Faizatul
Rosyidah
Perempuan terpelajar saat ini adalah segmen yang
diklaim memiliki profil perempuan paling ideal oleh banyak kalangan, apalagi di
mata kaum feminis. Muda, cerdas, dinamis dan berwawasan luas itulah karakter
yang dikatakan mampu mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas
kaum perempuan saat ini untuk menjawab seruan kemajuan dan profesionalisme. Beberapa
indikator seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga
legislatif, besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi
perempuan dalam pendidikan tinggi, besarnya keterlibatan perempuan di ranah decision
making / pengambilan kebijakan sebagai bagian dari pejabat publik, atau
perempuan yang sukses berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang hari ini
dijadikan standar keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan
perempuan, termasuk kaum terpelajarnya. Betulkah demikian?
Derita Perempuan Terpelajar dalam Naungan Kapitalisme
Pada realitanya, rangkaian kebijakan ini harus diakui
bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan, namun sebaliknya telah menciptakan
suasana kondusif dan arus yang menggiring dan memaksa kaum perempuan terpelajar
menghadapi setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai
ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk
kepentingan industri kapitalistik. Sekalipun pada mulanya pendorong para
perempuan terpelajar tersebut terjun ke berbagai peran publik di masyarakat
adalah idealisme untuk menyumbangkan pemikiran, kemampuan, keahlian dan
kepedulian untuk merubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik, adil dan
mensejahterakan semua, namun tidak bisa dipungkiri, pada perjalanan berikutnya
arus besar yang mendominasi kehidupan masyarakat hari ini telah memaksa mereka
harus berhadapan dengan dua bahaya di atas.
Kapitalisme dunia telah berhasil
menciptakan ilusi yang diaruskan secara global hingga ke negeri-negeri muslim.
Melalui penerapan nilai-nilai Kapitalisme dan liberalisme, ilusi ini mendorong
para perempuan untuk bekerja agar mereka merasa berharga. Level perempuan
ditentukan sesuai dengan nilai kekayaan yang mereka hasilkan. Arus materialisme
yang inheren dalam kapitalisme secara langsung maupun tidak langsung telah
‘mengajari’ siapapun yang ada di dalamnya (termasuk para perempuan) untuk
menjadi lebih materialistik dengan profesi yang digelutinya sehingga bahkan
terkadang menyempitkan motivasi seorang profesional muslimah hanya demi uang
dan status semata dan menghilangkan mentalitas pengabdian yang tulus. Demikian
juga, derasnya tuntutan untuk menjadi profesional secara totalitas, yang diukur
menggunakan standar kerja yang ditetapkan oleh instansi/ perusahaan, yang bukan
hanya tidak sesuai namun seringkali bahkan bertentangan dengan nilai-nilai
Islam, telah dan akan membuat peran-peran perempuan lain yang lebih penting
dalam kehidupannya menjadi terabaikan. Profesionalisme yang berkembang saat ini
meminta semua orang (termasuk para perempuan terpelajar) untuk menjadikan
profesi (pekerjaan) di atas segala-galanya. Atas nama profesionalisme
seorang perempuan terpelajar yang juga istri dan ibu, dituntut untuk
rela pulang larut malam demi menuntaskan
deadline pekerjaannya, meskipun mengabaikan kewajibannya terhadap anak dan suaminya.
Atas nama profesionalisme, loyalitas mereka lebih dibentuk kepada sistem nilai
dari lembaga/instansi tempat mereka bekerja daripada sistem nilai yang
terpancar dari aqidah mereka (halal/haram). Bagaimana mereka berpakaian,
berdandan, bertingkah laku, berinteraksi, mengambil keputusan, menetapkan skala
prioritas hingga bagaimana perasaan yang harusnya mereka miliki diarahkan oleh
tata nilai tersebut atas nama profesionalisme.
Kapitalisme telah mengobarkan perang
terhadap peran keibuan, merampok waktu para ibu bersama anak-anak mereka serta
mengorbankan tugas penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik generasi masa
depan. Kapitalisme telah memberikan label harga kepada perempuan, menjadikan
mereka layaknya budak ekonomi, dan memperlakukan mereka seperti obyek untuk
menghasilkan kekayaan. Kapitalisme telah memanfaatkan bahasa ‘pemberdayaan
perempuan’ untuk mengeksploitasi perempuan!
Alhasil, bisa kita lihat berbagai implikasi dari kemajuan semu
yang mereka klaim. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian,
merebaknya free seks, meningkatnya
kasus-kasus aborsi, dilema perempuan karir, eksploitasi perempuan, pelecehan
seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek
langsung dari gagasan pembebasan perempuan dan pengarusutamaan gender. Hal ini
terjadi karena kesalahan cara pandang terhadap perempuan serta kesalahan dalam
menarik akar masalah perempuan sehingga mengakibatkan kian rancunya relasi
dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan. Boleh jadi gagasan ini
nampaknya menjadi jalan keluar persoalan ekonomi dan kesejahteraan perempuan,
namun di saat yang sama ternyata memberi dampak yang lebih membuat perempuan,
keluarga dan masyarakat di ambang keruntuhan akibat ancaman keamanan dan
kehormatan seperti merebaknya pelecehan, kekerasan, eksploitasi, terlalaikannya
peran keibuan (sebagai pendidik generasi), ketidakharmonisan relasi
suami-istri, hingga perceraian, akibat perempuan terlalu disibukkan oleh
aktivitas mengais kue-kue ekonomi.
Bahaya kedua yang terpaksa harus dihadapi para
perempuan terpelajar ini juga tidak kalah destruktifnya, bahkan menimbulkan multiply
effect. Penerapan sistem pendidikan yang juga kapitalistik, telah
menjadikan pendidikan hari ini layaknya barang dagangan atau komoditas karena lebih
berorientasi pasar daripada kemaslahatan masyarakat. Beberapa kebijakan yang
mengokohkan otonomi kampus, misalnya, sejatinya hanya penegasan belaka atas
kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi
industry sebagaimana di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada,
Inggris, atau Australia. Pendidikan tinggi di Negara-negara tersebut memang
merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi
pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri
pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain.
Sehingga wajar, WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu
industri sektor tersier.
Pada tingkat lanjut, dampaknya adalah kehancuran peran
intelektual terpelajar dan jatuhnya kedudukan mereka sekedar sebagai agen
ekonomi dan buruh murah yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme
telah menjatuhkan ilmu pengetahuan dan para pemilik ilmu pengetahuan pada
derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk
melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam negeri
ini. Undang-undang (UU) penanaman modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber
daya air, adalah sekian dari hasil karya para intelektual pesanan para
kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalangan Intelektual dalam sistem
kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang
terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan
bekas tambang yang rusak, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran,
menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu
dalam rangka menghapus dosa-dosa para kapitalis dari berbagai kerusakan yang
mereka perbuat, tanpa boleh melakukan kritisi dan koreksi terhadap kesalahan
yang sudah dilakukan para kapitalis tersebut. Mereka pula yang telah memberi
pertimbangan kepada para penguasa agar menandatangani perjanjian perdagangan
bebas, menjual sumberdaya alam kita yang vital, mengambil pinjaman IMF,
menerima reformasi ekonomi beracun, dan membentuk ekonomi kita ke arah yang
menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional daripada rakyat. Alhasil,
mereka terlibat dalam kepemimpinan gagal yang menerapkan sistem yang juga gagal
hari ini.
Walhasil, dua bahaya ini akan selalu membayangi
kehidupan perempuan terpelajar dalam system kapitalisme. Mereka akan terus
menerus berada di bawah dilema antara tekanan profesionalitasnya dengan idealisme
dedikasi ilmu yang dimilikinya, juga dilema antara tuntutan kesejahteraan dan
peran kodratinya sebagai perempuan.
Peran Strategis Intelektual Muslimah dalam Peradaban Islam
Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan
sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah
peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena
peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah
menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil
dan seimbang Sebagai
seorang perempuan yang memiliki kelebihan ilmu pengetahuan dan
keahlian/kepakaran tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakatnya, intelektual
muslimah memiliki perpaduan posisi dan peran strategis paling tidak sebagai
berikut: (1) Sebagai ibu, sekolah pertama dan utama bagi anak, (2) Sebagai ibu
dan pembina generasi, (3) Sebagai pengemban dakwah dan pejuang Islam, terutama
di komunitas alaminya, (4) Sebagai penyedia konsep penyelesaian berbagai problematika
masyarakat, (5) Sebagai Opinion leader dan opinion maker dan (6) Sebagai bagian dari pressure
group/kelompok yang melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat
1. Intelektual Muslimah: Ibu, Sekolah Pertama dan Utama bagi Anak
Seorang ibu mengandung janin (calon anak
manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan, kemudian menyusuinya selama 2
tahun, serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni
mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang terbesar untuk
berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun)
dibandingkan orang lain. Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih
besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada
anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah orang
yang paling dekat dengan anak sejak dalam kandungan dan awal pertumbuhannya,
sesuai dengan tugas pokoknya. Sementara ayah meski juga memiliki peran dan
tanggung jawab dalam proses pendidikan dan pembentukan kepribadian anak, tidak
memiliki kesempatan sebesar ibu. Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan
pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika tidak ada orang lain
yang bisa melakukannya. Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar
untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengar anak, pemandangan
apa yang pertama kali dilihat anak, hingga kata-kata apa yang diucapkannya
ketika ia pertama kali berbicara adalah ibu sebagai guru pertama dan utama yang
mengajarkannya. Lingkungan pertama yang masuk ke dalam 'rekaman kaset kosong'
seorang anak adalah rumahnya, apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang
pertama kali akan direkamnya, termasuk profil pertama yang dikenalnya yaitu ibunya
adalah sumber belajar utamanya. Oleh karena itu ibulah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak-anaknya.
2. Intelektual Muslimah: Ibu Generasi (Ummu Ajyaal)
Dalam kaitannya dengan generasi, peranan kaum intelektual muslimah sangat penting sebagai bagian integral dalam menjamin masa depan generasi cemerlang. Sebagai seorang ibu, intelektual muslimah tentu saja tidak hanya akan sedih ketika melihat anak kandungnya mengalami gizi buruk karena kemiskinan, terpaksa putus sekolah karena ketiadaan biaya, ataupun mendapati berbagai kerusakan pergaulan mengancam kehormatan dan kemuliaan mereka. Namun kesedihan yang sama akan mereka rasakan ketika mendapati siapa saja anak dari umat dan bangsa ini mengalami hal tersebut. Hanya saja dengan kapasitas keilmuannya, intelektual muslimah memungkinkan untuk lebih mampu berkontribusi secara langsung sebagai ibu generasi dalam ruang lingkup yang luas di berbagai bidang. Mulai dari menjadi para pendidik generasi secara langsung di ruang publik, seperti menjadi guru, ustadzah, dosen, trainer, fasilitator, narasumber forum-forum kajian ilmu pengetahuan dan sejenisnya yang memungkinkan intelektual muslimah melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat sehingga akan lahir generasi kuat yang berkepribadian Islam sekaligus menguasai bidang ilmu dan skill tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Selain itu para intelektual muslimah juga bisa melaksanakan posisi dan perannya sebagai ibu generasi dengan terlibat/memberi masukan dalam penyusunan kebijakan yang tepat bagi generasi, maupun melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak tepat atau bahkan membahayakan generasi.
3. Intelektual Muslimah: Pengemban Dakwah dan Pejuang Islam
Sebagai seorang muslim, sebagaimana muslim manapun, seorang intelektual muslimah adalah juga seorang penyeru kebenaran (Islam), yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tersebar di tengah masyarakatnya. Dengan ketinggian penginderaan dan ketajaman analisanya, maka seorang intelektual (muslimah) akan menjadi kelompok di tengah masyarakat yang bisa memahami apa sebenarnya akar persoalan yang sedang dihadapi masyarakatnya, apa solusi yang harus diambil, dan selanjutnya mereka pun akan menjadi pemimpin dalam melakukan perubahan ke arah perbaikan tersebut. Bersama dengan intelektual yang lain, tokoh-tokoh masyarakat dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat mereka secara bersama-sama bersinergis dalam mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam menjalankan amanahnya. Mereka pun berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, melalui pembinaan secara jama’iy (tatsqif jama’iy) dan pembinaan secara intensif (tatsqif Murakkazah), agar umat juga berani mengingatkan pemimpinnya. Intelektual Muslimah yang telah memperoleh kesadarannya dengan baik, wajib menjadi da’iyah (pengemban dakwah) di komunitas alaminya, maupun di tengah masyarakat secara umum.
3. Intelektual Muslimah: Pengemban Dakwah dan Pejuang Islam
Sebagai seorang muslim, sebagaimana muslim manapun, seorang intelektual muslimah adalah juga seorang penyeru kebenaran (Islam), yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran tersebar di tengah masyarakatnya. Dengan ketinggian penginderaan dan ketajaman analisanya, maka seorang intelektual (muslimah) akan menjadi kelompok di tengah masyarakat yang bisa memahami apa sebenarnya akar persoalan yang sedang dihadapi masyarakatnya, apa solusi yang harus diambil, dan selanjutnya mereka pun akan menjadi pemimpin dalam melakukan perubahan ke arah perbaikan tersebut. Bersama dengan intelektual yang lain, tokoh-tokoh masyarakat dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat mereka secara bersama-sama bersinergis dalam mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak lalai dalam menjalankan amanahnya. Mereka pun berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, melalui pembinaan secara jama’iy (tatsqif jama’iy) dan pembinaan secara intensif (tatsqif Murakkazah), agar umat juga berani mengingatkan pemimpinnya. Intelektual Muslimah yang telah memperoleh kesadarannya dengan baik, wajib menjadi da’iyah (pengemban dakwah) di komunitas alaminya, maupun di tengah masyarakat secara umum.
4. Intelektual Muslimah: penyedia konsep penyelesaian berbagai problematika masyarakat
Agar seorang intelektual muslimah bisa
mereposisi perannya menjadi intelektual sejati, maka ada tiga hal yang harus senantiasa
melekat pada dirinya yaitu memiliki kepakaran/keahlian tertentu sesuai dengan
bidang yang dikuasainya, memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah
masyarakat (apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya
hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya), dan memahami
ideologi Islam sebagai sumber solusi yang dia gali untuk menyelesaikan semua
jenis problematika masyarakat yang dihadapinya. Dengannya, seorang intelektual
muslim bisa memberikan konsep solusi yang tidak hanya yang bersifat praktis dan
pragmatis saja, namun lebih mendasar adalah solusi pada tataran ideologi yang
akan membentuk system kehidupan lebih luas.
Sejak masa Nabi Muhammad saw., kaum
perempuan telah berpartisipasi dalam menyebarkan ilmu dan membangun masyarakat.
Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam kitabnya Al-Ishâbah fi Tamyîz Ash-Shahâbah
menulis biografi 1543 shahabiyah, di antara mereka ada ahli fikih, ahli hadits,
dan ahli sastra. Beberapa shahabiyah tercatat sebagai guru bagi para sahabat
maupun tabi'in, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Ummu Habibah, Hafshah,
Asma' binti Yazid binti As-Sakan, dan sebagainya.
Sementara itu, di bidang sains dan
teknologi, meski diyakini ada juga banyak perempuan muslimah yang terlibat, namun
cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang perempuan
astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa
dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis). Di
wilayah Islam bagian barat, Fathimah Al-Fihriyyah Ummul Banin membangun
Universitas Al-Qurawiyyin di Fez pada abad III H. Universitas ini menjadi
universitas Islam pertama di Dunia Islam, bahkan di seluruh dunia. Fathimah
Al-Fihriyyah adalah seorang alim yang dihormati banyak orang.
5. Intelektual Muslimah: Opinion Leader dan Opinion Maker
Di tengah derasnya arus informasi dengan beragam opini yang ditawarkan di tengah masyarakat, seorang intelektual muslim yang diberikan Allah SWT kemampuan berfikir, kesempatan dan kemudahan untuk mengakses beragam informasi, kebiasaan untuk senantiasa berfikir kritis, memilah dan memilih informasi yang benar dan kuat dari informasi yang salah dan lemah, posisi dan lingkungan kondusif untuk melakukan diskusi analitik yang sehat, diikat dengan sudut pandang khas Islam yang (mestinya embedded) dimilikinya, menjadikannya selayaknya dan seharusnya mengambil porsi dan peran sebagai Opinion leader dan opinion maker di tengah masyarakat. Terlebih, secara alami, kelebihan ilmu pengetahuan yang dimilikinya menjadikannya sebagai pihak yang sangat didengar dan dipercaya oleh masyarakat luas.
Hari ini pun kita bisa melihat, tidak sedikit para intelektual muslim yang dijadikan sebagai corong opini dan legitimator ilmiah kebijakan rezim status quo, padahal jelas-jelas kebijakan tersebut jika ditakar dengan sudut pandang Islam merupakan kedloliman yang nyata.
Maka intelektual muslim yang menguasai/memiliki sudut pandang yang tertunjuki wahyu jelas lebih layak dan seharusnya memimpin dan memproduksi opini dan analisis untuk membangun kecerdasan dan kesadaran politik masyarakat.
6. intelektual Muslimah: Bagian dari pressure group di Masyarakat
Kekuatan iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para intelektual adalah modal potensial untuk menjadikan mereka secara komunal (berjamaah) menjadi komunitas yang memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan penguasa. Posisi tersebut bisa sebagai pemberi masukan bagi kebijakan yang akan diambil, maupun sebagai kelompok yang tidak hanya mampu melakukan kontrol dan koreksi atas kebijakan penguasa yang tidak tepat, namun juga menekan penguasa untuk segera mengakhiri kedloliman yang mereka lakukan (sebagai pressure group). Termasuk intelektual muslimah yang akan menjadi komunitas yang dianggap lebih layak untuk memberi masukan seputar persoalan perempuan, keluarga maupun generasi.
Pada masa Khalifah Rasyidah, Umar bin Khattab ra., Umar memberikan Khutbah di dalam masjid, membatasi mahar. Seorang perempuan berbicara di dalam masjid dan mengoreksi opini Umar ra. tentang mahar, menanyainya bagaimana dia bisa membatasi sesuatu ketika Allah SWT telah membolehkannya. Umar ra setuju dengan perempuan itu bahwa dia benar dan Umar salah, dan dia tarik kembali pengumumannya. Perempuan ini tidak takut pada Umar ra., meskipun dia adalah seorang Khalifah. Ketika dia memahami bahwa Umar salah, dia memprotesnya, memenuhi fardhu yang ditetapkan Allah SWT atas kita.
Terdapat banyak contoh lain kekuatan para perempuan muslimah dalam berbicara untuk menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang mungkar di area publik maupun privat. Asma binti Abu Bakar ra tercatat oleh sejarah senantiasa menyatakan kebenaran, hingga ketika dia sudah berusia renta tetap menyampaikan penentangannya terhadap pemerintah Hajjaj bin Yusuf yang dlolim.
5. Intelektual Muslimah: Opinion Leader dan Opinion Maker
Di tengah derasnya arus informasi dengan beragam opini yang ditawarkan di tengah masyarakat, seorang intelektual muslim yang diberikan Allah SWT kemampuan berfikir, kesempatan dan kemudahan untuk mengakses beragam informasi, kebiasaan untuk senantiasa berfikir kritis, memilah dan memilih informasi yang benar dan kuat dari informasi yang salah dan lemah, posisi dan lingkungan kondusif untuk melakukan diskusi analitik yang sehat, diikat dengan sudut pandang khas Islam yang (mestinya embedded) dimilikinya, menjadikannya selayaknya dan seharusnya mengambil porsi dan peran sebagai Opinion leader dan opinion maker di tengah masyarakat. Terlebih, secara alami, kelebihan ilmu pengetahuan yang dimilikinya menjadikannya sebagai pihak yang sangat didengar dan dipercaya oleh masyarakat luas.
Hari ini pun kita bisa melihat, tidak sedikit para intelektual muslim yang dijadikan sebagai corong opini dan legitimator ilmiah kebijakan rezim status quo, padahal jelas-jelas kebijakan tersebut jika ditakar dengan sudut pandang Islam merupakan kedloliman yang nyata.
Maka intelektual muslim yang menguasai/memiliki sudut pandang yang tertunjuki wahyu jelas lebih layak dan seharusnya memimpin dan memproduksi opini dan analisis untuk membangun kecerdasan dan kesadaran politik masyarakat.
6. intelektual Muslimah: Bagian dari pressure group di Masyarakat
Kekuatan iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para intelektual adalah modal potensial untuk menjadikan mereka secara komunal (berjamaah) menjadi komunitas yang memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan penguasa. Posisi tersebut bisa sebagai pemberi masukan bagi kebijakan yang akan diambil, maupun sebagai kelompok yang tidak hanya mampu melakukan kontrol dan koreksi atas kebijakan penguasa yang tidak tepat, namun juga menekan penguasa untuk segera mengakhiri kedloliman yang mereka lakukan (sebagai pressure group). Termasuk intelektual muslimah yang akan menjadi komunitas yang dianggap lebih layak untuk memberi masukan seputar persoalan perempuan, keluarga maupun generasi.
Pada masa Khalifah Rasyidah, Umar bin Khattab ra., Umar memberikan Khutbah di dalam masjid, membatasi mahar. Seorang perempuan berbicara di dalam masjid dan mengoreksi opini Umar ra. tentang mahar, menanyainya bagaimana dia bisa membatasi sesuatu ketika Allah SWT telah membolehkannya. Umar ra setuju dengan perempuan itu bahwa dia benar dan Umar salah, dan dia tarik kembali pengumumannya. Perempuan ini tidak takut pada Umar ra., meskipun dia adalah seorang Khalifah. Ketika dia memahami bahwa Umar salah, dia memprotesnya, memenuhi fardhu yang ditetapkan Allah SWT atas kita.
Terdapat banyak contoh lain kekuatan para perempuan muslimah dalam berbicara untuk menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang mungkar di area publik maupun privat. Asma binti Abu Bakar ra tercatat oleh sejarah senantiasa menyatakan kebenaran, hingga ketika dia sudah berusia renta tetap menyampaikan penentangannya terhadap pemerintah Hajjaj bin Yusuf yang dlolim.
Khilafah Islam Menjamin Optimalisasi Potensi Intelektual Muslimah
Di dalam peradaban Islam, laki-laki muslim dan perempuan muslimah sepanjang sejarah selalu bekerjasama dalam membangun keilmuan dan peradaban masyarakat. Tidak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah-masalah prinsip dan sama sekali tidak ada diskriminasi laki-laki terhadap perempuan, seperti yang sering dituduhkan Barat terhadap Islam.
Sesungguhnya
Islam telah datang dengan seperangkat aturan yang berfungsi sebagai mu’alajah
musykilah (solusi bagi setiap persoalan manusia). Sekecil atau sebesar
apapun bentuknya, siapapun orangnya dan dimanapun dia berada, Islam memiliki
solusinya. Yaitu berupa syariat Islam yang berisi aturan-aturan (baik mekanisme
maupun sistem) yang berasal dari Allah SWT, sang Pencipta manusia dan alam
seisinya. Sebuah solusi yang pasti pas untuk manusia karena berasal dari Dzat
Yang paling Tahu hakikat manusia. Allah SWT sendiri juga menegaskan bahwa
konsekuensi keimanan seseorang kepada-Nya adalah dengan mengambil Syariah (pengaturan)-Nya
sebagai solusi kehidupan, dan menerimanya dengan sepenuh hati.
”Maka Demi
Tuhanmu sungguh mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikanmu (muhammad)
sebagai hakim (pemutus) segala persoalan yang mereka perselisihkan, kemudian
tidak kamu dapati pada diri mereka rasa keberatan sedikitpun atas kepeutusanmu,
dan mereka menerimanya dengan sepenuh hati. (TQS. An Nisa: 56).
Lebih lanjut Allah SWT mejelaskan bahwa
kemuliaan hamba-Nya ditentukan dari sejauh mana mereka mau tunduk dan taat pada
syariah-Nya tersebut, dan bukan pada apa posisinya. Apakah pemimpin atau
rakyat, suami atau istri, anak atau orang tua, semua bisa menjadi orang yang
paling mulia kedudukannya di sisi Allah ketika mereka melaksanakan tanggung
jawab mereka masing-masing dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan-Nya. ”Sesungguhnya
Orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa diantara kalian.”
Dalam rangka
mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis dan menentramkan, Islam menetapkan
bahwa suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan istri adalah manajer di dalam
rumah tangga suaminya. Sekalipun kepemimpinan ada pada suami tidak menjadikan
suami otoriter dan menzalimi isteri. Pergaulan suami-isteri adalah sebuah
hubungan yang sangat harmonis, bagaikan dua orang sahabat dekat (Shahabani) -sebagaimana dikatakan Syekh
Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzam
Ijtima’i fil Islam-, yang mampu mengantarkan keduanya merasakan sakinah mawaddah warahmah. Hubungan persahabatan tersebut adalah hubungan yang penuh
cinta kasih dan rasa sayang (bukan seperti atasan-bawahan, majikan-buruh, dsb),
dimana suami menjadi tempat berbagi ketika si istri mengalami persoalan yang
tidak bisa diselesaikan sendiri dan sebaliknya. Islam mewajibkan para suami
untuk memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya dan menjamin agar istri bisa
melaksanakan peran utamanya –sebagai ibu (ummun) dan pengatur rumah
tangga (rabbatul bait)– dengan baik. Bantuan itu
bisa secara langsung dengan tangannya sendiri maupun dengan menggaji pembantu. Semuanya ini termasuk dalam cakupan pemberian nafkah
secara ma’ruf. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233: “Dan kewajiban ayah memberi makan
dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.”
Di dalam
Islam seorang perempuan tidak diwajibkan bekerja untuk
mencari nafkah, bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan mekanisme perwalian
dan terakhir yang bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping
itu, Islam mewajibkan negara untuk memberikan jaminan agar nafkah setiap
keluarga (sandang, pangan, papan) tercukupi dengan memastikan ketersediaan
lapangan kerja dan ketrampilan yang memadai bagi seluruh warga negara. Islam
juga mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat: pendidikan,
kesehatan, keamanan secara langsung (melalui mekanisme yang dilakukan negara).
Adapun hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), baik di sektor yang
membutuhkan intelektualitas dan kemampuan manajerial yang tinggi seperti
menjadi rektor perguruan tinggi, direktur perusahaan, kepala rumah sakit,
ataupun pada bidang yang hanya membutuhkan tenaga/ketrampilannya saja (seperti
buruh pabrik, penjahit, dsb). Semua hasil kerjanya adalah milik perempuan itu
sendiri, bukan milik keluarga, dan merupakan kesunnahan untuk di shodaqohkan ke
keluarga. Sementara pada sisi yang lain, Islam memberi tanggung jawab menjaga
kehamilan, menyusui, mengasuh anak dan mengatur rumah tangga pada seorang ibu.
Demikianlah,
berbagi peran dan tanggung jawab adalah suatu kelaziman. Dan hal tersebut tidak serta merta menunjukkan posisi kemuliaan. Adalah
satu hal yang sangat mudah dipahami, bahwa supaya suatu organisasi bisa
berjalan dan mencapai tujuannya, maka harus ada kejelasan terhadap apa peran
dan fungsi masing-masing SDM di dalamnya. Sebuah organisasi yang menjadikan
semua SDM yang dimilikinya berperan sebagai direktur atau pimpinan justru akan
mengalami kehancuran. Begitu pula saat peran (hak dan
kewajiban) dalam keluarga tidak jelas siapa penanggung jawabnya, semua dibagi
rata, ditanggung bersama agar dikatakan ’adil’,
misalnya wanita dan pria masing-masing punya hak untuk menikahkan
dirinya sendiri, sama-sama punya kewajiban mencari nafkah, sama-sama punya hak
menceraikan dan sama-sama wajib beriddah, maka jangan heran kalau pada saatnya
nanti kehancuran sebuah keluarga menjadi fenomena yang biasa terjadi.
Di bawah naungan penerapan Islam (Khilafah),
umat akan hidup sejahtera karena Khilafah akan memenuhi hak setiap warga
negaranya, baik terkait jaminan kesehatan, keamanan, pendidikan ataupun
kebutuhan fisik berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal, bagi warga
negaranya yang muslim maupun non muslim, laki-laki maupun perempuan. Sungguh khalifah tidak akan
membiarkan seorangpun hidup terlantar dalam kemiskinan.
Khalifah Umar bin al- Khaththab
ra,berkata ,”Demi Allah, aku tidak akan
merasakan kenyang, sebelum seorang muslim yang
terakhir di Madinah merasa kenyang!”. Telah terjadi pula pada masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dimana tidak seorangpun rakyatnya mau menerima zakat, karena
semua merasa kaya.
Dalam bidang Pendidikan, Khilafah menyelenggarakan
pendidikan secara gratis dan terjangkau, berikut
penyediaan segala sarana dan prasarana yang memungkinkan. Sekolah haruslah berkualitas, dalam
pengertian bertarget untuk membentuk kepribadian Islam, penguasaan
sains dan teknologi serta ketrampilan hidup bagi anak didik. Setiap rakyat
diberi peluang untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi sesuai dengan kemampuan
berfikirnya (bukan kemampuan biayanya).
Dalam sistem
Khilafah, umat
hidup dalam ketenangan dan rasa aman, karena
kholifah akan memberikan perlindungan dan pertolongan kapan saja. Tidak dijumpai
pada masa Khilafah berbagai tindak kekerasan dan pelecehan, apalagi kepada
perempuan. Telah tercatat dalam sejarah
dimasa Khalifah al-Mu’tashim Billah berkaitan dengan pembelaan Khilafah terhadap
kehormatan wanita. Ketika
seorang wanita menjerit di negeri Amuria karena dianiaya dan dia memanggil nama
Al-Mu’tashim, jeritannya didengar dan diperhatikan. Dengan serta-merta Khalifah
al-Mu’tashim mengirim surat untuk Raja Amuria “…Dari Al Mu’tashim Billah
kepada Raja Amuria. Lepaskan wanita itu atau kamu akan berhadapan dengan
pasukan yang kepalanya sudah di tempatmu sedang ekornya masih di negeriku.
Mereka mencintai mati syahid seperti kalian menyukai khamar…!” Singgasana Raja Amuria bergetar ketika
membaca surat itu. Lalu wanita itu pun segera dibebaskan. Kemudian Amuria ditaklukan
oleh tentara kaum muslim.
Demikian pula
dalam bidang kesehatan, Negara
Khilafah Islam memberikan jaminan pelayanan kesehatan gratis lagi berkualitas
bagi setiap inidividu masyarakat. Tercatat pada masa kegemilangan peradaban
Islam, hampir di setiap kota, termasuk kota kecil sekalipun, terdapat rumah
sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain)
berkualitas lagi memadai, di samping tercukupinya peralatan medis dan obat-obat
yang dibutuhkan.
Suksesnya
penyelenggaraan pendidikan murah dan berkualitas, dan jaminan kesehatan ini tidak
bisa dilepaskan dari pengelolaan keuangan yang efektif
oleh Kholifah. Adalah baitul maal dengan beragam pos
pemasukan yang ditetapkan syariah akan memiliki pos pendapatan yang besar yang
memungkinkan Kholifah menyusun porsi dana pendidikan dan kesehatan yang besar.
Dalam aspek pergaulan dan kehidupan
sosial, daulah khilafah mengatur sistem
sosial yang mampu melindungi perempuan dan generasi dari kehancuran. Sistem
sosial yang diterapkan adalah sistem yang mengatur interaksi laki-laki dan
perempuan di masyarakat berdasarkan syariat Islam dan bukan liberalisme yang telah
nyata menjerumuskan manusia kedalam kebebasan berfikir, berpendapat, kebebasan
kepemilikan dan tingkah laku. Syariat Islam tidak mengekang manusia untuk
memenuhi naluri seks, akan tetapi
mengaturnya dengan
pengaturan yang sempurna, dimana
hubungan seks boleh dilakukan dalam sebuah ikatan pernikahan yang sah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keturunan demi
kelestarian jenis manusia. Penyaluran seks diluar pernikahan merupakan tindak
kemaksiatan dan dosa sehingga sistem sosial Islam juga mencegah dan menutup
jalan yang memungkinkan ke arah itu.
Suasana di masyarakat senantiasa dijaga dalam keadaan bersih dari pornografi
dan pornoaksi dalam dunia nyata maupun maya. Aturan Islam di kehidupan umum diberlakukan, yaitu kewajiban bagi laki-laki maupun
perempuan untuk menutup aurat, bagi perempuan untuk
memakai pakaian syar’I
yang sempurna (jilbab
dan khimar) ketika keluar rumah, perintah
menundukkan pandangan, larangan berkhalwat, memisahkan
laki-laki dan perempuan dalam kegiatan umum dan menjaga setiap interaksi yang
terjadi di dalamnya sebagai bentuk ta’awun (kerjasama)
dalam merealisir kemaslahatan bersama, sembari menutup celah terjadinya
interaksi yang bersifat seksual di kehidupan umum.
Khilafah akan menerapkan sistem sanksi Islam bagi
pelanggar segala tindak kemaksiatan, baik kategori hudud (pelanggar hak Allah : zina,
liwath, qadzaf, mencuri, murtad, pembegal, dan pemberontak) ataupun jinayat (pelanggaran terhadap nyawa dan
tubuh manusia). Demikian pula dengan pelanggaran sistem sosial,
seperti tidak menutup aurat ketika keluar rumah, berkhalwat, suami yang tidak
memberi nafkah, tindak pelecehan dan pencemaran nama baik dll. Dalam hal ini akan dikenai hukuman ta’zir (sesuai dengan ijtihad dari
kholifah).
Inilah sistem yang benar-benar akan
membuat kemiskinan, eksploitasi dan perbudakan menjadi sejarah. Sistem ini
tidak pernah mentoleransi adanya kelaparan pada rakyat, meski untuk satu hari
saja. Sistem ini akan membangun pertumbuhan yang berkelanjutan, membangun
ekonomi di atas kekayaan, dan bukan hutang. Sistem ini akan menghilangkan
pengangguran massal, membangun pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas
yang gratis, menciptakan sebuah ekonomi yang benar-benar adidaya berbasis
industri dan kemajuan teknologi sehingga benar-benar akan memberdayakan
rakyatnya. Pengaturan dan penetapan kebijakan dalam industrinya tidak serta
merta menjadikan keuntungan materi dengan berbagai indikator profesionalisme
yang bertentangan dengan Islam sebagai kebijakan.
Sehingga di bawah naungan Khilafah dan peradaban
Islam inilah, para intelektual muslimah (dan perempuan lainnya) akan mudah merealisasi idealismenya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan, keahlian dan kepakaran yang dimilikinya, mengamalkan keahlian
dan kepakarannya tersebut ditengah-tegah masyarakat dan juga melibatkan diri
mereka dalam aktivitas mengoreksi penguasa, tanpa harus dibayang-bayangi beban
sebagai pencari nafkah, ketakutan tidak bisa melaksanakan fungsi domestiknya,
kekhawatiran terjun ke sektor publik karena penuh dengan suasana yang kondusif untuk
terjadinya pelecehan kehormatan wanita, dsb, karena Islam sudah memberikan
pengaturan rinci akan hal itu semua. Di dalam naungan khilafah mereka akan
menjadi: (1) Perempuan bermartabat, yang dihormati, berdaya, dan menjadi pusat
perhatian negara berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan pengaturan urusan
hidup mereka. (2) Perempuan yang bekerja berdasarkan pilihannya –dan bukan
karena keterpaksaan– dan mendapatkan haknya sebagai pekerja secara jelas;
mendapat upah yang adil dalam jaminan lingkungan yang aman di bawah sistem
sosial Islam. Interaksi mereka dengan laki-laki dipenuhi dengan kehormatan dan
perlindungan. Setiap perkataan dan tindakan yang merepresentasikan bentuk
pelecehan atau eksploitasi akan segera ditangani. (3) Perempuan yang dibesarkan
dengan pijakan bahwa mereka adalah ibu dari umat ini. Mereka akan hidup di
bawah sistem yang tidak pernah akan membiarkan mereka bekerja meski satu hari
dalam rangka memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri atau anak-anak mereka.
Mereka akan hidup di dalam sebuah masyarakat yang akan menunjukkan rasa terima
kasih abadi kepada mereka yang telah mengasuh mereka sebagai seorang anak. (4)
Perempuan yang akan membuat iri dunia karena status mereka dan akan menjadi
panutan yang layak dan menginspirasi para perempuan secara global. Para
perempuan terpelajar di dalam peradaban Islam akan mudah untuk tumbuh dan
berkembang menjadi intelektual-intelektual yang tidak hanya tinggi keilmuannya,
namun tinggi pula rasa takut pada Rabb-nya, tinggi pula semangat juangnya untuk
melawan ketidakadilan. Semakin tinggi ilmunya semakin ia peduli dengan
persoalan umat dan tidak sibuk hanya mengejar target akademik demi
kesejahteraan pribadi. Ketaatannya pada Tuhannya, menjadikannya senantiasa merasa
puas dengan ketentuan dan pengaturan-Nya. Lebih dari itu, ketundukannya
tersebut pula akan mengantarkan pada dioptimalkannya ikhtiarnya untuk bisa
melaksanakan dan menyempurnakan porsi peran yang diembankan kepadanya: sebagai
ibu dan pendidik generasi, manajer dan ratu di dalam rumah tangganya yang
sakinah, dan melalui kepakaran/keahliannya masing-masing para perempuan adalah
partner kaum pria untuk bersama-sama mewujudkan sebuah kehidupan bermasyarakat
yang kondusif bagi terciptanya masyarakat yang penuh kemuliaan berdasarkan
Islam. Mereka akan bersinergi dalam mengemban dakwah Islam di tengah-tengah
masyarakat dan juga dalam melakukan kontrol dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang salah. Dengannya akan tercipta
masyarakat yang kondusif bagi kebaikan siapa saja yang hidup di dalamnya,
termasuk anak-anak dan generasi penerus masa depan.
Seruan Untuk Intelektual Muslimah
Inilah visi Khilafah. Inilah realitas di
masa lalu dan inilah yang akan terwujud kembali di masa datang ketika khilafah
rasyidah kedua yang berdiri atas manhaj kenabian tegak kembali. Yang akan
menunjukkan pada dunia kekuatan solusi Islam yang menjadi kenyataan ketika
dilaksanakan secara nyata (praktis) dalam kehidupan.
Oleh karena itu, sekaranglah saatnya
untuk mewujudkan visi baru ini di dunia Islam maupun dunia secara keseluruhan.
Perlu ada tata dunia baru yang menempatkan jaminan atas kemanusiaan di atas
capaian keuangan. Itulah Khilafah yang di dalamnya para perempuan di seluruh
dunia benar-benar dapat melihatnya sebagai sebuah model negara yang melindungi
mereka dari kemiskinan dan perbudakan, yang memandang mereka sebagai manusia
yang bermartabat dan bukan sekadar obyek untuk mencari kekayaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, kami menyerukan kepada para intelektual muslimah untuk :
1. Meninggalkan
kapitalisme-sekulerisme dan terus menerus melakukan upaya dekonstruksi terhadap
ideologi kapitalisme-sekulerisme di tengah-tengah masyarakat, karena telah
nyata bahwa kapitalisme telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang
mandiri, kuat dan terdepan. Kapitalisme sudah terbukti tidak menjamin
kesejahteraan tiap individu rakyat dan menyengsarakan rakyat. Juga meninggalkan
perangkap demokrasi yang mengokohkan hegemoni kapitalisme global di Indonesia
2. Bergabung
dalam arus perjuangan yang benar, yang berlandaskan metode dakwah Rasulullah saw
untuk mengkonstruksi tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam demi tegaknya
izzul islam wal muslimin. Hal ini bisa dilakukan dengan cara :
a. Terus mempelajari dan mendalami
ideologi islam sebagai sebuah sistem hidup dengan bergabung
dalam pembinaan islam ideologis, yang akan meningkatkan pemahaman terhadap Islam, merubah perilaku
dan meningkatkan kualitas diri sebagai
seorang intelektual muslimah.
b. Berusaha meningkatkan
kesadaran ideologis dengan cara selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang
terjadi di sekeliling Anda, serta kejadian politik di ranah lokal,
bangsa,
hingga dunia. Kemudian dianalisa berdasarkan sudut pandang aqidah dan syariah
Islam
c. Terus-menerus
mensosialisasikan
ideologi islam dalam bentuk solusi masalah kehidupan masyarakat di manapun
berada, sehingga masyarakat siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar
Ideologi Islam.
d. Bergerak dan memimpin intelektual
lain
dan masyarakat secara umum untuk melakukan perubahan
ke arah asas dan sistem Islam. Pastikan mereka bergerak karena Islam dan menuju Islam saja, dan bukan karena motif apapun lainnya.
e. Bersama dengan
intelektual yang lain, menjadi pressure group bagi kebijakan pemerintah yang
tidak tepat atau menyalahi syariat Islam. Termasuk menyelamatkan aset-aset umat yang tergadai kepada (penjajah)
asing, untuk nantinya bisa dikelola dengan pengaturan Islam oleh khilafah.
f. Mempersiapkan diri
menjadi pakar islam ideologis yang siap melahirkan produk-produk ‘terideologisasi’
untuk kebangkitan dan kemuliaan umat. Termasuk di dalamnya adalah terlibat
dalam penyempurnaan rincian perundang-undangan yang akan diterapkan segera
setelah khilafah tegak, mempersiapkan diri menjadi SDM pengisi khilafah.
Berkarya untuk mempersiapkan penerapan hukum syariat di berbagai bidang,
berkiprah dan berkarya hanya untuk izzatul islam, negeri Islam dan
kemashlahatan umat.
g. Bergabung
dalam formasi barisan perjuangan penegakan syariah dan khilafah yang rapi dan terorganisir,
dengan terus-menerus mensosialisasikan ideologi islam dalam bentuk solusi
masalah kehidupan masyarakat di manapun intelektual berada, sehingga masyarakat
siap hidup dalam tatanan kehidupan berdasar Ideologi Islam, dalam rangka
memperbesar kumpulan rakyat yang mengenal dan menginginkan penerapan
hukum-hukum Allah
3. Kepada para tokoh perempuan dengan jaringan kontak luas yang dimiliki, wajib menggunakan posisi, kehormatan dan pengaruh yang telah Allah SWT berikan dengan membawa dakwah ini kepada semua orang yang dikenal untuk membuat dukungan bagi visi ini di tengah-tengah masyarakat.
3. Kepada para tokoh perempuan dengan jaringan kontak luas yang dimiliki, wajib menggunakan posisi, kehormatan dan pengaruh yang telah Allah SWT berikan dengan membawa dakwah ini kepada semua orang yang dikenal untuk membuat dukungan bagi visi ini di tengah-tengah masyarakat.
Allah SWT berfirman: “Orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang
mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang
berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang
paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS az-Zumar [39]: 33-35). Wallahu ’alam
bisshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar