Quo Vadis Sistem Pendidikan Indonesia: Catatan Konferensi Intelektual Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Pada 16 Desember 2011 di Jakarta, digelar sebuah konferensi dengan tema “Sistem Pendidikan Pragmatis Sebagai Faktor Pendorong Esensial Bagi Rusaknya Kualitas Generasi”. Acara yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia tersebut, dihadiri kurang lebih 350 peserta yang merupakan dosen dari sejumlah universitas di seluruh Indonesia, aktivis mahasiswi, serta pakar pendidikan.
Konferensi ini bertujuan untuk membedah akar masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam konferensi tersebut dikemukakan sebuah wacana bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah jatuh dalam kondisi pragmatisme. Hal inilah yang mengakibatkan turunnya kualitas dan tingkat pendidikan di Indonesia saat ini.
Turunnya kualitas dan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini, telah terpengaruh oleh nilai-nilai liberalisme dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia beranggapan bahwa kondisi ini mengakibatkan lahirnya generasi calon pemimpin di Indonesia yang tidak memiliki integritas serta kepekaan sosial. Di sisi lain, pragmatisme pendidikan di Indonesia juga dapat dijumpai dari arah kebijakan pendidikan nasional terutama terkait kurikulum dan pembiayaan pendidikan di Indonesia yang terjebak pada kapitalisme. Tingginya biaya pendidikan, serta komodifikasi pendidikan mengakibatkan terciptanya diskriminasi sosial terutama bagi mahasiswa yang berlatar belakang keluarga ekonomi lemah. Hasilnya generasi muda yang memiliki keterbatasan ekonomi, secara tidak langsung terpinggirkan untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia yang hanya mengedepankan kepentingan ekonomi, mendukung kepentingan pasar din atas asas kejujuran serta integritas, menunjukkan bahwa pemerintah cenderung tidak memikirkan kepentingan rakyat. Menurut Muslimah Hizbut Tahrir, kendala dalam sistem pendidikan tersebut mencerminkan gambaran pemerintah Indonesia yang saat ini yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, namun cenderung berpihak pada kepentingan pasar (kapital).
Dalam konteks keindonesiaan, negara cenderung menjadikan peningkatan performa ekonomi nasional sebagai fokus utama. Negara justru melupakan salah satu fungsi utamanya untuk mencerdaskan serta melindungi masyarakat. Inilah mengapa komersialisasi dan komodifikasi pendidikan di Indonesia terjadi.
Selain itu, Muslimah Hizbut Tahrir beranggapan bahwa adanya kemitraan komprehensif antara Indonesia dengan Amerika Serikat juga berimbas pada dunia pendidikan. Salah satu poin dalam paket kerjasama menyeluruh antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat tersebut menyangkut kerjasama pendidikan. Pemerintah AS berkomitmen untuk mengucurkan dana hingga mencapai 165 Juta Dollar AS yang ditujukan untuk dunia pendidikan di Indonesia. Sejumlah pertemuan antara pihak pemerintah AS dan sejumlah petinggi dalam jajaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk membicarakan prospek kerjasama antara sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dengan beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat dianggap oleh Muslimah Hizbut Tahrir justru merugikan pihak Indonesia. Hal ini dikarenakan keberadaan kemitraan dalam dunia pendidikan tersebut tak lain merupakan bentuk “Politik Etis” baru dan tidak menghasilkan kemitraan yang sejajar dan seimbang. Keberadaan kerjasama tersebut pada akhirnya hanya akan menghasilkan akademisi pragmatis dan oportunis yang menyuarakan kepentingan Kapitalisme Amerika Serikat dan menyisakan rakyat Indonesia yang semakin terbelakang dan tidak mampu mengakses pendidikan yang berkualitas.
Selain itu isu yang diangkat adalah adanya kecenderungan dunia pendidikan terutama dunia pendidikan tinggi yang cenderung berkiblat pada sistem pendidikan Barat. Sebagai contoh kini tidak ada perbedaan yang signifikan anatara kurikulum pendidikan di Indonesia, dengan dunia pendidikan Barat terutama Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari dunia pendidikan di Indonesia pada pasar global. Hasilnya sekali lagi tecipta segregasi sosial di tengah masyarakat. Pemerintah cenderung lebih berpihak pada sistem pendidikan yang berorientasi pasar global ketimbang memberikan pemerataan akses terhadap pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konferensi tersebut MHTI mengutuk sistem pendidikan yang mengikuti logika kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme. MHTI berpendapat, sebagai negeri muslim semestinya Indonesia menerapkan sistem Pendidikan Islam. Tidak diterapkannya sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai Islam serta lebih mengedepankan pada kepentingan pasar global mengakibatkan kondisi lingkungan sosial di Indonesia yang semakin buruk. Isu-isu problem social seperti kekerasan, kurangnya integritas social, minimnya kejujuran, serta berbagai kecurangan di tengah masyarakat dianggap merupakan akibat dari tidak diterapkannya sistem pendidikan Islami.
Dalam konferensi yang berlangsung selama 4 jam tersebut, dipaparkan pemikiran dari para peserta konferensi, beberapa testimoni dari aktivis mahasiswi di Indonesia. Dalam pandangan Penulis, acara tersebut dikemas menarik karena diselingi dengan beberapa animasi-animasi singkat yang menghibur serta memberikan gambaran terkait tema yang dibahas, khas gaya retorika MHTI.
Sebagai contoh dalam salah satu film pengantar ditunjukkan statistik terkait tingkat pendidikan di Indonesia. Humor juga ditunjukkan dalam animasi lainnya untuk menggambarkan sistem pendidikan yang justru menghasilkan generasi pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Karikatur Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat yang disinyalir tersandung skandal korupsi besar ditunjukkan untuk menggambarkan sistem pendidikan yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat akan pentingnya lahir pemimpin yang berpihak pada rakyat.
Dalam animasi lain yang bernada lebih serius dan introspektif, juga ditampilkan potret generasi muda yang menderita dan menjadi korban dalam sistem kapitalisme. Sebuah karikatur unik juga menggambarkan seorang murid manusia normal yang masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia, dan ketika lulus justru menjadi sosok keledai. Menggambarkan ketidakpedulian dan kebodohan justru dilakukan oleh mereka yang notabene produk sistem pendidikan saat ini.
Secara umum, konferensi tersebut sekali lagi menunjukkan kemampuan aktivis MHTI dalam mengangkat sebuah isu menjadi isu sentral. Identik dengan logika HTI dalam memasarkan idenya. Bagian pertama konferensi tersebut menggambarkan problem aktual masyarakat. Dr. Isnaeni dan Dr. Ni’matuzahroh menjelaskan bagaimana generasi pragmatis lahir sebagai dampak dari sistem pendidikan yang miskin ‘visi’ dan minimnya peran negara dalam memajukan kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Ibu Siti Muslikhati, staf pengajar Hubungan Internasional dari UMY menjelaskan intervensi AS dalam dunia pendidikan di Indonesia dan menjelaskan asumsi ketergantungan pendidikan Indonesia pada AS melalui mekanisme kemiteraan komprehensif yang sangat dikutuk oleh HTI. Sedangkan Ibu Caria Ningsih, dosen ekonomi UPI menggambarkan komodifikasi pada pendidikan Indonesia sebagai konsekuensi logis sistem ekonomi neoliberal yang dianut negara. Pemaparan dilengkapi dengan sejumlah statistik dan data yang menggambarkan fakta penurunan kualitas generasi muda yang menjadi semakin pragmatis dan tidak memiliki visi yang jelas.
Berikutnya setelah dipaparkan problematika sosial, MHTI menawarkan paket solusi dalam konferensi ini adalah konstruksi sistem pendidikan Islam dengan didukung sistem politik dan ekonomi Islam. Ibu Febrianti memaparkan tawaran MHTI agar seluruh bagian dalam masyarakat baik Negara, orang tua, guru dan pihak penyelengggara pendidikan semestinya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal pendidikan. Selain itu, dalam sistem pendidikan Islam kurikulum yang diajarkan pada peserta didik haruslah bersumber pada akidah Islam. Oleh karena itu Ibu Febrianti menekankan pentingnya sistem pendidikan yang berbasis Ideologi yang sama dengan ideologi Negara, dalam hal ini adalah ideologi Islam dalam wadah Negara Khilafah a la Hizbut Tahrir. Generasi baru ini pada gilirannya akan menjadi bagian dari sistem global dengan basis redistribusi peran kerja dimana setiap individu harus memiliki perannya masing-masing.
Aktivis MHTI, Ibu Nida saadah, pengamat ekonomi dari MHTI dengan retorika khas HTI nya kemudian menjelaskan sumber-sumber pemasukan Negara yang memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pendidikan Islam dalam Negara khilafah. Selain itu dijelaskan pula oleh Ibu Zidniy bagaimana peran khalifah untuk melakukan diplomasi dan kerjasama yang lebih bersifat seimbang. Dengan system pengelolaan sumber daya alam yang bersifat mandiri, maka sistem pendidikan dalam Negara khilafah akan menjadi lebih independen dan mempertahankan integritas pendidikan pada nilai-nilai islam tanpa harus menggantungkan utang atau bantuan dari pihak-pihak asing.
Selain itu, dalam konferensi ini juga disampaikan testimoni dari aktivis mahasiswi dari sejumlah kampus di Indonesia. Para aktivis tersebut menyuarakan komitmennya dengan sangat emosional untuk memperjuangkan Islam dan merubah sistem pendidikan kapitalis di Indonesia menjadi sistem pendidikan yang Islami. Dalam testimoni tersebut juga diceritakan pengalaman mereka yang mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi terutama disebabkan problem ekonomi dan akses informasi. Dengan gaya orasi yang menggebu-gebu dan energik para aktivis tersebut berkomitmen dan menyeru untuk diterapkannya Islam untuk terwujudnya masyarakat dan kehidupan yang lebih baik.
Terlepas dari mendukung atau tidak mendukung solusi yang ditawarkan oleh MHTI, namun melalui konferensi tersebut MHTI berhasil mengangkat sebuah isu yang krusial di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam konteks membumikan sebuah isu menjadi isu public, harus diakui bahwa MHTI memiliki kemampuan komunikasi publik yang baik. MHTI mampu menghadirkan sebuah solusi sistem pendidikan yang menurut penulis aplikabel dalam konteks kenegaraan ketika Negara yang dimaksud adalah Negara khilafah. Namun, tidak jauh berbeda dengan diskursus yang dikembangkan sebelumnya, MHTI hanya menghadirkan dekonstruksi dan sebuah diskursus sebagai sebuah konstruksi. Masih belum dapat dijumpai solusi aplikatif dan taktis yang dikemukakan oleh MHTI terkait problem mendesak sistem pendidikan Indonesia.
Dalam pandangan penulis, setiap sistem pendidikan dalam sebuah Negara memang memiliki tujuan yang hendak dicapai. Dalam pengalaman negara-negara barat, setiap pendidikan yang dikembangkan di Barat tentu ditujukan sebagai wadah transformasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarkat Barat. Dalam hal ini, pendidikan tersebut akhirnya mampu menghasilkan generasi muda yang memang diinginkan oleh masyakarakat di Barat dan mendukung sistem kehidupan di Barat itu sendiri. Kita pun semestinya tidak perlu menutup mata ada beberapa aspek dalam pendidikan Barat yang semestinya dapat diadopsi dalam pendidikan di Indonesia. Etika profesionalisme pendidikan, semangat untuk melakukan penelitian dan berkarya dan tradisi berfikir kritis dan mengedepankan logika jika mampu diadaptasi justru dapat menjadi pemicu kebangkitan pendidikan sebuah negara. Hal itu pula lah yang dilakukan Eropa pada masa Renaissance ketika mengadopsi tradisi berfikir ilmiah, termasuk salah satunya dari dunia Islam, dan disesuaikan dengan nilai kehidupan Barat yang menjadikan kebangkitan Eropa di masa itu.
Penulis pun teringat ketika membaca sejarah perjuangan Indonesia. Ketika founding father Indonesia menjadikan politik etis sebagai kondisi yang menguntungkan perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan tidak jatuh pada jebakan kolonialisme. Bukan mendiamkan ketidaksetaraan politik etis, namun menjadikannya sebagai batu loncatan bagi perjuangan besar Revolusi Kemerdekaan. Mengambil langkah praktis, konkrit, namun tidak kehilangan arah akan diskursus besar yang ingin diraih.
Seandainya MHTI mampu menghadirkan langkah praktis dan membumi, serta menjadikan aktualitas sebagai batu loncatan untuk mencapai diskursus besar, maka penulis berkeyakinan dengan kamampuan komunikasi publik yang baik serta konsistensi, setidaknya keberadaan MHTI akan mampu memberi warna dalam pergerakan wanita di Indonesia.
Terakhir, dalam diskusi tersebut Juru Bicara MHTI Ibu Iffah Ainur rahmah menutup acara dengan memberikan sejumlah kesimpulan terkait konferensi tersebut. Dalam konferensi yang bermottokan “Perubahan” tersebut Ibu Iffah menyeru kepada para intelektual muslim untuk segera merubah kondisi hari ini ke arah system yang lebih baik, yang lebih dapat memberikan kesempatan akses bagi seluruh masyarakat, serta melawan segala bentuk intervensi dalam dunia pendidikan dan menyerukan diterapkannya nilai-nilai islam.
(A-Francoise Collignon. G)
Penulis:
A-Francoise Collignon-G
Lecturer in the department of international relations in the Faculty of Political and Social Studies, Airlangga University, Surabaya, Indonesia.
PHD candidate in History in EHESS, Paris
Sedang melakukan penelitian terhadap MHTI
Pada 16 Desember 2011 di Jakarta, digelar sebuah konferensi dengan tema “Sistem Pendidikan Pragmatis Sebagai Faktor Pendorong Esensial Bagi Rusaknya Kualitas Generasi”. Acara yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia tersebut, dihadiri kurang lebih 350 peserta yang merupakan dosen dari sejumlah universitas di seluruh Indonesia, aktivis mahasiswi, serta pakar pendidikan.
Konferensi ini bertujuan untuk membedah akar masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam konferensi tersebut dikemukakan sebuah wacana bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah jatuh dalam kondisi pragmatisme. Hal inilah yang mengakibatkan turunnya kualitas dan tingkat pendidikan di Indonesia saat ini.
Turunnya kualitas dan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini, telah terpengaruh oleh nilai-nilai liberalisme dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia beranggapan bahwa kondisi ini mengakibatkan lahirnya generasi calon pemimpin di Indonesia yang tidak memiliki integritas serta kepekaan sosial. Di sisi lain, pragmatisme pendidikan di Indonesia juga dapat dijumpai dari arah kebijakan pendidikan nasional terutama terkait kurikulum dan pembiayaan pendidikan di Indonesia yang terjebak pada kapitalisme. Tingginya biaya pendidikan, serta komodifikasi pendidikan mengakibatkan terciptanya diskriminasi sosial terutama bagi mahasiswa yang berlatar belakang keluarga ekonomi lemah. Hasilnya generasi muda yang memiliki keterbatasan ekonomi, secara tidak langsung terpinggirkan untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia yang hanya mengedepankan kepentingan ekonomi, mendukung kepentingan pasar din atas asas kejujuran serta integritas, menunjukkan bahwa pemerintah cenderung tidak memikirkan kepentingan rakyat. Menurut Muslimah Hizbut Tahrir, kendala dalam sistem pendidikan tersebut mencerminkan gambaran pemerintah Indonesia yang saat ini yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, namun cenderung berpihak pada kepentingan pasar (kapital).
Dalam konteks keindonesiaan, negara cenderung menjadikan peningkatan performa ekonomi nasional sebagai fokus utama. Negara justru melupakan salah satu fungsi utamanya untuk mencerdaskan serta melindungi masyarakat. Inilah mengapa komersialisasi dan komodifikasi pendidikan di Indonesia terjadi.
Selain itu, Muslimah Hizbut Tahrir beranggapan bahwa adanya kemitraan komprehensif antara Indonesia dengan Amerika Serikat juga berimbas pada dunia pendidikan. Salah satu poin dalam paket kerjasama menyeluruh antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat tersebut menyangkut kerjasama pendidikan. Pemerintah AS berkomitmen untuk mengucurkan dana hingga mencapai 165 Juta Dollar AS yang ditujukan untuk dunia pendidikan di Indonesia. Sejumlah pertemuan antara pihak pemerintah AS dan sejumlah petinggi dalam jajaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk membicarakan prospek kerjasama antara sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dengan beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat dianggap oleh Muslimah Hizbut Tahrir justru merugikan pihak Indonesia. Hal ini dikarenakan keberadaan kemitraan dalam dunia pendidikan tersebut tak lain merupakan bentuk “Politik Etis” baru dan tidak menghasilkan kemitraan yang sejajar dan seimbang. Keberadaan kerjasama tersebut pada akhirnya hanya akan menghasilkan akademisi pragmatis dan oportunis yang menyuarakan kepentingan Kapitalisme Amerika Serikat dan menyisakan rakyat Indonesia yang semakin terbelakang dan tidak mampu mengakses pendidikan yang berkualitas.
Selain itu isu yang diangkat adalah adanya kecenderungan dunia pendidikan terutama dunia pendidikan tinggi yang cenderung berkiblat pada sistem pendidikan Barat. Sebagai contoh kini tidak ada perbedaan yang signifikan anatara kurikulum pendidikan di Indonesia, dengan dunia pendidikan Barat terutama Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari dunia pendidikan di Indonesia pada pasar global. Hasilnya sekali lagi tecipta segregasi sosial di tengah masyarakat. Pemerintah cenderung lebih berpihak pada sistem pendidikan yang berorientasi pasar global ketimbang memberikan pemerataan akses terhadap pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konferensi tersebut MHTI mengutuk sistem pendidikan yang mengikuti logika kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme. MHTI berpendapat, sebagai negeri muslim semestinya Indonesia menerapkan sistem Pendidikan Islam. Tidak diterapkannya sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai Islam serta lebih mengedepankan pada kepentingan pasar global mengakibatkan kondisi lingkungan sosial di Indonesia yang semakin buruk. Isu-isu problem social seperti kekerasan, kurangnya integritas social, minimnya kejujuran, serta berbagai kecurangan di tengah masyarakat dianggap merupakan akibat dari tidak diterapkannya sistem pendidikan Islami.
Dalam konferensi yang berlangsung selama 4 jam tersebut, dipaparkan pemikiran dari para peserta konferensi, beberapa testimoni dari aktivis mahasiswi di Indonesia. Dalam pandangan Penulis, acara tersebut dikemas menarik karena diselingi dengan beberapa animasi-animasi singkat yang menghibur serta memberikan gambaran terkait tema yang dibahas, khas gaya retorika MHTI.
Sebagai contoh dalam salah satu film pengantar ditunjukkan statistik terkait tingkat pendidikan di Indonesia. Humor juga ditunjukkan dalam animasi lainnya untuk menggambarkan sistem pendidikan yang justru menghasilkan generasi pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Karikatur Nazarudin, mantan Bendahara Partai Demokrat yang disinyalir tersandung skandal korupsi besar ditunjukkan untuk menggambarkan sistem pendidikan yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat akan pentingnya lahir pemimpin yang berpihak pada rakyat.
Dalam animasi lain yang bernada lebih serius dan introspektif, juga ditampilkan potret generasi muda yang menderita dan menjadi korban dalam sistem kapitalisme. Sebuah karikatur unik juga menggambarkan seorang murid manusia normal yang masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia, dan ketika lulus justru menjadi sosok keledai. Menggambarkan ketidakpedulian dan kebodohan justru dilakukan oleh mereka yang notabene produk sistem pendidikan saat ini.
Secara umum, konferensi tersebut sekali lagi menunjukkan kemampuan aktivis MHTI dalam mengangkat sebuah isu menjadi isu sentral. Identik dengan logika HTI dalam memasarkan idenya. Bagian pertama konferensi tersebut menggambarkan problem aktual masyarakat. Dr. Isnaeni dan Dr. Ni’matuzahroh menjelaskan bagaimana generasi pragmatis lahir sebagai dampak dari sistem pendidikan yang miskin ‘visi’ dan minimnya peran negara dalam memajukan kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Ibu Siti Muslikhati, staf pengajar Hubungan Internasional dari UMY menjelaskan intervensi AS dalam dunia pendidikan di Indonesia dan menjelaskan asumsi ketergantungan pendidikan Indonesia pada AS melalui mekanisme kemiteraan komprehensif yang sangat dikutuk oleh HTI. Sedangkan Ibu Caria Ningsih, dosen ekonomi UPI menggambarkan komodifikasi pada pendidikan Indonesia sebagai konsekuensi logis sistem ekonomi neoliberal yang dianut negara. Pemaparan dilengkapi dengan sejumlah statistik dan data yang menggambarkan fakta penurunan kualitas generasi muda yang menjadi semakin pragmatis dan tidak memiliki visi yang jelas.
Berikutnya setelah dipaparkan problematika sosial, MHTI menawarkan paket solusi dalam konferensi ini adalah konstruksi sistem pendidikan Islam dengan didukung sistem politik dan ekonomi Islam. Ibu Febrianti memaparkan tawaran MHTI agar seluruh bagian dalam masyarakat baik Negara, orang tua, guru dan pihak penyelengggara pendidikan semestinya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal pendidikan. Selain itu, dalam sistem pendidikan Islam kurikulum yang diajarkan pada peserta didik haruslah bersumber pada akidah Islam. Oleh karena itu Ibu Febrianti menekankan pentingnya sistem pendidikan yang berbasis Ideologi yang sama dengan ideologi Negara, dalam hal ini adalah ideologi Islam dalam wadah Negara Khilafah a la Hizbut Tahrir. Generasi baru ini pada gilirannya akan menjadi bagian dari sistem global dengan basis redistribusi peran kerja dimana setiap individu harus memiliki perannya masing-masing.
Aktivis MHTI, Ibu Nida saadah, pengamat ekonomi dari MHTI dengan retorika khas HTI nya kemudian menjelaskan sumber-sumber pemasukan Negara yang memungkinkan untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pendidikan Islam dalam Negara khilafah. Selain itu dijelaskan pula oleh Ibu Zidniy bagaimana peran khalifah untuk melakukan diplomasi dan kerjasama yang lebih bersifat seimbang. Dengan system pengelolaan sumber daya alam yang bersifat mandiri, maka sistem pendidikan dalam Negara khilafah akan menjadi lebih independen dan mempertahankan integritas pendidikan pada nilai-nilai islam tanpa harus menggantungkan utang atau bantuan dari pihak-pihak asing.
Selain itu, dalam konferensi ini juga disampaikan testimoni dari aktivis mahasiswi dari sejumlah kampus di Indonesia. Para aktivis tersebut menyuarakan komitmennya dengan sangat emosional untuk memperjuangkan Islam dan merubah sistem pendidikan kapitalis di Indonesia menjadi sistem pendidikan yang Islami. Dalam testimoni tersebut juga diceritakan pengalaman mereka yang mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan tinggi terutama disebabkan problem ekonomi dan akses informasi. Dengan gaya orasi yang menggebu-gebu dan energik para aktivis tersebut berkomitmen dan menyeru untuk diterapkannya Islam untuk terwujudnya masyarakat dan kehidupan yang lebih baik.
Terlepas dari mendukung atau tidak mendukung solusi yang ditawarkan oleh MHTI, namun melalui konferensi tersebut MHTI berhasil mengangkat sebuah isu yang krusial di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam konteks membumikan sebuah isu menjadi isu public, harus diakui bahwa MHTI memiliki kemampuan komunikasi publik yang baik. MHTI mampu menghadirkan sebuah solusi sistem pendidikan yang menurut penulis aplikabel dalam konteks kenegaraan ketika Negara yang dimaksud adalah Negara khilafah. Namun, tidak jauh berbeda dengan diskursus yang dikembangkan sebelumnya, MHTI hanya menghadirkan dekonstruksi dan sebuah diskursus sebagai sebuah konstruksi. Masih belum dapat dijumpai solusi aplikatif dan taktis yang dikemukakan oleh MHTI terkait problem mendesak sistem pendidikan Indonesia.
Dalam pandangan penulis, setiap sistem pendidikan dalam sebuah Negara memang memiliki tujuan yang hendak dicapai. Dalam pengalaman negara-negara barat, setiap pendidikan yang dikembangkan di Barat tentu ditujukan sebagai wadah transformasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarkat Barat. Dalam hal ini, pendidikan tersebut akhirnya mampu menghasilkan generasi muda yang memang diinginkan oleh masyakarakat di Barat dan mendukung sistem kehidupan di Barat itu sendiri. Kita pun semestinya tidak perlu menutup mata ada beberapa aspek dalam pendidikan Barat yang semestinya dapat diadopsi dalam pendidikan di Indonesia. Etika profesionalisme pendidikan, semangat untuk melakukan penelitian dan berkarya dan tradisi berfikir kritis dan mengedepankan logika jika mampu diadaptasi justru dapat menjadi pemicu kebangkitan pendidikan sebuah negara. Hal itu pula lah yang dilakukan Eropa pada masa Renaissance ketika mengadopsi tradisi berfikir ilmiah, termasuk salah satunya dari dunia Islam, dan disesuaikan dengan nilai kehidupan Barat yang menjadikan kebangkitan Eropa di masa itu.
Penulis pun teringat ketika membaca sejarah perjuangan Indonesia. Ketika founding father Indonesia menjadikan politik etis sebagai kondisi yang menguntungkan perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan tidak jatuh pada jebakan kolonialisme. Bukan mendiamkan ketidaksetaraan politik etis, namun menjadikannya sebagai batu loncatan bagi perjuangan besar Revolusi Kemerdekaan. Mengambil langkah praktis, konkrit, namun tidak kehilangan arah akan diskursus besar yang ingin diraih.
Seandainya MHTI mampu menghadirkan langkah praktis dan membumi, serta menjadikan aktualitas sebagai batu loncatan untuk mencapai diskursus besar, maka penulis berkeyakinan dengan kamampuan komunikasi publik yang baik serta konsistensi, setidaknya keberadaan MHTI akan mampu memberi warna dalam pergerakan wanita di Indonesia.
Terakhir, dalam diskusi tersebut Juru Bicara MHTI Ibu Iffah Ainur rahmah menutup acara dengan memberikan sejumlah kesimpulan terkait konferensi tersebut. Dalam konferensi yang bermottokan “Perubahan” tersebut Ibu Iffah menyeru kepada para intelektual muslim untuk segera merubah kondisi hari ini ke arah system yang lebih baik, yang lebih dapat memberikan kesempatan akses bagi seluruh masyarakat, serta melawan segala bentuk intervensi dalam dunia pendidikan dan menyerukan diterapkannya nilai-nilai islam.
(A-Francoise Collignon. G)
Penulis:
A-Francoise Collignon-G
Lecturer in the department of international relations in the Faculty of Political and Social Studies, Airlangga University, Surabaya, Indonesia.
PHD candidate in History in EHESS, Paris
Sedang melakukan penelitian terhadap MHTI