Oleh: Salma Nurul Izza
IBU adalah dahan pijakan anak untuk meraih pucuk kehidupannya. Bila dahan itu patah, anak akan jatuh bersamanya dan tidak akan pernah sampai di puncak.
Tidak ada yang dapat mengingkari betapa pentingnya peran sosok yang kita sebut IBU. Banyak orang besar yang tampil di kancah dunia karena peran seorang ibu. Thomas Alva Edison, tentu kita semua mengenal nama ini. Penemu besar yang memiliki ribuan hak paten. Namun tahukah Anda bahwa dia hanya mengenyam dunia pendidikan formal 3 bulan?
Thomas Alva Edison dikeluarkan dari sekolahnya karena gurunya beranggapan ia terlalu bodoh untuk bersekolah. Ibu Edison tidak mempercayai hal tersebut. Dengan gigih ia didik sendiri Edison di rumah. Lebih dari apa yang didapat Edison bila bersekolah, ibunya mengajarkan juga keuletan berjuang dan kemandirian. Di usia begitu muda, Edison berjualan koran untuk membiayai sendiri penelitian-penelitiannya. Bahkan di usia 10 tahun ia telah memiliki laboratorium sendiri. Bayangkan apa yang terjadi bila ibu Edison bersikap sama dengan gurunya. Mungkin listrik akan terlambat ditemukan. Dan itu berarti penemuan-penemuan yang terkait listrik juga akan terhambat.
Ibu Imam Syafi’i mewakili perjuangan ibu dari tokoh-tokoh agama. Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir. Ia membesarkan Syafi’i sendirian. Memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun Syafi’i sudah hafal Alquran. Guru-guru ia datangkan untuk mengajar Syafi’i, biarpun untuk itu ia harus bekerja keras untuk biaya belajar anaknya.
Sosok ibu seperti yang kita harapkan, bukanlah hal yang mudah kita temui saat ini. Zaman berubah, permasalahan dalam mendidik anak berubah, tantangan semakin berat. Namun harapan untuk menemukan sosok ibu teladan tentu tidak memudar.
Tantangan Ibu Masa Kini
Ibu masa kini memiliki tanggungjawab berat. Peran ganda yang tersandang di pundaknya, antara bekerja dan mendidik anak di rumah, membuat para ibu tertatih menjalani hidupnya. Konsep pemberdayaan ibu yang digulirkan ternyata mengundang berbagai permasalahan baru. Upaya untuk meningkatkan peluang kerja bagi ibu misalnya. Tujuan dari konsep ini adalah memberdayakan perempuan secara ekonomi sehingga membuat perempuan lebih mandiri. Namun pada faktanya peran ibu yang optimal di karier, seringkali tidak diikuti peran yang optimal di rumah
Dengan banyaknya ibu yang berkiprah di luar rumah mencari nafkah, peluang terjadinya disharmonisasi keluarga lebih terbuka. Ibu yang lelah pulang bekerja, lebih mudah mengalami gangguan emosi. Anak seringkali menjadi sasaran pelampiasan. Anak juga hanya mendapat waktu sisa, sehingga komunikasi seringkali terkendala.
Anak-anak yang terabaikan, mendekatkan mereka pada kerusakan moral, pemakaian narkoba, dan pergaulan bebas. Di Bogor, angka ketergantungan terhadap narkoba sudah mencapai 2%, padahal ambang batas yang ditetapkan untuk nasional adalah 1,2% (Pusat Penelitian UI). Bahkan beberapa waktu lalu sebuah stasiun TV melansir penelitian di Jakarta, 800 siswa SD terlibat narkoba!
Penelitian seks bebas di kota-kota besar : Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya menunjukkan angka-angka yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak. Survei yang dilakukan pada 450 responden berusia 15-24 tahun mengatakan bahwa 16% responden berhubungan seks pada usia 13-15 tahun dan 44% berhubungan seks pada usia 16 - 18 tahun (Lembaga Penelitian Synovate, September-Oktober 2004).
Hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), menyatakan pula bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Penelitian pada 2005 itu dilakukan terhadap2.488 responden di Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang, Palembang, dan Kupang.
Sedangkan berdasarkan survey BKKBN 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah berhubungan seks. Sebanyak 21% Di antaranya melakukan aborsi. Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, data itu merupakan hasil survei oleh sebuah lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada 2008.
Kita jadi bertanya-tanya, ada apakah dengan anak-anak kita? Bila kita kaji dengan cermat, pertanyaan ini sebenarnya salah alamat. Anak-anak kita adalah anak-anak yang sama dengan kita sewaktu masih anak-anak. Yang membedakan antara kita dan anak-anak kita sekarang adalah lingkungan yang tidak sama. Dulu di zaman kita tidak ada media massa yang bebas mengumbar pornografi. Tidak ada vcd porno yang dijual bebas di mana-mana. Tidak ada tayangan film sadis yang penuh dengan kekerasan. Dan terutama lagi, dulu kebanyakan kita masih didampingi oleh ibu.
Apa hubungannya dengan ibu? Ya, dulu ibu kita masih banyak punya waktu untuk mendidik kita, mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menunjukkan mana yang salah. Ibaratnya kita masih memiliki perisai yang melindungi kita dari berbagai hal buruk yang terjadi di sekitar kita.
Sekarang, anak-anak kita tidak memiliki perisai itu. Ibu-ibu saat ini lebih banyak yang menghabiskan waktu di luar rumah mencari uang. Atau kalaupun di rumah, ibu-ibu tersibukkan dengan berbagai tayangan televisi seperti sinetron,telenovela dan infotainment. Alih-alih anak dilindungi dari tayangan yang tidak mendidik, malahan anak-anak diajak ikut nonton, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi.
Bukan hal yang mengejutkan lagi bila Direktur Eksekutif PKBI, Inne Silviane menyatakan ternyata sebagian hubungan seks bebas remaja dilakukan di rumah! Entah kemana ibu mereka.
Peran Ibu
Berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu terakhir ini, terasa pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran ibu mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami.
Padahal, fakta membuktikan bahwa peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. Masa-masa 0-6 tahun bagi anak adalah masa keemasan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, otak anak terbentuk sampai 80 %, kecerdasan dan dasar-dasar kepribadiannya mulai terbentuk. Karena itu, masa ini membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang.
Pembantu atau pengasuh bayi tentu jauh dari kriteria itu. Tempat Penitipan Anak atau kelompok bermain yang diikuti anak juga tidak dapat memberikan stimulasi optimal. Tempat ini dirancang untuk menangani banyak anak, sehingga kebutuhan individu anak akan kasih sayang tidak terpenuhi seperti bila ibu yang intens mengasuhnya. Kasih sayang adalah salah satu makanan otak, yang membuat otak berkembang optimal selain gizi dan stimulasi.
Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi kasih sayang kepada orang lain.
Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah. Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya.
Kasih sayang yang tulus dan berlimpah tentulah datang dari seorang ibu. Pemahaman yang utuh terhadap anak juga tentu datang dari ibu. Bila fungsi ibu terabaikan karena ibu harus keluar rumah, maka adakah fungsi ini akan tergantikan?
Dilema Ibu
Berperan sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun, ibu dihadapkan pada banyak tantangan.
Tantangan terbesar tentu faktor ekonomi. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, membuat para ibu turun tangan ikut bekerja.
Kondisi ini membuat anak-anak tumbuh tanpa kontrol dan pendidikan yang tepat. Tidak ada yang peduli apa yang ditonton anak dan apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Orangtua hanya bisa terkejut saat anak ketahuan terlibat masalah serius atau menjadi korban. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, atau kasus kriminal.
Tantangan kedua adalah pengetahuan ibu terhadap pendidikan anak. Berapa banyak ibu yang hanya tinggal di rumah namun tidak mampu mendidik anak dengan baik. Ia tidak mengenal potensi yang dapat dikembangkan pada anak dan bagaimana mengembangkannya.
Lebih parah adalah ibu yang bekerja dan sekaligus tidak mampu mendidik anak. Ibu-ibu semacam ini tidak memiliki target dalam mendidik anak. Anak dibiarkan seperti air mengalir, terserah mau jadi apa nantinya.
Kondisi ibu semacam ini tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan generasi unggul. Pemerintah seharusnya memiliki kepedulian yang besar dalam masalah ini. Bukankah generasi unggul yang dapat melepaskan bangsa ini dari krisis yang terus membelit? Apakah kita akan bertahan dengan berbagai kerusakan yang melanda bangsa ini? Pepatah bahkan mengatakan bahwa pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang berhasil mencetak pemimpin yang lebih baik.
Selama ibu masih harus disibukkan dengan mencari nafkah, selama ibu masih tidak memahami pendidikan anak, selama itu pula generasi unggul tidak akan lahir . Bangsa kita akan terus terpuruk tidak mampu bangkit.
Tugas pemerintah adalah menjamin agar ibu bisa menjalankan peran keibuannya dengan sempurna. Bukan malah mendorong ibu untuk bekerja keluar rumah, bahkan keluar negeri dengan memberikan julukan pahlawan devisa. Itu sama artinya negara ini tengah menjual masa depannya.
Tugas negara pula untuk menjamin pendidikan para ibu. Pendidikan dengan kurikulum yang tepat. Agar para ibu tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya. Namun sesungguhnya, ibu punya tanggungjawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Maka, tidak salah kalau dikatakan perempuan adalah tiang negara. Bila tiang itu roboh, maka tunggulah waktu keruntuhan negara.[]
*Penulis adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar