Ada peraturan yang sangat progresif terkait dengan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan ASI eksklusif yang tercantum dalam UU Kesehatan No.36/2009. Satu sisi hal ini tentu sangat menggembirakan kita yang memahami betapa ASI eksklusif memang salah satu hal yang sangat dibutuhkan anak-anak kita untuk tumbuh menjadi generasi yang sehat dan kuat. Namun di sisi yang lain, tak pelak, peraturan ini tidak serta merta menyelesaikan dilemma yang dihadapi oleh para ibu yang ingin menyempurnakan perannya sebagai ibu,karena saat ini banyak ‘keadaan’ yang membuat mereka malah melakukan pengabaian baik secara sukarela maupun terpaksa.
Disebutkan dalam Pasal 128 ayat (1) bahwa setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan kecuali atas indikasi medis. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus yang diadakan di tempat kerja dan sarana umum [Pasal 128 ayat (2) dan ayat (3)]
Peran pemerintah pun secara tegas dinyatakan dalam Pasal 129 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif. Kebijakan yang berupa pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria tersebut tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah [Pasal 239 ayat (2)]. Peraturan Pemerintah tersebut harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan UU Kesehatan (Pasal 202) ini yaitu tanggal 13 Oktober 2009, sehingga PP paling lambat sudah harus dikeluarkan pada 13 Oktober 2010.
Selain itu, kelebihan lain dalam UU Kesehatan ini adalah adanya sanksi pidana yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 200. Sanksi pidana tersebut dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2). Ancaman pidana yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Dalam penjelasan pasal 128 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu eksklusif” adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan,dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi. Sedangkan kriteria apakah “indikasi medis” itu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.
Menyusui Dalam Pandangan Islam
Fase menyusu termasuk fase terpenting yang dilalui oleh anak, peran ibu dalam fase ini sangat penting, oleh karena itu Allah tidak menyerahkan persoalannya kepada seseorang, akan tetapi Dia menurunkan ayat yang terbaca sepanjang waktu dan zaman, demi menegaskan di setiap tempat dan waktu pentingnya menyusui secara alami bagi ibu dan bayi sekaligus.
Firman Allah Ta’ala, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).
Dalam Tafsir al-Qurthubi rhm tentang firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya,” disebutkan ucapan adh-Dhahhak yang berkata, “Para ibu lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita lain karena mereka lebih sayang dan lebih lembut, menjauhkan anak dari ibu merugikan keduanya.” FirmanNya, “Selama dua tahun.” Yakni sempurna bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuan, ini menunjukkan bahwa menyusui selama dua tahun bukan merupakan kewajiban, boleh menyapih sebelum itu, dan hal ini bersifat kondisional.
Firman Allah, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya: ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu.” (Luqman: 14).
Firman Allah, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15).
Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan ucapan Ibnu Abbas yang berkata, “Kedua ayat ini tentang anak, dia berdiam di dalam rahim selama enam bulan, jika dia berdiam selama tujuh bulan maka susuannya selama dua puluh tiga bulan, jika dia berdiam selama delapan bulan maka susuannya dua puluh dua bulan, jika dia berdiam selama sembilan bulan maka susuannya selama dua puluh satu bulan”, berdasarkan firman Allah, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15). Dari sini maka masa kehamilan dan menyusui saling berkaitan, sebagian mengambil yang lain.
Ini tentang masa menyusui, adapun tentang hukum menyusui maka Allah berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (Al-Baqarah: 233). Al-Bukhari meriwayatkan dari Yunus dari az-Zuhri berkata, “Allah melarang menyengsarakan ibu karena anaknya, ibu berkata, ‘aku tidak menyusuinya’, padahal susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi, ibu lebih sayang dan lebih lembut kepada anak daripada selainnya, ibu tidak berhak menolak menyusui setelah bapak memberikan kepadanya apa yang Allah wajibkan atas dirinya, bapak tidak boleh menyengsarakan ibu karena anaknya, bapak tidak menghalangi ibu menyusui anaknya dan menyerahkan anak kepada orang lain untuk menyusahkan ibu. Tidak ada dosa bagi keduanya menyusukan anak kepada orang lain dengan musyawarah dari bapak dan ibu, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Baqarah: 233). Setelah dicapai kesepakatan di antara mereka berdua.”
Melihat pentingnya menyusui secara alami bagi bayi, Allah swt menetapkan nafkah untuk ibu menyusui bahkan sesudah dia ditalak, hal ini agar anak tidak sengsara karena disia-siakan dengan tidak mendapatkan nafkah dari bapak melalui ibu. Allah juga mendorong para ibu agar menyusui anak-anaknya, firman Allah, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia.” (Al-Qashash: 7).
ASI: Makanan Terbaik bagi Bayi
Susuan paling utama dan terbaik adalah yang langsung dihisap dari payudara ibu yang sehat setelah persalinan, susu ini adalah makanan alami yang pas untuk bayi, Allah telah menyiapkannya dengan kadar dan ukuran tertentu yang tidak tertandingi oleh susu jenis apapun, meskipun ia diklaim baik dari segi mutu dan kadarnya.
Usia cukup bagi bayi manusia untuk mendapat makanan lain selain air susu ibu adalah setelah 6 bulan. Dari usia 0 hingga 6 bulan bayi harus mendapat ASI eksklusif, yakni pemberian ASI murni tanpa bayi diberi tambahan lain seperti cairan air putih, teh, madu, buah-buahan, maupun makanan tambahan seperti bubur susu atau bubur saring dsb., sampai usia bayi 6 bulan, menurut hasil penelitian, positif membuat bayi mendapat nutrisi terbaik; meningkat daya tahan tubuhnya, meningkat kecerdasannya, dan meningkat jalinan kasih (bonding) dengan bunda (dan ayah).
Riset ilmiah telah membuktikan bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Unicef dalam siaran persnya tahun 2004 mengatakan, ASI bukanlah sekedar makanan tetapi juga penyelamat kehidupan. Setiap tahunnya lebih dari 25.000 bayi Indonesia dan 1,3 juta bayi di seluruh dunia dapat diselamatkan dengan pemberian ASI eksklusif. Kajian WHO atas lebih dari 3000 penelitian menunjukkan pemberian ASI selama 6 bulan adalah jangka waktu yang paling optimal untuk pemberian ASI eksklusif. Hal ini karena ASI mengandung semua nutrisi yang diperlukan bagi bayi untuk bertahan hidup pada 6 bulan pertama, mulai dari hormon, antibodi, faktor kekebalan hingga antioksidan.
Kedokteran modern telah menetapkan manfaat-manfaat dari menyusui secara alami bagi anak dari segi kesehatan dan kejiwaan, di antara segi kesehatan adalah:
1- ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, sumber gizi ideal dengan komposisi seimbang, yang jika diberikan secara eksklusif bayi akan lebih sehat dan lebih cerdas dibanding bayi yang tidak mendapatkannya .
2. ASI selalu dalam keadaan steril dan praktis untuk selalu siap diberikan kapan saja, yang berbeda dengan susuan melalui botol yang seringkali terkontaminasi oleh kuman maupun virus dan perlu penanganan khusus untuk mempersiapkannya ataupun membersihkannya.
3. Suhu panas ASI sesuai dengan suhu panas bayi tanpa perlu harus mengahangatkan/mendinginkannya.
4- ASI mudah dicerna karena ia mengandung zat-zat pencerna yang justru membantu usus untuk mencerna.
5- ASI tidak tertandingi oleh susu apapun karena ia diciptakan dan disusun demi memenuhi kebutuhan bayi hari demi hari, susunan kolostrum, cairan berwarna kuning yang dihasilkan oleh payudara sesaat setelah persalinan, mengandung kadar protein lunak yang pas dan zat-zat imun yang melawan mikroba dan virus, sehingga bayi tumbuh dengan memiliki daya tahan tubuh yang baik untuk melawan penyakit.
6- Bayi tumbuh dan berkembang sehat dan selamat dari penyakit jika dia menyusu secara alami, pada saat yang sama menyusu dari botol membuat bayi riskan terkena beberapa penyakit seperti peradangan, diare dengan berbagai macamnya, tersedak dan masih banyak lagi.
7. Ekonomis, karena untuk mendapatkannya gratis tanpa perlu biaya. Yang diperlukan hanyalah memastikan para ibu terpenuhi segala kebutuhan fisik (termasuk gizi) dan kesiapan kondisi kejiwaan mereka hingga bisa diharapkan produksi ASI mereka mencukupi untuk bayi mereka.
Adapun dari segi kejiwaan maka kedokteran jiwa modern telah mengatakan bahwa menyusui secara alami menguatkan jalinan emosi antara ibu dengan bayinya, menjadikan ibu lebih sayang dan perhatian kepada bayinya, menyusui bukan proses sebatas materi, akan tetapi ia adalah jalinan maknawi dan pembentukan jiwa bagi bayi yang disusui. Dengan menyusui terjadilah kontak cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak. Ibu adalah orang yang paling mampu memberikan cinta dan kehangatan yang sesungguhnya kepada anak dengan naluri keibuannya yang diberikan Allah kepadanya. Dengan menyusui, hubungan cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak akan semakin erat dan akan membuat anak merasa tenang dan aman. Saat sang ibu mendekapnya, ia akan merasakan cinta dan kehangatan.
Imam Ali berkata,
ما من لبن يرضع به الصبي أعظم بركة عليه من لبن أمّه
Artinya: Tidak ada air susu yang lebih berbarakah bagi anak bayi dari air susu ibunya sendiri.
Mengenai hal ini Profesor Louis Cablan menegaskan, “Anak yang mendapatkan curahan kasih sayang yang cukup dari ibu pada tahun pertama dan kedua dari usianya akan selalu merasa aman. Pada umumnya anak seperti ini tidak akan merasa gelisah atau takut. Dengan mudah ia dapat beradaptasi saat menginjak usia tiga- empat tahun. Anak yang selalu merasa aman memiliki kestabilan mental dan mudah bergaul dengan siapa saja dan bergabung dengan anak-anak seusianya”.
Dilema Ibu Di Tengah Atmosfer Kehidupan Kapitalistik
Menyusui anak, memberikan ASI eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan adalah salah satu diantara peran ibu yang tidak akan mungkin tergantikan. Masih banyak peran ibu yang lain, utamanya dalam pengasuhan dan pendidikan anak (usia dini) yang juga tidak akan pernah terulang dan tergantikan. Masa-masa 0-6 tahun bagi anak adalah masa keemasan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, otak anak terbentuk sampai 80 %, kecerdasan dan dasar-dasar kepribadiannya mulai terbentuk. Karena itu, masa ini membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang.
Kasih sayang yang tulus dan berlimpah tentulah datang dari seorang ibu. Pemahaman yang utuh terhadap anak juga tentu datang dari ibu. Pembantu atau pengasuh bayi tentu jauh dari kriteria itu. Tempat Penitipan Anak atau kelompok bermain yang diikuti anak juga tidak dapat memberikan stimulasi optimal. Tempat ini dirancang untuk menangani banyak anak, sehingga kebutuhan individu anak akan kasih sayang tidak terpenuhi seperti bila ibu yang intens mengasuhnya. Kasih sayang adalah salah satu makanan otak, yang membuat otak berkembang optimal selain gizi dan stimulasi.
Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi kasih sayang kepada orang lain. Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah. Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya.
Demikianlah, menyempurnakan perannya sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun sangat disayangkan, saat ini untuk bisa melakukannya para ibu dihadapkan pada banyak tantangan.
Tantangan pertama, adalah faktor ekonomi. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, atau malah tidak ada sama sekali karena sulitnya mendapatkan lapangan kerja bagi para bapak, sementara kesempatan lebih terbuka bagi para ibu, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, sedikit banyak membuat para ibu turun tangan ikut bekerja.
Tantangan kedua, adalah berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu terakhir ini yang berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran ibu mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami. Sehingga mau tidak mau seorang ibu seperti ’dipaksa’ oleh atmosfer yang ada untuk lebih memprioritaskan beraktivitas di luar rumah (bekerja) yang dipandang lebih menunjukkan ’kekuatan’ seorang perempuan ketimbang melakukan tugas domestiknya di rumah (mengasuh dan mendidik anak-anaknya). Butuh keberanian dan keikhlasan yang lebih besar saat ini bagi seorang perempuan untuk lebih memilih menyempurnakan kewajibannya sebagai ibu.
Tantangan ketiga, adalah minimnya pengetahuan ibu terhadap pendidikan anak. Harus diakui, masih banyak para ibu yang sehari-hari hanya tinggal di rumah namun ternyata tidak mampu mendidik anak dengan baik. Ia tidak mengenal potensi yang dapat dikembangkan pada anak dan bagaimana mengembangkannya. Tidak ada visi maupun misi tertentu yang mereka miliki terhadap anak-anak mereka. Asal anak terpenuhi makan minumnya, tidak rewel, meski seharian di depan televisi ataupun PS, tidak menjadi masalah bagi mereka.
Yang lebih parah adalah ibu yang bekerja dan sekaligus tidak mampu mendidik anak. Sudahlah anak-anak tidak terawat, sakit-sakitan karena gizi terabaikan, kurang perhatian dan kasih sayang karena kedua orang tua lebih banyak sibuk di luar rumah, ketika mereka di rumah pun tidak sempat dan tidak tahu bagaimana melakukan pendidikan kepada anak-anak mereka. Ibu-ibu dan orang tua semacam ini tidak memiliki target dalam mendidik anak. Anak dibiarkan seperti air mengalir, terserah mau jadi apa nantinya.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para ibu ini tentu saja tidak bisa kita lepaskan dari hal-hal lain terkait, yang melibatkan peran tidak hanya suami (para bapak), keluarga besar, masyarakat maupun kebijakan negara. Pemahaman yang dimiliki oleh suami istri tentang pernikahan, hak dan kewajiban di dalamnya, pola relasi antar keduanya, atmosfer kapitalistik dan materialistik yang mendominasi kehidupan saat ini hingga masyarakat lebih terbiasa menghargai hal-hal yang bersifat materi ketimbang yang lain, kultur individualisme yang semakin dominan hingga tidak hanya memutus kepedulian dari tetangga/masyarakat terdekat bahkan antar keluarga, terbatasnya kemampuan negara menyediakan lapangan kerja yang mencukupi bagi warga negaranya yang mampu bekerja, kondisi keuangan negara dan faktor lainnya yang harus juga ditata sedemikian rupa sehingga tercipta sebuah kehidupan yang kondusif bagi semua orang untuk bisa menyempurnakan peran dan fungsinya sebagaimana seharusnya.
Pengaturan Islam
Sesungguhnya Islam telah datang dengan seperangkat aturan yang berfungsi sebagai mu’alajah musykilah (solusi bagi setiap persoalan manusia). Sekecil atau sebesar apapun bentuknya, siapapun orangnya dan dimanapun dia berada, Islam memiliki solusinya. Yaitu berupa syariat Islam yang berisi aturan-aturan (baik mekanisme maupun sistem) yang berasal dari Allah SWT, sang Pencipta manusia dan alam seisinya. Sebuah solusi yang pasti pas untuk manusia karena berasal dari Dzat Yang paling Tahu hakikat manusia. Allah SWT sendiri juga menegaskan bahwa konsekuensi keimanan seseorang kepada-Nya adalah dengan mengambil Syariah (pengaturan)-Nya sebagai solusi kehidupan, dan menerimanya dengan sepenuh hati.
”Maka Demi Tuhanmu sungguh mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu (muhammad) sebagai hakim (pemutus) segala persoalan yang mereka perselisihkan, kemudian tidak kamu dapati pada diri mereka rasa keberatan sedikitpun atas kepeutusanmu, dan mereka menerimanya dengan sepenuh hati. (TQS. An Nisa: 56).
Lebih lanjut Allah SWT mejelaskan bahwa kemuliaan hamba-Nya ditentukan dari sejauh mana mereka mau tunduk dan taat pada syariah-Nya tersebut, dan bukan pada apa posisinya. Pendek kata, pemimpin atau rakyat, suami atau istri, anak atau orang tua, semua bisa menjadi orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah ketika mereka melaksanakan tanggung jawab mereka masing-masing dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan-Nya.
”Sesungguhnya Orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian.”
Itulah mengapa kita harus senantiasa mencari jawaban atas segala persoalan kehidupan kita kepada Islam. Dalam hal ini Islam telah menjelaskan bahwa di dalam kehidupan rumah tangga Allah memberikan peran bagi suami adalah sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib memimpin, melindungi dan memberi nafkah kepada anggota keluarganya. Sedangkan peran istri adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang bertanggung jawab mengatur rumah tangganya di bawah kepemimpinan suami. Sebagaimana firman Allah surat an Nisa’ ayat 34 :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..."
Dari ayat ini jelas bahwa Allah menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga. Frasa ”..dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” bukanlah sebab seorang laki-laki dijadikan pemimpin dalam rumah tangga, sehingga saat isteri bekerja dan gajinya lebih besar, tidak otomatis hal itu menjadikan isteri sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Terlebih penetapan illat (sebab disyariatkannya) suatu hukum tidak ditetapkan secara aqli, akan tetapi ditetapkan secara syar’i.
Disamping itu terdapat nash lain yang tidak terdapat frasa ” karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” tapi nash tersebut menunjukkan bahwa peran suami sebagai pemimpin rumah tangga dan isteri sebagai pengatur rumah tangga di bawah kepemimpinan suami. Sabda Rasulullah Saw:
“…Dan wanita adalah penjaga tanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya”.
Peran suami sebagai pemimpin keluarga juga ditunjukkan dengan banyaknya nash-nash yang mewajibkan ketaatan dan perizinan isteri kepada suami, karena ketaatan merupakan konsekwensi (hak) dari kepemimpinan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
”Hendaklah engaku bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar perintah suamimu.”
Tentang perizinan Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda: "Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (puasa sunnah), sementara suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izinya (HR. Bukhari)"
Itu dalam hal berbagi peran dan tanggung jawab. Dalam hal pola relasi, maka pergaulan suami-isteri adalah sebuah hubungan yang sangat harmonis, bagaikan dua sahabat (Shahabani) -sebagaimana dikatakan Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzam Ijtima’i fil Islam-, yang mampu mengantarkan keduanya merasakan sakinah mawaddah warahmah. Karena sekalipun kepemimpinan ada pada suami tidak menjadikan suami otoriter dan menzalimi isteri. Hubungan suami dengan istri adalah hubungan persahabatan yang penuh cinta kasih dan rasa sayang (bukan seperti atasan-bawahan, majikan-buruh, dsb), dimana suami menjadi tempat berbagi ketika si istri mengalami persoalan yang tidak bisa diselesaikan sendiri dan sebaliknya. Islam mewajibkan para suami untuk memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya dan menjamin agar istri bisa melaksanakan peran utamanya –sebagai ibu (ummun) dan pengatur rumah tangga (rabbatul bait)– dengan baik. Bantuan itu bisa secara langsung dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah secara ma’ruf. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.”
Inilah hukum yang adil, menyelesaikan masalah serta memulyakan wanita, agar lebih jelas simaklah mekanisme hukum keluarga sebagai berikut:
Di dalam Islam seorang perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian dan terakhir yang bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Orang tua/wali atau suaminya berkewajiban untuk memberikan nafkah yang cukup bagi kehidupannya dan anak-anaknya, perlindungan/keamananan dan jaminan bantuan fisik ketika si perempuan tidak bisa menyelesaikan ’sendiri’ peran utamanya sebagai ibu maupun pengatur/manajer rumah tangga. Jika perempuan menghadapi masalah tidak cukupnya nafkah dari suami (untuk memenuhi kebutuhan pokok), Islam mewajibkan keluarga untuk ikut memberikan bantuan semaksimal mungkin.
Disamping itu, Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan agar nafkah setiap keluarga (sandang, pangan, papan) tercukupi dengan memastikan ketersediaan lapangan kerja dan ketrampilan yang memadai bagi seluruh warga negara. Islam juga mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: pendidikan, kesehatan, keamanan secara langsung (melalui mekanisme yang dilakukan negara).
Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh) baik di sektor yang membutuhkan intelektualitas dan profesionalisme kerja seperti menjadi rektor perguruan tinggi, direktur perusahaan, kepala rumah sakit, ataupun pada bidang yang hanya membutuhkan tenaga/ketrampilannya saja (seperti buruh pabrik, penjahit, dsb). Semua hasil kerjanya adalah milik perempuan itu sendiri, bukan milik keluarga, dan merupakan kesunnahan untuk di shodaqohkan ke keluarga. Sementara pada sisi yang lain, Islam memberi tanggung jawab menjaga kehamilan, menyusui, mengasuh anak dan mengatur rumah tangga pada seorang ibu.
Dari sini terlihat bagaimana indahnya hukum Islam tersebut, wanita diberi banyak pilihan: Pilihan pertama, memilih bekerja atau tidak bekerja dan mencurahkan waktunya untuk membentuk putra-putrinya menjadi generasi khoiru ummah serta senantiasa memperbaiki kerusakan –kerusakan yang ada di masyarakat, beramar ma’ruf nahi munkar. Pilihan kedua, bekerja yang tidak menghabiskan waktunya di tempat kerja, dengan syarat wajib menyelesaikan tugas utamanya sebagai Ibu dan Pengatur rumah tangga .
Bisa kita bayangkan betapa dzalimnya peraturan yang mewajibkan wanita bekerja (menanggung nafkah). Karena pada faktanya perempuan yang hamil tidak bisa kehamilannya tersebut dititipkannya pada suaminya (ditanggung berdua), dan tidak semua perempuan hamil normal dan tidak menghadapi masalah. Secara empiris banyak perempuan pada saat mengandung mengalami kondisi tubuh yang lebih lemah dan menghadapi keluhan dari yang ringan seperti pusing-pusing dan muntah-muntah hingga harus bed rest total. Itulah mengapa saat ini banyak para perempuan yang merasa ’berat’ menanggung beban karena ’diharuskan’ menjadi ibu sekaligus bapak.
Demikianlah, berbagi peran dan tanggung jawab adalah suatu kelaziman. Dan hal tersebut tidak serta merta menunjukkan posisi kemuliaan. Adalah satu hal yang sangat mudah dipahami, bahwa supaya suatu organisasi bisa berjalan dan mencapai tujuannya, maka harus ada kejelasan terhadap apa peran dan fungsi masing-masing SDM di dalamnya. Sebuah organisasi yang menjadikan semua SDM yang dimilikinya berperan sebagai Direktur atau Pimpinan justru akan mengalami kehancuran. Begitu pula saat peran (hak dan kewajiban) dalam keluarga tidak jelas siapa penanggung jawabnya, semua dibagi rata, ditanggung bersama agar dikatakan ’adil’, misalnya wanita dan pria masing-masing punya hak untuk menikahkan dirinya sendiri, sama-sama punya kewajiban mencari nafkah, sama-sama punya hak menceraikan dan sama-sama wajib beriddah, maka jangan heran kalau pada saatnya nanti kehancuran sebuah keluarga menjadi fenomena yang biasa terjadi.
Sementara itu, agar para perempuan bisa menjadi ibu yang berkualitas, maka tugas negara untuk menjamin pendidikan para (calon) ibu. Sebuah pendidikan untuk semua rakyat dengan kurikulum yang memastikan agar para ibu tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya, namun sebaliknya justru memahami bahwa mereka punya tanggungjawab besar untuk melahirkan generasi-generasi bertakwa dan cerdas yang mampu menata masa depan bangsa dan umat ini sesuai dengan syariah-Nya hingga kemuliaan dan kebahagianpun akan diwujudkan.
Penutup
Adanya peraturan yang mengharuskan para ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayi mereka adalah sebuah peraturan bagus yang memang harus kita sambut positif. Namun harus juga kita pahami bahwa maraknya para ibu yang saat ini mengabaikan hal tersebut, dan juga mengabaikan peran mereka sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak mereka (utamanya yang berusia dini) adalah juga karena banyaknya kondisi yang mendorong bahkan memaksa mereka melakukannya. Kondisi itu adalah realitas kehidupan yang terbangun karena paradigma yang melandasi setiap pemikiran dan kebijakan saat ini berbasis pada prinsip sekuler yang kapitalistik dan materialistik.
Dan sudah terbukti, betapa banyak kerusakan yang saat ini harus dianggung oleh bangsa ini. Generasi tawuran dan narkoba, para remaja yang lebih sibuk melakukan free sex dan hura-hura ketimbang membangun masa depan, angka perselingkuhan dan perceraian yang semakin meningkat, para perempuan yang tidak hanya bunuh diri tetapi juga membunuh anak-anaknya karena tidak kuat menahan beban kehidupan, angka kemiskinan yang lebih dari 50%, para suami yang stress karena tidak juga mendapatkan pekerjaan, adalah sekian dari banyaknya fakta buruk kehidupan sekuler yang kapitalistik dan materialistik saat ini.
Hal ini seharusnya makin membuka mata kita semua untuk tidak lagi mempertahankan sistem yang batil ini dan menggantinya dengan kehidupan yang menerapkan syariat Islam secara kaaffah. Sebuah sistem yang sesuai dengan fitrah manusia karena diturunkan oleh Sang Pencipta manusia, yang akan memuaskan akal dan menentramkan hati karenanya. Bagi kaum perempuan khususnya, realita tersebut seharusnya juga makin menyadarkan bahwa kaum perempuan tidak bisa menggantungkan harapan pada berbagai tawaran penyelesaian ala feminis atau pejuang gender yang mendorong para perempuan ’keluar’ dari rumahnya agar memiliki ’kesetaraan’ dengan kaum lelaki, karena hal tersebut tidak akan pernah menyelesaikan masalah, malah justru akan menyeretnya pada jurang penderitaan.
Sudah saatnya kaum perempuan –terutama muslimah– menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam menyelesaikan persoalan perempuan dan anak, serta melibatkan diri secara aktif dalam perubahan yang akan mengantarkan kehidupan yang mampu memberikan jaminan ketenangan, perlindungan dan kecukupan bagi perempuan dan anak, yaitu sebuah kehidupan yang didalamnya diterapkan Syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan, Khilafah Islamiyah. Wallaahu a’lam bish shawaab.
Penulis:
dr. Faizatul Rosyidah
Lajnah Tsaqofiyah DPD I MHTI Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar