Bersama
dr. Hj. Faizatul Rosyidah
Assalamua'alaikum Wr. Wb.
Pasca mengalami bencana,
seseorang khususnya anak-anak pasti akan mengalami trauma dan harus bisa
beradaptasi dengan situasi yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Lalu,
bagaimana agar anak-anak tersebut mampu bertahan ditengah bencana dan bagaimana
terapi terhadap trauma yang dialami mereka? Terimakasih. (Jamaah Wisata hati)
JAWABAN:
Mengingat Indonesia tergolong
negara yang rawan bencana alam, masyarakat sebaiknya membiasakan diri untuk
selalu waspada dan bersiap bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Tidak cuma
gempa, kondisi alam kita juga rawan terhadap ancaman gunung meletus, banjir,
longsor, kekeringan, wabah, dsb. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa jadi menakutkan
dan menjadi trauma bagi orang dewasa, apalagi anak-anak.
Sejumlah faktor mempengaruhi
respons anak terhadap bencana alam. Secara naluriah, sebenarnya cara pandang
anak dalam memahami sesuatu umumnya berkaca kepada orang tuanya. Oleh karena
itu, pemahaman dan reaksi orang tua sendiri terhadap bencana alam menjadi
sangat penting dan menentukan bagaimana anak menghadapi bencana tersebut. Memastikan
kita sebagai orang tua dan orang dewasa yang ada di sekitar anak-anak kita
bersikap dengan tepat adalah hal pertama yang harus dilakukan:
1. Sebagai seorang muslim, kita
harus menyadari bahwa berbagai musibah dan bencana yang melanda itu terjadi
atas izin dan sesuai kehendak Allah sebagai ketetapan-Nya. Allah berfirman:
﴿قُل لَّن
يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang
telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada
Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (TQS. at-Tawbah [9]:
51).
2. Bencana yang kita hadapi bisa
jadi merupakan peristiwa yang murni tidak ada andil/peran serta manusia dalam
terjadinya (seperti gunung meletus, gempa, tsunami dan sejenisnya). Terhadap
bencana jenis ini, yang merupakan qadla (ketetapan) Allah swt, maka kewajiban
kita adalah meyakini dan menerima (baik dan buruknya dalam pandangan manusia)
sebagai sebuah ketetapan dari Allah swt, bukan yang lainnya. Seorang Mukmin
dengan ketakwaannya dan keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta'âla membuat dia
yakin bahwa apapun ketetapan yang Allâh Ta'âla berlakukan untuk dirinya maka
itulah yang terbaik baginya. Selanjutnya sebagai sebuah kejadian yang ketetapan (qadha’) maka musibah itu harus
dilakoni dengan lapang dada, perasaan ridha, disertai kesabaran dan tawakkal
kepada Allah (QS al-Baqarah: 155-157).
Sementara menghadapi bencana yang di sana melibatkan andil perbuatan manusia, seperti banjir tahunan, tanah longsor, merebaknya penyakit menular dan sejenisnya, maka musibah yang terjadi haruslah bisa membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah dan melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) dan kemaksiatan yang ada, dan menggantinya dengan kembali kepada aturan, sistem dan ideologi yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Itulah sesungguhnya hikmah dari musibah yang harus diwujudkan. Allah Ta’ala berfirman:
Sementara menghadapi bencana yang di sana melibatkan andil perbuatan manusia, seperti banjir tahunan, tanah longsor, merebaknya penyakit menular dan sejenisnya, maka musibah yang terjadi haruslah bisa membangkitkan energi dan menumbuhkan keberanian untuk meluruskan segala hal yang salah dan melakukan perbaikan atas berbagai kerusakan (fasad) dan kemaksiatan yang ada, dan menggantinya dengan kembali kepada aturan, sistem dan ideologi yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT. Itulah sesungguhnya hikmah dari musibah yang harus diwujudkan. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS
ar-Rum [30]: 41)
3. Bahwa apapun kejadian yang menimpa kita (baik atau buruk
dalam pandangan kita) sebenarnya akan bernilai kebaikan bagi kita ketika kita
tepat mensikapinya. Yakni bersyukur ketika ditimpa/mendapatkan kesenangan dan
kenikmatan, dan bersabar ketika menghadapi kesulitan/kesengsasaraan. Keduanya
akan menjadi kebaikan bagi kita di sisi Allah swt.
4. Tetap optimis. Bahwa dalam setiap kesulitan yang kita hadapi, oleh Allah swt sudah dijanjikan adanya kemudahan yang selalu menyertainya. "Sesungguhnya bersama dengan kesulitan ada kemudahan" (TQS. Al Insyirah 5-6). Bukankah pasca meletusnya gunung berapi, Allah swt selalu menghadirkan tanah subur yang siap diolah?
Inilah pemahaman dan sikap yang harus kita miliki dan transfer kepada anak-anak kita. Setelah kita sebagai orang tua bisa bersikap dengan tepat dalam menghadapi bencana, maka usaha-usaha berikutnya secara teknis yang bisa kita lakukan untuk membantu anak menghadapi musibah/bencana dengan benar, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Pada saat terjadi bencana, jangan panik,
tetaplah tenang
dan bersikap yang bisa diindera oleh anak-anak kita bahwa kita tahu apa dan
bagaimana kita akan menghadapi situasi tersebut.4. Tetap optimis. Bahwa dalam setiap kesulitan yang kita hadapi, oleh Allah swt sudah dijanjikan adanya kemudahan yang selalu menyertainya. "Sesungguhnya bersama dengan kesulitan ada kemudahan" (TQS. Al Insyirah 5-6). Bukankah pasca meletusnya gunung berapi, Allah swt selalu menghadirkan tanah subur yang siap diolah?
Inilah pemahaman dan sikap yang harus kita miliki dan transfer kepada anak-anak kita. Setelah kita sebagai orang tua bisa bersikap dengan tepat dalam menghadapi bencana, maka usaha-usaha berikutnya secara teknis yang bisa kita lakukan untuk membantu anak menghadapi musibah/bencana dengan benar, diantaranya adalah sebagai berikut :
6. Beri
kesempatan anak untuk bicara menyampaikan isi hati, kekhawatiran, ketakutan
ataupun perasaannya yang lain terkait dengan bencana yang mereka hadapi. Jangan
sampai mereka menyimpan perasaan negatif (sedih, putus asa, marah, dll) yang
belum berhasil mereka atasi, sementara kita tidak mengetahuinya. Dengan
mengajaknya bicara, dan membantu mereka menghadapinya, akan mengurangi rasa
khawatir dan ketakutan anak kita.
7. Berikan
Kegiatan Produktif agar
bisa mengalihkan perhatian dan kesibukan mereka. Seperti mengikutkan anak pada
program ‘mental recovery’ yang dilakukan para relawan dengan cara mengajak
bermain bersama dengan memberi pelajaran untuk bisa lebih kuat menghadapi
bencana, dll.
8. Ikut sertakan anak untuk membantu.
Jika bencana telah usai, banyak kegiatan yang harus dilakukan, seperti
membersihkan rumah atau memperbaiki rumah yang rusak. Penting untuk melibatkan
anak-anak dalam kegiatan ini dengan memberi mereka tugas sesuai kemampuannya, agar
anak mengetahui bahwa kerusakan apapun akibat bencana bisa diperbaiki.
Misalnya, dengan membantu memperbaiki dan membersihkan rumah, anak-anak akan
sadar bahwa rumah mereka yang nyaman bisa kembali lagi. Semoga bermanfaat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar