Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Kamis, 22 Desember 2011

Generasi Pragmatis : Akibat Sistem Pendidikan Miskin Visi

Oleh: Dr. Isnaeni (Majelis Wali Amanah Unair/PD I FF UA)


Selama bumi dengan segala kehidupannya masih eksis, pasti akan kita jumpai wujud kelompok-kelompok yang komitmen memperjuangkan terciptanya bangsa yang besar, sebagai tonggak sebuah Negara. Salah satu elemen bangsa yang merupakan core kekuatan suatu Negara adalah generasi muda, sehingga kebesaran suatu bangsa dapat dicirikan oleh kualitas generasi mudanya. Generasi yang dilahirkan oleh suatu negara dengan kepribadian unggul dalam konteks memahami keberadaan dirinya sebagai mahluk ciptaan Allah dengan tugas pokok menjalankan ibadah selama hidupnya, akan menciptakan generasi pemimpin yang luar biasa tangguhnya. Terkait dengan kualifikasi tersebut, setiap negara pasti akan memiliki ciri yang spesifik tergatung pada pola pemerintahan yang dianutnya.

Negara Islam pasti memiliki pola yang berbeda dengan negara sekuler dalam menyiapkan generasinya untuk mewujudkan bangsa yang besar, karena tolok ukur dan value yang hendak diraih juga berbeda. Versi islam dalam mencirikan Negara yang besar adalah Negara yang memiliki komitmen tinggi untuk merealisasikan rahmatan lil ‘alamin dan ini hanya dapat dicapai dengan dukungan para generasi yang shaleh, bertaqwa kepada Allah SWT, yang memahami, menyadari dan melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah, Rasul, dan seluruh kaum muslimin sebagai refleksi hablum minallah wa hablum minannas. Generasi yang memiliki ciri seperti ini insya Allah akan senantiasa mengemban dakwah Islam untuk mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Ciri tersebut akan menjadi landasan yang kokoh bagi generasi dalam berkiprah meraih prestasi baik di bidang keilmuan atau pengembangan teknolgi maupun dalam meniti karier.

Dalam dunia pendidikan, ada korelasi yang signifikan antara pemerintah sebagai lembaga “eksekutif” dengan generasi bangsa sebagai pelaksana yang bersentuhan secara langsung dengan derap perjuangan menuju bangsa yang beradab dan memiliki daya saing tinggi terutama di kancah internasional. Penyelenggaran pendidikan terutama yang di manage oleh pemerintah dikatakan tidak atau kurang visioner dengan kata lain miskin visi. Sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa visi yang dicanangkan oleh Diknas sebagai pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan hanya bersifat normatf, dengan menggunakan standar luaran dan outcome yang tidak relevan dengan potensi, kultur dan budaya bangsa. Selain itu, target capaian mencerdaskan kehidupan bangsa tidak jelas kualifikasinya. Kriteria bangsa yang cerdas tidak pernah dielaborasi dengan jelas, sehingga setiap penyelenggara proses pendidikan memaknai bangsa yang cerdas menurut standar yang tidak baku. Sebagai contoh visi di salah satu pendidikan tinggi (PT) disebutkan menghasilkan lulusan yang unggul, inovatif, mandiri dan mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional sesuai disiplin ilmu yang ditekuninya. Instrumen yang dijadikan alat untuk mengukur keberhasilan PT dalam mencetak para intelektual atau para pakar di bidang ilmunya juga bersifat kuantitatif dan sangat pragmatis. Beberapa indikator yang sekarang menjadi tolok ukur kualitas dan performa intelektual adalah jumlah publikasi internasional, level Scopus, jumlah penelitian dan kerjasama internasional, jumlah doktor dan jumlah professor. Dalam skala mikro indikator kinerja suatu proses pembelajaran dianggap memenuhi standar mutu bila mampu menghasilkan lulusan dengan indeks prestasi tinggi (maksimak 4), waiting time for getting first job nol bulan bahkan bila perlu diinden dengan gaji pertama tinggi. Ini semua merupakan produk sistem pendidikan yang pragmatis, yang menurut Syaukah (2011) sebagai faktor pendorong esensial bagi rusaknya kualitas generasi. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila lahirnya para intelektual berpacu dengan rusaknya kehidupan dan tumbuh kembangnya berbagai permasalahan di masyarakat yang tidak kunjung terselesaikan. Hal ini bisa dimengerti, sistem atau lebih spesifik program yang digelar oleh pemerintah melalui comprehensive partnership misalnya, tidak dilakukan melalui studi kelayakan yang memadai dan bahkan tanpa memperhatikan proyeksi  ke depan terkait output dan outcome secara nasional. Program internasionalisasi tidak diproyeksikan untuk menyelesaikan problematika bangsa, artinya, masalah bangsa yang mana yang dapat diselesaikan dengan program tersebut tidak pernah dielaborasi dengan jelas. Apa yang bisa dilakukan oleh para pemegang nilai Scopus tertinggi di Indonesia dalam menyelesaikan masalah bangsa, juga tidak jelas.

Bagaimana kontribusi para generasi muda sebagai produk pendidikan pragmatis dalam menyelesaikan problematika bangsa?. Karena mereka dicetak tanpa proses yang benar berbasis pada tujuan yang hakiki, sangatlah tidak mungkin kalau kita harapkan mereka mampu berproses menyelesaikan problematika bangsa. Selama berproses dalam pendidikan dan pembelajaran baik formal maupun nonformal mereka tidak disentuhkan dengan tujuan pendidikan yang relevan dengan problematikan bangsa, seperti yang tersirat dalam visi pendidikan. Para peserta didik harus memaknai sendiri, apa arti inovatif? Bahwa mereka dituntut melakukan inovasi-inovasi untuk peka merespon kejadian di alam yang terkait permasalahan umat. Fenomena ini tidak pernah dijelaskan untuk diimplementasikan, bukan sekedar slogan.

Elemen visi mandiri sangat bertentangan dengan konsep internasionalisasi baik dalam bentuk kerjasama penelitian maupun kerjasama yang lain. Seharusnya para lulusan dikondisikan mampu menjual local wisdom kita yang kaya raya dengan konsep kehidupan yang luar biasa luhurnya. Bagaimana perjuangan Rasulullah dan para Wali melakukan syiar Islam menjadi contoh konkrit bentuk pembelajaran yang melibatkan umat untuk berproses menegakkan kebenaran yang hakiki. Realitasnya, semua konsep yang luhur dan bersifat universal tersebut mulai ditinggalkan, beralih kiblat ke konsep internasionalisasi yang sekarang semakin booming.  

Sebagai bekal untuk berkompetisi dengan bangsa lain di zaman sekarang memang tidak ada pilihan kecuali: generasi suatu negara harus “menguasai” ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu lain terkait socio-culture secara proporsional dengan tuntutan global. Inilah yang dijadikan satu satunya standar mutu pendidikan yang mencerminkan kegagalan pemerintah selaku pemangku kepentingan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memperhitungkan modal aqidah fikriyah, proses berfikir berbasis pada kesadaran akan integritas Sang Khaliq sebagai pencipta dan manusia ciptaan Nya yang harus taat pada semua ketentuan Nya.

Ada satu aspek penting yang hilang dan menjadi Pekerjaan Rumah kita semua bahwa prosesi pembentukan karakter (character building) selama ini tidak dijadikan unsur utama yang harus dikembangkan secara berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara syahsiyah, Tsaqofah dan ilmu kehidupan tidak dikembangkan secara proporsional baik melalui pendidikan formal maupun informal mulai dari pra sekolah sampai dengan PT. Bagaimana menanamkan dan mengkristalkan pemahaman serta kesadaran anak didik akan pentingnya aqidah yang mendasari seluruh aktivitasnya dalam berproses meningkatkan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan, sekarang ini semakin langka.

Pergeseran paradigma dalam sebuah visi “pencetakan” generasi yang cerdas dan tangguh serta unggul terjadilah secara nasional bahkan internasional, karena semua ingin pragmatis, instan tanpa melalui proses yang benar dan syar’i. Ketika para generasi bangsa yang menyandang atribut intelektual gagal memberikan solusi terhadap problematika bangsa, mengindikasikan kesalahan sistemik dalam mencetak para generasi cerdas yang paham benar akan responsibilitasnya sebagai manusia ciptaan Allah. Pemerintah memiliki syaukah (wewenang) untuk mewujudkan Negara yang dicita-citakan, sehingga kontribusi pemerintah dalam mewujudkan bangsa yang besar menjadi tanggung jawab logis yang tidak mungkin dihindari, sesuai hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Setiap kamu adalah penggembala (pemimpin) dan setiap kamu pasti akan dimintai pertanggung jawaban dari gembalaannya. Pemimpin adalah penggembala (rakyat). Dia akan dimintai pertanggung jawaban dari rakyat yang digembalakannya”. Korelasi holistik antara pemerintah dan generasi bangsa yang “harmonis” akan melahirkan bangsa yang besar dalam arti mampu menjamin kehidupan rakyatnya berlangsung sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Dengan demikian, visi untuk mewujudkan bangsa yang besar, tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan bathin akan segera terealisasikan. Adalah sangat ironis kalau Negara bercita-cita mewujudkan bangsa yang besar, sementara tidak berkontribusi penuh dalam membangun generasi yang tangguh. Oleh karena itu, kaji ulang terhadap visi dan system pendidikan sudah mendesak untuk dilakukan. Standar pendidikan juga perlu dikembalikan kepada kemampuan bangsa Indonesia dalam membangun negaranya, tentu saja sesuai dengan kapasitas dan potensinya.

Generasi yang bagaimana yang memiliki potensi untuk mewujudkan bangsa yang besar?. Apakah generasi yang gaul?. Generasi yang berduit, anak pejabat, yang paling dekat dengan pejabat, yang mendapat fasilitas khusus, sehingga segala kemauannya terpenuhi?. Apakah generasi yang genius, berotak brilliant?. Apakah mereka yang selalu sukses dalam menempuh pendidikan dalam semua strata atau jenjang?. Apakah mereka yang suskses mengembangkan bisnis atau wirausaha?. Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, kita wajib kembali ke syariat Islam. Generasi yang tangguh untuk memperjuangkan bangsa yang besar tidak dapat diperoleh secara instant, namun sebaliknya melalui berbagai proses seperti yang dituntunkan al-Qur’an dalam surat Luqman ayat 12-17. Luqman mengawali penyiapan generasi yang tangguh dengan menanamkan tauhid, agar anaknya tidak menyekutukan Allah SWT, karena tindakan itu jelas merupakan kezaliman yang besar. Dosanyapun termasuk dosa yang tidak terampuni. Luqman kemudian mengingatkan anaknya akan perintah Allah agar bersyukur kepada Nya, kepada kedua orang tuanya, karena pengorbanan dan kasih sayang yang telah diberikan oleh mereka. Luqman juga mengajarkan tentang muraqabatullah (pengawasan Allah), bahwa tidak ada satupun perbuatan manusia yang luput dari pemantauan Nya. Luqman pun memerintahkan anaknya agar mendirikan sholat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Luqman dengan tegas melarang anaknya memalingkan muka dari manusia karena sombong dan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Beliaupun memerintahkan anaknya untuk tawadhu’.    

Proses untuk membangun bangsa yang peduli terhadap masalah umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda sebagai agent of change, yang sadar akan tanggung jawabnya untuk mengusung konsep perubahan dari masyarakat jahiliyah yang professional menuju masyarakat rahmatan lil’alamin. Membangun generasi yang cerdas dan tangguh berbasis potensi yang dimilikinya dengan landasan konsep yang dituntunkan oleh Luqman adalah tuntutan dasar dalam mewujudkan bangsa yang besar, bukan bangsa yang pragmatis. Sistem pendidikan yang berlaku sampai saat ini mencetak generasi muda cenderung sebagai user dari suatu keadaan, bukannya sebagai creator atmosfer kehidupan yang kondusif untuk terciptanya masyarakat yang aman, sejahtera dan memiliki tanggung jawab penuh sebagai mahluk ciptaan Allah yang senantiasa menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Bobby DePorter &Mike Hernacki (2002), disebutkan bahwa belajar memiliki banyak unsur, antara lain pelajaran dan keterampilan akademis, keterampilan berpikir, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan manajemen. Dalam mengakses unsur-unsur tersebut, diperlukan potensi yang meliputi fisik yang sehat, kreativitas, semangat, motivasi, peka terhadap lingkungan, siap menanggung beban atau risk taker, mobilitas dan cita-cita tinggi. Nilai-nilai dan keyakinan dalam pribadi para generasi dalam mengimplementasikan kemampuannya hendaknya dikembangkan sesuai dengan tuntutan syariat baik mulai masa kanak-kanak sampai dewasa, dibentuk oleh budaya dan keluarga dalam lingkungn yang suportif. Nilai-nilai dapat dibentuk baik melalui pendidikan formal di berbagai jenjang maupun pendidikan non-formal mulai dari kandungan.

Pertanyaan berikutnya adalah siapakah yang paling kompeten menyiapkan dan membangun generasi atau bangsa yang cerdas dan berpendidikan?.  Jawabannya adalah tripartite agent lah yang kompeten dalam menyiapkan generasi yang berpendidikan dan cerdas serta memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan serta pemerintah atau Negara. Output pendidikan melalu jalur keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas diwujudkan dalam bentuk partisipasi menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif. .Negara melalui kebijakan pemerintah harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran untuk menghasilkan produk yang pada jenjang tertinggi dikemas sebagai output dan outcome Tri Dharma Perguruan Tinggi..

Misi ketiga agent tersebut hanya dapat berkembang secara optimal atau terwujud sesuai konsep Luqman apabila diimplementasikan dalam sistem yang menegakkan syariat Islam. Jaminan terhadap solusi problematika bangsa terkait terpuruknya daya saing, penyalahgunaan sistem eksplorasi kekayaan alam Indonesia, manipulasi politik pendidikan, manipulasi biaya pendidikan  atau bisnis pendidikan insya Allah dapat direduksi dengan senjata tegaknya syariat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar