumah. Lebih dari apa yang didapat Edison bila bersekolah, ibunya mengajarkan juga keuletan berjuang dan kemandirian. Di usia begitu muda, Edison berjualan koran untuk membiayai sendiri penelitian-penelitiannya. Bahkan di usia 10 tahun ia telah memiliki laboratorium sendiri. Bayangkan apa yang terjadi bila ibu Edison bersikap sama dengan gurunya. Mungkin listrik akan terlambat ditemukan. Dan itu berarti penemuan-penemuan yang terkait listrik juga akan terhambat.
Ibu Imam Syafi’i mewakili perjuangan ibu dari tokoh-tokoh agama. Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir. Ia membesarkan Syafi’i sendirian. Memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun Syafi’i sudah hafal Alquran. Guru-guru ia datangkan untuk mengajar Syafi’i, biarpun untuk itu ia harus bekerja keras untuk biaya belajar anaknya.
Sosok ibu seperti yang kita harapkan, bukanlah hal yang mudah kita temui saat ini. Zaman berubah, permasalahan dalam mendidik anak berubah, tantangan semakin berat. Namun harapan untuk menemukan sosok ibu teladan tentu tidak memudar.
Tantangan Ibu Masa Kini
Ibu masa kini memiliki tanggungjawab berat. Peran ganda yang tersandang di pundaknya, antara bekerja dan mendidik anak di rumah, membuat para ibu tertatih menjalani hidupnya. Konsep pemberdayaan ibu yang digulirkan ternyata mengundang berbagai permasalahan baru. Upaya untuk meningkatkan peluang kerja bagi ibu misalnya. Tujuan dari konsep ini adalah memberdayakan perempuan secara ekonomi sehingga membuat perempuan lebih mandiri. Namun pada faktanya peran ibu yang optimal di karier, seringkali tidak diikuti peran yang optimal di rumah
Dengan banyaknya ibu yang berkiprah di luar rumah mencari nafkah, peluang terjadinya disharmonisasi keluarga lebih terbuka. Ibu yang lelah pulang bekerja, lebih mudah mengalami gangguan emosi. Anak seringkali menjadi sasaran pelampiasan. Anak juga hanya mendapat waktu sisa, sehingga komunikasi seringkali terkendala.
Anak-anak yang terabaikan, mendekatkan mereka pada kerusakan moral, pemakaian narkoba, dan pergaulan bebas. Di Bogor, angka ketergantungan terhadap narkoba sudah mencapai 2%, padahal ambang batas yang ditetapkan untuk nasional adalah 1,2% (Pusat Penelitian UI). Bahkan beberapa waktu lalu sebuah stasiun TV melansir penelitian di Jakarta, 800 siswa SD terlibat narkoba!
Penelitian seks bebas di kota-kota besar : Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya menunjukkan angka-angka yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak. Survei yang dilakukan pada 450 responden berusia 15-24 tahun mengatakan bahwa 16% responden berhubungan seks pada usia 13-15 tahun dan 44% berhubungan seks pada usia 16 - 18 tahun (Lembaga Penelitian Synovate, September-Oktober 2004).
Hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), menyatakan pula bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Penelitian pada 2005 itu dilakukan terhadap2.488 responden di Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang, Palembang, dan Kupang.
Sedangkan berdasarkan survey BKKBN 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah berhubungan seks. Sebanyak 21% Di antaranya melakukan aborsi. Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, data itu merupakan hasil survei oleh sebuah lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada 2008.
Kita jadi bertanya-tanya, ada apakah dengan anak-anak kita? Bila kita kaji dengan cermat, pertanyaan ini sebenarnya salah alamat. Anak-anak kita adalah anak-anak yang sama dengan kita sewaktu masih anak-anak. Yang membedakan antara kita dan anak-anak kita sekarang adalah lingkungan yang tidak sama. Dulu di zaman kita tidak ada media massa yang bebas mengumbar pornografi. Tidak ada vcd porno yang dijual bebas di mana-mana. Tidak ada tayangan film sadis yang penuh dengan kekerasan. Dan terutama lagi, dulu kebanyakan kita masih didampingi oleh ibu.
Apa hubungannya dengan ibu? Ya, dulu ibu kita masih banyak punya waktu untuk mendidik kita, mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menunjukkan mana yang salah. Ibaratnya kita masih memiliki perisai yang melindungi kita dari berbagai hal buruk yang terjadi di sekitar kita.
Sekarang, anak-anak kita tidak memiliki perisai itu. Ibu-ibu saat ini lebih banyak yang menghabiskan waktu di luar rumah mencari uang. Atau kalaupun di rumah, ibu-ibu tersibukkan dengan berbagai tayangan televisi seperti sinetron,telenovela dan infotainment. Alih-alih anak dilindungi dari tayangan yang tidak mendidik, malahan anak-anak diajak ikut nonton, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi.
Bukan hal yang mengejutkan lagi bila Direktur Eksekutif PKBI, Inne Silviane menyatakan ternyata sebagian hubungan seks bebas remaja dilakukan di rumah! Entah kemana ibu mereka.
Peran Ibu
Berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu terakhir ini, terasa pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran ibu mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami.
Padahal, fakta membuktikan bahwa peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. Masa-masa 0-6 tahun bagi anak adalah masa keemasan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, otak anak terbentuk sampai 80 %, kecerdasan dan dasar-dasar kepribadiannya mulai terbentuk. Karena itu, masa ini membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang.
Pembantu atau pengasuh bayi tentu jauh dari kriteria itu. Tempat Penitipan Anak atau kelompok bermain yang diikuti anak juga tidak dapat memberikan stimulasi optimal. Tempat ini dirancang untuk menangani banyak anak, sehingga kebutuhan individu anak akan kasih sayang tidak terpenuhi seperti bila ibu yang intens mengasuhnya. Kasih sayang adalah salah satu makanan otak, yang membuat otak berkembang optimal selain gizi dan stimulasi.
Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi kasih sayang kepada orang lain.
Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah. Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya.
Kasih sayang yang tulus dan berlimpah tentulah datang dari seorang ibu. Pemahaman yang utuh terhadap anak juga tentu datang dari ibu. Bila fungsi ibu terabaikan karena ibu harus keluar rumah, maka adakah fungsi ini akan tergantikan?
Dilema Ibu
Berperan sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun, ibu dihadapkan pada banyak tantangan.
Tantangan terbesar tentu faktor ekonomi. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, membuat para ibu turun tangan ikut bekerja.
Kondisi ini membuat anak-anak tumbuh tanpa kontrol dan pendidikan yang tepat. Tidak ada yang peduli apa yang ditonton anak dan apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Orangtua hanya bisa terkejut saat anak ketahuan terlibat masalah serius atau menjadi korban. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, atau kasus kriminal.
Tantangan kedua adalah pengetahuan ibu terhadap pendidikan anak. Berapa banyak ibu yang hanya tinggal di rumah namun tidak mampu mendidik anak dengan baik. Ia tidak mengenal potensi yang dapat dikembangkan pada anak dan bagaimana mengembangkannya.
Lebih parah adalah ibu yang bekerja dan sekaligus tidak mampu mendidik anak. Ibu-ibu semacam ini tidak memiliki target dalam mendidik anak. Anak dibiarkan seperti air mengalir, terserah mau jadi apa nantinya.
Kondisi ibu semacam ini tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan generasi unggul. Pemerintah seharusnya memiliki kepedulian yang besar dalam masalah ini. Bukankah generasi unggul yang dapat melepaskan bangsa ini dari krisis yang terus membelit? Apakah kita akan bertahan dengan berbagai kerusakan yang melanda bangsa ini? Pepatah bahkan mengatakan bahwa pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang berhasil mencetak pemimpin yang lebih baik.
Selama ibu masih harus disibukkan dengan mencari nafkah, selama ibu masih tidak memahami pendidikan anak, selama itu pula generasi unggul tidak akan lahir . Bangsa kita akan terus terpuruk tidak mampu bangkit.
Tugas pemerintah adalah menjamin agar ibu bisa menjalankan peran keibuannya dengan sempurna. Bukan malah mendorong ibu untuk bekerja keluar rumah, bahkan keluar negeri dengan memberikan julukan pahlawan devisa. Itu sama artinya negara ini tengah menjual masa depannya.
Tugas negara pula untuk menjamin pendidikan para ibu. Pendidikan dengan kurikulum yang tepat. Agar para ibu tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya. Namun sesungguhnya, ibu punya tanggungjawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Maka, tidak salah kalau dikatakan perempuan adalah tiang negara. Bila tiang itu roboh, maka tunggulah waktu keruntuhan negara.[]
*Penulis adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.
Konsultan Pendidikan Anak, Remaja dan Keluarga. Mitra Mewujudkan Profil Muslimah Mulia: Istri Sholihah, Ibu Pencetak Generasi Berkualitas dan Pejuang Islam
Tempat berbagi
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
Minggu, 27 Desember 2009
Selasa, 22 Desember 2009
Menguji Cinta dan Keikhlasan (dalam Kehidupan Pernikahan)
oleh Yeni Suryasusanti
Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.
Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibu saya.
Ah... betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.
Sejak 1 tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, "Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?"
Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. "Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum... kok ribet banget sih..." protes saya gusar. "Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."
Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.
Saat itu, "Suami ideal" bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya.
Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.
Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan mengajukan argumentasi.
Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung... dan kecewa...
Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya... Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah : "Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?".
Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah? Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah "betapa tidak adilnya Islam pada wanita"... Astaghfirullah... Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu...
"Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepada saya.
"Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata, '"tapi". Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.
Tahun demi tahun kami lalui... Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.
Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?
Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).
Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.
Saya pun mulai belajar menjadi "paranormal" - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan :D - dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya - dari berbagai kejadian.
Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata... Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.
Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya...
Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami... membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan...
Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.
But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu.
Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.
Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.
Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri. Dan... masih banyak lagi.
Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti...
Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.
Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya pribadi :D, saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya...
Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan...
Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.
Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.
Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya. berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?
Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya.
Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita... Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.
Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.
Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad ...
Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak?
Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.
Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula... Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya...
Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas... Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.
Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, "Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.
Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, "Ya, saya ikhlas mengerjakannya.", sambil tersenyum pula.
Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.
Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya...
Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...
Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan...
Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia...
Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti
Hari ini sebelas tahun yang lalu, saya sedang menjalani perawatan pengantin di Puri Ayu Graha Indorama Kuningan, sebagai persiapan pesta pernikahan kami yang akan berlangsung tanggal 11 Oktober 1998.
Saat itu usia saya belum genap 24 th, dan seperti umumnya wanita muda, rasanya persiapan "fisik" terasa lebih penting bagi saya, dari pada pembekalan "mental" yang diberikan oleh Ibu saya.
Ah... betapa naifnya saya saat itu, menganggap bahwa saya sudah kenal betul karakter calon suami saya hanya karena kami sudah berteman lama sebelum memutuskan untuk menikah.
Sejak 1 tahun sebelum menikah, setelah diadakannya pertemuan antar dua keluarga inti kami, setiap saya hendak melangkahkan kaki keluar rumah, Ibu selalu bertanya, "Yeni, sudah kasih tau Fahly kalau mau pergi?"
Sungguh, saat pertanyaan itu selalu membuat saya sebal. "Kenapa sih, Bu? Jadi suami aja belum... kok ribet banget sih..." protes saya gusar. "Karena semua pembelajaran perlu proses. Haram langkah seorang istri keluar rumah tanpa izin suami. Yeni akan kaget nanti, dan pasti akan sering lupa meminta izin, kalau baru menerapkannya setelah menikah."
Mengingat percakapan yang terjadi berulang kali dan sepanjang tahun itu, sungguh saya sangat bersyukur memiliki seorang Ibu yang tidak pernah putus asa mendidik putri bungsunya yang keras kepala ini, yang saat itu sangat percaya bahwa pernikahan yang baik adalah pernikahan modern yang menjunjung kesetaraan kedudukan antara suami dan istri.
Saat itu, "Suami ideal" bagi saya adalah suami yang bisa berkomunikasi dengan baik, tegas, bisa menghargai saya, mencintai orang tua dan keluarga saya, mau bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, bla bla bla... segala hal positif lainnya.
Setelah menikah, saya menemukan kenyataan bahwa pernikahan ternyata tidak sesederhana anggapan saya sebelumnya, dan suami yang telah lama saya kenal sebagai teman, ternyata tidak semudah itu dimengerti karakternya.
Suami saya yang dulu sangat saya kagumi kemampuan berkomunikasinya saat kami masih bersama-sama berkecimpung di organinasi kami masing-masing di kampus, yang piawai dalam argumentasi dan mampu menengahi banyak masalah pelik di organisasi kepemudaan, ternyata diam seribu bahasa pada suatu saat, ketika saya membantahnya dengan mengajukan argumentasi.
Padahal saya berharap kami akan berdiskusi untuk mencari jalan tengah dari permasalahan kami.
Hari demi hari berlalu, satu demi satu, kekurangan suami muncul di depan mata saya. Saat itu, saya pun menjadi bingung... dan kecewa...
Di tahun-tahun awal pernikahan kami, kata adil dalam kamus saya adalah satu-satu, aksi-reaksi, jika saya bisa maka kamu juga seharusnya bisa, jika kamu tidak suka maka demikian juga saya... Dan pertanyaaan yang sering muncul di kepala saya adalah : "Mengapa seorang suami boleh pergi begitu saja, sedangkan istri haram langkahnya tanpa izin suami?".
Mengapa seorang suami pulang kerja bisa dengan leluasa pergi hang out dulu, sedangkan istri harus buru-buru pulang untuk mengurus anak dan rumah? Dan berbagai kata "Mengapa" bermunculan saat saya mempelajari dengan setengah hati bagaimana menjadi istri shalihah, sehingga yang saat itu muncul dalam pikiran saya adalah "betapa tidak adilnya Islam pada wanita"... Astaghfirullah... Semoga Allah mengampunkan prasangka buruk saya dulu...
"Yeni, jangan kamu lihat kekurangan suamimu... lihat kelebihannya saja..." nasehat Ibu kepada saya.
"Yeni, belajarlah untuk ikhlas. Ikhlas berarti kamu bisa menerima semua kekurangan suami tanpa ada kata, '"tapi". Jadikan pernikahan kamu sebagai ibadah..." ucapan seorang sahabat wanita yang sudah saya anggap kakak, mencoba mengetuk hati saya.
Tahun demi tahun kami lalui... Saya pun membuktikan bahwa berada di lingkungan yang positif mempengaruhi kita untuk berpikiran positif juga. Berada di lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi mahligai pernikahan membuat saya tidak gampang menyerah saat menemukan perbedaan prinsip dalam beberapa aspek kehidupan kami.
Wejangan tak putus dari Ibu saya, yang selalu meminta saya mengoreksi diri sendiri sebelum menyalahkan suami, membuat mata saya mulai terbuka, betapa saya pun tidak sempurna sebagai seorang pribadi, istri dan ibu. Jadi pantaskah jika saya menuntut suami saya berakhlak seperti Rasulullah jika saya sendiri tidak berakhlak seperti Ibu Khadijah?
Sebagai pribadi, saya terkadang dominan, karena terbiasa pendapat saya didengar dan dipertimbangkankan. Sebagai istri, saya masih kurang mengabdi (jauh sekali jika dibandingkan dengan pengabdian Ibu saya kepada Papa).
Sebagai ibu, di saat lelah saya terkadang menjadi kurang sabar. Masih banyak lagi kekurangan dan kesalahan yang pernah saya perbuat, yang mungkin jika saya tulis satu per satu akan membuat penuh lembaran buku dosa saya. Namun suami saya menerima hal itu, dan tidak melemparkan kritik sama sekali kecuali saya sudah keterlaluan.
Saya pun mulai belajar menjadi "paranormal" - istilah saya untuk orang yang tau sesuatu tanpa diberitahu secara lisan :D - dengan mulai mempelajari reaksi suami saya - expresi wajah, sorot mata, garis mulut, bahasa tubuhnya - dari berbagai kejadian.
Setelah mulai memahami, barulah saya menyadari, bahwa suami saya tidak mau mendebat saya dalam diskusi justru karena cinta, karena dia tidak ingin menyakiti hati saya dengan kata-kata... Tidak adanya kritikan dan protes keras yang dia sampaikan atas sifat-sifat saya yang mungkin tidak berkenan di hatinya belum tentu karena dia tidak apa-apa, melainkan karena dia ingin saya berubah atas kesadaran saya sendiri, bukan karena terpaksa.
Akhirnya saya mengerti, bahwa dengan diamnya, suami saya menunjukkan toleransinya, dan dengan maaf yang dia berikan atas kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, suami saya menunjukkan cintanya...
Teman-teman pria di sekeliling saya dan teman-teman wanita disekeliling suami saya pun menjadi penguji kekuatan cinta kami... membuktikan bahwa cinta memang harus terus dipelihara, dipupuk dan diperjuangkan. Berpulangnya putri tercinta kami ke rahmatullah pun menjadi penguat cinta kami, sekaligus membuktikan bahwa kami memang benar-benar saling membutuhkan, kami butuh saling menguatkan...
Saya mulai belajar untuk selalu memperbaiki diri, meskipun perlahan dan rasanya tidak akan pernah sepenuhnya berhasil jika mengingat tidak ada manusia yang sempurna.
But at least, saya terus berusaha, meski tidak mudah, dan dengan diiringi doa, tanpa meributkan siapa yang salah, mulai dari diri saya sendiri, dan tanpa menunggu apalagi meminta suami saya melakukan perubahan terlebih dulu.
Saya percaya Allah maha membolak-balikkan hati. Insya Allah, suami saya akan tergerak hatinya jika melihat saya sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri, dan bukan mustahil dia akan melakukan hal yang sama.
Saya pun mulai belajar melihat kelebihan suami saya, mengingat semua hal yang dulu membuat saya jatuh cinta.
Pada kegigihannya mendapatkan cinta saya, meskipun dia tidak piawai menyatakannya dengan kata-kata pada usahanya memperjuangkan hubungan cinta kami agar direstui kedua keluarga, pada rasa sayang dia kepada orang tua dan keluarga saya, pada waktu yang selalu dia luangkan untuk ikut kumpul bersama arisan keluarga saya, pada kemampuannya menjadi teman dan sahabat bagi saya dan bagi setiap anggota keluarga besar saya... pada usahanya yang tak kenal putus untuk membahagiakan saya meskipun dengan caranya sendiri. Dan... masih banyak lagi.
Subhanallah... ternyata sungguh banyak kelebihan suami saya jika saya berniat menggalinya, sehingga kekurangannya tidak lagi terasa berarti...
Tiga tahun terakhir ini, saya mulai belajar melihat pernikahan saya sebagai ibadah. Bagaimana memahami dan mengurus suami serta mendidik anak merupakan ladang amal yang luas bagi seorang istri dan ibu.
Lewat perjalanan yang cukup panjang, meskipun bukan mendapatkan pencerahan dari pengajian dan hanya merupakan visi saya pribadi :D, saya mulai memahami arti Allah menciptakan manusia berpasangan. Bukan hanya jenis kelamin, tapi juga sisi kelebihan dan kekurangannya...
Seperti dalam pernikahan kami, semua kekurangan suami saya lengkapi dengan kelebihan saya, sebagaimana dia melengkapi banyak kekurangan saya dengan kelebihannya. Terbayang oleh saya, jika suami saya mampu mengerjakan semuanya sendiri, untuk apa lagi ada saya? Pasti akan sangat menyedihkan menjadi orang yang tidak dibutuhkan...
Lewat introspeksi diri yang panjang pula - karena saya hanya diberitahu tentang hadist mengenai haramnya langkah seorang istri tanpa izin suami tanpa penjelasan mengapa hal tersebut diharamkan dan riwayat diangkatnya ke surga seorang ibu yang memiliki putri yang tidak datang saat beliau meninggal karena belum mendapat izin dari suami yang sedang pergi keluar rumah - saya akhirnya mengambil hikmah pribadi betapa Rasulullah menganggap pentingnya komunikasi antar suami istri.
Karena jika komunikasi suami dan istri sangat baik, suami istri saling memahami dan terbiasa berkompromi, rasanya tidak akan mungkin suami tidak memberikan izin langkah seorang istri selama disampaikan secara santun, untuk tujuan yang baik dan tidak mengabaikan tugas istri yang lebih utama.
Saya pun jadi berpikir, jika pergi keluar rumah tanpa izin suami tidak diharamkan, akankah saya. berusaha mati-matian untuk mengenal, memahami dan berkomunikasi efektif dengan suami saya?
Mungkin tidak, karena toh tidak berdosa saya jika saya pergi tanpa izinnya. Namun, karena hal tersebut diharamkan, yang berarti saya berdosa jika pergi keluar rumah tanpa izin, pastinya saya akan berusaha mencari jalan bagaimana agar halal langkah saya, agar tidak bertambah buku dosa saya. Akibat usaha tersebut, suami saya pun benar-benar menjadi belahan jiwa saya.
Akhirnya saya pun harus mengakui betapa adilnya Islam terhadap wanita... Karena meskipun terasa berat tugas dan tanggung jawab seorang istri di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat nanti dia hanya menanggung dirinya sendiri.
Sedangkan meskipun terlihat enak menjadi suami di dunia dalam pandangan masyarakat kita, namun di akhirat justru paling berat tanggung jawabnya karena suami berkewajiban membimbing anggota keluarganya - istri dan anak-anaknya - sehingga baik buruknya akhlak istri dan anak-anak tidak lepas dari tanggung jawab suami pula.
Pun begitu banyaknya ladang amal bagi seorang wanita. Melahirkan sebagai jihad, mengurus suami dan anak sebagai jihad... sedangkan laki-laki harus pergi keluar untuk membela agama dulu baru terhitung jihad ...
Well, saya hidup di dunia hanya sementara kan? Jadi, mengapa seolah hidup hanya mempermasalahkan beban berat seorang istri di dunia sedangkan di depan mata terhampar ladang amal yang luas untuk bekal hidup di akhirat kelak?
Mungkin sebenarnya perjuangan saya akan lebih sederhana jika saya datang kepada ahli agama. Karena semua aturan dan bagaimana hubungan yang baik dalam rumah tangga, sudah di riwayatkan melalui contoh-contoh dalam hadist Rasulullah.
Namun karena segala keterbatasan diri saya, saya harus menempuh jalan yang panjang, dengan jatuh bangun pula... Bagaimanapun sulitnya, alhamdulillah, semua itu saya anggap sebagai sarana pendewasaan diri saya...
Sejak tiga tahun yang lalu, Alhamdulillah, saya telah belajar untuk ikhlas... Mengurus rumah tangga dan mendidik anak pun sudah menjadi suatu kenikmatan bagi saya, semula hanya karena mengingat nilai ibadahnya, dan akhirnya juga karena bahagia mengerjakan prosesnya dan melihat hasilnya.
Dulu, jika ada tugas rumah tangga yang saya kerjakan yang seharusnya merupakan porsi tugas suami, saya terkadang berkata, "Saya ikhlas kog mengerjakannya, tapi kan seharusnya suami saya bisa mengerjakan itu..." (yang benar kata sahabat wanita saya bahwa adanya kata Tapi itu pertanda jauh di dalam lubuk hati saya belum ikhlas.
Saat ini, Alhamdulillah, jika ada yang bertanya, saya sudah bisa hanya berkata, "Ya, saya ikhlas mengerjakannya.", sambil tersenyum pula.
Tulisan ini saya persembahkan untukmu, Ahmad Fahly Riza, suami tercinta, yang saya berikan lebih awal dengan niat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang ke 11 di tanggal 11 Oktober 2009.
Saya tulis ini sebagai perwujudan cinta dan rasa syukur saya karena memiliki suami yang pemaaf dan penuh cinta... suami yang karena karakternya membuat saya belajar banyak untuk dunia dan akhirat saya...
Meskipun mungkin kelak masih akan ada ujian dari Allah bagi cinta kita - semoga Allah selalu menyelamatkan bahtera rumah tangga kita - saat ini izinkan saya nyatakan pada dunia bahwa saya mencintaimu seutuhnya, karena Allah semata...
Semoga tulisan ini bisa menjadi manfaat bagi semua yang membaca, terutama bagi yang akan menikah, bahwa memasuki ambang pernikahan bukan dengan niat utama untuk ibadah akan menghasilkan banyak kekecewaan...
Pun, bagi yang sudah dan masih menikah, tidak ada kata terlambat untuk mulai menjadikan pernikahan sebagai sarana menuju surga disamping sebagai surga dunia...
Jakarta, 8 Oktober 2009
Yeni Suryasusanti
Senin, 21 Desember 2009
Wanita di Persimpangan Jalan: Kepala Rumah Tangga Perempuan atau Ibu Rumah Tangga
Oleh. Dra. Rahma Qomariyah, M.Pd.I
Anggota DPP Muslimah HTI dan Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Pusat)
Pengantar
Pada tahun 1928 saat kongres pemuda para wanita juga ikut sehingga sumpah pemuda diucapkan oleh pemuda dan pemudi. Semangat perjuangan ini terus berkobar di kalangan organisasi perempuan, sehingga mereka mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta[1]. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) di Yokyakarta tersebut merupakan tonggak awal pergerakan modern kaum perempuan di Indonesia. Hasil dari Kongres Perempuan Indonesia I adalah dua hal yang sangat penting dilakukan oleh perempuan Indonesia yaitu: meningkatkan harkat perempuan, dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disamping itu kongres ini melahirkan organisasi perempuan yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)[2] .
Inilah puncak perjuangan wanita, dengan terselenggaranya kongres perempuan pertama tanggal 22 Desember 1928. Dan merupakan wujud peran serta perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan. Karenanya tanggal 22 desemser diperingati sebagai hari Ibu[3].
Peringatan tersebut antara lain: dengan memanjakan sang ratu rumah tangga, lomba, seminar, diskusi dan workshop. Pada hari istimewa itu para ibu rumah tangga diberi’cuti’ tidak melakukan pekerjaan rutinnya yaitu urusan rumah tangga, bahkan ganti bapak-bapak yang mengerjakan dan melayaninya. Tidak jarang dalam diskusi, seminar dan workshop sebagai peringatan hari ibu, digulirkannya kembali ide-ide feminisme yang menuntut pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban bersama suami-isteri. Sehingga muncul jabatan baru bagi wanita sebagai perempuan kepala keluarga dan bagi laki-laki sebagai bapak rumah tangga.
Feminisme: Peran Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga bukan Kewajiban, tapi Bentukan Budaya.
Patriarkhi dipahami secara harfiyah yang berarti ”kekuasaan bapak”(role of the father) yaitu keluarga yang dipimpin dan dikuasai laki laki[4]. Dampak budaya patriarkhi pada pembagian peran adalah sebagai berikut suami berperan di sektor publik, produktif, maskulin dan kewajiban mencari nafkah utama. Sementara peran isteri di sektor domestik, reproduksi, feminin dan seandainya mencari nafkah, maka sebagai pencari nafkah tambahan[5].
Konstruksi sosial tentang gender menjadikan perempuan lebih memilih pekerjaan yang sifatnya melayani dan masih berkaitan dengan peran domestiknya di rumah tangga. Dengan demikian lapangan kerja juga mengalami segregasi atau pemilahan antara tugas laki-laki dan perempuan. Peran yang umum dipilih oleh perempuan pun menjadi guru, perawat, pekerja sosial, buruh sederhana, sekertaris dan lain sebagainya. Masyarakat juga lebih memandang laki-laki mampu menjadi insinyur, dokter, astronot dan lain-lain[6].
Perempuan dan laki-laki adalah hasil dari sebuah relasi sosial. Jika kita mengubah relasi sosial, maka kita mengubah kategori perempuan dan laki-laki.Selanjutnya akan mempengaruhi beban kerja. Pada masyarakat patrilineal dan androsentris, beban gender laki-laki lebih dominan daripada anak perempuan. Dan setiap masyarakat akan dipengaruhi faktor kondisi obyektif geografis, yang kemudian ikut menentukan sistem sosial budaya yang khas.
Adanya pemahaman bahwa peran gender diatas dapat dipertukarkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati yang hanya melekat pada jenis kelamin tertentu.
Dalam Jurnal HARKAT, disebutkan bahwa mayoritas yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin wanita dalam rumah tangga karena salah dalam menafsirkan surat an Nisa’ ayat 34.
الرِّجالُ قَوّٰمونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعضَهُم عَلىٰ بَعضٍ وَبِما أَنفَقوا مِن أَموٰلِهِم ۚ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِلغَيبِ بِما حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَالّٰتى تَخافونَ نُشوزَهُنَّ فَعِظوهُنَّ وَاهجُروهُنَّ فِى المَضاجِعِ وَاضرِبوهُنَّ ۖ فَإِن أَطَعنَكُم فَلا تَبغوا عَلَيهِنَّ سَبيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبيرًا ﴿٣٤﴾
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[7][289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290][8]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291][9], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292][10]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar."
Selanjutnya penulis memaparkan pemahamannya tentang surat tersebut, merujuk pendapat Asghar Ali Engineer bahwa ayat tersebut bersifat deskriptif atau sosiologis.Bahwa turunnya ayat tentang laki-laki menjadi pemimpin wanita dalam rumah tangga, pada masyarakat yang pada saat itu kaum laki-laki memiliki kelebihan dari wanita berupa harta dan menafkahkan hartanya kepada keluarganya. Dan perintah itu sifatnya tidak wajib karena tidak berbentuk kata perintah atau ayatnya tidak berbunyi: ”Kaum laki-laki wajib/harus menjadi pemimpin bagi wanita”. Ayat yang tidak berbentuk perintah tidak bisa dianggap sebagai ayat yang normative/teologis dan preskriptif atau difahami sebagai perintah dan bisa dipakai sebagai pedoman[11].
Karenanya menurut penulis artikel ini bahwa UU Perkawinan yang mengatur Peran suami dan isteri sudah tidah cocok dan penetapan peran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menciptakan streotype[12]. Misalnya undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3 menyatakan bahwa ” Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga . Dan pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa ”Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Kepemimpinan Rumah Tangga Perspektif Islam
Mengenai peraturan yang berkaitan dengan laki-laki dan perempuan, Alloh Dzat Pencipta manusia berikut kebutuhannya memberikan aturan yang adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Terkait dengan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia (insan), di dalam nash akan ditemukan adanya hak, kewajiban, peran dan fungsi yang sama antara laki-laki dan perempuan[13].
Syari’at Islam memberikan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menjalankan ibadah seperti shalat, shaum, haji dan zakat. Syari’at Islam telah memberikan hukum-hukum muamalat yang berhubungan dengan persoalan jual-beli, perburuhan, perwakilan, pertanggungjawaban berlaku sama untuk perempuan maupun laki-laki. Akan tetapi dilihat dari sisi kodratnya bahwa laki-laki adalah laki –laki dan perempuan adalah perempuan maka terdapat hukum yang berbeda seperti aurat perempuan, hukum tentang kehamilan, hukum tentang persusuan, wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dst, semuanya dibebankan pada perempuan bukan pada laki-laki. Sedangkan kepemimpinan yang mengandung kekuasaan pemerintahan, kepemimpinan keluarga, nafkah, jihad, batas aurat laki-laki dst, hukum-hukum ini dibebankan pada laki-laki tidak pada wanita.
Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami adalah sebagai pemimpin rumah tangga dan wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang bertanggug jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami[14]. Sebagaimana firman Allah surat an Nisa’ ayat 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…[15]
Dari ayat ini jelas bahwa Allah menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga bukan karena pertama, وَبِمَا أَنْفَقُوا (dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka)[16], sehingga saat isteri bekerja dan gajinya lebih besar, tidak menjadikan isteri sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Kedua, penetapan illat suatu hukum tidak ditetapkan secara aqli, akan tetapi ditetapkan secara syar’i.
Disamping itu terdapat nash lain yang tidak terdapat kata وَبِمَا أَنْفَقُو, tapi nash tersebut menunjukkan bahwa peran suami sebagai pemimpin rumah tangga dan isteri sebagai pengatur rumah tangga di bawah kepemimpinan suami. Sabda Rasulullah Saw:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهَا. (متفق عليه)
“…Dan wanita adalah penjaga tanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya”.
Peran suami sebagai pemimpin keluarga juga ditunjukkan dengan banyaknya nash-nash yang mewajibkan keta’atan dan perizinan isteri kepada suami, karena keta’atan merupakan konsekwensi dari kepemimpinan[17]. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
اتقي الله ولا تخا لفي زوجك
Hendaklah engaku bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar perintah suamimu.
Tentang perizinan Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ[18]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (puasa sunnah), sementara suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izinya (HR. Bukhari)
Pergaulan suami-isteri perspektif Islam sangat harmonis, bagaikan dua sahabat (Shahabani) sebagaimana dikatakan Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzam Ijtima’i fil Islam, sehingga mampu mengantarkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena sekalipun kepemimpinan ada pada suami tidak menjadikan suami otoriter dan menzalimi isteri, karena relasi suami isteri bukan seperti komandan dengan prajurit atau terdakwa dengan polisi[19].
Disamping itu pada saat beban isteri sangat banyak dan berat, sehingga isteri tidak kuat untuk mengerjakannya misalnya mengasuh balita 3-5 anak, masih harus mencuci, menyeterika, memasak dan lain lain. Maka bukan berarti dia harus tetap mengerjakan semua itu sampai sakit-sakitan, bahkan akhirnya sampai melalaikan kewajiban yang lain misalnya berdakwah. Akan tetapi pada saat itu, suami berkewajiban membantunya, untuk meringankan beban isteri. Bantuan itu baik dibantu dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara ma’ruf. Sebagaimana firman Allah dal al Baqarah ayat 233:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.
Inilah hukum yang adil, menyelesaikan masalah serta memulyakan wanita, agar lebih jelas simaklah mekanisme hukum keluarga sebagai berikut: di dalam Islam perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian dan terakhir yang bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh) baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan profesionalisme kerja seperti rektor perguruan tinggi, kepala departemen kesehatan dan kepala rumah sakit sampai yang hanya membutuhkan tenaganya saja[20]. Dan hasil kerjanya adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan hanyalah sunnah[21] untuk di shodaqohkan ke keluarga.
Akan tetapi Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh anak dan mengatur rumah tangga pada seorang ibu. Dari sini terlihat bagaimana indahnya hukum Islam tersebut, wanita diberi banyak pilihan: Pilihan pertama, memilih bekerja atau tidak bekerja dan mencurahkan waktunya untuk membentuk putra-putrinya menjadi generasi khoiru ummah serta senantiasa memperbaiki kerusakan –kerusakan yang ada di masyarakat, beramar ma’ruf nahi munkar. Pilihan kedua, bekerja yang tidak menghabiskan waktunya di tempat kerja, dengan syarat wajib menyelesaikan tugas utamanya sebagai Ibu dan Pengatur rumah tangga .
Bisa kita bayangkan betapa dzalimnya peraturan yang mewajibkan wanita bekerja (menanggung nafkah). Karena pada faktanya perempuan yang hamil tidak bisa kehamilan tersebut dititipkan suaminya (ditanggung berdua), dan tidak semua perempuan hamil normal tidak ada masalah, akan tetapi terdapat pada mayoritas perempuan pada saat mengandung kondisi tubuhnya lebih lemah dan banyak masalah dari yang ringan seperti pusing-pusing dan muntah-muntah sampai harus bed rest total.
Disamping itu tidak ada satupun manajemen perusahaan atau institusi yang mampu mencapai kesuksesan, pada saat pengelolaan SDM (Sumber Daya Manusia) tidak beres dalam menetapkan job description masing-masing SDM. Misalnya dua orang karyawan sama-sama menjadi manajer operasional. Hal ini tentu akan berdampak pada kinerja yang buruk.
Begitu pula saat peran ( hak dan kewajiban ) dalam keluarga tidak jelas misalnya wanita dan pria masing-masing punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, sama-sama punya kewajiban mencari nafkah, sama-sama punya hak menceraikan dan sama-sama wajib beriddah. Semuanya itu tidak sesuai dengan fithroh manusia. Jika sudah demikian tidak akan menentramkan hati dan memuaskan akal, maka pada gilirannya akan terjadilah hancurnya sebuah keluarga.
________________________________________
[1] Modul Pelatihan Kesetaraan dan keadilan gender bagi organisasi masyarakat keagamaan, Jakarta, Kemntrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006, hlm 13
[2] Tim Penyusun KPP,Bunga Rampai-panduan dan bahan pembelajaran pelatihan pengarus utamaan gender dalam pembangunan nasional,KPP,2003,hlm 17-18
[3] Tim Penyusun KPP,Bunga Rampai-panduan dan bahan pembelajaran pelatihan pengarus utamaan gender dalam pembangunan nasional,KPP,2003,hlm 17
[4] Ibid, hlm. 58
[5] Ibid, 58-67
[6] Ibid, 67
[7] [289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[8] [290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[9][291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[10][292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[11] Nina Nurmila, “ Ketika Perempuan Mencari Nafkah” , Jurnal HARKAT- Media Komunikasi Gender, Jakarta, PSW UIN Syarif Hidayatullah ,Vol 2. No.2 April 2002, hlm.50-51
[12] Ibid, 52-53
[13] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press,1997
[14] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.141-146
[15] TQS an-Nisa : 34)
[16] lihat surat annisa’ ayat 34
[17] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.143
[18] Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Bukhari, hadis no. 4797
[19] Ibid, hlm. 141-146
[20] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press,1997
[21] Sunnah adalah suatu amal jika dilakukan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/05/wanita-di-persimpangan-jalan-kepala-rumah-tangga-perempuan-atau-ibu-rumah-tangga/
Anggota DPP Muslimah HTI dan Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Pusat)
Pengantar
Pada tahun 1928 saat kongres pemuda para wanita juga ikut sehingga sumpah pemuda diucapkan oleh pemuda dan pemudi. Semangat perjuangan ini terus berkobar di kalangan organisasi perempuan, sehingga mereka mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta[1]. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) di Yokyakarta tersebut merupakan tonggak awal pergerakan modern kaum perempuan di Indonesia. Hasil dari Kongres Perempuan Indonesia I adalah dua hal yang sangat penting dilakukan oleh perempuan Indonesia yaitu: meningkatkan harkat perempuan, dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Disamping itu kongres ini melahirkan organisasi perempuan yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)[2] .
Inilah puncak perjuangan wanita, dengan terselenggaranya kongres perempuan pertama tanggal 22 Desember 1928. Dan merupakan wujud peran serta perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan. Karenanya tanggal 22 desemser diperingati sebagai hari Ibu[3].
Peringatan tersebut antara lain: dengan memanjakan sang ratu rumah tangga, lomba, seminar, diskusi dan workshop. Pada hari istimewa itu para ibu rumah tangga diberi’cuti’ tidak melakukan pekerjaan rutinnya yaitu urusan rumah tangga, bahkan ganti bapak-bapak yang mengerjakan dan melayaninya. Tidak jarang dalam diskusi, seminar dan workshop sebagai peringatan hari ibu, digulirkannya kembali ide-ide feminisme yang menuntut pekerjaan rumah tangga merupakan kewajiban bersama suami-isteri. Sehingga muncul jabatan baru bagi wanita sebagai perempuan kepala keluarga dan bagi laki-laki sebagai bapak rumah tangga.
Feminisme: Peran Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga bukan Kewajiban, tapi Bentukan Budaya.
Patriarkhi dipahami secara harfiyah yang berarti ”kekuasaan bapak”(role of the father) yaitu keluarga yang dipimpin dan dikuasai laki laki[4]. Dampak budaya patriarkhi pada pembagian peran adalah sebagai berikut suami berperan di sektor publik, produktif, maskulin dan kewajiban mencari nafkah utama. Sementara peran isteri di sektor domestik, reproduksi, feminin dan seandainya mencari nafkah, maka sebagai pencari nafkah tambahan[5].
Konstruksi sosial tentang gender menjadikan perempuan lebih memilih pekerjaan yang sifatnya melayani dan masih berkaitan dengan peran domestiknya di rumah tangga. Dengan demikian lapangan kerja juga mengalami segregasi atau pemilahan antara tugas laki-laki dan perempuan. Peran yang umum dipilih oleh perempuan pun menjadi guru, perawat, pekerja sosial, buruh sederhana, sekertaris dan lain sebagainya. Masyarakat juga lebih memandang laki-laki mampu menjadi insinyur, dokter, astronot dan lain-lain[6].
Perempuan dan laki-laki adalah hasil dari sebuah relasi sosial. Jika kita mengubah relasi sosial, maka kita mengubah kategori perempuan dan laki-laki.Selanjutnya akan mempengaruhi beban kerja. Pada masyarakat patrilineal dan androsentris, beban gender laki-laki lebih dominan daripada anak perempuan. Dan setiap masyarakat akan dipengaruhi faktor kondisi obyektif geografis, yang kemudian ikut menentukan sistem sosial budaya yang khas.
Adanya pemahaman bahwa peran gender diatas dapat dipertukarkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan dan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati yang hanya melekat pada jenis kelamin tertentu.
Dalam Jurnal HARKAT, disebutkan bahwa mayoritas yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin wanita dalam rumah tangga karena salah dalam menafsirkan surat an Nisa’ ayat 34.
الرِّجالُ قَوّٰمونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعضَهُم عَلىٰ بَعضٍ وَبِما أَنفَقوا مِن أَموٰلِهِم ۚ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِلغَيبِ بِما حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَالّٰتى تَخافونَ نُشوزَهُنَّ فَعِظوهُنَّ وَاهجُروهُنَّ فِى المَضاجِعِ وَاضرِبوهُنَّ ۖ فَإِن أَطَعنَكُم فَلا تَبغوا عَلَيهِنَّ سَبيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبيرًا ﴿٣٤﴾
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[7][289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290][8]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291][9], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292][10]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar."
Selanjutnya penulis memaparkan pemahamannya tentang surat tersebut, merujuk pendapat Asghar Ali Engineer bahwa ayat tersebut bersifat deskriptif atau sosiologis.Bahwa turunnya ayat tentang laki-laki menjadi pemimpin wanita dalam rumah tangga, pada masyarakat yang pada saat itu kaum laki-laki memiliki kelebihan dari wanita berupa harta dan menafkahkan hartanya kepada keluarganya. Dan perintah itu sifatnya tidak wajib karena tidak berbentuk kata perintah atau ayatnya tidak berbunyi: ”Kaum laki-laki wajib/harus menjadi pemimpin bagi wanita”. Ayat yang tidak berbentuk perintah tidak bisa dianggap sebagai ayat yang normative/teologis dan preskriptif atau difahami sebagai perintah dan bisa dipakai sebagai pedoman[11].
Karenanya menurut penulis artikel ini bahwa UU Perkawinan yang mengatur Peran suami dan isteri sudah tidah cocok dan penetapan peran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah menciptakan streotype[12]. Misalnya undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3 menyatakan bahwa ” Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga . Dan pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa ”Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.
Kepemimpinan Rumah Tangga Perspektif Islam
Mengenai peraturan yang berkaitan dengan laki-laki dan perempuan, Alloh Dzat Pencipta manusia berikut kebutuhannya memberikan aturan yang adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Terkait dengan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia (insan), di dalam nash akan ditemukan adanya hak, kewajiban, peran dan fungsi yang sama antara laki-laki dan perempuan[13].
Syari’at Islam memberikan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menjalankan ibadah seperti shalat, shaum, haji dan zakat. Syari’at Islam telah memberikan hukum-hukum muamalat yang berhubungan dengan persoalan jual-beli, perburuhan, perwakilan, pertanggungjawaban berlaku sama untuk perempuan maupun laki-laki. Akan tetapi dilihat dari sisi kodratnya bahwa laki-laki adalah laki –laki dan perempuan adalah perempuan maka terdapat hukum yang berbeda seperti aurat perempuan, hukum tentang kehamilan, hukum tentang persusuan, wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dst, semuanya dibebankan pada perempuan bukan pada laki-laki. Sedangkan kepemimpinan yang mengandung kekuasaan pemerintahan, kepemimpinan keluarga, nafkah, jihad, batas aurat laki-laki dst, hukum-hukum ini dibebankan pada laki-laki tidak pada wanita.
Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami adalah sebagai pemimpin rumah tangga dan wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang bertanggug jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami[14]. Sebagaimana firman Allah surat an Nisa’ ayat 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…[15]
Dari ayat ini jelas bahwa Allah menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga bukan karena pertama, وَبِمَا أَنْفَقُوا (dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka)[16], sehingga saat isteri bekerja dan gajinya lebih besar, tidak menjadikan isteri sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Kedua, penetapan illat suatu hukum tidak ditetapkan secara aqli, akan tetapi ditetapkan secara syar’i.
Disamping itu terdapat nash lain yang tidak terdapat kata وَبِمَا أَنْفَقُو, tapi nash tersebut menunjukkan bahwa peran suami sebagai pemimpin rumah tangga dan isteri sebagai pengatur rumah tangga di bawah kepemimpinan suami. Sabda Rasulullah Saw:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهَا. (متفق عليه)
“…Dan wanita adalah penjaga tanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya”.
Peran suami sebagai pemimpin keluarga juga ditunjukkan dengan banyaknya nash-nash yang mewajibkan keta’atan dan perizinan isteri kepada suami, karena keta’atan merupakan konsekwensi dari kepemimpinan[17]. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
اتقي الله ولا تخا لفي زوجك
Hendaklah engaku bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar perintah suamimu.
Tentang perizinan Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ[18]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (puasa sunnah), sementara suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izinya (HR. Bukhari)
Pergaulan suami-isteri perspektif Islam sangat harmonis, bagaikan dua sahabat (Shahabani) sebagaimana dikatakan Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzam Ijtima’i fil Islam, sehingga mampu mengantarkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena sekalipun kepemimpinan ada pada suami tidak menjadikan suami otoriter dan menzalimi isteri, karena relasi suami isteri bukan seperti komandan dengan prajurit atau terdakwa dengan polisi[19].
Disamping itu pada saat beban isteri sangat banyak dan berat, sehingga isteri tidak kuat untuk mengerjakannya misalnya mengasuh balita 3-5 anak, masih harus mencuci, menyeterika, memasak dan lain lain. Maka bukan berarti dia harus tetap mengerjakan semua itu sampai sakit-sakitan, bahkan akhirnya sampai melalaikan kewajiban yang lain misalnya berdakwah. Akan tetapi pada saat itu, suami berkewajiban membantunya, untuk meringankan beban isteri. Bantuan itu baik dibantu dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara ma’ruf. Sebagaimana firman Allah dal al Baqarah ayat 233:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.
Inilah hukum yang adil, menyelesaikan masalah serta memulyakan wanita, agar lebih jelas simaklah mekanisme hukum keluarga sebagai berikut: di dalam Islam perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian dan terakhir yang bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh) baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan profesionalisme kerja seperti rektor perguruan tinggi, kepala departemen kesehatan dan kepala rumah sakit sampai yang hanya membutuhkan tenaganya saja[20]. Dan hasil kerjanya adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan hanyalah sunnah[21] untuk di shodaqohkan ke keluarga.
Akan tetapi Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh anak dan mengatur rumah tangga pada seorang ibu. Dari sini terlihat bagaimana indahnya hukum Islam tersebut, wanita diberi banyak pilihan: Pilihan pertama, memilih bekerja atau tidak bekerja dan mencurahkan waktunya untuk membentuk putra-putrinya menjadi generasi khoiru ummah serta senantiasa memperbaiki kerusakan –kerusakan yang ada di masyarakat, beramar ma’ruf nahi munkar. Pilihan kedua, bekerja yang tidak menghabiskan waktunya di tempat kerja, dengan syarat wajib menyelesaikan tugas utamanya sebagai Ibu dan Pengatur rumah tangga .
Bisa kita bayangkan betapa dzalimnya peraturan yang mewajibkan wanita bekerja (menanggung nafkah). Karena pada faktanya perempuan yang hamil tidak bisa kehamilan tersebut dititipkan suaminya (ditanggung berdua), dan tidak semua perempuan hamil normal tidak ada masalah, akan tetapi terdapat pada mayoritas perempuan pada saat mengandung kondisi tubuhnya lebih lemah dan banyak masalah dari yang ringan seperti pusing-pusing dan muntah-muntah sampai harus bed rest total.
Disamping itu tidak ada satupun manajemen perusahaan atau institusi yang mampu mencapai kesuksesan, pada saat pengelolaan SDM (Sumber Daya Manusia) tidak beres dalam menetapkan job description masing-masing SDM. Misalnya dua orang karyawan sama-sama menjadi manajer operasional. Hal ini tentu akan berdampak pada kinerja yang buruk.
Begitu pula saat peran ( hak dan kewajiban ) dalam keluarga tidak jelas misalnya wanita dan pria masing-masing punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, sama-sama punya kewajiban mencari nafkah, sama-sama punya hak menceraikan dan sama-sama wajib beriddah. Semuanya itu tidak sesuai dengan fithroh manusia. Jika sudah demikian tidak akan menentramkan hati dan memuaskan akal, maka pada gilirannya akan terjadilah hancurnya sebuah keluarga.
________________________________________
[1] Modul Pelatihan Kesetaraan dan keadilan gender bagi organisasi masyarakat keagamaan, Jakarta, Kemntrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006, hlm 13
[2] Tim Penyusun KPP,Bunga Rampai-panduan dan bahan pembelajaran pelatihan pengarus utamaan gender dalam pembangunan nasional,KPP,2003,hlm 17-18
[3] Tim Penyusun KPP,Bunga Rampai-panduan dan bahan pembelajaran pelatihan pengarus utamaan gender dalam pembangunan nasional,KPP,2003,hlm 17
[4] Ibid, hlm. 58
[5] Ibid, 58-67
[6] Ibid, 67
[7] [289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[8] [290] Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[9][291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[10][292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[11] Nina Nurmila, “ Ketika Perempuan Mencari Nafkah” , Jurnal HARKAT- Media Komunikasi Gender, Jakarta, PSW UIN Syarif Hidayatullah ,Vol 2. No.2 April 2002, hlm.50-51
[12] Ibid, 52-53
[13] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press,1997
[14] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.141-146
[15] TQS an-Nisa : 34)
[16] lihat surat annisa’ ayat 34
[17] Taqiyuddin An Nabhani, Nidzam Ijtima’i, Beirut, Libanon, Darul Ummah, 2003, hlm.143
[18] Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Bukhari, hadis no. 4797
[19] Ibid, hlm. 141-146
[20] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press,1997
[21] Sunnah adalah suatu amal jika dilakukan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/05/wanita-di-persimpangan-jalan-kepala-rumah-tangga-perempuan-atau-ibu-rumah-tangga/
A Great Mother For A Great Leader
Oleh: Nafiisah FB
Abdullah bin Zubair adalah sosok yang telah menjadi pahlawan dalam pembebasan Afrika, Andalusia, dan Konstantinopel dalam usianya yang belum menginjak 17 tahun. Satu kali Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Rasulullah saw. pernah ditanya tentang Abdullah bin Zubair. Ibnu Abbas berkata, “Ia adalah pembaca Kitabullah dan pengikut sunnah RasulNya, tekun beribadah kepadaNya dan shaum di siang hari karena takut kepadaNya. Dialah putera dari seorang pembela Rasulullah, dan ibunya adalah Asma’ puteri Abu Bakar ash-Shiddiq…”
Setelah Yazid bin Mua’wiyah bin Abu Sufyan meninggal dunia, Abdullah diangkat menjadi khalifah oleh sebagian besar negeri-negeri seperti Hijaz, Yaman, Irak, dan Khurasan. Abdullah bin Zubair menjabat sebagai khalifah selama sembilan tahun di Hijaj sampai kekuasaannya ditumbangkan oleh ‘keserakahan’ bani Umayyah.
Itulah Abdullah bin Zubair, salah seorang sahabat Rasulullah saw, salah seorang khalifah yang begitu cinta kepada rakyatnya, jujur, sederhana, teguh kepada al-Quran dan sunnah, dan tegas dalam menyirnakan kebatilan.
Sosok Abdullah bin Zubair yang agung dan mulia tidak lepas dari sosok Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq, ibundanya. Dia termasuk dalam barisan wanita yang pertama masuk Islam. Perjuangannya dalam kancah pergolakan Islam di masa permulaan perkembangannya tidak diragukan lagi. Dialah yang senantiasa mengirim makanan untuk Rasulullah dan ayahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ketika beliau bersembunyi selama tiga hari tiga malam di gua Tsur dari kejaran kaum musyrik Makkah yang ingin membunuh beliau.
Sosok-sosok pemimpin seperti Abdullah bin Zubair, atau Umar bin Abdul Aziz di era selanjutnya adalah sosok pemimpin dambaan. Keteguhan mereka kepada kitabullah dan sunnah Rasululllah saw., sikap mereka yang mendahulukan kepentingan rakyat dan bersahaja dalam kehidupan diri mereka sendiri, jujur, dan adil merupakan contoh abadi bagi umat yang hidup di masa setelahnya.
Di tengah carut-marut kehidupan, dalam ketidakadilan yang semakin menyebar, umat saat ini sangat merindukan hadirnya kembali pemimpin-pemimpin seperti itu. Adakah pemimpin-pemimpin itu saat ini, nanti?
Kisah Abdullah bin Zubair di atas menjadi salah satu pelajaran berharga dari sekian banyak kisah lainnya, bagaimana sosok wanita bernama ibunda menjadi sosok penting dalam mencetak seorang pemimpin.
Pemimpin dengan kualitas prima: teguh menegakkan hukum Allah, adil, jujur, amanah, rela berkorban, dan bersahaja, tidak bisa lahir secara instan. Ada proses panjang yang mesti dilalui. Ada usaha yang mesti ditempuh, dan itu semua dimulai dari seorang ibu.
A great mother: siapa dia?
A great mother (ibu yang luar biasa) itu, pertama, ia wajib memiliki kepribadian Islam. Yaitu menjadikan akidah sebagai standar dalam berfikir dan berbuat. Akidah yang lurus adalah Islam. Islamlah yang senantiasa dijadikan ukuran halal atau haramnya sesuatu untuk dikerjakan atau ditinggalkan. Kedua, cerdas. Adalah seorang ibu yang memiliki tsaqafah Islam dan berpengetahuan yang luas, sehingga mampu menjadi tempat bertanya dan curhat yang komplit bagi anak-anaknya dan lingkungannya. Ketiga, peduli. Fitrahnya hidup manusia itu adalah saling memberi dan saling menerima. Manusia butuh terhadap manusia lainnya. Di situlah letak kepedulian, dan kepedulian yang sejati adalah bentuk kepedulian seorang muslim kepada nasib saudaranya yang lain, mulai dari lingkungan terkecil, hingga mereka yang di belahan dunia yang lain.
How to be a great mother?
Untuk menjadi ibu yang istimewa, ada beberapa yang secara teknis bisa dilakukan. Pertama, thalabul ‘ilmi (belajar). Proses belajar dan menuntut ilmu tidak hanya sebatas di jalur formal, di sekolah, harus dilakukan sepanjang hayat dikandung badan, dan harus seimbang antara Islam dan pengetahuan.
Kedua, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki keinginan dan visi yang sama, supaya semangat terus bisa dipelihara.
Nah, menjadi sosok ibunda yang berkualitas tentu bukan pekerjaan mudah. Prosesnya pun tidak singkat. Seorang Asma’ binti Abu Bakar, seorang Fathimah binti Muhammad, Ummu Ashim, dan para “ibunda peradaban” lainnya memulai proses itu ketika mereka masih berada di tengah orangtua mereka dan terus berlangsung setelah mereka menikah dan membesarkan sang buah hati. Jika mereka bisa, maka ibunda kini dan nanti pun bisa. Tentu, lahirnya sosok pemimpin agung nan mulia itu akhirnya akan hadir kembali memimpin dunia dengan syariahNya. Wallahu a’lam bish showab.
Kisah Menggugah Tentang Ketaatan Seorang Anak Kepada Ibunya
Uwais, Seorang Pemuda Langit yang Taat pada Ibunya
Oleh: DM RULI
Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Sumber : Kisah orang-orang sabar.
http://dmrulirubrik.blogspot.com
http://www.eramuslim.net/?buka=show_kisah&id=28
Oleh: DM RULI
Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais Al-Qarni mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais Al-Qarni untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nab, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hari Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa mnyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sampbil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia ?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdulla, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Wajah Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni ? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Sumber : Kisah orang-orang sabar.
http://dmrulirubrik.blogspot.com
http://www.eramuslim.net/?buka=show_kisah&id=28
Wanita Penghuni Neraka
“Sesungguhnya orang-orang fasik adalah penduduk neraka.” Dikatakan, “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Rasul bersabda, “Para wanita.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu ibu-ibu, saudari-saudari dan istri-istri kita?” Rasul menjawab, “Benar, tetapi mereka itu, jika diberi, tidak bersyukur; jika diuji, tidak bersabar (HR Ahmad dan al-Hakim).
Imam Ahmad meriwayatkan hadis di atas dalam Al-Musnad dari Ismail bin Ibrahim dan Waki’. Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrak dari Ibrahim bin ‘Ashmah al-Adl, dari as-Sari bin Khuzaimah, dari Muslim bin Ibrahim. Ketiganya (Ismail bin Ibrahim, Waki’ dan Muslim bin Ibrahim) menuturkannya dari Hisyam ad-Dastuwa’I, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Rasyid al-Habrani, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Al-Hakim mengomentari jalur ini: Ini adalah hadis sahih menurut syarat syaikhayn (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi di dalam At-Talkhish.
Syu’aib al-Arnauth mengomentari jalur Imam Ahmad ini: Ini hadis sahih, para perawinya perawi syaikhayn kecuali Abu Rasyid al-Habrani. Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Bukhari di dalam Adab al-Mufrad dan sejumlah orang meriwayatkan darinya.
Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Afan, dari Aban dan Musa bin Khalaf. Imam al-Hakim meriwayatkannya dari Abu Abdillah Muhammad bin Ali ash-Shan’ani, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Abdurrazaq, dari Ma’mar. Ketiganya (Aban, Musa bin Khalaf dan Ma’mar) menuturkannya dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Salam, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Imam al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadis sahih menurut syarat Muslim, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi.
Makna Hadis
Hadis ini menyebutkan wanita penghuni neraka di antaranya adalah yang memiliki dua sifat tercela: tidak bersyukur (berterima kasih) kepada suaminya; jika diuji dengan suatu ujian, ia tidak bersabar. Hadis ini juga diperkuat oleh sabda Rasul yang lain. Abdullah bin Amru meriwayatkan bahwa Rasul pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
Allah tidak akan memandang seorang wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya dan tidak (berusaha) mencukupkan diri dari (pemberian) suaminya (HR an-Nasai, al-Hakim, ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Syaikh Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi di dalam kitab Bahr al-Fawâ’id/Ma’âni al-Akhyâr menjelaskan, “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) terhadap pemberian, ia tidak akan bisa bersabar saat mendapat ujian.” Syukur bisa timbul jika ada rasa qana’ah (merasa cukup) atas pemberian meski sedikit jumlahnya; juga menghargai pemberian meski tidak seberapa harganya, karena di dalamnya terkandung nilai maknawi yang besar, yaitu ketaatan suami atas kewajiban nafkah dan rasa cintanya kepada istri dan keluarganya.”
Berikut sekelumit teladan dari Umahatul Mukminin dan penghulu wanita surga Fathimah binti Rasulullah saw.
Ummul Mukminin Aisyah ra. menceritakan, “Pernah datang kepada kami satu bulan penuh saat kami tidak pernah menyalakan api (tidak pernah memasak), (makanan kami) tidak lain adalah kurma kering dan air, kecuali kami dibawakan daging.” (HR al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Beliau juga bercerita, “Tidaklah keluarga Muhammad makan dua kali dalam sehari kecuali salah satunya adalah kurma kering.”
Nabi saw. pernah bersabda, “Belum pernah lewat satu sore dimana keluarga Muhammad memiliki satu sha’ kurma kering atau satu sha’ biji-bijian.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Begitulah makanan yang dinikmati ibunda kita, para istri Rasul saw. Namun, mereka adalah para wanita yang senantiasa dipenuhi rasa syukur, rasa berterima kasih dan kesabaran serta jauh dari keluh-kesah.
Dalam hal pakaian, Rasul saw. pernah berpesan kepada Bunda Aisyah ra., “Jika engkau senang bersamaku (di surga) maka cukuplah bagimu bagian dari dunia seperti bekal seorang pengendara unta (orang bepergian), jauhilah bergaul erat dengan orang kaya (khawatir dirasuki sifat tamak), dan jangan engkau meminta ganti pakaianmu hingga engkau menambalnya.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Urwah menceritakan bahwa Aisyah ra. tidak mengganti pakaiannya dengan yang baru hingga ia menambal pakaiannya. Namun, ketakwaan, kedermawanan, kesalihan dan keilmuannya menjadikannya selalu jelita di mata Allah, Rasul saw. dan seluruh manusia.
Imam Ali kw. pernah bercerita kepada Ibn A’buda tentang Fathimah, anggota keluarga yang paling Rasul cintai:
Ia memutar penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga membekas di pundaknya, dan membersihkan rumah hingga pakaiannya penuh debu. Lalu datang pembantu kepada Rasul saw. Kamudian aku berkata, “Seandainya engkau datang kepada ayahmu dan meminta seorang pembantu.”
Lalu ia mendatangi Rasul, tetapi banyak orang bersama beliau. Ia datang lagi besoknya. Rasul bertanya, “Apa keperluanmu?”
Fathimah diam saja. Lalu Ali kw. berkata, “Aku ceritakan kepadamu, ya Rasulullah. Ia memutar penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga berbekas pundaknya. Lalu ketika datang pembantu kepadamu, aku menyuruhnya mendatangimu agar meminta pembantu yang bisa menghilangkan kesusahannya itu.”
Rasul bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Fathimah, tunaikan kewajiban Tuhanmu dan kerjakan pekerjaan (mengurus) keluargamu. Jika engkau menghampiri peraduanmu, bertasbihlah 33 kali, bacalah hamdalah 33 kali, lalu takbir 34 kali, dan itu genap 100 kali. Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”
Fathimah pun berkata, “Aku ridha dengan pemberian dari Allah dan Rasulnya.” (HR Abu Dawud).
Imam Ahmad meriwayatkan hadis di atas dalam Al-Musnad dari Ismail bin Ibrahim dan Waki’. Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrak dari Ibrahim bin ‘Ashmah al-Adl, dari as-Sari bin Khuzaimah, dari Muslim bin Ibrahim. Ketiganya (Ismail bin Ibrahim, Waki’ dan Muslim bin Ibrahim) menuturkannya dari Hisyam ad-Dastuwa’I, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Rasyid al-Habrani, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Al-Hakim mengomentari jalur ini: Ini adalah hadis sahih menurut syarat syaikhayn (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya. Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi di dalam At-Talkhish.
Syu’aib al-Arnauth mengomentari jalur Imam Ahmad ini: Ini hadis sahih, para perawinya perawi syaikhayn kecuali Abu Rasyid al-Habrani. Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Bukhari di dalam Adab al-Mufrad dan sejumlah orang meriwayatkan darinya.
Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Afan, dari Aban dan Musa bin Khalaf. Imam al-Hakim meriwayatkannya dari Abu Abdillah Muhammad bin Ali ash-Shan’ani, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Abdurrazaq, dari Ma’mar. Ketiganya (Aban, Musa bin Khalaf dan Ma’mar) menuturkannya dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Salam, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Imam al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadis sahih menurut syarat Muslim, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Hal ini disepakati oleh adz-Dzahabi.
Makna Hadis
Hadis ini menyebutkan wanita penghuni neraka di antaranya adalah yang memiliki dua sifat tercela: tidak bersyukur (berterima kasih) kepada suaminya; jika diuji dengan suatu ujian, ia tidak bersabar. Hadis ini juga diperkuat oleh sabda Rasul yang lain. Abdullah bin Amru meriwayatkan bahwa Rasul pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لاَ تَسْتَغْنِى عَنْهُ
Allah tidak akan memandang seorang wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya dan tidak (berusaha) mencukupkan diri dari (pemberian) suaminya (HR an-Nasai, al-Hakim, ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Syaikh Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi di dalam kitab Bahr al-Fawâ’id/Ma’âni al-Akhyâr menjelaskan, “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) terhadap pemberian, ia tidak akan bisa bersabar saat mendapat ujian.” Syukur bisa timbul jika ada rasa qana’ah (merasa cukup) atas pemberian meski sedikit jumlahnya; juga menghargai pemberian meski tidak seberapa harganya, karena di dalamnya terkandung nilai maknawi yang besar, yaitu ketaatan suami atas kewajiban nafkah dan rasa cintanya kepada istri dan keluarganya.”
Berikut sekelumit teladan dari Umahatul Mukminin dan penghulu wanita surga Fathimah binti Rasulullah saw.
Ummul Mukminin Aisyah ra. menceritakan, “Pernah datang kepada kami satu bulan penuh saat kami tidak pernah menyalakan api (tidak pernah memasak), (makanan kami) tidak lain adalah kurma kering dan air, kecuali kami dibawakan daging.” (HR al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Beliau juga bercerita, “Tidaklah keluarga Muhammad makan dua kali dalam sehari kecuali salah satunya adalah kurma kering.”
Nabi saw. pernah bersabda, “Belum pernah lewat satu sore dimana keluarga Muhammad memiliki satu sha’ kurma kering atau satu sha’ biji-bijian.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Begitulah makanan yang dinikmati ibunda kita, para istri Rasul saw. Namun, mereka adalah para wanita yang senantiasa dipenuhi rasa syukur, rasa berterima kasih dan kesabaran serta jauh dari keluh-kesah.
Dalam hal pakaian, Rasul saw. pernah berpesan kepada Bunda Aisyah ra., “Jika engkau senang bersamaku (di surga) maka cukuplah bagimu bagian dari dunia seperti bekal seorang pengendara unta (orang bepergian), jauhilah bergaul erat dengan orang kaya (khawatir dirasuki sifat tamak), dan jangan engkau meminta ganti pakaianmu hingga engkau menambalnya.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Urwah menceritakan bahwa Aisyah ra. tidak mengganti pakaiannya dengan yang baru hingga ia menambal pakaiannya. Namun, ketakwaan, kedermawanan, kesalihan dan keilmuannya menjadikannya selalu jelita di mata Allah, Rasul saw. dan seluruh manusia.
Imam Ali kw. pernah bercerita kepada Ibn A’buda tentang Fathimah, anggota keluarga yang paling Rasul cintai:
Ia memutar penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga membekas di pundaknya, dan membersihkan rumah hingga pakaiannya penuh debu. Lalu datang pembantu kepada Rasul saw. Kamudian aku berkata, “Seandainya engkau datang kepada ayahmu dan meminta seorang pembantu.”
Lalu ia mendatangi Rasul, tetapi banyak orang bersama beliau. Ia datang lagi besoknya. Rasul bertanya, “Apa keperluanmu?”
Fathimah diam saja. Lalu Ali kw. berkata, “Aku ceritakan kepadamu, ya Rasulullah. Ia memutar penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga berbekas pundaknya. Lalu ketika datang pembantu kepadamu, aku menyuruhnya mendatangimu agar meminta pembantu yang bisa menghilangkan kesusahannya itu.”
Rasul bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Fathimah, tunaikan kewajiban Tuhanmu dan kerjakan pekerjaan (mengurus) keluargamu. Jika engkau menghampiri peraduanmu, bertasbihlah 33 kali, bacalah hamdalah 33 kali, lalu takbir 34 kali, dan itu genap 100 kali. Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”
Fathimah pun berkata, “Aku ridha dengan pemberian dari Allah dan Rasulnya.” (HR Abu Dawud).
Selasa, 01 Desember 2009
’PENYESATAN’ DI BALIK SLOGAN ‘PENDIDIKAN’ KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Berdasarkan hasil survei Komnas Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 terungkap sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU yang disurvei mengaku pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks. Dan, sebanyak 62,7% anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak perawan. Serta 21,2% remaja SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi. Dan lagi, 97% pelajar SMP dan SMA yang disurvei mengaku suka menonton film porno (Media Indonesia,19/7/08)
Data tersebut tak pelak, menambah miris dan keprihatinan kita akan perilaku seksual remaja kita yang semakin hari semakin liberal saja. Berbagai analisa pun dilakukan. Salah satu pendapat yang kemudian cukup mengemuka adalah bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi yang dimiliki oleh remaja tentang kesehatan reproduksi mereka sehingga mereka melakukan perilaku seksual yang beresiko pada terjadinya kehamilan tidak diinginkan dengan berbagai konsekuensinya ataupun beresiko pada tertularnya penyakit-penyakit menular seksual. Dari asumsi ini, maka digencarkanlah upaya pemberian informasi seputar kesehatan reproduksi kepada remaja dengan bungkus ’Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja’ atau yang biasa disingkat KRR.
Target dari Pendidikan KRR ini adalah untuk mewujudkan perilaku seksual remaja yang aman dan sehat. Perilaku seksual remaja yang aman artinya perilaku seksual remaja yang tidak mengantarkan mereka pada terjadinya kehamilan tidak diinginkan berikut resiko yang menyertainya. Sehat, artinya perilaku seksual remaja tersebut tidak mengantarkan remaja tertular penyakit menular seksual. Strategi yang dilakukan adalah mengkampanyekan perilaku seksual remaja yang aman dan sehat tersebut melalui seminar, pelatihan, talk show, buzz group, konsultasi, hingga bagi-bagi kondom. Subyek yang dilibatkan pun beragam; dari kalangan birokrat hingga para remaja yang diharapkan bisa menjadi agen penyampai pesan yang lebih mudah diterima oleh teman sebayanya. Media yang digunakan pun sangat variatif; dari brosur, leaflet, buklet, hingga game dan kuis yang memang sangat menarik bagi para remaja kita. Meski demikian variatif pelaku dan media yang digunakan, namun isi pesan yang disampaikan tetaplah sama, yaitu kampanye ABCD (Abstinensia, Be faithful, use Condom, no Drug) yang diiringi dengan implementasi kebijakan kondomisasi dan harm reduction. Sebuah kebijakan yang memang diimplementasikan di seluruh dunia, dengan digawangi UNAIDS dan WHO, termasuk di Indonesia.
Sekilas, slogan dan kampanye yang dibawa oleh pendidikan KRR ini sangat melegakan dan ’seolah’ bisa diharapkan memperbaiki perilaku seksual remaja kita yang liberal dan penuh resiko tersebut menjadi perilaku seksual yang tidak lagi liberal dan beresiko. Itulah perilaku seksual remaja yang aman, sehat dan bertanggung jawab. Benarkah demikian?
’Penyesatan’ di balik Slogan ’Pendidikan’
Dikatakan sebuah tindakan adalah pendidikan, jika di dalamnya dilakukan sebuah proses untuk membuat anak didik menjadi orang yang secara kognitif menjadi tahu dari ketidaktahuannya akan sesuatu kebenaran, secara afektif kemudian menerima kebenaran tersebut dengan penuh kerelaan, dan secara psikomotor kemudian bisa kita lihat bagaimana kebenaran yang sudah dipahaminya tersebut dia implementasikan dalam perilakunya sehari-hari. Nah pertanyaan yang mestinya muncul dan harus kita jawab terlebih dahulu sebelum kita mengadopsi dan melakukan pendidikan KRR ini adalah: ”Benarkah Kampanye ABCD adalah sebuah Pendidikan bagi remaja kita?” Mari kita lihat!
Sebelum kampanye ABCD dilakukan, dalam setiap penyampaian Pendidikan KRR selalu diawali dengan mengajak remaja untuk memahami proses pubertas yang mereka alami, dengan berbagai perubahan yang terjadi pada tubuh (fisik), mental dan libido mereka. Benang merahnya adalah bahwa eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh remaja, karena kondisi libido mereka yang memang lagi tinggi-tingginya. Namun agar tidak sampai terjatuh pada resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan dan tertular penyakit menular seksual, yang seringkali menjatuhkan remaja kita pada resiko lain berikutnya (putus sekolah, aborsi hingga meninggal dunia pada usia muda), maka perilaku seksual mereka haruslah senantiasa ’aman’ dan ’sehat’, dengan melakukan ABCD. Dengan demikian remaja dikatakan sudah memiliki perilaku seksual yang bertanggung jawab.
Apakah kampanye ABCD itu? A adalah Abstinensia, artinya bahwa mereka tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Ini adalah sebuah informasi yang benar, yang harus kita dukung kampanye dan implementasinya. Kita harus membuat remaja melihat (dengan proses edukasi dan sosialisasi) bahwa inilah satu-satunya pilihan bagi mereka, kalau mereka belum menikah. Dan bahwa melakukan seks sebelum menikah adalah kesalahan, keharaman, yang membawa kerugian tidak hanya sekarang di dunia, namun juga kelak di akhirat. Sembari kita ciptakan lingkungan yang kondusif di sekitar remaja kita agar mereka mudah untuk mencegah diri dari melakukannya, baik karena faham atau karena terpaksa (’takut’ terhadap ancaman sanksinya).
Sayangnya, pada pendidikan KRR ini, Abstinensia (A) hanyalah salah satu opsi yang bisa diambil oleh remaja kita, dan bukannya satu-satunya opsi. Terlebih ketika dikaitkan dengan informasi awal yang mengatakan bahwa melakukan eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar. Sehingga kalaupun ternyata mereka tidak bisa bertahan untuk memilih opsi Abstinensia (A) adalah suatu hal yang wajar juga. Karena itulah ada pilihan lain yang bisa diambil, yakni B (Be faithful) atau setialah. Pada siapa? Tentu saja kalau pertanyaan ini ditanyakan, secara teori akan kita dapatkan jawaban: setia pada suami dan istri masing-masing tentunya. Tapi, pada konteks KRR ini, benarkah yang dimaksud setia di sini adalah agar para remaja kita setia pada suami atau istri mereka? Apakah benar siswa-siswi setingkat SMP-SMA yang menjadi sasaran pendidikan KRR ini memiliki suami/istri? Tentu saja tidak!. Lalu apa maksud dari mereka harus setia di sini? Mereka harus setia pada siapa? Di titik inilah celah liberalisasi seksual di kalangan remaja kita justru dibuka oleh ’pendidikan’ ini. Karena yang dimaksudkan di sini adalah agar remaja kita setia pada pacar atau pasangan mereka. Lalu apa makna tersirat yang bisa dipahami oleh remaja kita dengan adanya pilihan ’setialah pada pasanganmu’ kalau kamu tidak bisa ’abstinensia/puasa seks’ sebelum menikah? Bukankah itu artinya adalah bahwa mereka boleh ngeseks, asalkan dengan pacarnya, dan mereka melakukannya hanya dengan pacarnya (setia) saja. Apakah ini yang disebut ’pendidikan’?Ataukah ini adalah ’penyesatan’ yang dibungkus label ’pendidikan’?!
Aroma penyesatan (liberalisasi) pada pendidikan KRR ini pun lebih jelas lagi, ketika diberikan opsi berikutnya yakni use Condom (C) seandainya remaja kita (dalam melakukan eksplorasi seksualnya tadi) tidak bisa setia (baca: hanya melakukannya) dengan pacarnya. Bukankah implisitnya itu berarti kita membolehkan mereka bergonta-ganti pasangan, asalkan mereka memakai kondom. Dikatakan, kondom memiliki dual protection. Dengan kondom mereka bisa terproteksi dari kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan, dan juga dari tertularnya penyakit menular seksual. Singkatnya, remaja kita bisa tetap memiliki perilaku seksual yang aman dan sehat (meski bergonta-ganti pasangan) dengan kondom. Jargon yang digembar-gemborkan: ‘safe sex use condom’. Pertanyaannya sekarang: Apakah ini adalah informasi yang benar?
Secara factual, kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron. Selain itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan karena selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin, sehingga 36-38% kondom sebenarnya tidak dapat digunakan. Ini terbukti adanya peningkatan laju infeksi sehubungan dengan kampanye kondom 13-27% lebih.
Secara rasional, di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada ancaman penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah, maka kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat remaja semakin berani, ’nyaman dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu. Mengapa semu? Karena seks bebas akan tetap dimurkai Allah SWT meskipun menggunakan kondom.
Sementara opsi D (no Drug) disampaikan karena saat ini mulai ada trend peningkatan penularan HIV-AIDS melalui penyalahgunaan narkoba (terutama suntik). Opsi no Drug yang berarti ‘jangan pernah menggunakan narkoba’ adalah sebuah content kampanye yang benar, sebagaimana content kampanye Abstinensia (tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah). Sayangnya, lagi-lagi, kampanye ini tidak pernah berani dengan tegas mengatakan bahwa itulah satu-satunya opsi yang boleh diambil oleh remaja kita sembari kita ciptakan lingkungan kondusif agar remaja kita tidak terjerumus pada penyalahgunaan narkoba. Justru sebaliknya, belum all out mengupayakan hal tersebut, kampanye ini justru memperkenalkan ‘strategi’ baru untuk tetap bisa menggunakan narkoba namun dengan resiko yang lebih rendah ketimbang menjadi pengguna narkoba suntik (penasun). Strategi itu kita kenal dengan istilah ‘harm reduction, yakni tindakan memberikan jarum suntik steril dan subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik. Benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak. Mengapa?
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis. Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon. (Hawari, D. , 2004) Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. (Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.2003) Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku, dimana terjadi kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang sangat absurd. Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena efek narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk tidak mau berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?! Di saat seperti itu, masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang bahaya berbagi jarum suntik bersama, padahal pada saat yang sama mereka sudah lupa (baca: tidak sadar lagi) bahwa memakai narkoba suntik sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan atau tanpa berbagi jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?! Lagi pula, sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah terlanjur ’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali mengenal narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama berpesta narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.
Simpulan dan Penutup
Sebenarnya aroma liberalisasi ini kalau kita mau jernih dan jujur bisa kita lihat sejak dari tujuan apa yang ingin diraih dengan dilakukannya pendidikan KRR ini: ’sekedar’ mewujudkan perilaku seksual remaja yang sehat dan aman, bukan mewujudkan perilaku seksual remaja yang ’benar’. Maka standard yang dipakai bukanlah halal-haram atau benar-salah. Masalah perilaku seksual remaja ini hanya dipandang sebagai masalah medis saja. Yakni bahwa banyak remaja kita yang menjadi korban di tempat-tempat aborsi dan menjadi pengidap penyakit mematikan, meregang nyawa hingga kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasnya menjadi generasi masa depan, karena itu harus diselamatkan. Caranya dengan mencegah mereka dari mengalami kehamilan tidak diinginkan (mewujudkan seks aman), dan mencegah mereka dari tertular penyakit menular seksual (mewujudkan seks sehat), tanpa melihat lebih ke akar masalah mengapa hal tersebut terjadi. Alhasil, pendidikan KRR yang diharapkan bisa merubah perilaku seksual remaja yang saat ini sudah begitu liberal tidak hanya mengalami kegagalan, namun malah menimbulkan masalah baru yakni semakin liberalnya perilaku seksual remaja kita saat ini.
Bila dicermati secara seksama, muatan liberalisasi seks yang kental dalam kampanye ABCD ini memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran yang mendasari gagasan kampanye ABCD itu sendiri. Yaitu gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai pernikahan. Pandangan ini disampaikan pada Konferensi Wanita di Bejing, tahun 1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di Kairo (ICPD, 1994). Dari konferensi inilah bertolak strategi-strategi penanganan masalah reproduksi yang saat ini diterapkan di dunia, termasuk Indonesia.
Sejatinya strategi-strategi tersebut, termasuk diantaranya konsep pendidikan KRR ini adalah sebuah konsep yang lahir dari paradigma berfikir yang sekuleristik, liberalistik, materialistik dan individualistik. Dikatakan liberalistik karena menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan, termasuk pengaturan dalam memenuhi naluri seksual ini. Liberalistik karena menjadikan kebebasan individu termasuk kebebasan bertingkah laku/kebebasan mengatur kehidupan reproduksi sebagai hal yang diagung-agungkan bahkan diatas pengaturan Tuhan/agama. Materialistik karena menjadikan nilai-nilai materi dan kenikmatan fisik sebagai ukuran kebahagiaan yang harus dikejar. Individualistik karena menjadikan problematika perilaku seksual remaja ini menjadi permasalahan individu remaja itu sendiri, yang akan dianggap selesai begitu sang remaja tersebut mau menanggung akibat/resiko dari perilaku seks bebasnya.
Dari sini, bisa kita lihat banyaknya kalangan yang menolak Konsep KRR ala ICPD ini bukanlah sebuah penolakan yang membabi-buta terhadap semua hal yang berbau ’Barat’ ataupun penolakan tanpa alasan. Akan tetapi lebih karena kesadaran akan bahaya ’penyesatan’ dan ’liberalisasi’ terhadap generasi yang ada di dalam konsep pendidikan KRR ini. Sebuah ‘penyesatan’ dan upaya ‘liberalisasi’ remaja kita yang dibungkus rapi atas nama Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Akankah kita menerima dan ikut-ikutan mengkampanyekannya hanya karena itulah strategi yang ditawarkan oleh UNAIDS dan WHO? Sudah saatnya negeri yang dikenal relijius ini merumuskan sendiri strategi penanganan masalah reproduksi remaja yang berparadigma Ilahiyah. Wallahu A’lam.
Penulis:
dr. Faizatul Rosyidah
-Dokter klinik kampus IAIN Sunan Ampel Sby
-Fasilitator Pembinaan Keluarga Sakinah Bagi remaja Usia Pra Nikah Depag Surabaya
-Konsultan pendidikan anak, remaja dan keluarga Radio El Victor Sby
Data tersebut tak pelak, menambah miris dan keprihatinan kita akan perilaku seksual remaja kita yang semakin hari semakin liberal saja. Berbagai analisa pun dilakukan. Salah satu pendapat yang kemudian cukup mengemuka adalah bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi yang dimiliki oleh remaja tentang kesehatan reproduksi mereka sehingga mereka melakukan perilaku seksual yang beresiko pada terjadinya kehamilan tidak diinginkan dengan berbagai konsekuensinya ataupun beresiko pada tertularnya penyakit-penyakit menular seksual. Dari asumsi ini, maka digencarkanlah upaya pemberian informasi seputar kesehatan reproduksi kepada remaja dengan bungkus ’Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja’ atau yang biasa disingkat KRR.
Target dari Pendidikan KRR ini adalah untuk mewujudkan perilaku seksual remaja yang aman dan sehat. Perilaku seksual remaja yang aman artinya perilaku seksual remaja yang tidak mengantarkan mereka pada terjadinya kehamilan tidak diinginkan berikut resiko yang menyertainya. Sehat, artinya perilaku seksual remaja tersebut tidak mengantarkan remaja tertular penyakit menular seksual. Strategi yang dilakukan adalah mengkampanyekan perilaku seksual remaja yang aman dan sehat tersebut melalui seminar, pelatihan, talk show, buzz group, konsultasi, hingga bagi-bagi kondom. Subyek yang dilibatkan pun beragam; dari kalangan birokrat hingga para remaja yang diharapkan bisa menjadi agen penyampai pesan yang lebih mudah diterima oleh teman sebayanya. Media yang digunakan pun sangat variatif; dari brosur, leaflet, buklet, hingga game dan kuis yang memang sangat menarik bagi para remaja kita. Meski demikian variatif pelaku dan media yang digunakan, namun isi pesan yang disampaikan tetaplah sama, yaitu kampanye ABCD (Abstinensia, Be faithful, use Condom, no Drug) yang diiringi dengan implementasi kebijakan kondomisasi dan harm reduction. Sebuah kebijakan yang memang diimplementasikan di seluruh dunia, dengan digawangi UNAIDS dan WHO, termasuk di Indonesia.
Sekilas, slogan dan kampanye yang dibawa oleh pendidikan KRR ini sangat melegakan dan ’seolah’ bisa diharapkan memperbaiki perilaku seksual remaja kita yang liberal dan penuh resiko tersebut menjadi perilaku seksual yang tidak lagi liberal dan beresiko. Itulah perilaku seksual remaja yang aman, sehat dan bertanggung jawab. Benarkah demikian?
’Penyesatan’ di balik Slogan ’Pendidikan’
Dikatakan sebuah tindakan adalah pendidikan, jika di dalamnya dilakukan sebuah proses untuk membuat anak didik menjadi orang yang secara kognitif menjadi tahu dari ketidaktahuannya akan sesuatu kebenaran, secara afektif kemudian menerima kebenaran tersebut dengan penuh kerelaan, dan secara psikomotor kemudian bisa kita lihat bagaimana kebenaran yang sudah dipahaminya tersebut dia implementasikan dalam perilakunya sehari-hari. Nah pertanyaan yang mestinya muncul dan harus kita jawab terlebih dahulu sebelum kita mengadopsi dan melakukan pendidikan KRR ini adalah: ”Benarkah Kampanye ABCD adalah sebuah Pendidikan bagi remaja kita?” Mari kita lihat!
Sebelum kampanye ABCD dilakukan, dalam setiap penyampaian Pendidikan KRR selalu diawali dengan mengajak remaja untuk memahami proses pubertas yang mereka alami, dengan berbagai perubahan yang terjadi pada tubuh (fisik), mental dan libido mereka. Benang merahnya adalah bahwa eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh remaja, karena kondisi libido mereka yang memang lagi tinggi-tingginya. Namun agar tidak sampai terjatuh pada resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan dan tertular penyakit menular seksual, yang seringkali menjatuhkan remaja kita pada resiko lain berikutnya (putus sekolah, aborsi hingga meninggal dunia pada usia muda), maka perilaku seksual mereka haruslah senantiasa ’aman’ dan ’sehat’, dengan melakukan ABCD. Dengan demikian remaja dikatakan sudah memiliki perilaku seksual yang bertanggung jawab.
Apakah kampanye ABCD itu? A adalah Abstinensia, artinya bahwa mereka tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Ini adalah sebuah informasi yang benar, yang harus kita dukung kampanye dan implementasinya. Kita harus membuat remaja melihat (dengan proses edukasi dan sosialisasi) bahwa inilah satu-satunya pilihan bagi mereka, kalau mereka belum menikah. Dan bahwa melakukan seks sebelum menikah adalah kesalahan, keharaman, yang membawa kerugian tidak hanya sekarang di dunia, namun juga kelak di akhirat. Sembari kita ciptakan lingkungan yang kondusif di sekitar remaja kita agar mereka mudah untuk mencegah diri dari melakukannya, baik karena faham atau karena terpaksa (’takut’ terhadap ancaman sanksinya).
Sayangnya, pada pendidikan KRR ini, Abstinensia (A) hanyalah salah satu opsi yang bisa diambil oleh remaja kita, dan bukannya satu-satunya opsi. Terlebih ketika dikaitkan dengan informasi awal yang mengatakan bahwa melakukan eksplorasi seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar. Sehingga kalaupun ternyata mereka tidak bisa bertahan untuk memilih opsi Abstinensia (A) adalah suatu hal yang wajar juga. Karena itulah ada pilihan lain yang bisa diambil, yakni B (Be faithful) atau setialah. Pada siapa? Tentu saja kalau pertanyaan ini ditanyakan, secara teori akan kita dapatkan jawaban: setia pada suami dan istri masing-masing tentunya. Tapi, pada konteks KRR ini, benarkah yang dimaksud setia di sini adalah agar para remaja kita setia pada suami atau istri mereka? Apakah benar siswa-siswi setingkat SMP-SMA yang menjadi sasaran pendidikan KRR ini memiliki suami/istri? Tentu saja tidak!. Lalu apa maksud dari mereka harus setia di sini? Mereka harus setia pada siapa? Di titik inilah celah liberalisasi seksual di kalangan remaja kita justru dibuka oleh ’pendidikan’ ini. Karena yang dimaksudkan di sini adalah agar remaja kita setia pada pacar atau pasangan mereka. Lalu apa makna tersirat yang bisa dipahami oleh remaja kita dengan adanya pilihan ’setialah pada pasanganmu’ kalau kamu tidak bisa ’abstinensia/puasa seks’ sebelum menikah? Bukankah itu artinya adalah bahwa mereka boleh ngeseks, asalkan dengan pacarnya, dan mereka melakukannya hanya dengan pacarnya (setia) saja. Apakah ini yang disebut ’pendidikan’?Ataukah ini adalah ’penyesatan’ yang dibungkus label ’pendidikan’?!
Aroma penyesatan (liberalisasi) pada pendidikan KRR ini pun lebih jelas lagi, ketika diberikan opsi berikutnya yakni use Condom (C) seandainya remaja kita (dalam melakukan eksplorasi seksualnya tadi) tidak bisa setia (baca: hanya melakukannya) dengan pacarnya. Bukankah implisitnya itu berarti kita membolehkan mereka bergonta-ganti pasangan, asalkan mereka memakai kondom. Dikatakan, kondom memiliki dual protection. Dengan kondom mereka bisa terproteksi dari kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan, dan juga dari tertularnya penyakit menular seksual. Singkatnya, remaja kita bisa tetap memiliki perilaku seksual yang aman dan sehat (meski bergonta-ganti pasangan) dengan kondom. Jargon yang digembar-gemborkan: ‘safe sex use condom’. Pertanyaannya sekarang: Apakah ini adalah informasi yang benar?
Secara factual, kondom terbukti tidak mampu mencegah penularan HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron. Selain itu para pemakai kondom semakin mudah terinfeksi atau menularkan karena selama proses pembuatan kondom terbentuk lubang-lubang. Terlebih lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin, sehingga 36-38% kondom sebenarnya tidak dapat digunakan. Ini terbukti adanya peningkatan laju infeksi sehubungan dengan kampanye kondom 13-27% lebih.
Secara rasional, di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada ancaman penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah, maka kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat remaja semakin berani, ’nyaman dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu. Mengapa semu? Karena seks bebas akan tetap dimurkai Allah SWT meskipun menggunakan kondom.
Sementara opsi D (no Drug) disampaikan karena saat ini mulai ada trend peningkatan penularan HIV-AIDS melalui penyalahgunaan narkoba (terutama suntik). Opsi no Drug yang berarti ‘jangan pernah menggunakan narkoba’ adalah sebuah content kampanye yang benar, sebagaimana content kampanye Abstinensia (tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah). Sayangnya, lagi-lagi, kampanye ini tidak pernah berani dengan tegas mengatakan bahwa itulah satu-satunya opsi yang boleh diambil oleh remaja kita sembari kita ciptakan lingkungan kondusif agar remaja kita tidak terjerumus pada penyalahgunaan narkoba. Justru sebaliknya, belum all out mengupayakan hal tersebut, kampanye ini justru memperkenalkan ‘strategi’ baru untuk tetap bisa menggunakan narkoba namun dengan resiko yang lebih rendah ketimbang menjadi pengguna narkoba suntik (penasun). Strategi itu kita kenal dengan istilah ‘harm reduction, yakni tindakan memberikan jarum suntik steril dan subsitusi metadon bagi penyalahguna NARKOBA suntik. Benarkah upaya ini akan mengurangi risiko penularan HIV/AIDS? Jawabannya jelas tidak. Mengapa?
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin) dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri, misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis. Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon. (Hawari, D. , 2004) Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. (Bagian Farmakologi. FK. UI. Jakarta.2003) Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan perilaku, dimana terjadi kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan para pengguna NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang sangat absurd. Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena efek narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk tidak mau berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?! Di saat seperti itu, masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang bahaya berbagi jarum suntik bersama, padahal pada saat yang sama mereka sudah lupa (baca: tidak sadar lagi) bahwa memakai narkoba suntik sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan atau tanpa berbagi jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?! Lagi pula, sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah terlanjur ’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali mengenal narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama berpesta narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan teman-teman. Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota 9-10 orang.
Simpulan dan Penutup
Sebenarnya aroma liberalisasi ini kalau kita mau jernih dan jujur bisa kita lihat sejak dari tujuan apa yang ingin diraih dengan dilakukannya pendidikan KRR ini: ’sekedar’ mewujudkan perilaku seksual remaja yang sehat dan aman, bukan mewujudkan perilaku seksual remaja yang ’benar’. Maka standard yang dipakai bukanlah halal-haram atau benar-salah. Masalah perilaku seksual remaja ini hanya dipandang sebagai masalah medis saja. Yakni bahwa banyak remaja kita yang menjadi korban di tempat-tempat aborsi dan menjadi pengidap penyakit mematikan, meregang nyawa hingga kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasnya menjadi generasi masa depan, karena itu harus diselamatkan. Caranya dengan mencegah mereka dari mengalami kehamilan tidak diinginkan (mewujudkan seks aman), dan mencegah mereka dari tertular penyakit menular seksual (mewujudkan seks sehat), tanpa melihat lebih ke akar masalah mengapa hal tersebut terjadi. Alhasil, pendidikan KRR yang diharapkan bisa merubah perilaku seksual remaja yang saat ini sudah begitu liberal tidak hanya mengalami kegagalan, namun malah menimbulkan masalah baru yakni semakin liberalnya perilaku seksual remaja kita saat ini.
Bila dicermati secara seksama, muatan liberalisasi seks yang kental dalam kampanye ABCD ini memang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran yang mendasari gagasan kampanye ABCD itu sendiri. Yaitu gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai pernikahan. Pandangan ini disampaikan pada Konferensi Wanita di Bejing, tahun 1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di Kairo (ICPD, 1994). Dari konferensi inilah bertolak strategi-strategi penanganan masalah reproduksi yang saat ini diterapkan di dunia, termasuk Indonesia.
Sejatinya strategi-strategi tersebut, termasuk diantaranya konsep pendidikan KRR ini adalah sebuah konsep yang lahir dari paradigma berfikir yang sekuleristik, liberalistik, materialistik dan individualistik. Dikatakan liberalistik karena menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan, termasuk pengaturan dalam memenuhi naluri seksual ini. Liberalistik karena menjadikan kebebasan individu termasuk kebebasan bertingkah laku/kebebasan mengatur kehidupan reproduksi sebagai hal yang diagung-agungkan bahkan diatas pengaturan Tuhan/agama. Materialistik karena menjadikan nilai-nilai materi dan kenikmatan fisik sebagai ukuran kebahagiaan yang harus dikejar. Individualistik karena menjadikan problematika perilaku seksual remaja ini menjadi permasalahan individu remaja itu sendiri, yang akan dianggap selesai begitu sang remaja tersebut mau menanggung akibat/resiko dari perilaku seks bebasnya.
Dari sini, bisa kita lihat banyaknya kalangan yang menolak Konsep KRR ala ICPD ini bukanlah sebuah penolakan yang membabi-buta terhadap semua hal yang berbau ’Barat’ ataupun penolakan tanpa alasan. Akan tetapi lebih karena kesadaran akan bahaya ’penyesatan’ dan ’liberalisasi’ terhadap generasi yang ada di dalam konsep pendidikan KRR ini. Sebuah ‘penyesatan’ dan upaya ‘liberalisasi’ remaja kita yang dibungkus rapi atas nama Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Akankah kita menerima dan ikut-ikutan mengkampanyekannya hanya karena itulah strategi yang ditawarkan oleh UNAIDS dan WHO? Sudah saatnya negeri yang dikenal relijius ini merumuskan sendiri strategi penanganan masalah reproduksi remaja yang berparadigma Ilahiyah. Wallahu A’lam.
Penulis:
dr. Faizatul Rosyidah
-Dokter klinik kampus IAIN Sunan Ampel Sby
-Fasilitator Pembinaan Keluarga Sakinah Bagi remaja Usia Pra Nikah Depag Surabaya
-Konsultan pendidikan anak, remaja dan keluarga Radio El Victor Sby
Langganan:
Postingan (Atom)