Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) telah selesai digodog, dan sekarang masuk tahap dengar pendapat sampai resmi disahkan menjadi undang-undang. RUU PT ini diharapkan mampu menjadi payung hukum pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, setelah UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) resmi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah RUU ini mampu menjawab persoalan pendidikan tinggi agar mampu berjalan sesuai tugas dan fungsinya? Apakah hanya sekedar menjawab beberapa persoalan dalam UU BHP dan membuka penjajahan pendidikan tinggi Indonesia lebih luas lagi?
Timbangan RUU PT
Dasar pertimbangan RUU PT sebagaimana yang tertulis dalam draft adalah sebagai berikut:
a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
d. bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan diperlukan pendidikan tinggi untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan daya saing bangsa;
Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih. Yaitu penggunaan kalimat “…mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional…”. Sepintas memang tampak biasa dan benar adanya. Namun penggunaan kalimat itu sangat bisa diarahkan pada pemaknaan bahwa amanah pemerintah adalah dalam ranah pengupayaan dan penyelenggaraan. Hal ini tentu memiliki makna yang cukup berbeda jika kalimat yang digunakan jelas sebagaimana fungsi Negara dalam pelaksanaan pendidikan. Yaitu Negara (pemerintah) wajib dan memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan system pendidikan nasional. Sehingga terlihat bahwa Negara bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan pendidikan. Cara pandang ini tentu akan sangat mempengaruhi dalam pengaturan pelaksanaan pendidikan, khususnya pengurangan peran pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan. Dimana pola ini merupakan salah satu ciri dari neoliberalisme yaitu pengurangan peran pemerintah, pasar bebas, dan individualism.
Pertimbangan lain yang terlihat adalah suasana penyiapan untuk mampu bersaing dalam arus globalisasi. Dengan globalisasi, setiap Negara dipaksa untuk membuka pasar (sector-sektor) dalam negerinya ke dunia internasional. Setiap Negara (tanpa memperhatikan kuat lemahnya) bebas bersaing untuk mengakses ataupun menguasai sector yang diglobalkan (diliberalkan). Sehingga memang salah satu konsekuensi dari globalisasi adalah peliberalan sector-sektor tertentu. Baik barang ataupun jasa. Langkah-langkah ini sudah cukup terasakan di Indonesia. Sehingga sebutan ataupun pengungkapan “Indonesia makin liberal” sudah cukup sering kita dengarkan.
RUU PT: Kokohkan Liberalisasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Pada Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional secara jelas dibukanya kran liberalisasi pendidikan tinggi. Pasal 73 ayat (1) disebutkan : Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 menyebutkan : (1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerjasama internasional.
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara lain:
a. pertukaran dosen dan mahasiswa;
b. pengembangan kurikulum;
c. pelaksanaan kerjasama program studi;
d. pengembangan organisasi; dan/atau
e. penelitian.
Arahan Internasional : Liberalisasi Sektor Jasa
Liberalisasi jasa pendidikan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Negara maju. Karena liberalisasi sector ini memberikan keuntungan yang sangat besar[1]. Disebutkan oleh Effendi bahwa ada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa Negara maju sangat getol menuntut adanya liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Negara-negara anggota WTO akan terus ditekan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Sejak tahun 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Dan tentunya Indonesia juga harus menyepakati untuk meliberalkan sector pendidikannya. Ada dua factor kenapa Indonesia sangat ditarget untuk meliberalkan sector jasa pendidikan. Pertama: Indonesia memiliki penduduk yang besar, sekitar 215 juta dengan partisipasi pendidikan tinggi rendah. Kedua Perhatian pemerintah pada sector pendidikan lemah, sehingga mutu pendidikan secara umum rendah. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi incaran Negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Di satu sisi SDM-SDM tersebut menjadi tenaga kerja yang murah bagi mereka (negara-negara maju tersebut). Untuk mengoptimalkan ini, peran Negara dalam pengaturan urusan masyarakat terus diminimalkan. Baik dalam pendidikan ataupun penyediaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Ada enam Negara yang sangat menuntut Indonesia untuk meliberalkan sector jasanya. Amerika, Australia, Jepang, Korea, China, dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan vocasional, dan profesi.
Konspirasi Liberalisasi pendidikan Tinggi
Melihat strategisnya liberalisasi pendidikan oleh Negara-negara berkembang (dalam hal ini Indonesia), maka sangat dimengerti “pemaksaan/penekanan” agar hal ini segera terwujud terus dilakukan. Untuk memuluskan agenda besar ini dilibatkanlah actor-aktor kunci dalam proses Konspirasi PT ini. Meliputi :
1. Negara-negara kapitalis
Negara-negara inilah sebagai actor utama dengan besarnya kepentingan mereka.
2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)
Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.
WTO akan terus menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)
Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.
4. Pemerintah Dunia Ketiga
Berperan sebagai pembuka pintu dan pemberi payung hukum jalannya konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi tersebut.
Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Tinggi
1. Dampak Ideologis
Pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam penanaman pemikiran dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh suatu bangsa. Dengan masuk dan bekerjasamanya dalam ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan kuat penanaman pemikiran-pemikiran barat terus ditancapkan.
2. Dampak Politik
Pendidikan berfungsi sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk pemecahan persoalan bangsa. Dengan adanya liberalisasi PT sangat dimungkinkan besarnya pengaruh pemikiran barat dalam penyelesaian persoalan bangsa.
3. Dampak Ekonomi
Hal ini berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Meskipun dalam RUU PT sudah disebutkan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa adalah maximal sepertiga dari seluruh biaya operasional PT. Namun mekanisme ini dipastikan belum menjamin mudahnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat
4. Dampak Sosial
Dampak ini mengakibtkan kesenjangan kaya dan miskin semakin terbuka lebar
Menghentikan Liberalisasi PT
Bahaya destruktif liberalisasi PT sangatlah besar. Bahakan terkait kedaulatan Negara. Karena itu pembiaran terhadapnya merupakan pembiaran terhadap hancurnya negeri ini. Upaya serius untuk menghentikan menjadi sebuah kewajiban. Oleh semua pihak. Harus diseriusi dan sabar menjalani prosesnya. Karena penghentiannya tidaklah mudah. Mengingat bacaan persoalan ini melibatkan berbagai actor yang sifatnya mengglobal (kokohnya penerapan kapitalisme).
Upaya yang dilakukan haruslah dengan perwujudan perubahan pemikiran dan pemunculan kesadaran yang benar pada seluruh segmen masyarakat. Sehingga diharapkan dorongan penolakan pada penerapan kapitalisme sang perusak pendidikan akan terwujud. Di satu sisi dorongan penerapan kehidupan Islam akan menguat pula. Upaya penyeruan dilakukan:
(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.
(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.
(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.
(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.
Selain itu secara pemikiran ideology juga disampaikan, meliputi:
(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.
(2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa’idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.
(3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.
(4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging).
[ Allahu a’lam bishshowab]
Oleh Anisah Rahmawati, aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
[1] Effendi,S. 2007. Cit. Enders dan Fulton, Eds.,2002, h 104-105
Konsultan Pendidikan Anak, Remaja dan Keluarga. Mitra Mewujudkan Profil Muslimah Mulia: Istri Sholihah, Ibu Pencetak Generasi Berkualitas dan Pejuang Islam
Tempat berbagi
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
informasi, pemikiran, kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,
pendidikan anak, remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....
Selamat Berlayar..........
Selasa, 10 Mei 2011
Minggu, 08 Mei 2011
RUU PT : Pengokohan Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia Bagaimana Menghadapinya?
Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) telah selesai digodog, dan sekarang masuk tahap dengar pendapat sampai resmi disahkan menjadi undang-undang. RUU PT ini diharapkan mampu menjadi payung hukum pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, setelah UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) resmi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah RUU ini mampu menjawab persoalan pendidikan tinggi agar mampu berjalan sesuai tugas dan fungsinya? Apakah hanya sekedar menjawab beberapa persoalan dalam UU BHP dan membuka penjajahan pendidikan tinggi Indonesia lebih luas lagi?
Timbangan RUU PT
Dasar pertimbangan RUU PT sebagaimana yang tertulis dalam draft adalah sebagai berikut:
a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
d. bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan diperlukan pendidikan tinggi untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan daya saing bangsa;
Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih. Yaitu penggunaan kalimat “…mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional…”. Sepintas memang tampak biasa dan benar adanya. Namun penggunaan kalimat itu sangat bisa diarahkan pada pemaknaan bahwa amanah pemerintah adalah dalam ranah pengupayaan dan penyelenggaraan. Hal ini tentu memiliki makna yang cukup berbeda jika kalimat yang digunakan jelas sebagaimana fungsi Negara dalam pelaksanaan pendidikan. Yaitu Negara (pemerintah) wajib dan memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan system pendidikan nasional. Sehingga terlihat bahwa Negara bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan pendidikan. Cara pandang ini tentu akan sangat mempengaruhi dalam pengaturan pelaksanaan pendidikan, khususnya pengurangan peran pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan. Dimana pola ini merupakan salah satu ciri dari neoliberalisme yaitu pengurangan peran pemerintah, pasar bebas, dan individualism.
Pertimbangan lain yang terlihat adalah suasana penyiapan untuk mampu bersaing dalam arus globalisasi. Dengan globalisasi, setiap Negara dipaksa untuk membuka pasar (sector-sektor) dalam negerinya ke dunia internasional. Setiap Negara (tanpa memperhatikan kuat lemahnya) bebas bersaing untuk mengakses ataupun menguasai sector yang diglobalkan (diliberalkan). Sehingga memang salah satu konsekuensi dari globalisasi adalah peliberalan sector-sektor tertentu. Baik barang ataupun jasa. Langkah-langkah ini sudah cukup terasakan di Indonesia. Sehingga sebutan ataupun pengungkapan “Indonesia makin liberal” sudah cukup sering kita dengarkan.
RUU PT: Kokohkan Liberalisasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Pada Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional secara jelas dibukanya kran liberalisasi pendidikan tinggi. Pasal 73 ayat (1) disebutkan : Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 menyebutkan : (1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerjasama internasional.
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara lain:
a. pertukaran dosen dan mahasiswa;
b. pengembangan kurikulum;
c. pelaksanaan kerjasama program studi;
d. pengembangan organisasi; dan/atau
e. penelitian.
Arahan Internasional : Liberalisasi Sektor Jasa
Liberalisasi jasa pendidikan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Negara maju. Karena liberalisasi sector ini memberikan keuntungan yang sangat besar . Disebutkan oleh Effendi bahwa ada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993.
Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa Negara maju sangat getol menuntut adanya liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Negara-negara anggota WTO akan terus ditekan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Sejak tahun 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Dan tentunya Indonesia juga harus menyepakati untuk meliberalkan sector pendidikannya. Ada dua factor kenapa Indonesia sangat ditarget untuk meliberalkan sector jasa pendidikan. Pertama: Indonesia memiliki penduduk yang besar, sekitar 215 juta dengan partisipasi pendidikan tinggi rendah. Kedua Perhatian pemerintah pada sector pendidikan lemah, sehingga mutu pendidikan secara umum rendah. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi incaran Negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Di satu sisi SDM-SDM tersebut menjadi tenaga kerja yang murah bagi mereka (negara-negara maju tersebut). Untuk mengoptimalkan ini, peran Negara dalam pengaturan urusan masyarakat terus diminimalkan. Baik dalam pendidikan ataupun penyediaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Ada enam Negara yang sangat menuntut Indonesia untuk meliberalkan sector jasanya. Amerika, Australia, Jepang, Korea, China, dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan vocasional, dan profesi.
Konspirasi Liberalisasi pendidikan Tinggi
Melihat strategisnya liberalisasi pendidikan oleh Negara-negara berkembang (dalam hal ini Indonesia), maka sangat dimengerti “pemaksaan/penekanan” agar hal ini segera terwujud terus dilakukan. Untuk memuluskan agenda besar ini dilibatkanlah actor-aktor kunci dalam proses Konspirasi PT ini. Meliputi :
1. Negara-negara kapitalis
Negara-negara inilah sebagai actor utama dengan besarnya kepentingan mereka.
2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)
Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.
WTO akan terus menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)
Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.
4. Pemerintah Dunia Ketiga
Berperan sebagai pembuka pintu dan pemberi payung hukum jalannya konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi tersebut.
Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Tinggi
1. Dampak Ideologis
Pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam penanaman pemikiran dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh suatu bangsa. Dengan masuk dan bekerjasamanya dalam ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan kuat penanaman pemikiran-pemikiran barat terus ditancapkan.
2. Dampak Politik
Pendidikan berfungsi sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk pemecahan persoalan bangsa. Dengan adanya liberalisasi PT sangat dimungkinkan besarnya pengaruh pemikiran barat dalam penyelesaian persoalan bangsa.
3. Dampak Ekonomi
Hal ini berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Meskipun dalam RUU PT sudah disebutkan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa adalah maximal sepertiga dari seluruh biaya operasional PT. Namun mekanisme ini dipastikan belum menjamin mudahnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat
4. Dampak Sosial
Dampak ini mengakibtkan kesenjangan kaya dan miskin semakin terbuka lebar
Menghentikan Liberalisasi PT
Bahaya destruktif liberalisasi PT sangatlah besar. Bahakan terkait kedaulatan Negara. Karena itu pembiaran terhadapnya merupakan pembiaran terhadap hancurnya negeri ini. Upaya serius untuk menghentikan menjadi sebuah kewajiban. Oleh semua pihak. Harus diseriusi dan sabar menjalani prosesnya. Karena penghentiannya tidaklah mudah. Mengingat bacaan persoalan ini melibatkan berbagai actor yang sifatnya mengglobal (kokohnya penerapan kapitalisme).
Upaya yang dilakukan haruslah dengan perwujudan perubahan pemikiran dan pemunculan kesadaran yang benar pada seluruh segmen masyarakat. Sehingga diharapkan dorongan penolakan pada penerapan kapitalisme sang perusak pendidikan akan terwujud. Di satu sisi dorongan penerapan kehidupan Islam akan menguat pula. Upaya penyeruan dilakukan:
(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.
(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.
(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.
(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.
Selain itu secara pemikiran ideology juga disampaikan, meliputi:
(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.
(2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.
(3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.
(4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging).
[ Allahu a’lam bishshowab]
Penulis: Anisah Rahmawati, aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) telah selesai digodog, dan sekarang masuk tahap dengar pendapat sampai resmi disahkan menjadi undang-undang. RUU PT ini diharapkan mampu menjadi payung hukum pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, setelah UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) resmi dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah RUU ini mampu menjawab persoalan pendidikan tinggi agar mampu berjalan sesuai tugas dan fungsinya? Apakah hanya sekedar menjawab beberapa persoalan dalam UU BHP dan membuka penjajahan pendidikan tinggi Indonesia lebih luas lagi?
Timbangan RUU PT
Dasar pertimbangan RUU PT sebagaimana yang tertulis dalam draft adalah sebagai berikut:
a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. bahwa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia;
c. bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional;
d. bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan diperlukan pendidikan tinggi untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan daya saing bangsa;
Ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih. Yaitu penggunaan kalimat “…mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional…”. Sepintas memang tampak biasa dan benar adanya. Namun penggunaan kalimat itu sangat bisa diarahkan pada pemaknaan bahwa amanah pemerintah adalah dalam ranah pengupayaan dan penyelenggaraan. Hal ini tentu memiliki makna yang cukup berbeda jika kalimat yang digunakan jelas sebagaimana fungsi Negara dalam pelaksanaan pendidikan. Yaitu Negara (pemerintah) wajib dan memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan system pendidikan nasional. Sehingga terlihat bahwa Negara bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan pendidikan. Cara pandang ini tentu akan sangat mempengaruhi dalam pengaturan pelaksanaan pendidikan, khususnya pengurangan peran pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan. Dimana pola ini merupakan salah satu ciri dari neoliberalisme yaitu pengurangan peran pemerintah, pasar bebas, dan individualism.
Pertimbangan lain yang terlihat adalah suasana penyiapan untuk mampu bersaing dalam arus globalisasi. Dengan globalisasi, setiap Negara dipaksa untuk membuka pasar (sector-sektor) dalam negerinya ke dunia internasional. Setiap Negara (tanpa memperhatikan kuat lemahnya) bebas bersaing untuk mengakses ataupun menguasai sector yang diglobalkan (diliberalkan). Sehingga memang salah satu konsekuensi dari globalisasi adalah peliberalan sector-sektor tertentu. Baik barang ataupun jasa. Langkah-langkah ini sudah cukup terasakan di Indonesia. Sehingga sebutan ataupun pengungkapan “Indonesia makin liberal” sudah cukup sering kita dengarkan.
RUU PT: Kokohkan Liberalisasi Pendidikan Tinggi Indonesia
Pada Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional secara jelas dibukanya kran liberalisasi pendidikan tinggi. Pasal 73 ayat (1) disebutkan : Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 menyebutkan : (1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerjasama internasional.
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara lain:
a. pertukaran dosen dan mahasiswa;
b. pengembangan kurikulum;
c. pelaksanaan kerjasama program studi;
d. pengembangan organisasi; dan/atau
e. penelitian.
Arahan Internasional : Liberalisasi Sektor Jasa
Liberalisasi jasa pendidikan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Negara maju. Karena liberalisasi sector ini memberikan keuntungan yang sangat besar . Disebutkan oleh Effendi bahwa ada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa Negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993.
Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa Negara maju sangat getol menuntut adanya liberalisasi jasa pendidikan melalui WTO. Negara-negara anggota WTO akan terus ditekan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Sejak tahun 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral. Dan tentunya Indonesia juga harus menyepakati untuk meliberalkan sector pendidikannya. Ada dua factor kenapa Indonesia sangat ditarget untuk meliberalkan sector jasa pendidikan. Pertama: Indonesia memiliki penduduk yang besar, sekitar 215 juta dengan partisipasi pendidikan tinggi rendah. Kedua Perhatian pemerintah pada sector pendidikan lemah, sehingga mutu pendidikan secara umum rendah. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi incaran Negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Di satu sisi SDM-SDM tersebut menjadi tenaga kerja yang murah bagi mereka (negara-negara maju tersebut). Untuk mengoptimalkan ini, peran Negara dalam pengaturan urusan masyarakat terus diminimalkan. Baik dalam pendidikan ataupun penyediaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Ada enam Negara yang sangat menuntut Indonesia untuk meliberalkan sector jasanya. Amerika, Australia, Jepang, Korea, China, dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, pendidikan vocasional, dan profesi.
Konspirasi Liberalisasi pendidikan Tinggi
Melihat strategisnya liberalisasi pendidikan oleh Negara-negara berkembang (dalam hal ini Indonesia), maka sangat dimengerti “pemaksaan/penekanan” agar hal ini segera terwujud terus dilakukan. Untuk memuluskan agenda besar ini dilibatkanlah actor-aktor kunci dalam proses Konspirasi PT ini. Meliputi :
1. Negara-negara kapitalis
Negara-negara inilah sebagai actor utama dengan besarnya kepentingan mereka.
2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)
Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.
WTO akan terus menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)
Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.
4. Pemerintah Dunia Ketiga
Berperan sebagai pembuka pintu dan pemberi payung hukum jalannya konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi tersebut.
Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan Tinggi
1. Dampak Ideologis
Pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam penanaman pemikiran dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh suatu bangsa. Dengan masuk dan bekerjasamanya dalam ranah strategis seperti kurikulum, akan diindikasikan kuat penanaman pemikiran-pemikiran barat terus ditancapkan.
2. Dampak Politik
Pendidikan berfungsi sebagai tempat lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan untuk pemecahan persoalan bangsa. Dengan adanya liberalisasi PT sangat dimungkinkan besarnya pengaruh pemikiran barat dalam penyelesaian persoalan bangsa.
3. Dampak Ekonomi
Hal ini berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Meskipun dalam RUU PT sudah disebutkan bahwa biaya yang ditanggung mahasiswa adalah maximal sepertiga dari seluruh biaya operasional PT. Namun mekanisme ini dipastikan belum menjamin mudahnya akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat
4. Dampak Sosial
Dampak ini mengakibtkan kesenjangan kaya dan miskin semakin terbuka lebar
Menghentikan Liberalisasi PT
Bahaya destruktif liberalisasi PT sangatlah besar. Bahakan terkait kedaulatan Negara. Karena itu pembiaran terhadapnya merupakan pembiaran terhadap hancurnya negeri ini. Upaya serius untuk menghentikan menjadi sebuah kewajiban. Oleh semua pihak. Harus diseriusi dan sabar menjalani prosesnya. Karena penghentiannya tidaklah mudah. Mengingat bacaan persoalan ini melibatkan berbagai actor yang sifatnya mengglobal (kokohnya penerapan kapitalisme).
Upaya yang dilakukan haruslah dengan perwujudan perubahan pemikiran dan pemunculan kesadaran yang benar pada seluruh segmen masyarakat. Sehingga diharapkan dorongan penolakan pada penerapan kapitalisme sang perusak pendidikan akan terwujud. Di satu sisi dorongan penerapan kehidupan Islam akan menguat pula. Upaya penyeruan dilakukan:
(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.
(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.
(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.
(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.
Selain itu secara pemikiran ideology juga disampaikan, meliputi:
(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.
(2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.
(3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.
(4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging).
[ Allahu a’lam bishshowab]
Penulis: Anisah Rahmawati, aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Rabu, 04 Mei 2011
BEBASKAN PEREMPUAN TERPELAJAR DARI BELENGGU KAPITALISME!
Pengantar
Memandang potret nasib perempuan saat ini kita akan menjumpai betapa perempuan di berbagai belahan dunia saat ini masih jauh dari kemuliaan dan kesejahteraan. Tak sedikit fakta perempuan hari ini yang masih berada di kubangan keterpurukan. Kemiskinan, kebodohan, kekurangan pangan-sandang-papan, derajat kesehatan buruk masih menghiasi wajah perempuan dunia. Belum lagi soal ancaman keamanan dan kehormatan seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi dan sebagainya.
Potret buram nasib perempuan di abad 21 ini tak bisa dilepaskan di era globalisasi yang didrive oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Gelombang globalisasi saat ini harus dibayar mahal dengan kenyataan bahwa 2/3 angka buta huruf dunia serta 3/5 angka penduduk dunia termiskin masih diwakili oleh kaum perempuan. Inilah paradoks globalisasi yang dipimpin oleh ideologi Kapitalisme.
Tuntutan global untuk kemajuan bagi perempuan disikapi oleh pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia dengan upaya pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender. Akses pendidikan dibuka selebar-lebarnya untuk perempuan, begitupun akses ekonomi. Perempuan dipersilahkan untuk bertarung mengakses ekonomi demi “kemajuan dan kesejahteraan” yang didambanya. Yang terjadi kemudian, kaum perempuan lalu menerjuni hiruk pikuk dunia kerja. Terjadilah gelombang besar-besaran kaum perempuan menempati ruang-ruang industri dan meninggalkan peran keibuannya, bertarung meraup remah-remah kue ekonomi.
Di Indonesia, data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut jumlah perempuan bekerja mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah perempuan bekerja 38,6 juta orang pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 42,8 juta pada tahun 2008.
Potret Perempuan Terpelajar
Salah satu gerbang utama agar perempuan mencapai prestasi puncak dalam keberhasilan ekonomi adalah pendidikan tinggi. Dengan pendidikan yang tinggi, maka jaminan akan kesejahteraan hidup perempuan akan semakin tinggi pula, karena perempuan yang berpendidikan rendah akan terbatas kemampuannya untuk bertahan hidup apalagi mencapai kesejahteraan. Untuk itulah UNESCO mendeklarasikan misi peningkatan peran perempuan di level pendidikan tinggi (promoting role of women in higher education) yang berlangsung sejak 1998, sebagai bagian dari visinya dalam World Conference on Higher Education dalam menghadapi abad ke-21. Bahkan UNESCO sendiri secara massif meluncurkan strategi pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) sebagai strategi jangka menengah UNESCO dari 2002-2007 hingga 2008-2013. Rangkaian program dari UNESCO ini tidak hanya bicara bagaimana meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga bagaimana melibatkan perempuan dalam manajemen pendidikan tinggi sampai pada level pembuat kebijakan.
Perempuan terpelajar adalah perempuan dengan tingkat pendidikan mencapai perguruan tinggi. Atau secara demografi, perempuan terpelajar adalah populasi perempuan dengan usia 19 tahun ke atas yang memperoleh kesempatan menempuh pendidikan tinggi dari jenjang D-3 sampai dengan S-3. Namun disayangkan, Angka partisipasi kasar (APK) perempuan ke pendidikan tinggi tahun 2003 masih 10,14 persen dan pada tahun 2008 baru mancapai sekitar 14,58 persen. Kenaikan yang belum signifikan, karena pembandingnya adalah puluhan juta jiwa perempuan Indonesia dengan range usia masuk perguruan tinggi.
Padahal di abad informasi ini, kalangan perempuan terpelajar dianggap mewakili komunitas yang paling signifikan perannya dalam perubahan sosial. Komunitas yang disebut oleh Hermawan Kartajaya sebagai Youth-Women-Netizen yaitu mereka yang muda (Youth), kaum perempuan (Women), dan pengguna internet (Netizen). Mereka ini mewakili era new wave culture, yaitu era interaksi horizontal akibat globalisasi teknologi informasi yang kian massif.
Muda, cerdas, dinamis dan berwawasan luas itulah kira-kira karakter perempuan terpelajar saat ini. Mereka adalah segmen yang diklaim paling ideal oleh banyak kalangan, apalagi di mata kaum feminis. Seruan kemajuan dan profesionalisme yang seolah bisa dipenuhi oleh kalangan perempuan terpelajar ini akhirnya membuat mereka sering dianggap mewakili simbol emansipasi, modernitas dan produktivitas kaum perempuan. Namun betulkah demikian? Betulkah realitas perempuan terpelajar adalah mereka yang paling mampu meraih kesuksesan? Betulkan mereka dinilai paling bisa berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
Perempuan Terpelajar dalam Dua Bahaya
Ukuran-ukuran kemajuan seperti besarnya keterwakilan politik perempuan di lembaga legislatif, besarnya partisipasinya di ranah publik, besarnya partisipasi perempuan-perempuan dalam pendidikan tinggi (perempuan terpelajar), besarnya keterlibatan perempuan di ranah decision making / pengambilan kebijakan, atau perempuan yang sukses berkarir/berbisnis, adalah ukuran-ukuran yang akhirnya dijadikan standar keberhasilan perjuangan dalam memajukan dan menyejahterakan perempuan. Serangkaian kebijakan pun lalu dibuat dengan harapan memajukan dan menyejahterakan perempuan, meski tanpa disadari serangkaian kebijakan lainnya berkebalikan dan justru membawa kepada ketidakmuliaan perempuan.
Ironisnya, rangkaian kebijakan ini bukan hanya gagal dalam memajukan perempuan juga membawa perempuan pada setidaknya dua bahaya besar; yaitu (1) disorientasi perannya sebagai ibu dan pilar utama keluarga, (2) eksploitasi ilmu dan keahliannya untuk kepentingan industri kapitalistik.
Untuk bahaya yang pertama, bisa kita lihat dari kemajuan semu yang diklaim oleh gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality). Alih-alih maju, justru malah membawa perempuan semakin terpuruk dalam kubangan persoalan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free seks, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema perempuan kariri, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari gagasan kebebasan perempuan. Hal ini terjadi karena kesalahan cara pandang terhadap perempuan serta kesalahan dalam menarik akar masalah perempuan sehingga mengakibatkan kian rancunya relasi dan pembagian peran diantara laki-laki dan perempuan.
Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) misalnya, boleh jadi menjadi jalan keluar persoalan ekonomi dan kesejahteraan perempuan, namun di saat yang sama akan memberi dampak yang lebih membuat perempuan, keluarga dan masyarakat di ambang keruntuhan akibat ancaman keamanan dan kehormatan seperti pelecehan, kekerasan, eksploitasi, dan dampak-dampak lain seperti terlalaikannya peran keibuannya (sebagai pendidik generasi), ketidakharmonisan relasi suami-istri, hingga perceraian akibat perempuan terlalu disibukkan oleh aktivitas mengais kue-kue ekonomi. Apalah artinya kesuksesan kaum perempuan di ranah ekonomi jika di saat yang sama anak-anaknya di rumah dibiarkan terbengkalai karena absen dari kasih sayang dan perhatian ibunya. Lebih jauh lagi, apalah untungnya kaum perempuan banyak berkiprah di luar rumah jika pada akhirnya harus berujung pada retaknya bangunan keluarga?
Bahaya yang kedua juga tidak kalah destruktifnya, bahkan menimbulkan multiplier effect. Bahaya ini datang dari penerapan sistem pendidikan yang kapitalistik. Sistem pendidikan seperti ini cuma menjadikan pendidikan layaknya barang dagangan atau komoditas, karena sangat beraroma kepentingan pasar. Kebijakan otonomi kampus, misalnya, sejatinya hanya penegasan belaka atas kenyataan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah berkembang menjadi industri. Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan tinggi memang merupakan lahan industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.
Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa dan perdagangan yang lain. Lihat sentra-sentra industri pendidikan tinggi dunia yang sungguh memikat, seperti Boston, New York, California; Toronto, British Columbia; London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi ilmu pengetahuan terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan iptek—knowledge-and technology-driven economic growth. Sehingga wajar, lembaga perdagangan dunia yakni WTO pun kemudian menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier .
Komersialisasi pendidikan tinggi umumnya didorong tiga motif utama. Pertama, hasrat mencari uang dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif, yang ditempuh melalui apa yang di kalangan universitas Amerika/ Eropa disebut an offer of generous research funding in exchange for exclusive patent licensing rights. Kedua, peluang mengembangkan (baca: menjual) program pendidikan jarak jauh untuk memperoleh keuntungan finansial sebagaimana yang sudah lazim dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia. Ketiga, mendapatkan aneka kontrak yang menguntungkan dengan perusahaan/industri melalui pemberian dana, fasilitas, dan peralatan.
Akibatnya yang terjadi adalah berkembangnya pragmatisme dalam dunia pendidikan, yang tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau mengedepankan materi. Jauh dari tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperbaiki kualitas kepribadian. Bahkan banyak perguruan tinggi besar tidak malu-malu lagi menyatakan dirinya sebagai entrepreneurial university. Fenomena industrialisasi pendidikan tinggi yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi perguruan tinggi bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai dari komersialisasi pendidikan tinggi;
1. perguruan tinggi akan tergiring melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa;
2. perguruan tinggi juga akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru yang penting dalam membangun peradaban umat manusia;
3. perguruan tinggi berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.
Pada tingkat lanjut, dampaknya adalah kehancuran peran intelektual terpelajar dan jatuhnya kedudukan mereka sekedar sebagai agen ekonomi dan buruh murah yang memperkuat bercokolnya para kapitalis. Kapitalisme telah menjatuhkan ilmu pengetahuan dan para pemilik ilmu pengetahuan pada derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam negeri ini. Undang-undang (UU) Penanaman Modal, UU migas, UU ketenagalistrikan, UU sumber daya air, semua itu adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat. Kalangan Intelektual dalam sistem kapitalistik juga ditelikung untuk menjadi pemadam kebakaran dari masalah yang terus menerus diproduksi para kapitalis. Mereka diminta untuk mereklamasi lahan bekas tambang, menemukan tanaman yang tahan terhadap pencemaran, menemukan teknik bioenergi terbaik dan berbagai teknologi yang semua itu dalam rangka menghapus dosa-dosa para kapitalis dari berbagai kerusakan yang mereka perbuat.
Semua peran ini banyak dijalankan oleh kalangan terpelajar tanpa sebuah kesadaran. Karena dikemas cantik dengan slogan dan iming-iming kesuksesan, kesejahteraan dan modernitas. Hal ini pun melanda perempuan terpelajar, apalagi dalam paradigma kapitalistik, perempuan juga dianggap sebagai aset ekonomi sehingga selaras dengan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi. Maka tak heran jika UNESCO secara intensif menggalakkan program pelibatan perempuan dalam jajaran struktural institusi perguruan tinggi, agar bisa menjadi pelaku langsung di dunia industri tersier. Program gender mainstreaming UNESCO di pendidikan tinggi ini meliputi :
a) Akses yang lebih besar bagi perempuan dalam berbagai bidang melalui tindakan afirmatif (kursi lebih dicadangkan untuk perempuan) atau melalui lembaga / universitas khusus perempuan dan;
b) Partisipasi perempuan yang lebih besar dalam pendidikan sains dan teknologi;
c) Pemeliharaan dan pengembangan studi tentang perempuan; dan
d) Perwakilan perempuan di posisi manajerial dalam pendidikan tinggi.
Walhasil, dua bahaya ini akan selalu membayangi kehidupan perempuan terpelajar. Mereka akan terus menerus berada di bawah dilema antara tekanan profesionalitasnya dengan dedikasi keilmuan yang dimilikinya, demikian juga dilema antara tuntutan kesejahteraan dan peran kodratinya sebagai perempuan.
Resolusi bagi Perempuan Terpelajar
Andai kita semua sadar bahwa akar beragam persoalan perempuan adalah terletak pada sistem kapitalis yang watak genialnya memang rusak dan merusak, maka mestinya penolakan terhadap sistem ini yang mestinya dijadikan sebagai landasan berbagai perjuangan pemberdayaan perempuan. Betapa tidak, sistem kapitalis adalah sistem yang meminimkan peran negara dalam melindungi masyarakat, bahkan cenderung eksploitatif termasuk dalam hal ini terhadap perempuan.
Salah satu dari kekeliruan mendasar Kapitalisme adalah lepas tangannya negara dalam mengelola institusi pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ini sungguh bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw : ”Imam adalah ibarat pengembala dan dialah yang akan bertanggung jawab terhadap gambalaannya” (HR Muslim). Dan juga hadits yang artinya : ”Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR Muslim).
Selain itu watak “imperialistik” dari kapitalisme juga telah menjadikan perempuan sebagai objek penjajahan dengan pengarusutamaan gender sebagai pintu masuknya, termasuk di dunia pendidikan tinggi. Targetnya antara lain menciptakan buruh murah, menjadikan perempuan sebagai kapstok berjalan dan sebagai pasar produk beragam industry, termasuk menjadikan perempuan terdidik dan terpelajar sebagai agen-agen pengemban kapitalisme. Arus liberalisasi yang demikian kuat ditiupkan kapitalisme telah membuat perempuan-perempuan terseret hingga jauh meninggalkan ajaran agamanya dan membebek pada kapitalisme. Target utama pengemban ideologi ini jelas untuk melanggengkan hegemoni ekonomi, politik, sekaligus memenangkan perang peradaban.
Oleh karena itu, upaya penyelesaian persoalan perempuan semestinya kita tarik dari akar masalahnya. Sudah saatnya kita tinggalkan kapitalisme dan kembali kepada peradaban Islam sebagai sistem yang telah diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan pedoman bagi manusia di muka bumi ini.
Di dalam peradaban Islam, perempuan diposisikan sebagai sosok yang dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sebuah peradaban, tanpa mengalami disorientasi peran dan dilema keilmuannya. Karena peradaban Islam tegak di atas aturan-aturan Sang Pencipta, Allah Swt yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang.
Kontribusi pertama, adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu ataupun istri. Di balik diri seorang ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa. Andaikata Imam Syafii tidak memiliki ibu yang tangguh, barangkali si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan. Demikian juga andaikata istri-istri Al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sigap mengambil peran dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering harus mengembara menghadiri majelis-majelis ilmu.
Kontribusi kedua, adalah peran para wanita secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban. Tidak ada yang meragukan kontribusi istri-istri Nabi Muhammad SAW maupun para shahabiyah bagaimana para wanita agung itu demikian tekun dan cerdas dalam mengikuti pendidikan Rasulullah SAW hingga tak sedikit diantara mereka yang menjadi ahli hadits. Para shahabiyah juga dikenal sebagai sosok wanita yang berani memberikan kritik kepada para penguasa. Sejarah juga mencatat kisah-kisah para wanita hebat yang di antaranya sampai harus bepergian ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi SAW. Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak wanita muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan. Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci. Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).
Sistem Khilafah : Solusi Komprehensif
Jika sistem kapitalisme sekuler terbukti gagal mengangkat harkat martabat perempuan, sekarang saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai sistem pengganti kapitalisme. Sistem Islam yang diimplementasikan secara riil oleh institusi negara yaitu Khilafah Islamiyah.
Khilafah adalah sebuah keniscayaan dalam menjawab persoalan perempuan, termasuk perempuan terpelajar. Khilafah-lah yang akan mewujudkan muslimah berkepribadian Islam, pendidik generasi pemimpin, yang berkualitas mujahid dan mujtahid. Khilafah jualah yang akan mewujudkan muslimah berkepribadian Islam, yang mampu mengoptimalkan potensi intelektual, keahlian dan kepakarannya dalam bingkai sistem kehidupan Islam.
Langkah-langkah sistematis dan komprehensif akan ditempuh oleh Khalifah untuk memberikan pengaturan terbaik bagi perempuan, diantaranya adalah dua langkah strategis berikut ini :
1. Penerapan sistem sosial politik, baik secara struktural maupun kultural oleh Khalifah yang menjamin wanita mampu dan leluasa menjalankan fungsinya sebagai ibu dan pendidik generasi, tanpa adanya bayang-bayang ketidakadilan gender seperti di alam Kapitalisme-Sekuler. Dimana sistem sosial ini mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, yang membedakannya adalah taqwa. Allah Swt telah menempatkan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan secara adil agar keduanya bisa hidup berdampingan secara harmonis.
b. Islam memuliakan perempuan dengan hukum-hukum Syariat yang luhur, bukan dengan perhiasan materi dan slogan-slogan semu yang justru kian menjadikan perempuan tereksploitasi. Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan perempuan. Misalnya adalah ayat Alqur’an mengenai aturan memakai kerudung (An-Nur 24 : 31) dan jilbab (al-ahzab 33 : 59). Dan banyak hukum-hukum lain yang sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan.
c. Islam memberikan tanggung jawab khusus kepada perempuan sebagai ummun wa robbah al bayt yaitu sebagai ibu dan manajer rumahtangga. Perempuan adalah pilar penting dalam kokohnya keluarga-keluarga muslim yang mampu menghasilkan generasi berkualitas di masa depan, generasi berkepribadian Islam dan berjiwa pemimpin.
d. Islam mencerdaskan perempuan dengan tsaqofah Islam dan ilmu yang bermanfaat. Bahkan mendorong seluruh perempuan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dimana tidak ada perbedaan sedikitpun dalam hal kewajiban menuntut ilmu antara laki-laki maupun perempuan. Allah Swt berfirman yang artinya : “Allah mengangkat orang orang yang beriman dari pada kamu dan orangorang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah : 11).
e. Tanggungjawab kesejahteraan bukan berada di pundak perempuan. Tapi berada pada pundak laki-laki dan negara. Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka, sehingga perempuan di dalam peradaban Islam tidak akan terbebani untuk mengejar kesejahteraan. Sebagaimana firman Allah:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
2. Penerapan sistem pendidikan Islam oleh Khalifah yang mengoptimalkan potensi keilmuan serta kepakaran wanita semata-mata untuk mewujudkan negara khilafah sebagai negara adidaya/negara pertama, bukan untuk mengabdi pada kepentingan pasar dan hegemoni asing. Prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam adalah :
a. Asasnya adalah Aqidah Islam bukan sekulerisme, karena menuntut ilmu adalah perintah hukum syari’at. Ilmu bukanlah komoditas yang bisa diperdagangkan untuk kepentingan materi. Di dalam Islam posisi ilmu pengetahuan itu sangatlah mulia. Islam memuliakan ilmu pengetahuan sebagai saudara kembarnya iman, bukan dengan memberinya “bandroll” harga seperti Kapitalisme.
b. Tujuan sistem pendidikan islam membentuk manusia berkualitas yang berintegritas, bukan sekedar untuk memproduksi buruh-buruh murah. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah mengembangkan manusia yang : berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi, dan seni). Sehingga yang terbentuk adalah manusia-manusia yang dapat mengatasi permasalahan kehidupannya dalam koridor syariah Islam. Manusia yang demikian akan mengalami kebangkitan, tangguh, dan maju.
c. Pendidikan adalah tanggung jawab negara seutuhnya, tidak boleh diserahkan ke pasar bebas, apalagi ke tangan-tangan asing. Pemerintahan Khilafah adalah penentu kebijakan pendidikan, termasuk kurikulum yang berasaskan dan metode pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Institusi pendidikan di dalam Khilafah tidaklah berstatus otonom seperti sekarang, yang mengakibatkan masuknya intervensi asing pada kurikulum dan metode pendidikan kian deras.
d. Pendidikan bagi siapapun. Dalam Islam tidak ada pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya sama di mata Islam yaitu dibebankan kewajiban menuntut ilmu. Begitupun pendidikan dalam Islam tidak mengenal batasan usia pendidikan. Yang ditegaskan hanyalah bahwa pendidikan di sekolah dimulai sejak usia tujuh tahun, sesuai perintah untuk mengajarkan shalat pada anak-anak pada usia itu (HR Hakim dan Abu Dawud).
e. Pendidikan adalah sepenuhnya jaminan negara, biaya pendidikan tidak akan dibebankan pada rakyat. Karena pendidikan adalah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Negara merupakan pihak yang berkewajiban mewujudkan pemenuhan hal ini untuk seluruh rakyatnya. Islam telah menetapkan bahwa yang akan menjamin pendidikan adalah Negara. Pengadaan dan jaminan terhadap kedua kebutuhan mendasar ini akan ditanggung sepenuhnya oleh Negara, baik untuk orang miskin maupun kaya, laki-laki maupun perempuan,muslim maupun non muslim. Baitul maal akan menanggung pembiayaannya.
Khilafah akan membuat strategi kebijakan terpadu yang menjamin terwujudnya mentalitas perempuan sebagai pendidik generasi, untuk melahirkan mujahid dan mujtahid, serta membuat strategi kebijakan terpadu yang meng-update potensi kemampuan kepakaran perempuan terpelajar dalam bingkai Ideologi Islam.
Wallahu a’lam
ANALISIS TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI (RUU PT); MAU DIBAWA KEMANA PT KITA?
Perjalanan Regulasi Pemerintah Terhadap Pendidikan Tinggi Indonesia; Sebuah Prolog
Dilandasi keinginan pemerintah Indonesia agar generasi Indonesia siap menghadapi globalisasi dengan mempertahankan moral bangsa, dimana untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kemandirian PT dan kemampuan PT untuk otonom, maka dirasa perlu untuk menyusun UU sisdiknas yang bisa mengakomodir tujuan tersebut. Maka lahirlah kemudian UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Eksistensi UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
Akhir tahun 2008 dan menjelang awal tahun 2009, pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di dunia pendidikan dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP). Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008. Banyak pihak pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk hukum penyelenggaraan pendidikan formal. Fokus permasalahannya terletak pada sistem yang diatur UU BHP. Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demi sedikit.
Pemerintah sendiri mengganggap UU BHP sudah final dan isinya tidak memberatkan orang tua dan masyarakat. Di dalam UU BHP disebutkan bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional dari satu satuan pendidikan. Artinya, UU BHP membatasi biaya yang harus dikeluarkan orang tua yaitu maksimal 1/3 bagian dari biaya operasional yang dianggarkan oleh penyelenggaraan pendidikan.
Sementara bagi beberapa pihak lain, terutama dari kalangan ahli pendidikan, UU BHP sejak awal ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neo liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi akan membuat lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, dimana pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah.
Pada April 2010 UU ini dibatalkan MK dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat, pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.
Setelah UU BHP dibatalkan, maka harus ada payung hukum bagi PT yang berstatus BHMN. Maka ditetapkanlah Perppu No. 66 tahun 2010 yang berlaku per tgl 28 september 2010, menetapkan 7 PT BHMN tetap dengan status BHMNnya, yaitu : UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, UPI, USU. Diantara isi Perpu 66 tahun 2010 yang diasumsikan mengakomodir aspirasi masyarakat ketika menolak BHP:
a. 20% mahasiswa cerdas tapi miskin, harus ditampung oleh PT
b. 60% mahasiswa dijaring melalui seleksi nasional
c. keuangan dikelola secara PNBP/BLU
d. pemimpin PT diangkat oleh menteri dengan jabatan setingkat Lektor kepala
Arus Liberalisasi Global dan Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Indonesia
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) saat ini tengah menyusun RUU PT yang katanya bukan mengganti UU Badan Hukum Pendidkan (BHP), yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dirjen Dikti Kemdiknas, Haris Iskandar, mengatakan “Kami berupaya untuk membuat suatu kebijakan yang otonomi, dinamis dan akuntabel.” Kekurangan-kekurangan pada UU BHP telah dihilangkan, sehingga dikatakannya: “Diharapkan RUU PT akan mampu menjadi payung hukum PT yang menggantikan UU BHP”. Disinggung adanya anggapan bahwa RUU PT sama dengan UU BHP beliau menyangkal. Beliau menegaskan, kesamaan keduanya tidaklah secara keseluruhan akan tetapi hanya pada jiwa otonominya saja. “Maka dari itu prinsip otonomi itulah yang akan kami pertahankan dalam pengelolaan keuangan PT, dengan begitu sudah terbukti akuntabel”.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DITJEN-DIKTI) sebagai representasi pemerintah dalam hal ini, mengelola pendidikan tinggi di Indonesia sesuai rumusan UNESCO dan meratifikasinya menjadi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Jika pada kurun waktu 1975 – 1985 (HELTS I) dan kurun waktu 1986-1995 (HELTS II), penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) masih fokus pada penciptaan nuansa akademik dan manajemen organisasi yang professional yang diantaranya didesain melalui Sistem Akademik dan Profesi (A Dual-System Academic and Professional) berikut dengan peningkatan kualitasnya, maka pada kurun waktu 1996-2005 (HELTS III), program untuk PJP telah mengarah pada penciptaan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi (New Paradigm in Higher Education Management) yang lebih dipertegas lagi dengan HELTS IV (2003-2010), dimana program untuk PJP diarahkan untuk menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness), menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health). Berbagai program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia, DUE (Development for Undergraduate Education), DUE-like, QUE (Quality for Undergraduate Education), Semi-QUE, URGE, Retooling Programe/TPSDP, Program Hibah Kompetitif (PHK) A1, A2, A3, B, , dan sebagainya.
Di sisi lain, Indonesia juga telah bergabung dalam World Trade Organization (WTO) sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun 2007 dan Perpres no.111 tahun 2007, yang di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, dimasukkan sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia memang telah masuk dalam paradigma baru. Dimana paradigma baru pendidikan tinggi ini telah mengubah peran dan fungsi pemerintah, melalui Dirjen-Dikti, yang semula sebagai penanggungjawab pendidikan tinggi, menjadi hanya sekedar fasilitator saja. Misalnya untuk program HELTS IV, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar US$ 98.267.000 yang diperuntukkan untuk proyek yang terdiri atas 2 komponen: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi, (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Untuk point yang pertama arahnya pada pengesahan UU BHP. Sedangkan poin yang kedua digarap oleh Dikti dalam bentuk penawaran program-program ke perguruan tinggi untuk dikompetisikan sebagai dana pengembangan institusi. Tentu saja proposal yang lolos hanya yang sesuai dengan tuntutan Bank Dunia sebagai penyandang dana. Dirjen-Dikti menetapkan strategi pendanaan perguruan tinggi secara sistematis dan bertahap mengarah pada sistem hibah blok yang memberi otonomi lebih luas kepada perguruan tinggi. Hibah blok yang dimaksud dialokasikan antara lain melalui skema kompetisi.
Sesuai Tahun anggaran 2007 Dikti me-lunching program hibah berbasis institusi yaitu Program Hibah Kompetisi (PHK), yang dievaluasi per 3 tahunan. Dalam PHK berbasis Institusi (PHK-I) perguruan tinggi bertanggung jawab penuh mulai pengajuan proposal, pengelolaan program, dan mempertanggungjawabkan hasil dari pelaksanaan program-progam tersebut. Saat ini Dirjen Dikti mengelola sekitar 2.800 perguruan tinggi dan mereka inilah yang akan menjadi sasaran kompetisi. Bagi PT yang kompetitif maka ini adalah peluang besar untuk meningkatkan daya saing bangsa, namun bagi PT yang tidak kompetitif sangat berat untuk bisa tetap bertahan. Padahal sebagai sebuah institusi, negaralah yang memiliki tanggungjawab merealisasikan visinya mewujudkan bangsa yang besar, tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan batin, salah satunya menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam jumlah yang cukup yang memungkinkan tercetak para pemikir dengan jumlah yang memadai.
Dalam kasus kampus yang terlanjur menjadi BHMN, UNAIR misalnya, terbitnya PP No. 30/2006 tentang Universitas Airlangga sebagai BHMN semula dianggap sebagai peluang untuk bisa makin berkompetisi sebagaimana tuntutan dari program Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang, KPPT-JP III atau Higher Education Long Term Strategy HELTS III, dan KPPT-JP IV (2003-2010), yaitu : organisasi yang sehat (organizational health), desentralisasi dan otonomi (desentralization and autonomy) dan daya saing bangsa (nation’s competitiveness) dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan. Namun ketika UU nomor 9 tahun 2009 tentang BHP yang disahkan DPR tanggal 17 Desember 2008 yang menjadi payung bagi PP ini pada 31 Maret 2010 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka harus ada UU baru yang bisa menjadi payung bagi penyelenggaraan PT-PT tersebut, karenanya Dikti kemudian menawarkan RUU PT sebagai penggantinya.
Analisa RUU PT: Akan dibawa kemana Pendidikan Tinggi Indonesia?
RUU PT mempertahankan otonomi pengelolaan PT. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Dirjen Dikti Kemdiknas, Haris Iskandar, bahwa prinsip otonomi itulah yang akan dipertahankan dalam pengelolaan keuangan PT. Hal ini dikarenakan otonomilah yang menjadi nafas paradigma baru pengelolaan PT berdasarkan HELTS IV. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa otonomi ini dilatar belakangi oleh kemajemukan (pluralitas) Indonesia. Sejak reformasi bergulir, dikatakan kebijakan yang sentralistik tidak lagi sesuai, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Setiap institusi dan daerah dianggap lebih mengetahui potensi masing-masing sehingga akan lebih baik jika pengembangannya diatur sendiri (otonomi dan desentralisasi).
Berikut beberapa analisa politik terhadap pasal-pasal didalam RUU PT dengan mencoba mengkomparasikannya dengan prinsip-prinsip pendidikan dan pengelolaan pendidikan di dalam Islam:
• Pasal 2 tentang asas PT, diantaranya Kebenaran ilmiah, otonomi keilmuan dan kebebasan akademik.
Atas nama kebebasan ilmiah, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, ilmuwan dapat melakukan penelitian yang ‘bisa jadi’ pesanan pemberi dana bantuan ataupun hal-hal berbahaya lain atas nama ilmu yang bebas nilai. Sementara jelas harus dibedakan antara tsaqofah dan ilmu sains yang selama ini dianggap sama. Bahaya disini adakalanya dalam bentuk dihasilkannya tsaqofah yang bisa membahayakan (akidah) umat seperti pemikiran ‘pluralisme, Keadilan dan Kesetaraan gender’, maupun penelitian dalam bidang sainstek yang akan membahayakan kemandirian bangsa di masa datang (misal penelitian tentang keanekaragaman hayati di indonesia, namun pemilik seluruh data penelitian adalah penyandang dana).
Seharusnya pendidikan tinggi memiliki asas yang mengacu pada sendi-sendi Islam sebagai way of life mayoritas masyarakat bangsa ini dan sekaligus menjadi akar budaya bangsa. Hal ini perlu dilakukan agar laju pendidikan tinggi tidak salah arah, sebagaimana krisis dunia sains modersn saat ini; satu sisi menghasilkan kemajuan material yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain menimbulkan proses dehumanisasi dan gagal menyelesaikan problema manusia. Dimana pangkal dari krisis tersebut adalah pada materi kebenaran dari ilmu, atau dengan kata lain berpangkal pada asas ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang tidak tepat.
Falsafah keilmuan sekuler yang menjadikan agama, ilmu dan seni terpisah, sehingga satu sama lain tidak saling menopang, sehingga seringkali Ilmu tidak memiliki kendali moral, baik dalam kegunaan maupun ruang lingkup pengkajian, telah menjadikan para intelektual (muslim) terperangkap dalam arus komoditasi ilmu dan dijauhkan dari profile intelektual (muslim) sejati, yaitu (agent of change yang berfikir skala umat). Semestinya, ilmu didasarkan pada agama (Islam) dan digunakan berdasarkan aturan-Nya (syariah) untuk kebaikan manusia dan alam semesta.
• Pasal 3 ayat 2, tentang tujuan PT.
Seharusnya Pendidikan tinggi bertujuan mencetak manusia-manusia berkepribadian (Islam) yang tinggi, menguasai tsaqofah Islam, Saintek yang diperlukan untuk menyelesaikan problematika masyarakat, berkarakter pemimpin dan memiliki kesiapan mengimplementasikan ilmu yang dikuasainya untuk kebaikan manusia dan alam semesta berdasarkan tuntunan-Nya (syariah). Bukannya mencetak mahasiswa yang demokratis (yang justru mengantarkan pada penolakan terhadap pengaturan/kebenaran dari Tuhannya). Demikian pula dengan tujuan mencetak mahasiswa yang berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional, sangatlah bias, karena makna kepentingan nasional sangat mudah ditarik kesana kemari sesuai kepentingan individu/kelompok tertentu.
• Pasal 8, tentang pengembangan perguruan tinggi,
Prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk karakter mahasiswa yang berkepribadian Islam sehingga para mahasiswa menjadikan ilmunya untuk kemashlahatan masyarakat. Untuk itu, siapa pun yang ingin mengenyam ilmu di PT harus diberikan fasilitas yang cukup pada mereka. Sehingga, sangat penting bagi negara untuk menentukan arah pendidikan tinggi termasuk penetapan Angka Partisipasi Kasar (APK) masuknya para pelajar ke PT yang hendak diwujudkan berdasarkan kebutuhan pembangunan negara.
Fakta di Indonesia, Angka Partisipasi Kasar (APK) para pelajar yang masuk ke PT masih menunjukkan jumlah yang rendah, yaitu 17,26% pada tahun 2007. Jika dibandingkan dengan China (20,3%), Malaysia (32,5%), Thailand (42,7%), Korea (91%). Hal ini ditengarai karena mahalnya biaya kuliah di PT, dan juga adanya ketidak seimbangan antara jumlah penduduk usia 17-25 tahun dengan ketersediaan jumlah PT, baik PTN atau PTS atau akademi atau institut atau sekolah tinggi.
Jumlah penduduk pada usia angkatan PT adalah 25.366.600 jiwa sedangkan jumlah PT dan lembaga lain yang sederajat adalah 2800 buah. Ukuran ideal perbandingan dosen:mahasiswa adalah 1:20, sehingga jika sebuah PT memiliki 250 orang dosen, maka daya tampung PT tersebut yang ideal adalah 5000 mahasiswa. Pada faktanya, PT yang memiliki jumlah dosen 250 orang adalah PT yang sudah tua dan besar, yang hanya berjumlah 7 buah PT. Sehingga memang jumlah PT di Indonesia harus ditambah, dan tiap propinsi harus memiliki lebih dari 1 PT/akademi/institute. Karena dengan jumlah PT yang terbatas seperti itu (3027 buah), maka daya tampung 1 buah PT sekarang adalah 8380 orang, dan hal ini dirasa sangat tidak ideal.
• Pasal 19 (2) tentang kurikulum yang berstandart nasional yang dikembangkan oleh badan standarisasi penjaminan dan pengendalian mutu. Seringkali kurikulum disusun untuk lebih berorientasi pada stakeholder atau user atau bahkan pasar yang bisa jadi bukan berkaitan dengan orientasi negara dalam menyelesaikan problem bangsa. Standard nasional PT yang memuat 10 standart (lihat pasal 78 (2)) menunjukkan kepada kita bahwa jika indikator-indikator penilaian adalah seperti yang tercantum dalam BAN atau standard nasional maupun internasional lainnya yang berlaku saat ini, sangat jelas terlihat bahwa tidak ada korelasi antara indikator capaian dengan tujuan penyelenggaraan PT. Karena indikator-indikator tersebut lebih dipengaruhi oleh upaya menjadikan PT di Indonesia mendapatkan pengakuan dari dunia internasional, sekalipun indikator mutu yang ditetapkan seandainya pun terpenuhi, ternyata tidak berkorelasi pada semakin terurainya problematika masyarakat dan teraihnya kebangkitan bangsa. Bahwa menjamin mutu dan standard adalah suatu keharusan dan memang penting, namun kalau dalam upaya pemenuhan item-item di dalamnya ternyata hanya lebih mendorong PT untuk sibuk melakukan kerjasama dan pencarian dana demi sebuah pengakuan, maka sebenarnya hanya akan membuat PT seolah sibuk sendiri di suatu area ‘permainan mengejar recognisi tsb’, sementara problematika masyarakat terus berlangsung di area yang berbeda. Padahal masyarakat senantiasa menunggu kiprah kampus dengan produk-produk intelektualnya untuk menyelesaikan problematika kehidupan mereka.
• Pasal 28 tentang prinsip penyelenggaraan penelitian.
Seharusnya penyelenggaraan penelitian berprinsip pada elaborasi ilmu, teknologi dan/atau seni yang didasarkan pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh Syariah. Sehingga pengembangan ilmu, teknologi dan/atau seni selaras dengan kebenaran yang telah Allah SWT sampaikan pada manusia dan tidak keluar dari batasan yang telah Allah SWT tetapkan. Demikian juga, harus dibedakan antara pengetahuan yang bersifat tsaqafah dengan ilmu dan sains yang bersifat universal. Pada akhirnya ketika ilmu, teknologi dan/atau seni tersebut diimplementasikan ke masyarakat maka akan membawa kemashlahatan bagi manusia dan tidak menyalahi fitrah yang telah ditetapkan Allah SWT pada manusia.
• Pasal 33, tentang penutupan PT.
Harus ada penjelasan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib mahasiswa pasca ditutupnya PT tersebut.
• Pasal 35 tentang prinsip pengelolaan PT.
Diantara prinsip pengelolaan PT adalah otonomi, yang bermakna kemandirian PT untuk mengelola sendiri lembaganya. Kemandirian ini tidak bisa secara mutlak dianggap sebagai nilai positif, karena bagaimanapun juga sebuah PT yang berdiri di Indonesia harus mendapat kawalan pemerintah dalam penyelenggaraan proses pendidikan didalamnya, karena menyangkut masa depan generasi bangsa ini. Lebih diperjelas kemandirian ini dalam Pasal 44 dan 45 tentang otonomi. Prinsip otonomi yang menjadi nafas pada banyak pasal RUU PT akan mengantarkan PT pada proses komersialisasi yang tidak dapat dihindari. Apalagi pada PTN dan PTN khusus berbadan hukum (lihat pasal 41) sangat mungkin berujung pada privatisasi kampus, berpotensi melepas tanggungjawab pemerintah mengelola PT dalam mencetak calon pemikir, penemu dan pemimpin yang akan menyelesaikan persoalan bangsa dan yang lebih berbahaya berpotensi melalaikan para pendidik dari tugas utamanya dalam melaksanakan tri drama PT. Aset-aset PT akan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk mencari uang. Dan ketika PT tidak memiliki aset dan kesulitan mencari cara lain untuk memperoleh dana maka kemungkinan besar yang akan dilakukan PT untuk menutupi biaya operasional adalah menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Pada titik ini, akan menjadikan PT hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Lebih parah lagi, jika PT yang berbentuk badan hukum ini pada perjalanannya mengalami bangkrut/pailit, maka ini akan menjadi bencana bagi para mahasiswa. Yang termasuk Badan hukum adalah PT, Yayasan, Koperasi, BUMN dan badan usaha lain yang anggarannya disyahkan menteri dan diumumkan dalam berita negara. Badan hukum bisa dituntut dan melakukan penuntutan sehingga jika karena penuntutan di pengadilan dan badan hukum ini dinyatakan pailit maka berlaku UU kepailitan. Kalau sebuah PT harus ditutup, siapakah yang bertanggung jawab atas nasib para mahasiswanya? Hari ini saja, kita sudah sangat sering melihat betapa mahasiswa banyak dirugikan ketika sebuah PT mengalami konflik kepemimpinan karena beberapa kepentingan (misal ketika terjadi konflik antara yayasan dan rektorat, dsb).
Prinsip transparansi seharusnya tidak terbatas pada masalah keuangan atau laporan program kerja, tapi juga pengembangan riset. Masyarakat berhak tahu riset apa yang dikembangkan PT sehingga masyarakat bisa memanfaatkan hasil riset tsb, tidak hanya kalangan industri tertentu yang pada akhirnya membuat hasil riset tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan masyarakat karena profit oriented yang dilakukan oleh industri tertentu tsb. Prinsip akuntabilitas sama halnya dengan prinsip transparansi, pertanggungjawaban PT juga harus melibatkan masyarakat secara umum yang tidak terbatas pada sedikit orang dari para pemangku kepentingan PT saja. Prinsip penjaminan mutu harus dibuat berdasarkan blueprint PT yang dibuat pemerintah untuk menjadikan bangsa ini unggul sesuai dengan asas pendidikan yang seharusnya (ideologi Islam.)
• Pasal 41-43 tentang PTN dan PTN Khusus. Penyebutan dan penjelasan PTN yang senantiasa dibarengkan dengan penyebutan dan penjelasan PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, adalah suatu hal yang bias. Dengan cara penulisan pasal seperti ini, patut diwaspadai ada upaya menjadikan semua PTN sebagai PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri atau PTN Khusus unit pelaksana teknis. Sehingga konsekuensinya model pengelolaan PT antara PTN dengan PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, tidak bisa dibedakan lagi dan berarti ada kemungkinan model PTN yang NON PTN Khusus berbadan hukum, non PTN Khusus mandiri dan non PTN Khusus unit pelaksana teknis tidak ada lagi. Artinya, dengan pasal ini, bisa diartikan bahwa seluruh PTN yang ada harus masuk menjadi salah satu dari 3 PTN jenis tersebut. Dan ketika kebijakan yang diberlakukan dalam RUU ini adalah untuk semua jenis PTN, maka sebenarnya secara tidak langsung semua PTN harus melaksanakan semua kebijakan dalam RUU ini, sama saja apakah dia sebelumnya berstatus BHP atau bukan. Bukankah justru pemberlakuan UU ini akan lebih luas dari UU BHP yang sebelumnya hanya berimplikasi bagi PT yang berstatus BHMN?!
• Pasal 46 47,48 dan 50 tentang organ PT. Hal-hal yang perlu dikritisi dalam pasal tersebut adalah adanya majelis pemangku, anggota senat akademik dan satuan pengawas.
Majelis pemangku difungsikan sebagai organ tertinggi yang menerima mandat langsung dari kemdiknas dalam pengelolaan PT, jadi bukan pimpinan PT. Sedangkan anggota senat akademik difungsikan sebagai organ yang menjadi representasi dari para dosen di sebuah PT. Dan satuan pengawas difungsikan sebagai organ yang memberikan pengawasan pada PT, baik di bidang akademik maupun non akademik. Terdapat kejanggalan terhadap fungsi majelis pemangku. Dengan ditetapkannya majelis pemangku sebagai organ tertinggi PT, maka arah pengelolaan PT bisa saja diputuskan oleh majelis pemangku sekalipun dibuat oleh pemimpin PT. Keputusan ini bersifat mengikat pemimpin PT, sehingga garis-garis kebijakan pengelolaan PT yang telah dibuat oleh pemimpin PT dan orang-orang yang kompeten didalamnya bisa saja tertolak oleh keputusan majelis pemangku. Jadi kebijakan umum berada di tangan Majelis Pemangku. Sementara diantara komponen majelis pemangku tersebut adalah wakil dari masyarakat (baca: user, sekaligus bisa jadi donatur) dan Gubernur yang di era otonomi saat ini kita ketahui memiliki kekuasaan yang lebih luas. Sesuatu yang dikhawatirkan terjadi adalah jika kemudian kebijakan umum akan diarahkan untuk melegalisasi kerjasama-kerjasama yang dibuat oleh pemerintah daerah tersebut dengan asing.
• Pasal 71 tentang penerimaan mahasiswa baru. Negara harus mempunyai blue print tentang pendidikan tinggi, terutama mengenai jumlah kebutuhan sarjana yang harus dihasilkan PT dibandingkan kebutuhan di lapangan terhadap tenaga sarjana di berbagai bidang. Sehingga bisa diketahui apakah kuota maksimal 20% dari para pelajar yang cerdas tapi berkemampuan ekonomi kurang, kemungkinan perlu ditambah atau dikurangi. Untuk itu, harus ada penjelasan yang rinci diambilnya angka 20% tersebut berdasarkan pertimbangan apa saja. Karena Negara bertanggung jawab penuh terhadap masalah kebutuhan rakyat untuk mendapatkan pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sehingga siapa pun diantara warga negara yang memiliki keinginan dan memungkinkan secara intelektual mengenyam ilmu di PT harus difasilitasi oleh negara.
• Pasal 72 tentang kebolehan warga negara asing menjadi mahasiwa PT di wilayah NKRI. Bisa jadi demi mengejar akreditasi yang menjadikan jumlah pendanaan asing dan jumlah mahasiswa asing dengan poin penilaian yang sangat besar, PT akan berlomba-lomba memberikan kesempatan kepada mahasiswa asing tersebut tanpa memiliki lagi kewaspadaan akan kemungkinan masuknya ideologi ataupun budaya asing secara lebih intensif melalui people to people contact, padahal pada saat yang sama, dibukanya kesempatan ini kepada warga negara asing tersebut akan berarti juga mengurangi kesempatan warga negara Indonesia untuk belajar di institusi yang dibangun dan diselenggarakan dengan menggunakan dana pajak dari rakyat Indonesia.
Seharusnya Pemerintah membatasi jumlah mahasiswa asing yang mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia dan dengan seleksi yang ketat. Hal-hal yang perlu diujikan dalam seleksi masuk mahasiswa asing ke PT di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah memastikan bahwa mahasiswa asing tersebut bukanlah warga negara dari negara yang secara de facto sedang melakukan penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin, ataupun belahan bumi lainnya dan tidak mengajarkan, menyebarkan ideologi atau budaya asing yang bertentangan dengan ideologi negara atau melakukan hal-hal lain yang berpotensi membahayakan kedaulatan negara untuk kepentingan nasional mereka semacam spionase dsb.
• Pasal 73 tentang kebolehan asing membuka program studi di wilayah NKRI. Hal ini akan berpotensi menyedot minat mahasiswa Indonesia yang dididik dengan kurikulum asing, dan diarahkan untuk menjadi SDM yang diberdayakan ‘semata-mata’ mendukung industri mereka dan bukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Pemerintah harus membatasi jumlah PT asing yang membuka prodi di Indonesia dan dengan seleksi yang ketat dan perjanjian yang memastikan ‘keamanan’ kurikulum mereka agar PT asing tsb tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan asas/ landasan kurikulum PT di Indonesia (ideologi Islam).
• Pasal 74 tentang kerjasama Internasional. Adalah pasal penting yang dengan jelas merupakan wujud legalisasi implementasi dari HELTS IV, GATS dan Comprehensive patnership, yang bahkan di UU BHP sebelumnya belum terakomodasi. Dalam pasal ini sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia mendorong kerjasama dengan pihak asing dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Hal ini patut diduga sebagai bentuk implementasi riil dari comprehensive partnership yang baru saja ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan AS. Jika hal ini disambut baik oleh PT, artinya PT dengan kewenangan otonominya mampu menjalin kerjasama tersebut tanpa bertanya pada pemerintah, maka hal ini akan menjadi jalan masuk bagi pengekalan hegemoni dan penjajahan asing (terutama AS) atas dunia pendidikan tinggi di Indonesia, untuk kemudian berikutnya atas seluruh kedaulatan Indonesia. Sehingga, wajar kalau kemudian ada kewaspadaan, jangan-jangan justru karena content kerjasama internasional ini belum terakomodir dalam UU BHP, sementara perjanjian comprepartnership meniscayakan hal tsb harus dilakukan segera, inilah yang menjadikan UU BHP memang butuh untuk direvisi. Dengan kata lain, patut diduga bahwa dibatalkannya UU BHP oleh MK adalah pesanan asing agar AS segera menuai hasil atas kerjasama comprehensive partnership yang telah dijalinnya beberapa waktu lalu dengan Indonesia.
• Pasal 82 tentang pendanaan. Ini adalah pasal yang dengan tegas menjadikan pendanaan PTN dan PTN Khusus sebagai tanggung jawab pemerintah.
Di atas kertas, pasal ini adalah pasal yang bagus, karena seharusnya memang demikian. Namun persoalannya adalah, apakah ketentuan di atas kertas ini akan bisa direalisir di lapangan? Pada APBN 2011, Kemendiknas mendapat alokasi dana berdasarkan kementerian sebesar Rp 55,6T yang menurun Rp 7,8T dibandingkan tahun 2010. Sedangkan alokasi dana berdasar fungsi, maka kemendiknas mendapatkan alokasi dana Rp 91,5T yang mengalami penurunan Rp 5,7T dibandingkan tahun 2010. Jadi total alokasi dana APBN 2011 untuk Kemendiknas adalah Rp 147,1T. Dari total dana tersebut, untuk kebutuhan 2800 PTN+PTS seIndonesia adalah Rp 52,5M, yang jika disamakan maka tiap PTN akan mendapat jatah dari APBN sebesar Rp 828,5M. Jika diambil perumpamaan yang mengacu pada Unair, kebutuhan dana pendidikan tiap mahasiswa per tahun adalah Rp 18Jt, sehingga untuk 24.143 orang mahasiswa Rp 2,1Jt. Jumlah dana sebesar tersebut jelas sangat minim. Di sisi lain, pemerintah sendiri dari tahun ke tahun selalu menambah utangnya (baik utang LN maupun DN). Bahkan ditahun 2010, APBN dibiayai utang yang mencapai 75,1% dari total struktur pembiayaan negara, dan ditahun 2011, APBN dibiayai utang yang mencapai 95,1% dari total struktur pembiayaan negara. Sungguh mengerikan!! Ketika secara faktual kondisi keuangan negara seperti itu, dan ketika hingga sekarang negara belum/tidak memiliki skema sumber penerimaan negara yang lain, maka ketika Kemendiknas menuntut agar APBN memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk pendidikan, pertanyaan logis yang muncul adalah bukankah itu berarti menjadikan kita (rakyat Indonesia) harus siap menanggung beban pembayaran utang yang lebih besar lagi?! Itulah mengapa dalam RUU PT ini dengan jelas bisa kita baca sikap pemerintah yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi PT untuk mencari dana dari luar APBN, walaupun dengan sangat jelas pula dikatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab pada pendanaan PTN di Indonesia. Sebuah RUU yang sangat jelas ambigu. Alhasil, kalau kita menginginkan realisasi pendanaan PT oleh negara, maka yang dibutuhkan bukan hanya revisi/pembatalan UU BHP, akan tetapi harus juga disertai revisi/amandemen UU yang menjadi payung sistem ekonomi maupun politik negara ini.
Seharusnya ayat 2 tidak perlu ada, karena sudah seharusnya pemerintah pusat menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan tinggi. Ketika dibuka peluang kemungkinan PT mendapatkan dana dari kerjasama dengan pemda atau dunia usaha, maka akan muncul pertanyaan: “Berapa % dana maksimal PT bisa berasal dari pemda dan atau dunia usaha? Apakah tidak ada kepentingan dari pemda/dunia usaha ketika membantu pendanaan sebuah PT? Kalau dikaitkan hubungan antara PT (sebagai supplier SDM cakap) dengan dunia usaha (yang profit oriented), sesuatu yang sangat mudah terindera adalah kemungkinan upaya dunia usaha untuk bisa mendapatkan lulusan PT sebagai buruh murah bagi dunia usaha mereka. Sementara terkait dengan pendanaan dari pemda, ada kemungkinan bantuan dari pemda untuk PT berbeda-beda tergantung kondisi APBD dan kedekatan rektor PT dengan penguasa daerah. Jika APBN Negara dirasa defisit dan beban pendanaan pada PT dirasa sangat berat, ada kemungkinan Negara akan menyerahkan urusan ini pada APBD, padahal APBD bisa jadi tidak mampu mengatasi hal tersebut, lantas bagaimana nasib PT tersebut? Bagaimana jika sebuah PT berada di daerah dengan APBD rendah, apakah bantuan dari APBD bisa diandalkan oleh PT tsb?
• Pasal 83 tentang sumber dana lain (selain APBN) yang bisa diterima PT.
Seharusnya pasal 83 juga tidak perlu ada. Alasannya sama dengan pasal 82 (sudah seharusnya pemerintah pusat menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi, dalam hal ini termasuk masalah pendanaan.). Sekalipun di pasal 82 dan 83 menggunakan kalimat “PTN dapat memperoleh….” yang maknanya seolah-olah PTN tidak wajib mencari tambahan dana dari luar pihak pemerintah, namun karena tidak jelasnya batasan % dana maksimal yang dapat diperoleh dari luar pihak pemerintah mengakibatkan pasal ini bisa menjadi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan individu/kelompok di dalam PT tsb. Apalagi dengan adanya ayat 4 pada pasal 83 ini, yang menyatakan bahwa dana-dana yang ditarik dari luar pihak pemerintah tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak, berarti maknanya, dana-dana tersebut masuk ke pendapatan negara yang terkena pajak, jika pemerintah menargetkan meningkatkan pemasukan negara melalui pajak, maka tentunya pemerintah juga akan mendorong PT untuk mencari seoptimal mungkin dana-dana dari luar pihak pemerintah. Ini menunjukkan inkonsistensi dengan pasal 82 ayat 1 dan juga amanat UUD 1945.
• Pasal 85 kebolehan PTN menyelenggarakan badan usaha.
Pasal ini menjadi legalitas bagi PTN untuk tidak hanya fokus pada aktivitas mencetak intelektual dan peneliti yang handal dengan penemuan-penemuan yang produktif untuk masyarakat, akan tetapi harus membagi perhatian bahkan bisa jadi kegiatan badan usaha ini akan lebih menyedot perhatian PT serta menyelewengkan mereka dari visi, misi dan tujuan PT yang seharusnya fokus pada pendidikan dan pengajaran, menjadi fokus kepada bisnis, apalagi ketika pendanaan dari pemerintah pada kenyataannya tidak mencukupi.
Pada institusi berorientasi bisnis, proses belajar mengajar tidak lagi menjadi prioritas utama. Dan ini adalah pelanggaran terhadap Tri Drama PT yang pertama yaitu pendidikan. Pengelolaan institusi yang tidak independen, dan bergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan akan menyebabkan PT sebagai salah satu pusat riset juga bergantung pada keinginan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut (lihat pasal 97). Akibat lanjutannya, PT hanya akan menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan asing atau menyelesaikan permasalahan asing namun tidak peka dan mampu menyelesaikan permasalahan dalam negeri. Manusia yang terbentuk hanyalah manusia yang kapitalis dan pragmatis yang hidupnya bergantung keadaan dan tidak mandiri.
• Pasal 88 tentang mahasiswa tidak mampu.
Negara harus mempunyai blue print tentang pendidikan tinggi, terutama mengenai jumlah kebutuhan sarjana yang harus dihasilkan PT dibandingkan kebutuhan di lapangan terhadap tenaga sarjana di berbagai bidang. Sehingga, harus ada penjelasan apa pertimbangan yang digunakan sehingga ditetapkan kuota maksimal bagi para pelajar yang cerdas tapi berkemampuan ekonomi kurang untuk masuk ke dalam PTN dan PTN khusus adalah 20%. Karena negara bertanggung jawab penuh terhadap masalah kebutuhan rakyat untuk mendapatkan pendidikan hingga pendidikan tinggi, maka mekanisme subsidi silang antar mahasiswa yang mampu dan tidak mampu (pasal 88 ayat 2 dan 3) tidak perlu ada, kecuali pada keadaan keuangan negara darurat, dan itu tidak boleh berlaku selamanya.
• Pasal 89 tentang administratif bagi PT yang melanggar ketentuan.
Perlu dijelaskan dalam undang-undang ini, ketika sebuah PT diberi sanksi hingga sanksi yang paling berat, maka bagaimana mekanisme pertanggungjawaban terhadap nasib para mahasiswa, dosen serta karyawan PT tsb. Lebih lanjut, siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib mereka semua?
Simpulan dan Penutup
Alhasil, RUU PT yang sedianya direncanakan menjadi payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, bisa kita lihat, masih tetap kental dengan nuansa sekulerisasi dalam asasnya. Selain itu, paradigma baru pengelolaan PT yang bernuansa pemberian otonomi dan kemandirian PT yang akan berimplikasi pada banyak hal (penyusunan kurikulum, pendanaan, akses pendidikan bagi masyarakat miskin, dsb) juga masih sangat dominan. Bahkan, pada RUU PT ini terdapat item kerjasama internasional yang sebelumnya tidak/belum ada.
Seharusnya, jika negara benar-benar menginginkan sebuah sistem pendidikan tinggi yang bisa mewujudkan bangsa yang besar dan memimpin peradaban dunia, maka pemerintah justru harus memastikan dan menjamin penyelenggaraan PT harus bebas dari grand strategy kapitalis dalam semua lini kebijakannya, falsafah dan tradisi keilmuan yang dikaji dan diajarkan terpancar dari ideologi Islam dan bukannya sekulerisme. Selain itu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus disandarkan pada negara, dan jauh dari prinsip otonomi PT. Dalam aspek pendanaan, negara harus menjalankan APBN bersyariat yang terkelola secara efektif untuk memastikan negara menjamin ketersediaan dana yang cukup untuk pendidikan tinggi bagi semua warga negara, membangun dan mengembangkan riset secara mandiri, dan untuk mengelola secara mandiri industri strategis negara. Pemerintah harus bertanggung jawab dengan memberikan subsidi penuh bagi pendidikan, dengan cara mengembalikan aset-aset ekonomi yang hari ini tergadai kepada asing. PT harus bisa diakses seluas-luasnya oleh setiap warga negara. PT harus diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun kekuatan melalui intelektualitas dan kepedulian social para lulusannya, mesejahterakan kehidupan bangsa melalui riset-risetnya. PT diselenggarakan tak semata-mata dalam rangka meraih target-target dengan indikator bersifat akademis, namun harus memberi ruang pada pembentukan karakter dan pembangunan nilai-nilai kepemimpinan. PT juga harus didesain sedemikian rupa agar bisa sinergis dengan kebijakan industri negara, sehingga PT benar-benar bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, karena senantiasa menghasilkan produk-produk intelektual yang produktif untuk menyelesaikan berbagai macam problematika bangsa. Bahkan lebih lanjut akan mewujudkan negara pemimpin peradaban, yang terdepan dalam penguasaaan sains, riset dan teknologi. Hanya sistem pendidikan yang demikianlah yang dapat mengantarkan sebuah bangsa pada peradaban besar yang memuliakan manusia. Wallahu a’lam.
Oleh: Lajnah khusus Intelektual (LKI) Muslimah HTI Jatim
Dilandasi keinginan pemerintah Indonesia agar generasi Indonesia siap menghadapi globalisasi dengan mempertahankan moral bangsa, dimana untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kemandirian PT dan kemampuan PT untuk otonom, maka dirasa perlu untuk menyusun UU sisdiknas yang bisa mengakomodir tujuan tersebut. Maka lahirlah kemudian UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Eksistensi UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
Akhir tahun 2008 dan menjelang awal tahun 2009, pemerintah Indonesia membuka gebrakan baru di dunia pendidikan dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP). Pengesahan RUU BHP telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2008. Banyak pihak pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP. Mereka berbeda pendapat tentang produk hukum penyelenggaraan pendidikan formal. Fokus permasalahannya terletak pada sistem yang diatur UU BHP. Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi lain justeru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demi sedikit.
Pemerintah sendiri mengganggap UU BHP sudah final dan isinya tidak memberatkan orang tua dan masyarakat. Di dalam UU BHP disebutkan bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional dari satu satuan pendidikan. Artinya, UU BHP membatasi biaya yang harus dikeluarkan orang tua yaitu maksimal 1/3 bagian dari biaya operasional yang dianggarkan oleh penyelenggaraan pendidikan.
Sementara bagi beberapa pihak lain, terutama dari kalangan ahli pendidikan, UU BHP sejak awal ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neo liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi akan membuat lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, dimana pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah.
Pada April 2010 UU ini dibatalkan MK dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat, pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.
Setelah UU BHP dibatalkan, maka harus ada payung hukum bagi PT yang berstatus BHMN. Maka ditetapkanlah Perppu No. 66 tahun 2010 yang berlaku per tgl 28 september 2010, menetapkan 7 PT BHMN tetap dengan status BHMNnya, yaitu : UI, ITB, IPB, UGM, UNAIR, UPI, USU. Diantara isi Perpu 66 tahun 2010 yang diasumsikan mengakomodir aspirasi masyarakat ketika menolak BHP:
a. 20% mahasiswa cerdas tapi miskin, harus ditampung oleh PT
b. 60% mahasiswa dijaring melalui seleksi nasional
c. keuangan dikelola secara PNBP/BLU
d. pemimpin PT diangkat oleh menteri dengan jabatan setingkat Lektor kepala
Arus Liberalisasi Global dan Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Indonesia
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) saat ini tengah menyusun RUU PT yang katanya bukan mengganti UU Badan Hukum Pendidkan (BHP), yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dirjen Dikti Kemdiknas, Haris Iskandar, mengatakan “Kami berupaya untuk membuat suatu kebijakan yang otonomi, dinamis dan akuntabel.” Kekurangan-kekurangan pada UU BHP telah dihilangkan, sehingga dikatakannya: “Diharapkan RUU PT akan mampu menjadi payung hukum PT yang menggantikan UU BHP”. Disinggung adanya anggapan bahwa RUU PT sama dengan UU BHP beliau menyangkal. Beliau menegaskan, kesamaan keduanya tidaklah secara keseluruhan akan tetapi hanya pada jiwa otonominya saja. “Maka dari itu prinsip otonomi itulah yang akan kami pertahankan dalam pengelolaan keuangan PT, dengan begitu sudah terbukti akuntabel”.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DITJEN-DIKTI) sebagai representasi pemerintah dalam hal ini, mengelola pendidikan tinggi di Indonesia sesuai rumusan UNESCO dan meratifikasinya menjadi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). Jika pada kurun waktu 1975 – 1985 (HELTS I) dan kurun waktu 1986-1995 (HELTS II), penekanan Program untuk Program Jangka Panjang (PJP) masih fokus pada penciptaan nuansa akademik dan manajemen organisasi yang professional yang diantaranya didesain melalui Sistem Akademik dan Profesi (A Dual-System Academic and Professional) berikut dengan peningkatan kualitasnya, maka pada kurun waktu 1996-2005 (HELTS III), program untuk PJP telah mengarah pada penciptaan Paradigma Baru dalam Manajemen Pendidikan Tinggi (New Paradigm in Higher Education Management) yang lebih dipertegas lagi dengan HELTS IV (2003-2010), dimana program untuk PJP diarahkan untuk menciptakan persaingan antar PT di dalam negeri (The Nation’s Competitiveness), menghidupkan semangat otonomi, serta penyehatan ke-Organisasian (Organizational Health). Berbagai program penguatan manajemen pendidikan tinggi ditawarkan Bank Dunia, DUE (Development for Undergraduate Education), DUE-like, QUE (Quality for Undergraduate Education), Semi-QUE, URGE, Retooling Programe/TPSDP, Program Hibah Kompetitif (PHK) A1, A2, A3, B, , dan sebagainya.
Di sisi lain, Indonesia juga telah bergabung dalam World Trade Organization (WTO) sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Sebagai anggota WTO Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya. Indonesia juga memiliki UU PMA (Penanaman Modal Asing) dan Perpres no. 77 tahun 2007 dan Perpres no.111 tahun 2007, yang di dalam lampiran Perpres inilah, pada item ke-72, 73, dan 74, dimasukkan sektor pendidikan sebagai bidang usaha yang dapat dimasuki investor asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia memang telah masuk dalam paradigma baru. Dimana paradigma baru pendidikan tinggi ini telah mengubah peran dan fungsi pemerintah, melalui Dirjen-Dikti, yang semula sebagai penanggungjawab pendidikan tinggi, menjadi hanya sekedar fasilitator saja. Misalnya untuk program HELTS IV, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar US$ 98.267.000 yang diperuntukkan untuk proyek yang terdiri atas 2 komponen: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi, (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Untuk point yang pertama arahnya pada pengesahan UU BHP. Sedangkan poin yang kedua digarap oleh Dikti dalam bentuk penawaran program-program ke perguruan tinggi untuk dikompetisikan sebagai dana pengembangan institusi. Tentu saja proposal yang lolos hanya yang sesuai dengan tuntutan Bank Dunia sebagai penyandang dana. Dirjen-Dikti menetapkan strategi pendanaan perguruan tinggi secara sistematis dan bertahap mengarah pada sistem hibah blok yang memberi otonomi lebih luas kepada perguruan tinggi. Hibah blok yang dimaksud dialokasikan antara lain melalui skema kompetisi.
Sesuai Tahun anggaran 2007 Dikti me-lunching program hibah berbasis institusi yaitu Program Hibah Kompetisi (PHK), yang dievaluasi per 3 tahunan. Dalam PHK berbasis Institusi (PHK-I) perguruan tinggi bertanggung jawab penuh mulai pengajuan proposal, pengelolaan program, dan mempertanggungjawabkan hasil dari pelaksanaan program-progam tersebut. Saat ini Dirjen Dikti mengelola sekitar 2.800 perguruan tinggi dan mereka inilah yang akan menjadi sasaran kompetisi. Bagi PT yang kompetitif maka ini adalah peluang besar untuk meningkatkan daya saing bangsa, namun bagi PT yang tidak kompetitif sangat berat untuk bisa tetap bertahan. Padahal sebagai sebuah institusi, negaralah yang memiliki tanggungjawab merealisasikan visinya mewujudkan bangsa yang besar, tangguh, kompetitif, inovatif, sejahtera lahir dan batin, salah satunya menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam jumlah yang cukup yang memungkinkan tercetak para pemikir dengan jumlah yang memadai.
Dalam kasus kampus yang terlanjur menjadi BHMN, UNAIR misalnya, terbitnya PP No. 30/2006 tentang Universitas Airlangga sebagai BHMN semula dianggap sebagai peluang untuk bisa makin berkompetisi sebagaimana tuntutan dari program Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang, KPPT-JP III atau Higher Education Long Term Strategy HELTS III, dan KPPT-JP IV (2003-2010), yaitu : organisasi yang sehat (organizational health), desentralisasi dan otonomi (desentralization and autonomy) dan daya saing bangsa (nation’s competitiveness) dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan. Namun ketika UU nomor 9 tahun 2009 tentang BHP yang disahkan DPR tanggal 17 Desember 2008 yang menjadi payung bagi PP ini pada 31 Maret 2010 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka harus ada UU baru yang bisa menjadi payung bagi penyelenggaraan PT-PT tersebut, karenanya Dikti kemudian menawarkan RUU PT sebagai penggantinya.
Analisa RUU PT: Akan dibawa kemana Pendidikan Tinggi Indonesia?
RUU PT mempertahankan otonomi pengelolaan PT. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Dirjen Dikti Kemdiknas, Haris Iskandar, bahwa prinsip otonomi itulah yang akan dipertahankan dalam pengelolaan keuangan PT. Hal ini dikarenakan otonomilah yang menjadi nafas paradigma baru pengelolaan PT berdasarkan HELTS IV. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa otonomi ini dilatar belakangi oleh kemajemukan (pluralitas) Indonesia. Sejak reformasi bergulir, dikatakan kebijakan yang sentralistik tidak lagi sesuai, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Setiap institusi dan daerah dianggap lebih mengetahui potensi masing-masing sehingga akan lebih baik jika pengembangannya diatur sendiri (otonomi dan desentralisasi).
Berikut beberapa analisa politik terhadap pasal-pasal didalam RUU PT dengan mencoba mengkomparasikannya dengan prinsip-prinsip pendidikan dan pengelolaan pendidikan di dalam Islam:
• Pasal 2 tentang asas PT, diantaranya Kebenaran ilmiah, otonomi keilmuan dan kebebasan akademik.
Atas nama kebebasan ilmiah, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, ilmuwan dapat melakukan penelitian yang ‘bisa jadi’ pesanan pemberi dana bantuan ataupun hal-hal berbahaya lain atas nama ilmu yang bebas nilai. Sementara jelas harus dibedakan antara tsaqofah dan ilmu sains yang selama ini dianggap sama. Bahaya disini adakalanya dalam bentuk dihasilkannya tsaqofah yang bisa membahayakan (akidah) umat seperti pemikiran ‘pluralisme, Keadilan dan Kesetaraan gender’, maupun penelitian dalam bidang sainstek yang akan membahayakan kemandirian bangsa di masa datang (misal penelitian tentang keanekaragaman hayati di indonesia, namun pemilik seluruh data penelitian adalah penyandang dana).
Seharusnya pendidikan tinggi memiliki asas yang mengacu pada sendi-sendi Islam sebagai way of life mayoritas masyarakat bangsa ini dan sekaligus menjadi akar budaya bangsa. Hal ini perlu dilakukan agar laju pendidikan tinggi tidak salah arah, sebagaimana krisis dunia sains modersn saat ini; satu sisi menghasilkan kemajuan material yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun di sisi lain menimbulkan proses dehumanisasi dan gagal menyelesaikan problema manusia. Dimana pangkal dari krisis tersebut adalah pada materi kebenaran dari ilmu, atau dengan kata lain berpangkal pada asas ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang tidak tepat.
Falsafah keilmuan sekuler yang menjadikan agama, ilmu dan seni terpisah, sehingga satu sama lain tidak saling menopang, sehingga seringkali Ilmu tidak memiliki kendali moral, baik dalam kegunaan maupun ruang lingkup pengkajian, telah menjadikan para intelektual (muslim) terperangkap dalam arus komoditasi ilmu dan dijauhkan dari profile intelektual (muslim) sejati, yaitu (agent of change yang berfikir skala umat). Semestinya, ilmu didasarkan pada agama (Islam) dan digunakan berdasarkan aturan-Nya (syariah) untuk kebaikan manusia dan alam semesta.
• Pasal 3 ayat 2, tentang tujuan PT.
Seharusnya Pendidikan tinggi bertujuan mencetak manusia-manusia berkepribadian (Islam) yang tinggi, menguasai tsaqofah Islam, Saintek yang diperlukan untuk menyelesaikan problematika masyarakat, berkarakter pemimpin dan memiliki kesiapan mengimplementasikan ilmu yang dikuasainya untuk kebaikan manusia dan alam semesta berdasarkan tuntunan-Nya (syariah). Bukannya mencetak mahasiswa yang demokratis (yang justru mengantarkan pada penolakan terhadap pengaturan/kebenaran dari Tuhannya). Demikian pula dengan tujuan mencetak mahasiswa yang berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional, sangatlah bias, karena makna kepentingan nasional sangat mudah ditarik kesana kemari sesuai kepentingan individu/kelompok tertentu.
• Pasal 8, tentang pengembangan perguruan tinggi,
Prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk karakter mahasiswa yang berkepribadian Islam sehingga para mahasiswa menjadikan ilmunya untuk kemashlahatan masyarakat. Untuk itu, siapa pun yang ingin mengenyam ilmu di PT harus diberikan fasilitas yang cukup pada mereka. Sehingga, sangat penting bagi negara untuk menentukan arah pendidikan tinggi termasuk penetapan Angka Partisipasi Kasar (APK) masuknya para pelajar ke PT yang hendak diwujudkan berdasarkan kebutuhan pembangunan negara.
Fakta di Indonesia, Angka Partisipasi Kasar (APK) para pelajar yang masuk ke PT masih menunjukkan jumlah yang rendah, yaitu 17,26% pada tahun 2007. Jika dibandingkan dengan China (20,3%), Malaysia (32,5%), Thailand (42,7%), Korea (91%). Hal ini ditengarai karena mahalnya biaya kuliah di PT, dan juga adanya ketidak seimbangan antara jumlah penduduk usia 17-25 tahun dengan ketersediaan jumlah PT, baik PTN atau PTS atau akademi atau institut atau sekolah tinggi.
Jumlah penduduk pada usia angkatan PT adalah 25.366.600 jiwa sedangkan jumlah PT dan lembaga lain yang sederajat adalah 2800 buah. Ukuran ideal perbandingan dosen:mahasiswa adalah 1:20, sehingga jika sebuah PT memiliki 250 orang dosen, maka daya tampung PT tersebut yang ideal adalah 5000 mahasiswa. Pada faktanya, PT yang memiliki jumlah dosen 250 orang adalah PT yang sudah tua dan besar, yang hanya berjumlah 7 buah PT. Sehingga memang jumlah PT di Indonesia harus ditambah, dan tiap propinsi harus memiliki lebih dari 1 PT/akademi/institute. Karena dengan jumlah PT yang terbatas seperti itu (3027 buah), maka daya tampung 1 buah PT sekarang adalah 8380 orang, dan hal ini dirasa sangat tidak ideal.
• Pasal 19 (2) tentang kurikulum yang berstandart nasional yang dikembangkan oleh badan standarisasi penjaminan dan pengendalian mutu. Seringkali kurikulum disusun untuk lebih berorientasi pada stakeholder atau user atau bahkan pasar yang bisa jadi bukan berkaitan dengan orientasi negara dalam menyelesaikan problem bangsa. Standard nasional PT yang memuat 10 standart (lihat pasal 78 (2)) menunjukkan kepada kita bahwa jika indikator-indikator penilaian adalah seperti yang tercantum dalam BAN atau standard nasional maupun internasional lainnya yang berlaku saat ini, sangat jelas terlihat bahwa tidak ada korelasi antara indikator capaian dengan tujuan penyelenggaraan PT. Karena indikator-indikator tersebut lebih dipengaruhi oleh upaya menjadikan PT di Indonesia mendapatkan pengakuan dari dunia internasional, sekalipun indikator mutu yang ditetapkan seandainya pun terpenuhi, ternyata tidak berkorelasi pada semakin terurainya problematika masyarakat dan teraihnya kebangkitan bangsa. Bahwa menjamin mutu dan standard adalah suatu keharusan dan memang penting, namun kalau dalam upaya pemenuhan item-item di dalamnya ternyata hanya lebih mendorong PT untuk sibuk melakukan kerjasama dan pencarian dana demi sebuah pengakuan, maka sebenarnya hanya akan membuat PT seolah sibuk sendiri di suatu area ‘permainan mengejar recognisi tsb’, sementara problematika masyarakat terus berlangsung di area yang berbeda. Padahal masyarakat senantiasa menunggu kiprah kampus dengan produk-produk intelektualnya untuk menyelesaikan problematika kehidupan mereka.
• Pasal 28 tentang prinsip penyelenggaraan penelitian.
Seharusnya penyelenggaraan penelitian berprinsip pada elaborasi ilmu, teknologi dan/atau seni yang didasarkan pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh Syariah. Sehingga pengembangan ilmu, teknologi dan/atau seni selaras dengan kebenaran yang telah Allah SWT sampaikan pada manusia dan tidak keluar dari batasan yang telah Allah SWT tetapkan. Demikian juga, harus dibedakan antara pengetahuan yang bersifat tsaqafah dengan ilmu dan sains yang bersifat universal. Pada akhirnya ketika ilmu, teknologi dan/atau seni tersebut diimplementasikan ke masyarakat maka akan membawa kemashlahatan bagi manusia dan tidak menyalahi fitrah yang telah ditetapkan Allah SWT pada manusia.
• Pasal 33, tentang penutupan PT.
Harus ada penjelasan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib mahasiswa pasca ditutupnya PT tersebut.
• Pasal 35 tentang prinsip pengelolaan PT.
Diantara prinsip pengelolaan PT adalah otonomi, yang bermakna kemandirian PT untuk mengelola sendiri lembaganya. Kemandirian ini tidak bisa secara mutlak dianggap sebagai nilai positif, karena bagaimanapun juga sebuah PT yang berdiri di Indonesia harus mendapat kawalan pemerintah dalam penyelenggaraan proses pendidikan didalamnya, karena menyangkut masa depan generasi bangsa ini. Lebih diperjelas kemandirian ini dalam Pasal 44 dan 45 tentang otonomi. Prinsip otonomi yang menjadi nafas pada banyak pasal RUU PT akan mengantarkan PT pada proses komersialisasi yang tidak dapat dihindari. Apalagi pada PTN dan PTN khusus berbadan hukum (lihat pasal 41) sangat mungkin berujung pada privatisasi kampus, berpotensi melepas tanggungjawab pemerintah mengelola PT dalam mencetak calon pemikir, penemu dan pemimpin yang akan menyelesaikan persoalan bangsa dan yang lebih berbahaya berpotensi melalaikan para pendidik dari tugas utamanya dalam melaksanakan tri drama PT. Aset-aset PT akan dijadikan sebagai lahan bisnis untuk mencari uang. Dan ketika PT tidak memiliki aset dan kesulitan mencari cara lain untuk memperoleh dana maka kemungkinan besar yang akan dilakukan PT untuk menutupi biaya operasional adalah menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Pada titik ini, akan menjadikan PT hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Lebih parah lagi, jika PT yang berbentuk badan hukum ini pada perjalanannya mengalami bangkrut/pailit, maka ini akan menjadi bencana bagi para mahasiswa. Yang termasuk Badan hukum adalah PT, Yayasan, Koperasi, BUMN dan badan usaha lain yang anggarannya disyahkan menteri dan diumumkan dalam berita negara. Badan hukum bisa dituntut dan melakukan penuntutan sehingga jika karena penuntutan di pengadilan dan badan hukum ini dinyatakan pailit maka berlaku UU kepailitan. Kalau sebuah PT harus ditutup, siapakah yang bertanggung jawab atas nasib para mahasiswanya? Hari ini saja, kita sudah sangat sering melihat betapa mahasiswa banyak dirugikan ketika sebuah PT mengalami konflik kepemimpinan karena beberapa kepentingan (misal ketika terjadi konflik antara yayasan dan rektorat, dsb).
Prinsip transparansi seharusnya tidak terbatas pada masalah keuangan atau laporan program kerja, tapi juga pengembangan riset. Masyarakat berhak tahu riset apa yang dikembangkan PT sehingga masyarakat bisa memanfaatkan hasil riset tsb, tidak hanya kalangan industri tertentu yang pada akhirnya membuat hasil riset tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan masyarakat karena profit oriented yang dilakukan oleh industri tertentu tsb. Prinsip akuntabilitas sama halnya dengan prinsip transparansi, pertanggungjawaban PT juga harus melibatkan masyarakat secara umum yang tidak terbatas pada sedikit orang dari para pemangku kepentingan PT saja. Prinsip penjaminan mutu harus dibuat berdasarkan blueprint PT yang dibuat pemerintah untuk menjadikan bangsa ini unggul sesuai dengan asas pendidikan yang seharusnya (ideologi Islam.)
• Pasal 41-43 tentang PTN dan PTN Khusus. Penyebutan dan penjelasan PTN yang senantiasa dibarengkan dengan penyebutan dan penjelasan PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, adalah suatu hal yang bias. Dengan cara penulisan pasal seperti ini, patut diwaspadai ada upaya menjadikan semua PTN sebagai PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri atau PTN Khusus unit pelaksana teknis. Sehingga konsekuensinya model pengelolaan PT antara PTN dengan PTN Khusus berbadan hukum, PTN Khusus mandiri dan PTN Khusus unit pelaksana teknis, tidak bisa dibedakan lagi dan berarti ada kemungkinan model PTN yang NON PTN Khusus berbadan hukum, non PTN Khusus mandiri dan non PTN Khusus unit pelaksana teknis tidak ada lagi. Artinya, dengan pasal ini, bisa diartikan bahwa seluruh PTN yang ada harus masuk menjadi salah satu dari 3 PTN jenis tersebut. Dan ketika kebijakan yang diberlakukan dalam RUU ini adalah untuk semua jenis PTN, maka sebenarnya secara tidak langsung semua PTN harus melaksanakan semua kebijakan dalam RUU ini, sama saja apakah dia sebelumnya berstatus BHP atau bukan. Bukankah justru pemberlakuan UU ini akan lebih luas dari UU BHP yang sebelumnya hanya berimplikasi bagi PT yang berstatus BHMN?!
• Pasal 46 47,48 dan 50 tentang organ PT. Hal-hal yang perlu dikritisi dalam pasal tersebut adalah adanya majelis pemangku, anggota senat akademik dan satuan pengawas.
Majelis pemangku difungsikan sebagai organ tertinggi yang menerima mandat langsung dari kemdiknas dalam pengelolaan PT, jadi bukan pimpinan PT. Sedangkan anggota senat akademik difungsikan sebagai organ yang menjadi representasi dari para dosen di sebuah PT. Dan satuan pengawas difungsikan sebagai organ yang memberikan pengawasan pada PT, baik di bidang akademik maupun non akademik. Terdapat kejanggalan terhadap fungsi majelis pemangku. Dengan ditetapkannya majelis pemangku sebagai organ tertinggi PT, maka arah pengelolaan PT bisa saja diputuskan oleh majelis pemangku sekalipun dibuat oleh pemimpin PT. Keputusan ini bersifat mengikat pemimpin PT, sehingga garis-garis kebijakan pengelolaan PT yang telah dibuat oleh pemimpin PT dan orang-orang yang kompeten didalamnya bisa saja tertolak oleh keputusan majelis pemangku. Jadi kebijakan umum berada di tangan Majelis Pemangku. Sementara diantara komponen majelis pemangku tersebut adalah wakil dari masyarakat (baca: user, sekaligus bisa jadi donatur) dan Gubernur yang di era otonomi saat ini kita ketahui memiliki kekuasaan yang lebih luas. Sesuatu yang dikhawatirkan terjadi adalah jika kemudian kebijakan umum akan diarahkan untuk melegalisasi kerjasama-kerjasama yang dibuat oleh pemerintah daerah tersebut dengan asing.
• Pasal 71 tentang penerimaan mahasiswa baru. Negara harus mempunyai blue print tentang pendidikan tinggi, terutama mengenai jumlah kebutuhan sarjana yang harus dihasilkan PT dibandingkan kebutuhan di lapangan terhadap tenaga sarjana di berbagai bidang. Sehingga bisa diketahui apakah kuota maksimal 20% dari para pelajar yang cerdas tapi berkemampuan ekonomi kurang, kemungkinan perlu ditambah atau dikurangi. Untuk itu, harus ada penjelasan yang rinci diambilnya angka 20% tersebut berdasarkan pertimbangan apa saja. Karena Negara bertanggung jawab penuh terhadap masalah kebutuhan rakyat untuk mendapatkan pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sehingga siapa pun diantara warga negara yang memiliki keinginan dan memungkinkan secara intelektual mengenyam ilmu di PT harus difasilitasi oleh negara.
• Pasal 72 tentang kebolehan warga negara asing menjadi mahasiwa PT di wilayah NKRI. Bisa jadi demi mengejar akreditasi yang menjadikan jumlah pendanaan asing dan jumlah mahasiswa asing dengan poin penilaian yang sangat besar, PT akan berlomba-lomba memberikan kesempatan kepada mahasiswa asing tersebut tanpa memiliki lagi kewaspadaan akan kemungkinan masuknya ideologi ataupun budaya asing secara lebih intensif melalui people to people contact, padahal pada saat yang sama, dibukanya kesempatan ini kepada warga negara asing tersebut akan berarti juga mengurangi kesempatan warga negara Indonesia untuk belajar di institusi yang dibangun dan diselenggarakan dengan menggunakan dana pajak dari rakyat Indonesia.
Seharusnya Pemerintah membatasi jumlah mahasiswa asing yang mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia dan dengan seleksi yang ketat. Hal-hal yang perlu diujikan dalam seleksi masuk mahasiswa asing ke PT di Indonesia. Termasuk diantaranya adalah memastikan bahwa mahasiswa asing tersebut bukanlah warga negara dari negara yang secara de facto sedang melakukan penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin, ataupun belahan bumi lainnya dan tidak mengajarkan, menyebarkan ideologi atau budaya asing yang bertentangan dengan ideologi negara atau melakukan hal-hal lain yang berpotensi membahayakan kedaulatan negara untuk kepentingan nasional mereka semacam spionase dsb.
• Pasal 73 tentang kebolehan asing membuka program studi di wilayah NKRI. Hal ini akan berpotensi menyedot minat mahasiswa Indonesia yang dididik dengan kurikulum asing, dan diarahkan untuk menjadi SDM yang diberdayakan ‘semata-mata’ mendukung industri mereka dan bukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Pemerintah harus membatasi jumlah PT asing yang membuka prodi di Indonesia dan dengan seleksi yang ketat dan perjanjian yang memastikan ‘keamanan’ kurikulum mereka agar PT asing tsb tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan asas/ landasan kurikulum PT di Indonesia (ideologi Islam).
• Pasal 74 tentang kerjasama Internasional. Adalah pasal penting yang dengan jelas merupakan wujud legalisasi implementasi dari HELTS IV, GATS dan Comprehensive patnership, yang bahkan di UU BHP sebelumnya belum terakomodasi. Dalam pasal ini sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia mendorong kerjasama dengan pihak asing dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Hal ini patut diduga sebagai bentuk implementasi riil dari comprehensive partnership yang baru saja ditandatangani antara pemerintah Indonesia dengan AS. Jika hal ini disambut baik oleh PT, artinya PT dengan kewenangan otonominya mampu menjalin kerjasama tersebut tanpa bertanya pada pemerintah, maka hal ini akan menjadi jalan masuk bagi pengekalan hegemoni dan penjajahan asing (terutama AS) atas dunia pendidikan tinggi di Indonesia, untuk kemudian berikutnya atas seluruh kedaulatan Indonesia. Sehingga, wajar kalau kemudian ada kewaspadaan, jangan-jangan justru karena content kerjasama internasional ini belum terakomodir dalam UU BHP, sementara perjanjian comprepartnership meniscayakan hal tsb harus dilakukan segera, inilah yang menjadikan UU BHP memang butuh untuk direvisi. Dengan kata lain, patut diduga bahwa dibatalkannya UU BHP oleh MK adalah pesanan asing agar AS segera menuai hasil atas kerjasama comprehensive partnership yang telah dijalinnya beberapa waktu lalu dengan Indonesia.
• Pasal 82 tentang pendanaan. Ini adalah pasal yang dengan tegas menjadikan pendanaan PTN dan PTN Khusus sebagai tanggung jawab pemerintah.
Di atas kertas, pasal ini adalah pasal yang bagus, karena seharusnya memang demikian. Namun persoalannya adalah, apakah ketentuan di atas kertas ini akan bisa direalisir di lapangan? Pada APBN 2011, Kemendiknas mendapat alokasi dana berdasarkan kementerian sebesar Rp 55,6T yang menurun Rp 7,8T dibandingkan tahun 2010. Sedangkan alokasi dana berdasar fungsi, maka kemendiknas mendapatkan alokasi dana Rp 91,5T yang mengalami penurunan Rp 5,7T dibandingkan tahun 2010. Jadi total alokasi dana APBN 2011 untuk Kemendiknas adalah Rp 147,1T. Dari total dana tersebut, untuk kebutuhan 2800 PTN+PTS seIndonesia adalah Rp 52,5M, yang jika disamakan maka tiap PTN akan mendapat jatah dari APBN sebesar Rp 828,5M. Jika diambil perumpamaan yang mengacu pada Unair, kebutuhan dana pendidikan tiap mahasiswa per tahun adalah Rp 18Jt, sehingga untuk 24.143 orang mahasiswa Rp 2,1Jt. Jumlah dana sebesar tersebut jelas sangat minim. Di sisi lain, pemerintah sendiri dari tahun ke tahun selalu menambah utangnya (baik utang LN maupun DN). Bahkan ditahun 2010, APBN dibiayai utang yang mencapai 75,1% dari total struktur pembiayaan negara, dan ditahun 2011, APBN dibiayai utang yang mencapai 95,1% dari total struktur pembiayaan negara. Sungguh mengerikan!! Ketika secara faktual kondisi keuangan negara seperti itu, dan ketika hingga sekarang negara belum/tidak memiliki skema sumber penerimaan negara yang lain, maka ketika Kemendiknas menuntut agar APBN memberikan alokasi dana yang lebih besar untuk pendidikan, pertanyaan logis yang muncul adalah bukankah itu berarti menjadikan kita (rakyat Indonesia) harus siap menanggung beban pembayaran utang yang lebih besar lagi?! Itulah mengapa dalam RUU PT ini dengan jelas bisa kita baca sikap pemerintah yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi PT untuk mencari dana dari luar APBN, walaupun dengan sangat jelas pula dikatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab pada pendanaan PTN di Indonesia. Sebuah RUU yang sangat jelas ambigu. Alhasil, kalau kita menginginkan realisasi pendanaan PT oleh negara, maka yang dibutuhkan bukan hanya revisi/pembatalan UU BHP, akan tetapi harus juga disertai revisi/amandemen UU yang menjadi payung sistem ekonomi maupun politik negara ini.
Seharusnya ayat 2 tidak perlu ada, karena sudah seharusnya pemerintah pusat menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas pendanaan pendidikan tinggi. Ketika dibuka peluang kemungkinan PT mendapatkan dana dari kerjasama dengan pemda atau dunia usaha, maka akan muncul pertanyaan: “Berapa % dana maksimal PT bisa berasal dari pemda dan atau dunia usaha? Apakah tidak ada kepentingan dari pemda/dunia usaha ketika membantu pendanaan sebuah PT? Kalau dikaitkan hubungan antara PT (sebagai supplier SDM cakap) dengan dunia usaha (yang profit oriented), sesuatu yang sangat mudah terindera adalah kemungkinan upaya dunia usaha untuk bisa mendapatkan lulusan PT sebagai buruh murah bagi dunia usaha mereka. Sementara terkait dengan pendanaan dari pemda, ada kemungkinan bantuan dari pemda untuk PT berbeda-beda tergantung kondisi APBD dan kedekatan rektor PT dengan penguasa daerah. Jika APBN Negara dirasa defisit dan beban pendanaan pada PT dirasa sangat berat, ada kemungkinan Negara akan menyerahkan urusan ini pada APBD, padahal APBD bisa jadi tidak mampu mengatasi hal tersebut, lantas bagaimana nasib PT tersebut? Bagaimana jika sebuah PT berada di daerah dengan APBD rendah, apakah bantuan dari APBD bisa diandalkan oleh PT tsb?
• Pasal 83 tentang sumber dana lain (selain APBN) yang bisa diterima PT.
Seharusnya pasal 83 juga tidak perlu ada. Alasannya sama dengan pasal 82 (sudah seharusnya pemerintah pusat menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi, dalam hal ini termasuk masalah pendanaan.). Sekalipun di pasal 82 dan 83 menggunakan kalimat “PTN dapat memperoleh….” yang maknanya seolah-olah PTN tidak wajib mencari tambahan dana dari luar pihak pemerintah, namun karena tidak jelasnya batasan % dana maksimal yang dapat diperoleh dari luar pihak pemerintah mengakibatkan pasal ini bisa menjadi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kepentingan individu/kelompok di dalam PT tsb. Apalagi dengan adanya ayat 4 pada pasal 83 ini, yang menyatakan bahwa dana-dana yang ditarik dari luar pihak pemerintah tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak, berarti maknanya, dana-dana tersebut masuk ke pendapatan negara yang terkena pajak, jika pemerintah menargetkan meningkatkan pemasukan negara melalui pajak, maka tentunya pemerintah juga akan mendorong PT untuk mencari seoptimal mungkin dana-dana dari luar pihak pemerintah. Ini menunjukkan inkonsistensi dengan pasal 82 ayat 1 dan juga amanat UUD 1945.
• Pasal 85 kebolehan PTN menyelenggarakan badan usaha.
Pasal ini menjadi legalitas bagi PTN untuk tidak hanya fokus pada aktivitas mencetak intelektual dan peneliti yang handal dengan penemuan-penemuan yang produktif untuk masyarakat, akan tetapi harus membagi perhatian bahkan bisa jadi kegiatan badan usaha ini akan lebih menyedot perhatian PT serta menyelewengkan mereka dari visi, misi dan tujuan PT yang seharusnya fokus pada pendidikan dan pengajaran, menjadi fokus kepada bisnis, apalagi ketika pendanaan dari pemerintah pada kenyataannya tidak mencukupi.
Pada institusi berorientasi bisnis, proses belajar mengajar tidak lagi menjadi prioritas utama. Dan ini adalah pelanggaran terhadap Tri Drama PT yang pertama yaitu pendidikan. Pengelolaan institusi yang tidak independen, dan bergantung pada pihak-pihak yang berkepentingan akan menyebabkan PT sebagai salah satu pusat riset juga bergantung pada keinginan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut (lihat pasal 97). Akibat lanjutannya, PT hanya akan menghasilkan lulusan yang diserap oleh perusahaan asing atau menyelesaikan permasalahan asing namun tidak peka dan mampu menyelesaikan permasalahan dalam negeri. Manusia yang terbentuk hanyalah manusia yang kapitalis dan pragmatis yang hidupnya bergantung keadaan dan tidak mandiri.
• Pasal 88 tentang mahasiswa tidak mampu.
Negara harus mempunyai blue print tentang pendidikan tinggi, terutama mengenai jumlah kebutuhan sarjana yang harus dihasilkan PT dibandingkan kebutuhan di lapangan terhadap tenaga sarjana di berbagai bidang. Sehingga, harus ada penjelasan apa pertimbangan yang digunakan sehingga ditetapkan kuota maksimal bagi para pelajar yang cerdas tapi berkemampuan ekonomi kurang untuk masuk ke dalam PTN dan PTN khusus adalah 20%. Karena negara bertanggung jawab penuh terhadap masalah kebutuhan rakyat untuk mendapatkan pendidikan hingga pendidikan tinggi, maka mekanisme subsidi silang antar mahasiswa yang mampu dan tidak mampu (pasal 88 ayat 2 dan 3) tidak perlu ada, kecuali pada keadaan keuangan negara darurat, dan itu tidak boleh berlaku selamanya.
• Pasal 89 tentang administratif bagi PT yang melanggar ketentuan.
Perlu dijelaskan dalam undang-undang ini, ketika sebuah PT diberi sanksi hingga sanksi yang paling berat, maka bagaimana mekanisme pertanggungjawaban terhadap nasib para mahasiswa, dosen serta karyawan PT tsb. Lebih lanjut, siapa yang bertanggung jawab terhadap nasib mereka semua?
Simpulan dan Penutup
Alhasil, RUU PT yang sedianya direncanakan menjadi payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, bisa kita lihat, masih tetap kental dengan nuansa sekulerisasi dalam asasnya. Selain itu, paradigma baru pengelolaan PT yang bernuansa pemberian otonomi dan kemandirian PT yang akan berimplikasi pada banyak hal (penyusunan kurikulum, pendanaan, akses pendidikan bagi masyarakat miskin, dsb) juga masih sangat dominan. Bahkan, pada RUU PT ini terdapat item kerjasama internasional yang sebelumnya tidak/belum ada.
Seharusnya, jika negara benar-benar menginginkan sebuah sistem pendidikan tinggi yang bisa mewujudkan bangsa yang besar dan memimpin peradaban dunia, maka pemerintah justru harus memastikan dan menjamin penyelenggaraan PT harus bebas dari grand strategy kapitalis dalam semua lini kebijakannya, falsafah dan tradisi keilmuan yang dikaji dan diajarkan terpancar dari ideologi Islam dan bukannya sekulerisme. Selain itu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus disandarkan pada negara, dan jauh dari prinsip otonomi PT. Dalam aspek pendanaan, negara harus menjalankan APBN bersyariat yang terkelola secara efektif untuk memastikan negara menjamin ketersediaan dana yang cukup untuk pendidikan tinggi bagi semua warga negara, membangun dan mengembangkan riset secara mandiri, dan untuk mengelola secara mandiri industri strategis negara. Pemerintah harus bertanggung jawab dengan memberikan subsidi penuh bagi pendidikan, dengan cara mengembalikan aset-aset ekonomi yang hari ini tergadai kepada asing. PT harus bisa diakses seluas-luasnya oleh setiap warga negara. PT harus diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun kekuatan melalui intelektualitas dan kepedulian social para lulusannya, mesejahterakan kehidupan bangsa melalui riset-risetnya. PT diselenggarakan tak semata-mata dalam rangka meraih target-target dengan indikator bersifat akademis, namun harus memberi ruang pada pembentukan karakter dan pembangunan nilai-nilai kepemimpinan. PT juga harus didesain sedemikian rupa agar bisa sinergis dengan kebijakan industri negara, sehingga PT benar-benar bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, karena senantiasa menghasilkan produk-produk intelektual yang produktif untuk menyelesaikan berbagai macam problematika bangsa. Bahkan lebih lanjut akan mewujudkan negara pemimpin peradaban, yang terdepan dalam penguasaaan sains, riset dan teknologi. Hanya sistem pendidikan yang demikianlah yang dapat mengantarkan sebuah bangsa pada peradaban besar yang memuliakan manusia. Wallahu a’lam.
Oleh: Lajnah khusus Intelektual (LKI) Muslimah HTI Jatim
Langganan:
Postingan (Atom)