Oleh: KH. M. Shiddiq al-Jawi*
1. Pengantar
DPR dalam waktu dekat ini akan melakukan pembahasan revisi UU No 23/1992 tentang Kesehatan sebagai salah satu prioritas RUU. Dari rancangan yang diajukan Komisi IX, ada banyak hal baru yang dalam UU No 23/1992 belum ada. Antara lain penyesuaian dengan UU Otonomi Daerah, tentang kesehatan remaja, kesehatan reproduksi, perluasan peran masyarakat, antisipasi kemajuan teknologi kedokteran, dan kewajiban negara menanggung biaya pelayanan medis bagi orang miskin (Kartono Mohamad, Isu Abortus dalam RUU Kesehatan, www.kompas.com, 27/08/05).
Salah satu hal baru yang kontroversial dan mengobarkan pro kontra hebat, adalah adanya kemungkinan legalisasi aborsi dalam RUU tersebut, khususnya pada Bab Kesehatan Reproduksi. Dalam pasal 63 disebutkan,“Pemerintah wajib melindungi perempuan dari penghentian kehamilan yang tidak bermutu, tidak aman, tidak bertanggung jawab...” Ini dapat ditafsirkan, bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan segala sarana dan fasilitas untuk melakukan aborsi asalkan aborsi yang aman (safe abortion), yaitu yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang profesional.
Dalam pasal 61 c dikatakan bahwa perempuan berhak : “Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi” Secara implisit, pasal ini membuka penafsiran mengenai bahwa perempuan berhak menentukan untuk hamil atau tidak, dan kalau pun ingin hamil, wanita berhak menentukan apakah akan kehamilannya akan dilanjutkan atau diakhiri, yang tentunya, dengan jalan aborsi.
Pasal-pasal itulah antara lain yang meledakkan pro kontra di tengah masyarakat. Mereka yang kontra, yaitu Majelis Agama di Indonesia dan sejumlah LSM yang dikordinir oleh LSM Komnas Gerakan Sayang Kehidupan, pada tanggal 22 Januari 2003 membuat pernyataan bersama yang intinya menolak upaya legalisasi aborsi tersebut. Alasan yang dipakai oleh kalangan ini utamanya tertuju kepada masalah moralitas.
Sementara itu pihak yang pro yang selalu mendesak untuk melegalkan aborsi, disuarakan oleh kalangan seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan lain-lain. Alasan utama yang dikemukakan kalangan ini adalah untuk meminimalkan efek dari akibat aborsi tidak aman/ilegal oleh tenaga-tenaga medis yang tidak memilki kualifikasi yang memadai yang seringkali menimbulkan kematian, selain juga sebagai pilihan alternatif bagi warga negara dalam menghadapi masalah kehamilan yang tidak diinginkan. (Bintoro Siswayanti, Amandemen UU Legalisasi Aborsi untuk Peningkatan Kualitas Kehidupan Perempuan: Upaya Mengejar Bayang-Bayang, www.hayatulislam.net).
Makalah ini bertujuan menjelaskan 4 (empat) hal berikut yang berkaitan dengan rencana amandemen tersebut yaitu :
Pertama, kritik Islam terhadap kemungkinan legalisasi aborsi dalam amandemen UU 23/1992,
Kedua, jaminan kesehatan masyarakat dalam Syariah Islam,
Ketiga, kesehatan reproduksi dalam Syariah Islam,
Keempat, hukum aborsi menurut Syariah Islam.
2. Kritik Islam
Upaya segelintir kaum sekuler yang bermaksud melegalisasi aborsi melalui amandemen UU 23/1992 tersebut wajib dihentikan dan digagalkan, karena merupakan kemungkaran yang nyata yang sangat bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam.
Kemungkaran upaya hina tersebut dapat dibuktikan melalui poin-poin kritikan sebagai berikut ini :
2.1. Konsep Safe Abortion Adalah Batil
Pihak pro aborsi mengatakan bahwa aborsi tak aman berkontribusi 11 % terhadap AKI (Angka Kematian Ibu) di Indonesia yang besarnya 307 orang untuk setiap 100.000 kelahiran. Maka mereka memandang bahwa agar AKI turun, aborsi yang tidak aman harus diubah menjadi aborsi yang aman (safe abortion) yang dilakukan oleh tenaga medis yang profesional, bukan oleh tenaga yang tak profesional.
Konsep safe abortion ini batil, sebab aborsi tetap haram walau pun aman. Aborsi secara umum adalah haram baik dilakukan secara tidak aman maupun secara aman. Tidak ada bedanya dari segi keharaman, sebab tidak dalil syariah yang membolehkan aborsi yang aman. Kaidah ushul fiqih mengatakan :
Al-'aam yabqaa 'ala 'umumihi maa lad yarid dalil at-takhshish
(Lafazh/dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak dalil yang mengecualikannya).
Dalam hal ini dalil-dalil yang mengharamkan aborsi (seperti QS Al An’aam : 151, QS Al-Israa : 31) adalah dalil umum, dan tidak ada dalil yang mengecualikan untuk aborsi aman. Maka aborsi secara umum tetap haram.
Kebatilan konsep safe abortion ini dapat dianalogikan dengan haramnya zina atau daging babi. Secara umum, zina hukumnya haram, baik dilakukan secara tidak aman (misal dengan resiko PMS/Penyakit Menular Seksual yang tinggi) maupun secara aman, misalnya dengan menggunakan kondom. Demikian pula secara umum daging babi hukumnya tetap haram, apakah daging babi itu mengandung flu burung atau bebas flu burung sama sekali.
Maka dari itu, konsep safe abortion adalah konsep batil karena bertentangan dengan Islam secara total. Menghalalkan safe abortion sama saja dengan membuat hukum sendiri, padahal hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum. Firman Allah SWT (artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 57)
2.2. Tidak Boleh Mengurangi AKI dengan Jalan Aborsi
Pihak pro aborsi berhujjah bahwa aborsi itu dilakukan demi mengurangi AKI. Bukankah ini tujuan yang mulia?
Jawabnya, benar bahwa AKI haruslah dikurangi. Tapi aborsi tidak boleh dijadikan jalan untuk mengurangi AKI itu, sebab itu berarti menempuh jalan yang haram untuk menuju sesuatu yang halal.
Islam tidak menyetujui prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (the end justifies the means) yang sangat sekularistik itu. Prinsip Machiavelis ini sangat bertentangan dengan kaidah hukum Islam :
Laa yutawashshalu ilal halal bil haram
(Tidak boleh menuju yang halal melalui jalan yang haram) (Lihat Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da'wah ila Al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1995, hal. 288). Dalam redaksi lain tapi maknanya sama, terdapat kaidah berbunyi :
Laa yajuuzu irtikabu mahzhuurin li at-tawashshulu ila mubaahin
(Tidak boleh melakukan yang haram untuk mencapai sesuatu yang mubah) (Lihat M. Khair Haikal, Al-Jihad wal Qital, Juz II, Beirut : Darul Bayariq, 1996, Juz II, hal. 1337)
2.3. Legalisasi Aborsi Adalah Menghalalkan Yang Haram
Melegalisasi aborsi bukan sekedar bertentangan dengan syariah Islam seperti pada poin kritik 2.1. dan 2.2. namun juga sudah menyentuh wilayah yang sensitif, yaitu Aqidah Islam. Mengapa? Sebab legalisasi aborsi secara langsung atau tidak berarti menghalalkan zina (free sex) dan menghalalkan pembunuhan (aborsi).
Padahal menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal adalah perbuatan syirik yang dapat merusak syahadat seorang muslim. Na'uzhu billah min dzalik. (Lihat Said Hawwa, Al Islam, (Jakarta : GIP, 2004) hal. 106).
Hal itu dikarenakan, menetapkan halal haramnya sesuatu adalah hak Allah semata, sesuai firman-Nya (artinya) :
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS Al-A’raaf [7] : 54)
Maka dari itu, manusia yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal, berarti telah mengangkat dirinya sebagai tuhan0tuhan selain Allah. Manusia seperti itu telah menjadi sekutu Allah. Allah SWT berfirman (artinya) :
“Mereka itu (kaum Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At-Taubah [9] : 31)
Ayat ini pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepada Ketika Adi Bin Hatim (saat masih beragama Kristen). Maka Adi bin Hatim berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah orang alim dan rahib mereka.” Maka Nabi SAW menjawab,”Benar! Tapi mereka mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal, lalu kaum mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan kaum Yahudi dan Nasrani kepada pemuka agama mereka.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1990), hal. 19-21.)
Maka dari itu, legalisasi aborsi di samping melawan Syariah Islam, juga melawan Aqidah Islam. Piha-pihak yang pro aborsi jika mereka muslim, dan tahu benar bahwa upaya legalisasi aborsi adalah bertentangan dengan nash yang qath'i (pasti) tentang haramnya zina (QS 17:32) dan haramnya pembunuhan (QS 6:151 dan 17:31), maka tak diragukan lagi, mereka akan menjadikan orang murtad dan musyrik yang telah keluar dari agama Islam !
2.4. Legalisasi Aborsi Adalah Agenda Global Barat
Legalisasi aborsi bukan sekedar masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang selalu dipropagandakan negara-negara Barat yang kafir, terutama Amerika Serikat, melalui badan-badan dunia seperti PBB.
Jadi, upaya legalisasi aborsi bukan inisiatif murni pihak-pihak yang pro aborsi, melainkan sudah menjadi agenda global Barat untuk mensekulerkan umat Islam di seluruh dunia.
Hal itu dapat dibuktikan dari fakta bahwa isu legalisasi aborsi telah menjadi isu global yang diserukan lembaga-lembaga internasional kepada pemerintah di setiap negara.
Serangkaian konvensi internasional mengenai jaminan hak atas kesehatan reproduksi telah ditandatangani Pemerintah Indonesia, yang hasilnya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Juga terdapat kesepakatan ICPD (International Conference on Population and Development) di Cairo, Mesir, tahun 1994, yang menyepakati visi 20 tahun untuk membina keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan, dan upaya-upaya pembangunan terkait lainnya.
Oleh sebab itu, pemerintah di setiap negara di bawah badan dunia PBB diharapkan (baca:dipaksa) untuk melaksanakan rencana tersebut dalam skala kebijakan nasionalnya masing-masing.
Juga terdapat kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai bagian dari anggota Gerakan Negara Non Blok (GNB) menandatangani ‘Beijing Message’ pada Konferensi Dunia keempat tentang Perempuan di Beijing tahun 1995.
GNB menyatakan akan melakukan berbagai aksi untuk menyetarakan pria dan perempuan dalam kerangka hak asasi dan menghapus segala bentuk diskriminasi, memperbaiki kondisi ekonomi, dan keadilan sosial, serta membuka kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam setiap kesempatan. (Kompas, 4/9/1995, “Pesan Beijing dari GNB”)
Jelaslah bahwa legalisasi aborsi sesungguhnya adalah bagian dari upaya global Barat agar umat Islam mengikuti ideologi kapitalisme sekuler.
Maka upaya legalisasi aborsi itu harus dicegah dan dihancurkan, karena akan sangat berbahaya bagi umat Islam. Umat Islam akan semakin didominasi dan dicengkeram oleh ideologi kapitalisme yang kufur. Padahal Islam telah mengharamkan umatnya untuk memberi jalan apa saja kepada kaum kafir untuk mendominasi umat Islam, termasuk jalan berupa UU yang menghalalkan aborsi. Allah SWT berfirman (artinya) :
'Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.' (QS An-Nisaa` [4] : 141)
3. Jaminan Kesehatan Masyarakat dalam Syariah Islam
Dalam Syariah Islam, negara Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya, yaitu : (1) pendidikan, (2), keamanan, dan (3) kesehatan. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Tiga kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) itu wajib diberikan oleh Khilafah kepada rakyatnya secara cuma-cuma, sebab itu semuanya adalah hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan dari khalifah (negara). Rasulullah SAW bersabda :
'Imam (khalifah) adalah ibarat penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).' (HR Bukhari)
Dalil khusus yang berkaitan dengan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa syariah Islam telah memerintahkan menghilangkan setiap bahaya (dharar), termasuk bahaya penyakit. Rasulullah SAW bersabda :
'Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bagi orang lain.'
Maka dari itu, negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, sebab jika tidak, akan menimbulkan bahaya, padahal Islam telah mewajibkan untuk menghilangkan setiap bahaya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 180).
Dalil lainnya bahwa negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa Rasulullah SAW pernah diberi hadiah berupa seorang tabib (sekarang dokter), tapi beliau lalu menjadikan tabib itu sebagai hak seluruh kaum muslimin, bukan hak beliau sendiri. Ini berarti kesehatan adalah urusan umum yang wajib dipenuhi negara atas rakyatnya (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Meski demikian, syariah Islam tidak melarang adanya pelayanan kesehatan yang berasal dari non pemerintah, yaitu yang dilakukan oleh dokter atau rumah sakit swasta dengan memungut biaya. Hal ini dibolehkan karena menerapkan hukum Ijarah (memberikan jasa dengan imbalan) yang berlaku umum, di samping terdapat dalil khusus untuk hal tersebut. Dalil ini adalah hadits yang menjelaskan bahwa seorang dokter dibolehkan memungut biaya atas jasa yang diberikannya kepada pasien.
Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah memanggil seorang anak muda untuk melakukan hijamah (pembekaman) dan Nabi SAW memberikan kepadanya satu atau dua sha` makanan.' (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 180).
Dalam perkembangan sejarah Islam berikutnya, negara Khilafah telah memberikan jaminan kesehatan kepada rakyatnya dengan menyediakan segala sarana dan prasarana kesehatan, seperti rumah sakit dan apotik.
Pada masa Khilafah Umawiyah, Khalifah telah membangun berbagai rumah sakit untuk penederita penyakit lepra dan kebutaan. Ini pada awalnya. Pada masa sesudahnya yaitu di masa Khilafah Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Pada masa itu pula untuk pertama kalinya ada rumah sakit berjalan (semacam ambulans). (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri Al-Islami, hal. 88)
Pada masa Khilafah Abbasiyah itu pula untuk pertama kalinya ada apotik-apotik, yang terbesar adalah apotik bernama Ibnu Al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara.
Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri Al-Islami, hal. 89).
Selain pelayanan kesehatan dari negara, sejarah juga mencatat adanya pelayanan kesehatan swasta. Tercatat dalam sejarah adanya macam-macam waqaf dari orang kaya untuk berbagai keperluan, di antaranya adalah untuk membangun rumah sakit. (Musthafa Husni As-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, hal. 405).
Di rumah sakit swasta itu juga disediakan pengobatan jiwa (psikoterapi). Di Tripoli (Libanon) pernah ada rumah sakit swasta yang menggaji dua orang yang pekerjaannya secara khusus adalah memberi sugesti kepada orang yang sakit bahwa kesehatannya makin membaik. Di rumah sakit Sultan Qalawun di Kairo pernah ada pula pertunjukan lawak bagi para pasien agar mereka terhibur. (Musthafa Husni As-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, hal. 407).
Namun yang perlu diperhatikan, jaminan kesehatan yang diberikan Islam kepada rakyatnya, tentu tidak lepas dari syariah Islam. Negara tidak akan pernah mengizinkan aborsi tanpa alasan yang dibenarkan syariah, misalnya.
Syariah Islam itu akan otomatis sudah masuk (include) dalam sistem kesehatan yang secara tata kenegaraan dilaksanakan oleh Jihaz Idari (Biro Pelayanan Umum) dalam negara Khilafah. Sistem kesehatan ini tersusun dari 3 (tiga) unsur komponen sistem :
Pertama, peraturan, baik peraturan berupa Syariah Islam maupun peraturan teknis administratif.
Kedua, sarana dan peralatan fisik, seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya.
Ketiga, SDM (sumber daya manusia), sebagai pelaksanan sistem kesehatan, meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hal. 148)
Adapun pelayanan kesehatan yang diberikan, wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam, yaitu :
Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit dan rumit yang justru menyulitkan),
Kedua, cepat dalam pelayanan (bukan berlambat-lambat dan santai yang akan menghabiskan waktu rakyat)
Ketiga, profesional dalam pelayanan (bukan dikerjakan oleh orang yang tidak kompeten). (Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 262).
Dapat ditambahkan bahwa, jaminan kesehatan masyarakat yang diberikan Islam, tidak dapat dipisahkan dengan sistem-sistem lainnya dalam masyarakat Islam, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sistem sosial.
Jika keseluruhan sistem Islami tersebut berjalan baik dan menerapkan syariah Islam, insya Allah sistem kesehatan akan dapat memberikan jaminan kesehatan yang optimal bagi rakyat, termasuk mengurangi AKI (Angka Kematian Ibu).
Agar semua sistem itu terjamin dapat melaksanakan syariah Islam, dasar negaranya haruslah Aqidah Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Di sinilah masalahnya, sebab dasar negara dari seluruh negeri-negeri di seluruh Dunia Islam saat ini adalah paham sekularisme yang berusaha menceraikan agama Islam dari perannya serbagai pengatur segala urusan kehidupan.
4. Kesehatan Reproduksi Dalam Islam
Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai “suatu keadaan utuh kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.” (Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia, Jakarta : Depkes RI dan WHO, 2003, hal. 2,3,17-20, 63-71)
Dapatkah syariah Islam menerima definisi tersebut? Jawabnya : dapat, asalkan kesehatan reproduksi itu diletakkan dalam suatu sistem kesehatan berdasarkan syariah Islam, bukan dalam sistem kesehatan saat ini yang berdasarkan nilai-nilai sekuler yang kufur.
Sekularisme adalah paham yang menolak aturan agama dalam kehidupan publik (termasuk sektor kesehatan). Agama dipandang hanya sekedar urusan pribadi menyangkut hubungan vertikal manusia dengan tuhan.
Setelah agama dicampakkan agama dari perannya sebagai pengatur kehidupan, lalu siapa yang mengatur kehidupan? Jawabnya, manusia sendiri, bukan agama (Tuhan). Jadi, tuhan tidak dibolehkan mengatur hidup manusia, yang boleh mengatur adalah manusia itu sendiri.
Dari titik itulah, lahir paham kebebasan (freedom/liberalisme, al-hurriyat) yaitu paham yang mengatakan tidak adanya keterikatan manusia dengan suatu nilai/norma pada saat manusia melakukan perbuatan (‘adamu al-taqayyudi bi syai`in ‘inda al-qiyaami bi al-‘amal) (Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilafah, 1994).
Paham kebebasan itu antara lain adalah kebebasan berperilaku (al-hurriyat al-syakhshiyyah) yang mengatakan bahwa manusia adalah pemilik tubuhnya sendiri. Maka, manusia boleh dan berhak mengatur dan memperlakukan organ-organ tubuhnya sendiri sesuka-suka dia. Termasuk tentunya di sini adalah organ-organ tubuh yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, misalnya vagina, rahim, dan sebagainya. Hubungan seksual boleh dengan siapa saja, asal aman, sehat, dan higienis. Aborsi boleh saja asalkan sehat dan aman.
Jadi, dalam masalah ini, agama apalagi tuhan dianggap tidak ada (in-exist) dan kalau pun dianggap ada, tidak dibolehkan mengatur hidup manusia termasuk tubuh manusia. Beginilah cara berpikir kaum sekuler yang anti agama.
Standar perbuatan yang dipakai hanyalah manfaat belaka (paham pragmatisme/utilitarianisme). Bukan aturan agama (syariah Islam). Standar pragmatisme yang kemudian digunakan untuk mengukur kebaikan dan keburukan. Yang sehat dianggap baik, walaupun diharamkan syariah Islam, seperti zina (konsep safe sex). Aborsi yang sehat (safe abortion) dianggap baik dan benar, walaupun diharamkan oleh syariah Islam.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jika kesehatan reproduksi diletakkan dalam sistem nilai sekularisme seperti kebebasan (liberalisme) dan pragmatisme, maka kesehatan reproduksi akan mencampakkan hukum Islam dan hanya menjadi pembenaran bagi berbagai perilaku bejat, misalnya, perzinaan (free sex). Perzinaan akan semakin subur jika aborsi dibolehkan secara hukum. Demikian pula aborsi itu sendiri akan dibolehkan untuk kasus-kasus aborsi yang diklaim “boleh” dalam etika kedokteran sekuler, padahal haram menurut syariah Islam. Yang seperti ini misalnya aborsi karena kasus incest, janin dipastikan cacat, perkosaan, tuntutan karier, kegagalan kontrasepsi, dan sebagainya. Aborsi untuk kasus-kasus tersebut haram menurut hukum syariah Islam, sebab tidak terdapat dalil syar’i yang membolehkannya sebagai perkecualian dari hukum umum haramnya aborsi.
Maka dari itu, kesehatan reproduksi tidak boleh dilepaskan dari tuntunan dan pedoman syariah Islam, agar kesehatan reproduksi tidak menjadi sistem liberal yang liar yang hanya cocok untuk binatang ternak (seperti babi) atau orang-orang yang tidak beragama.
Jadi, konsep kesehatan reproduksi dapat diterima dan dilaksanakan sepanjang sesuai dengan syariah Islam. Jika bertentangan dan malah menghancurkan tatanan nilai Islam (Aqidah dan Syariah), maka kesehatan reproduksi wajib hukumnya ditolak, digagalkan, dan dicabut sampai ke akar-akarnya.
Sekali lagi perlu kiranya disampaikan, bahwa kesehatan reproduksi dalam pandangan Islam, tak dapat dilepaskan dari Aqidah dan Syariah Islam. Dengan kata lain, kesehatan reproduksi adalah bagian dari sistem kesehatan dalam Islam. Bagaimanakah sistem kesehatan Islam itu? Di mana posisi syariah Islam dalam sistem kesehatan Islam? Bagaimana sistem kesehatan Islam memandang kesehatan reproduksi? Berikut sedikit uraiannya.
Sistem kesehatan itu sendiri secara umum merupakan salah satu dari sekian sistem sosio-kultural yang ada dalam masyarakat, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sebagainya. Setiap sistem sosio-kultural empiris (empirical socio-cultural system) yang ada dalam masyarakat, tersusun dari 3 (tiga) komponen yaitu :
Pertama, nilai-nilai, norma ideal, atau suatu pandangan hidup (values or ideals or a system of meanings). Komponen pertama ini jelas terkait dengan pandangan hidup tertentu atau ideology-oriented/value bound. Dalam sistem sosio kultural Islam, komponen pertama ini adalah Aqidah Islam beserta segala aturan syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam itu. Dalam sistem sosio kultural Barat, komponen pertama ini adalah sekularisme dan segala nilai atau konsep yang lahir dari sekularisme itu.
Kedua, sarana atau instrumental fisik (a causal system of empirical vehicles and instrumentalities), misalnya komputer, bangunan gedung, buku, dan segala produk sains dan teknologi. Komponen kedua ini tidak bersifat ideology-oriented, tapi bersifat universal. Pada poin ini sarana-sarana fisik yang sama modernnya bisa digunakan oleh dua sistem sosio-kultural yang berbeda ideologinya. Sistem sosio-kultural Islam boleh mengadopsi sarana modern selama tidak bertentangan dengan syariah.
Ketiga, manusia sebagai pelaksana sistem (human agents), misalnya guru dan murid (dalam sistem pendidikan), atau dokter dan perawat (dalam sistem kesehatan). Komponen ketiga jelas terkait dengan pandangan hidup. Dalam sistem sosio kultural Islam, human agents ini wajib menjalankan profesinya atau berperilaku sesuai syariah Islam, walaupun dia non-muslim. Profesionalitas dan norma syariah tidak dapat dipisahkan (unseparable). Dalam sistem sosio kultural Barat, human agents ini hanya mementingkan profesionalitas, tapi tidak ada keharusan untuk terikat dengan norma agama alias liberal. Jadi, profesionalitas bisa terpisah dari norma syariah. (Lihat : S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, New Delhi : Goodwork Books, 2002, hal. 148 & 162).
Jika teori umum tentang sistem sosio kultural itu kita gunakan untuk menggagas sistem kesehatan Islam, maka dapat dikatakan bahwa sistem kesehatan Islam itu memiliki satu kesamaan dengan sistem kesehatan Barat pada komponen kedua yang bersifat universal, yakni dari segi sarana dan instrumental fisiknya, termasuk juga dalam hal ini ilmu kedokterannya sendiri. Sebab ilmu kedokteran –sebagai bagian sains dan teknologi— adalah universal dan tidak terkait suatu ideologi tertentu.
Adapun komponen pertama dan kedua, akan menjadi poin pembeda yang sangat nyata antara sistem kesehatan Islam dengan sistem kesehatan Barat (sekuler). Komponen pertama sistem kesehatan Islam, adalah nilai-nilai Islam itu sendiri, yaitu Aqidah Islam dan berbagai hukum syariah yang lahir dari aqidah Islam itu, khususnya hukum syariah yang mengatur aspek kesehatan. Di sinilah syariah Islam mendapatkan posisinya dalam sistem kesehatan Islam. Adapun dalam sistem kesehatan sekuler, komponen pertama adalah nilai-nilai sekularisme seperti kebebasan.
Komponen ketiga dalam sistem kesehatan Islam, adalah SDM yang profesional dalam bidang kesehatan yang bekerja mengikuti norma syariah. Sedang dalam sistem kesehatan sekuler, komponen ketiga ini adalah SDM profesional tapi bermental sekuler dan liberal, yang tidak mau terikat dengan norma syariah.
Jika nilai-nilai Islam (aqidah dan syariah) merupakan komponen pertama dalam sistem kesehatan Islam, lalu bagaimana kesehatan reproduksi menurut nilai-nilai Islam?
Secara ringkas, konsep kesehatan reproduksi menurut Islam dapat dijelaskan antara lain dalam poin-poin berikut :
Pertama, Aqidah Islam adalah asas satu-satunya bagi pengaturan kesehatan reproduksi. Artinya segala macam kebijakan atau peraturan yang menyangkut reproduksi, tidak boleh keluar dari aturan syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam. Misal : Tidak boleh ada UU yang melegalisasikan aborsi.
Kedua, Syariah Islam adalah satu-satunya standar atau tolok ukur bagi tindakan/perilaku kesehatan reproduksi, baik bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan. Maka tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang berkaitan dengan reproduksi jika bertentangan dengan syariah Islam. Misal : tidak dibenarkan seorang perempuan melakukan zina (free sex) baik secara aman (safe sex) maupun tidak aman. Perempuan yang hamil baik karena zina, diperkosa, hubungan incest, dan sebagainya, tidak dibenarkan melakukan aborsi, walaupun aborsi yang aman (safe abortion)
Ketiga, Kesehatan reproduksi wajib diarahkan pada tujuan dasar diciptakannya sistem reproduksi manusia beserta naluri yang menggerakkannya (gharizah al-nau’), yaitu untuk melestarikan jenis manusia (li baqa` nau’ al-insan), melalui lembaga pernikahan. Artinya, kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani nafsu sampah manusia bejat untuk memuaskan hasrat dan orientasi seksualnya secara liar. Kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani dan menyuburkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, dan sebagainya; baik langsung maupun tak langsung.
Keempat, Setiap pelayanan, edukasi, informasi, dan konseling kesehatan yang diberikan dan difasilitasi pemerintah kepada rakyat tidak boleh bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam. Semua pelayanan dan edukasi kesehatan itu tidak boleh dimaksudkan untuk mendorong rakyat (khususnya remaja yang aktif secara seksual) untuk melakukan perbuatan amoral (zina). Tidak boleh pula dimaksudkan memberikan pemahaman yang keliru baik mengenai norma maupun realitas kesehatan reproduksi. Tidak boleh misalnya, ada anjuran memakai kondom bagi remaja yang akan berzina dengan pacarnya atau akan beranal seks dengan teman homonya. Seharusnya, anjuran yang diberikan adalah agar tidak berzina dan melakukan perilaku homoseksual.
Kelima, Setiap tindakan medis yang diberikan tenaga kesehatan tidak boleh menyalahi Syariah Islam. Artinya, tolok ukur tindakan medis yang baik bukan sekedar dilihat dari segi mutu dan keamanannya secara medis, tapi juga dilihat dari segi kesesuaiannya dengan syariah. Misal, tidak boleh melakukan aborsi walaupun aborsi aman, jika aborsi itu diharamkan syariah. Yaitu tanpa indikasi medis yang kuat (ancaman kematian ibu). Jadi, konsep aborsi aman adalah bertentangan dengan syariah
5. Hukum Aborsi
Bagaimana aborsi dalam pandangan hukum syariah Islam? Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya.
Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An-Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.
Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Usman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al An’aam : 151)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini.
Akan tetapi menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram.
Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :
'Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?' Maka Allah kemudian memberi keputusan...'' (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
'(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam...'
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam.
Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma'shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
'Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan...' (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa.
Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Namun demikian, sebagai perkecualian dari haramnya aborsi pasca 40 hari usia janin, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al Maidah : 32)
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah SAW bersabda :
'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian !' (HR. Ahmad)
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :
Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya.
Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
6. Penutup
Upaya segelintir kaum sekuler untuk melegalisasi aborsi wajib digagalkan karena legalisasi aborsi sangat bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam.
Legalisasi aborsi adalah menghalalkan yang haram, dan ini dapat menjerumuskan seorang muslim ke dalam kemurtadan.
Legalisasi aborsi merupakan salah satu bagian agenda global Barat untuk mensekulerkan umat manusia sedunia agar mereka menjadi penganut setia dari ideologi kapitalisme yang kufur.
Bagi kaum muslimin, wajiblah kita berpegang teguh dengan syariah Islam, termasuk hukum haramnya aborsi. Jika Allah SWT telah mengharamkan aborsi, maka tidak boleh ada pilihan lain (other choice) bagi kaum beriman Marilah kita renungkan firman Allah (artinya) :
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al Ahzab : 36)
Wallahu a'lam.
- - - - - - - - -
*Disampaikan dalam Seminar dan Workshop Kesehatan Regional bertema Kesehatan Reproduksi Perspektif Islam (Catatan Untuk Rancangan Amandemen UU No. 23/1992), diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia Propinsi DIY, Ahad, 25 September 2005, di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.
** Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPD HTI Propinsi DIY
Konsultan Pendidikan Anak, Remaja dan Keluarga. Mitra Mewujudkan Profil Muslimah Mulia: Istri Sholihah, Ibu Pencetak Generasi Berkualitas dan Pejuang Islam
Tempat berbagi
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar