Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Minggu, 19 Juli 2009

Meretas Jalan Mewujudkan Khilafah Untuk Menyelamatkan Keluarga dan Bangsa dari Liberalisasi

dr. Faizatul Rosyidah


Menuju Amandemen UU Perkawinan dan KHI
Upaya untuk memperjuangkan amandemen UU Perkawinan ini sebenarnya telah berulangkali diajukan, namun sampai saat ini belum berhasil. Bahkan amandemen UU Perkawinan versi pemerintah telah berada di tangan tim asistensi DPR. Advokasi atas UU ini telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga seperti yang dilakukan oleh LBH-APIK dan Kowani.

Penegasan bahwa Amandemen UU Perkawinan menjadi sasaran bidik sejak lama, ditegaskan oleh Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia yang menyatakan: ”Walaupun UU PKDRT telah ada, jika tidak dibarengi adanya amandemen UU perkawinan no.1 Tahun 1974 sama halnya kekerasan akan tetap banyak terjadi dalam rumah tangga. Karena UU perkawinan dan kompilasi hukum Islam (KHI) yang ada masih sarat dengan bias gender dan memihak kepentingan suami/ laki-laki. Dalam hal ini penyelenggara negara dan pengambil kebijakan, penting sekali untuk segera memikirkan terjadinya amandemen UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang berkeadilan bagi semua.”

Selain UU Perkawinan, tuntutan perubahan juga ditujukan kepada Kompilasi Hukum Islam. Adalah Siti Musdah Mulia, Tim Pengarus Utamaan Gender Depag yang pernah mengajukan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Sekalipun berkilah bahwa CLD-KHI juga membawa prinsip dasar Islam (menurut versi Tim Penyusun) seperti persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha), keadilan (al-adl), kemaslahatan, penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah) dan kesetaraan gender, namun para Ulama di Indonesia menuduh adanya upaya menciptakan syariat baru. Tidak kurang dari 39 kesalahan (sebagian mengkalkulasi 19 kesalahan) dalam CLD-KHI. Hingga pada tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel Al Munawar, menyampaikan teguran keras kepada Tim Penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No. :MA/271/2004, untuk tidak lagi mengulangi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan mengatasnamakan tim Departemen Agama dan semua Draft CLD-KHI agar diserahkan kepada Menteri Agama RI. Hal-hal mendasar yang menjadikan buku tersebut kontroversial adalah adanya bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menyebut CLD-KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Al Qur’an. Hal ini karena di dalam CLD-KHI disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, Ijab kabul bukan rukun nikah dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Pendekatan gender, pluralisme, Ham dan demokrasi bukanlah pendekatan hukum Islam. Selanjutnya, Menteri Agama RI yang baru, Maftuh Basyuni membatalkan langsung CLD-KHI pada tanggal 14 Februari 2005. Siti Musdah Mulia sebagai Ketua Tim Penyusun CLD-KHI dilarang pemerintah menyebarluaskan gagasannya.

Gagal dengan CLD-KHI, para aktivis gender menebar strategi untuk membidik UU lain dalam rangka menggolkan dua UU yang masih sarat dengan nilai-nilai Islam (UU Perkawinan dan KHI) ini. Disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dipandang sebagai angin segar perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Kantor Meneg PP telah melakukan kegiatan sosialisasi UU PKDRT dan meluncurkan buku mengenai telaah kritis potret perempuan di media massa. Meneg PP menyatakan bahwa ”budaya patriarki” ternyata menciptakan peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kata ”patriarki” saat ini mengacu pada sistem yang menekan dan mengsubordinasikan perempuan baik di bidang khusus maupun umum. Dengan demikian Meneg PP pun berasumsi bahwa penyebab terjadinya KDRT adalah sikap laki-laki yang superior terhadap perempuan.

Dalam UU PKDRT ini terkandung pasal-pasal yang menggugat pelaksanaan hukum-hukum Syariat. Sebagai realisasi dari Konferensi Beijing, definisi kekerasan, cara pandang dan pengaturan kehidupan berumah tangga didasarkan pada Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women/ CEDAW) serta mengacu pada Langkah Tindak yang telah ditetapkan dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-IV(Beijing Platform Action. BPFA). Definisi kekerasan beranjak dari sudut pandang Barat (Liberal). Akibatnya banyak hal yang termasuk pelaksanaan hukum syara’ seperti mahar, sunat perempuan dan poligami dipandang sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Langkah lain adalah menggulirkan UU Perlindungan Anak (UU PA). Sekalipun terkesan melindungi hak-hak anak, namun dalam UU PA ini terselip upaya membenturkannya dengan UU Perkawinan. Antara lain pada BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1:Point (1), yang menyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Selanjutnya dalam Pasal 26, dinyatakan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Kedua pasal ini dapat digunakan untuk menggugat UU Perkawinan yang membolehkan menikah pada usia 16 tahun. Dalam Pasal 17, anak memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: (a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dengan orang dewasa, (b). Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, (c). Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Berdasarkan pasal ini anak memiliki kebebasan untuk memilih agamanya sendiri (bila menganut Islam, maka anak berhak untuk murtad).

Disahkannya UU Kewarganegaraan, juga memudahkan terjadinya perkawinan antarbangsa dan agama. Anak yang dilahirkan dapat memiliki kewarganegaraan ibunya. Ini berarti akan terjadi pengakuan terhadap para muslimah yang menikah dengan WNA non muslim. Status anak diakui sebagai anak keduanya. Tentunya hal ini bertentangan dengan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, yang tidak mengakui perkawinan seorang muslimah dengan non muslim. Perbenturan UU ini meliputi segi pengakuan status pernikahan, nasab anak dan hak warisnya.

Demikianlah, pasal-pasal dalam berbagai UU yang belum lama ini disahkan akan bertentangan dengan UU Perkawinan dan KHI. Langkah selanjutnya yang bisa diduga adalah tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi UU Perkawinan dan KHI karena bertentangan dengan berbagai UU ini, sebagaimana saat ini isu poligami dijadikan alasan kuat untuk merevisi UU Perkawinan. Dengan demikian bisa disimpulkan mengapa Siti Musdah Mulia begitu gigihnya menentang poligami dan menuntut amandemen UU perkawinan. Tentunya karena salah satu pasal dalam CLD-KHI menyebutkan bahwa poligami haram. Upaya menggolkan CLD-KHI yang sempat terjegal keras beberapa waktu yang lalu kini mulai terbuka.

Transformasi Kultural Menuju Liberalisasi Bangsa
CLD-KHI pernah mendapat benturan keras dari masyarakat muslim khususnya para ulama, karena jelas-jelas bertujuan meliberalkan bangsa. Upaya liberalisasi dalam hal seks antara lain tampak pada pembatasan minimal usia menikah suami dan istri, yakni 19 tahun. Padahal usia anak-anak menyelesaikan pendidikan SMA saat ini berkisar antara 16-18 tahun. Di sisi lain ada peraturan yang tidak membolehkan hamil pada masa sekolah (SMA). Namun anehnya solusi yang ditempuh justru mengarahkan remaja untuk melakukan seks bebas. BKKBN meluncurkan buku sosialisasi kesehatan reproduksi yang menyebutkan bahwa kehamilan remaja (Usia SMP- SMU) sangat beresiko dan berbahaya. Bersamaan dengan peluncuran buku tersebut disosialisasikan pula pemahaman bahwa remaja harus memenuhi kebutuhan seksnya dengan cara yang aman dan bertanggung jawab. Dikatakan dalam panduan kespro remaja bahwa seks yang bertanggung jawab adalah ketika dilakukan suka sama suka serta mengetahui dan bertanggung jawab terhadap resiko hubungan tersebut. Sementara dalam UU PKDRT Pasal 8 yang dimaksud dengan kekerasan seksual salah satunya adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai. Tentu berbeda halnya dengan suka-sama-suka, yang ini tidak terkategori bentuk kekerasan.

Begitu derasnya keinginan aktivis-aktivis kesetaraan gender untuk menetapkan berbagai UU yang mendukung kebebasan hak perempuan dan anak menunjukkan adanya upaya liberalisasi bangsa secara sistemik dan terintegratif. Hal ini tampak dari silih bergantinya RUU digulirkan atau disahkannya berbagai UU dengan konsep dasar yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan gender. Ketika umat menolak liberalisasi yang terkandung dalam CLD-KHI, tanpa disadari mereka digiring untuk menerima secara bertahap proses liberalisasi ini melalui berbagai UU yang disisipi nilai-nilai liberal. Sungguh langkah-langkah penuh tipu daya yang bertujuan merusak nilai-nilai Islam di tengah keluarga dan masyarakat.

Kondisi umat Islam di seluruh dunia hari ini sangat memprihatinkan. Boleh dikatakan seluruh negeri Islam –termasuk Indonesia- saat ini dalam keadaan terjajah, dimiskinkan, dieksploitasi, dan ditindas kehidupannya. Di negeri jajahan langsung seperti Irak, Chechnya, dan Palestina, kaum muslimin dalam ketakutan. Di negeri “merdeka dan berdaulat”, kaum muslimin diberi sedikit ruang untuk mengekspresikan diri dalam koridor penjajahan itu. Dalam bidang ekonomi, kaum muslimin dililit utang yang bunganya saja, satu negeri Islam seperti Indonesia, harus membayar puluhan triliun tiap tahun ke negara-negara penjajah. Kekayaan mereka yang melimpah di berbagai negeri Islam menjadi “bancakan” negara-negara penjajah dan segelintir orang kepercayaan mereka di negeri-negeri Islam. Sementara mayoritas umat yang pemilik sebenarnya kekayaan itu, hidup susah sebagai buruh dan pengangguran, dengan beban ekonomi yang berat. Harga dan sewa barang, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain keperluan hidup serba mahal. Uang susah dicari, tapi rendah nilai daya belinya. Dalam bidang politik, mereka dipaksa minum obat tidur yang namanya demokrasi dan kebebasan dengan batas koridor: jika dan hanya jika menguntungkan para penjajah Barat. Dalam demokrasi, semuanya boleh kecuali Islam. Sehingga berbagai manipulasi politik yang hakikatnya “pemerkosaan suara rakyat” dari rejim ke rejim hanya untuk kepentingan penjajahan. Kaum muslimin dengan identitas Islam yang samar-samar boleh berada dipinggiran tanpa mengambil peran berarti. Dalam bidang pemikiran dan budaya, pemerkosaan Islam dan labelisasi sebagai agama yang terbelakang dan faktor pemecah belah yang harus ditinggalkan dipropagandakan sedemikian rupa untuk memisahkan Islam dari para pemeluknya sendiri. Agama Islam yang memenuhi ruang privat maupun publik, kini disembelih, hanya disisakan ke ruang privat. Reduksi aqidah Islam dilakukan dengan berbagai sarana, baik melalui “topeng pertolongan ekonomi dan sosial”, pendidikan, budaya, maupun hiburan dan pemberitaan media massa.

Sampai kapankah umat ini terus terjajah? Kapankah umat ini bangkit membebaskan diri dari seluruh belenggu penjajahan ekonomi, politik, pemikiran, budaya, bahkan --di beberapa negeri—militer? Kapankah umat ini tampil dalam format umat Islam di seluruh dunia yang terhormat?


Perubahan Dari Dalam Diri Kita
Jika kita mengamati perkembangan sejarah dari masa-kemasa, jatuh bangunnya suatu bangsa, maka kita akan dapat melihat bahwa itu semua disebabkan adanya perubahan dalam diri bangsa itu. Bahkan kenyataan ini ditunjuk dengan jelas oleh Al Quran. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra’d 11).

Para mufassir memberikan penjelasan tentang ayat ini berkaitan dengan keadaan umat Islam pada masa lalu yang bagus, penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan, serta kekuatan dan ketahanan di bawah naungan bendera Lailahaillallah Muhammadur Rasulullah. Para khalifah sebagai pengayom agama dan keduniaan kaum muslimin melaksanakan kewajiban agama ini dengan sebaik-baiknya. Umat Islam sebagai warga negara melaksanakan tugas-tugas agamanya yang meliputi seluruh aspek kehidupan itu, baik dalam kewajiban personalnya maupun kewajiban sosial atau komunalnya menurut syariah Islamiyah. Namun, keadaan itu bisa berubah 180 derajat manakala umat melakukan kemaksiatan dan melalaikan kewajiban dan ketaatan kepada agamanya.
Pada tahun 1924, institusi penjaga umat itu runtuh dan umat Islam bagaikan ayam kehilangan induknya. Kehidupan sekular yang dipaksakan para penjajah dan kader-kader penerusnya pasca kemerdekaan melahirkan situasi dan kondisi masyarakat yang tidak Islami. Jauh dari ketaatan dan justru semakin ramai dengan kemaksiatan. Bahkan dalam iklim reformasi yang mestinya umat bisa menentukan bentuk negara dan pengelolaannya sendiri, ternyata umat ini tidak mengindahkan Islam, kecuali sebatas ibadah ritual dan sedikit moral. Bahkan dengan menguatnya sistem demokrasi dan liberalisasi dalam bisnis hiburan dan informasi, serta propaganda HAM, umat Islam kini cenderung semakin diarahkan kepada bentuk kehidupan yang jauh dari bingkai syariah Islam. Celakanya, tidak sedikit umat Islam ternyata “mau” atau merasa “tidak ada masalah” dengan arus yang mengarah kepada kebobrokan moral, kebobrokan ekonomi, kebobrokan politik, kebobrokan pendidikan, bahkan kebobrokan aqidah. Maka wajarlah, kalau krisis ini menjadi-jadi dan kondisi umat Islam tetap buruk, bahkan cenderung semakin terpuruk!
Bagaimana umat bisa bangun dan membebaskan diri dari kondisi yang memprihatinkan ini? Tentu harus ada reformasi dalam diri umat, bahkan harus ada revolusi, satu perubahan total dalam diri umat ini. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam ayat di atas. Apanya yang harus diubah secara mendasar dalam diri umat ini? Tidak lain adalah pikiran mereka. Kenapa?
Sebab, selama ide-ide yang menyebabkan krisis dan keterpurukan umat ini masih bercokol dalam diri umat, mereka tidak akan pernah bangkit membebaskan diri dari belenggu realitas yang ada. Sekalipun mereka telah merasakan derita dengan cara hidup yang ada hari ini, tapi kesadaran mereka tidak pernah sampai ketemu jalan keluar yang benar. Sebab, dengan pola fikir yang ada, terhadap setiap kejadian mereka akan berkesimpulan: wajar! Sebagai contoh: Ketika umat diperas oleh oknum petugas dalam pengurusan kepentingan rakyat di berbagai meja birokrasi, mereka akan mengatakan wajar, soalnya para petugas itu gajinya kecil, sedangkan harga-harga sudah semakin meroket. Lebih-lebih para petugas itu mendapatkan jabatan itu dengan membayar mahal, maka wajarlah dia berusaha mengembalikan investasi alias pengin balik modal! Bila cara berfikirnya seperti itu, maka seluruh masalah tidak akan pernah bisa diuraikan dan diselesaikan, akan menjadi lingkaran setan. Sungguh malang bangsa dan umat yang ridlo dengan keadaan seperti itu!
Oleh karena itu, harus ada perubahan dalam benak pikiran anak umat ini. Pikiran yang menganggap wajar sebuah penyimpangan (contohnya: korupsi, pornografi/aksi, pergaulan bebas) harus diganti dengan pikiran bahwa setiap penyimpangan harus dicegah dan diatasi. Tentu ini membutuhkan perubahan pemikiran dasar. Umat ini harus diformat ulang cara berfikir mereka, mereka harus bertanya kembali: darimana hidup mereka? Untuk apa mereka hidup? Bagaimana kesudahannya setelah mereka mati? Tentu umat muslim akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu dengan jawaban yang standar syariah. Jawaban standar syariah pada pikiran-pikiran dasar itu, akan menjadi pandangan dan pemahaman hidup (mafaahim anil hayah) yang akan menentukan tingkah laku mereka.
Jika pemahaman mesti kembali kepada syariah sebagai metode memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat sudah tertanam dalam diri umat, maka bangkitnya umat ini dari kondisi berbagai keterpurukan tinggal tunggu waktu. Persoalannya adalah bagaimana menanamkan pemahaman itu dan siapa yang menanamkannya?

Menjadi Para Penegak Agama Allah SWT
Pemahaman yang jernih tentang syariah sebagai solusi atas seluruh problematika kehidupan adalah modal utama untuk bangkit dan tampil menjadi umat terbaik. Dan meratanya pemahaman itu ke seluruh kalangan, atau paling tidak pada sebagian besar tubuh umat ini adalah syarat bangkitnya umat itu. Untuk itu diperlukan upaya terus-menerus melakukan proses penyadaran itu. Dengan itu akan muncul individu-individu di kalangan umat, sedikit atau banyak, yang memiliki kesadaran tersebut. Di sinilah kunci perubahan bakal terjadi.
Kesadaran tersebut harus dikristalkan pada pribadi-pribadi yang siap berjuang mengembalikan Islam kepada posisinya, yakni sebagai penyuluh dan pengatur kehidupan manusia. Kesadaran perjuangan itu mengkristal dalam diri para pejuang itu manakala dalam diri mereka terdapat proses penyadaran posisi mereka sebagai muslim dan kewajiban agama yang harus mereka pikul. Masing-masing individu umat yang telah menyadari dan memahami kedudukannya sebagai muslim yang bakal menghadap Allah SWT, dia akan bangkit, dan bertekad mengubah cara pandangnya (yang selama ini sekular atau tidak jelas, menjadi cara pandang Islam yang jelas) dan bertekad untuk mengubah kebiasaan-kebiasan (pola) dalam sikap dan tingkah lakunya.
Pribadi-pribadi muslim yang sadar itu akan memegang prinsip dasar hidup (3M): (1) Menjadikan aqidah Islam sebagai asas berfikir dan pembentukan pemahamannya tentang kehidupan (asasul hadlarah). Dengan kata lain dia akan senantiasa menambah pemahamannya terhadap Al Quran dan As Sunnah sebagai sumber informasi dan inspirasi dalam memandang dunia dan dirinya, dan dalam memandang hak-hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah. Dengan kekuatan aqidah atau keimanan itu dia akan terdorong maju tampil kehidupan dengan membawa visi dan misi seorang muslim yang jelas. (2) Menjadikan halal-haram yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya sebagai standar perbuatannya (miqyasul amal), baik dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, muamalah, dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan garis batas halal haram untuk kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara, akan dapat dinilai dengan jelas sesungguhnya apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan sesui tuntutan dan tuntunan syar’i. (3) Menjadikan ridlo Allah sebagai arti kebahagiaan (ma’nas sa’adah) dalam menjalani seluruh aktivitas hidupnya, yang didasari poin 1 dan distandarisasi dengan poin 2. Tujuan dan cita-cita mendapat ridlo Allah semata inilah dasar dari keikhlasan perjuangan pribadi-pribadi muslim yang sadar itu. Kombinasi kesungguhan dan gambaran hidup yang jelas, pengetahuan tentang gambaran ideal syariah Allah, dan keikhlasan, adalah energi yang luar biasa bagi sebuah perubahan.

Langkah Menyelamatkan Bangsa
Saat ini diperlukan upaya bersama umat Islam untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Liberalisasi (keluarga) pasti akan berujung pada kehancuran generasi. Bila demikian, maka tak ada lagi peluang kebangkitan Islam dan kaum muslimin.
Persoalan yang menimpa masyarakat muslim saat ini, adalah akibat meninggalkan penerapan Islam dan beralih kepada kapitalis-sekularis. Hal ini pula yang telah memunculkan banyak kasus-kasus kekerasan. Kekerasan dan penderitaan ini justru muncul karena kelemahan dan kebodohan umat Islam sendiri yang telah meninggalkan hukum-hukum Islam. Pengabaian hak dan kewajiban antar suami-istri seringkali menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Praktek-praktek sunat bayi perempuan yang keliru, baik karena faktor ketidakfahaman ataupun telah bercampur dengan tradisi turun temurun yang bukan berasal dari Islam, membuka peluang untuk memojokkan Islam mengenai hukum tersebut. Seluruh kenyataan ini, menjadi cara yang ampuh untuk memojokkan Islam dan membuat fitnah bahwa hukum-hukum Islamlah penyebab ketertindasan perempuan. Fenomena ketertindasan perempuan yang sebenarnya bermula di masyarakat kapitalis, diputarbalikkan bahwa hal tersebut terjadi di masyarakat muslim. Padahal para muslimah baru merasakan ketertindasan, ketika kaum muslimin mengadopsi sistem kapitalisme yang bertentangan dengan Islam dalam kehidupan mereka.
Untuk itu diperlukan upaya yang serius dan sungguh-sungguh menyadarkan sebagian kaum muslimin yang telah ”termakan” propaganda kaum liberal. Jargon gender selama ini terjajakan dalam kemasan indah dan menipu pandangan mayoritas umat. Tak jarang umat Islam sendiri yang mengagung-agungkan keadilan dan kesetaraan gender dan ketika ide ini dibenturkan dengan hukum-hukum Islam, maka mereka terjebak untuk memposisikan Islam sebagai tertuduh. Melalui jargon gender (perlu diperhatikan bahwa, dalam mengajukan RUU mereka tidak menggunakan kata liberal), berhasil digulirkan UU berbasis gender yang sesungguhnya memiliki substansi meliberalkan umat Islam.
Dengan demikian langkah utama yang harus dilakukan adalah merombak cara berfikir umat, agar tidak tersusupi nilai-nilai yang menyesatkan. Memurnikan pemikiran umat dilakukan dengan dakwah Islam secara terus menerus, menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya yang bersumber pada Al Qur’an, Hadits, Ijma shahabat dan Qiyas. Kemudian membongkar pemikiran-pemikiran yang menyesatkan umat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, demokrasi, Gender dan menjelaskan pertentangannya dengan Islam. Selanjutnya menjelaskan kepada umat bagaimana Islam memandang persoalan yang diangkat oleh pemikiran-pemikiran rusak tadi, menjelaskan hukum Islam terkait dengan persoalan tersebut dan bahwa Islam adalah solusi yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan manusia. Dorongan umat untuk menjalankan solusi yang telah ditetapkan Islam, semata-mata berdasarkan keyakinan (aqidah) mereka bahwa hanya Allah SWT, Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan yang memiliki aturan terbaik bagi seluruh ciptaanNya serta memberikan akhir kehidupan terbaik (surga) bagi siapapun yang mentaatiNya. Umat Islam harus berhati-hati terhadap pilihan hidup mereka, jangan sampai tergelincir kepada kesesatan dan kemaksiatan. Murka Allah SWT atas pelanggaran manusia terhadap perintah dan laranganNya adalah berupa sanksi yang pedih di akhirat kelak. Kami berlindung kepada Allah dari ketergelinciran ke dalam api neraka.
Untuk menangkal bahaya liberalisme yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam secara sistemik dan terpadu maka kaum muslimin harus:
1. Menguatkan kerjasama antar elemen masyarakat yang lebih terarah dan berkesinambungan dalam memberantas sekularisme, pluralisme dan liberalisme
2. Menyerukan kepada para ulama, tokoh-tokoh masyarakat muslim, pemimpin-pemimpin komunitas umat Islam untuk bersama-sama menjelas kerusakan dan bahaya ide kesetaraan gender, mengungkap konspirasi di baliknya yang bertujuan menghapus UU yang masih mengandung nilai-nilai Islam. Selama ini kemudahan bergulirnya UU yang merusak nilai-nilai Islam dalam keluarga senantiasa berlindung di balik manisnya jargon gender. Padahal ide ini adalah derivat sekularisme-liberalisme. Amandemen UU perkawinan dan pengajuan kembali CLD-KHI adalah sasaran bidik utama para pejuang gender melakukan liberalisasi bangsa ini.
3. Menyerukan kepada kalangan muslim yang masih mendukung bahkan memperjuangkan ide-ide KKG baik dengan dalih mengambil sebagian manfaat dan meninggalkan sebagian yang lain, agar mereka segera mencampakkan seluruh pemikiran tersebut, karena asas yang dibangun jelas-jelas telah bertentangan dengan Islam. Jangan sampai kalangan muslim mengambil sesuatu yang akan membuat keyakinannya terhadap Islam (aqidah) dan hukum-hukumnya tergerogoti.
4. Menyerukan kepada kalangan birokrat, intelektual dan mereka yang bekerja di lembaga-lembaga swadaya masyarakat berbasis KKG untuk tidak mengorbankan umat Islam dan aqidah mereka sendiri hanya untuk membela kepentingan AS dan sekutunya yang senantiasa berupaya mengancurkan Islam dan kaum muslimin. Sangat rendah materi, prestise dan pujian yang didapatkan dari para penjajah, dibandingkan dengan ancaman Allah SWT bagi mereka yang memusuhi agamaNya. Janganlah takut kepada tekanan dan ancaman musuh-musuh Islam, karena pengorbanan dan pembelaan terhadap Islam akan berbalaskan kemuliaan yang abadi di sisi Allah SWT.
5. Menggelorakan semangat untuk memperjuangkan syariah dan khilafah. Hanya khilafah yang akan menyelamatkan umat Islam dan mengangkatnya dari jurang kehinaan dan kehancuran.

Metode Rasul dalam Melakukan Perubahan
Jika kita menelaah perjalanan dakwah Rasulullah saw. secara mendalam dan jernih maka akan kita dapati bahwa beliau —dalam mengubah dan menata umat hingga berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah— menempuh aktivitas dakwah dan perjuangan perubahan masyarakat dalam tiga tahapan.
Apa yang dilakukan oleh Rasul di rumah Arqam bin AbiL Arqam adalah tahapan pertama-nya. Di rumah tersebut dilakukan penempaan dan pembinaan secara intensif para kader dakwah. Pembinaan intensif ini dilakukan melalui halqah-halqah (kelompok pembinaan kecil di bawah bimbingan pembina halqah yang waktu itu dipimpin secara langsung oleh Rasulullah) untuk menanamkan fikrah Islam kepada kader yang memang telah secara ikhlas ingin terlibat dalam dakwah. Tujuannya adalah untuk membentuk kader yang berkepribadian Islam, yakni yang berpola pikir dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam, serta bersedia terlibat dalam dakwah Islam. Kader-kader dakwah ini selanjutnya diharapkan mau dan mampu mengemban pemahaman Islam yang telah mereka pahami ke tengah-tengah masyarakat.
Tahapan kedua adalah membentuk kesadaran dan opini umum di tengah umat (tafâ‘ul ma‘a al-ummah). Perjuangan untuk menerapkan hukum Islam memerlukan kekuatan, yakni dukungan umat. Masalahnya, umat yang bagaimana yang akan mendukung dakwah? Tentu adalah umat yang sadar dan memiliki kesadaran politik Islam, yaitu mereka yang merasa diri dan masyarakatnya harus diatur hanya dengan syariat Islam saja. Jika kesadaran seperti ini telah terbentuk di tengah-tengah masyarakat, ditambah dengan adanya dukungan dari para ahlul quwwah (para politisi, pejabat negara, militer, dan sebagainya) maka berarti dakwah telah memiliki kekuatan pendukung besar untuk menuntut perubahan ke arah Islam. Inilah pentingnya tahap interaksi dengan masyarakat. Perubahan mendasar berlandaskan Islam tidak akan mungkin bisa dicapai jika tidak ada kesadaran umum masyarakat tentang Islam. Kesadaran ini tidak akan tercapai jika tidak ada interaksi para pengemban dakwah dengan masyarakat.
Keterlibatan Rasul saw. dalam benturan pemikiran dengan cara mematahkan argumentasi-argumentasi yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliah ketika menyembah Latta dan Uzza serta bentuk-bentuk kemusyrikan dan kekufuran yang lainnya adalah upaya nyata untuk menyadarkan umat bahwa apa yang telah dilakukan mereka selama ini adalah bentuk kebodohan dan kesalahan yang besar. Keyakinan, standar perbuatan, dan aktivitas yang sudah menjadi perilaku hidup masyarakat yang bertentangan dengan seruan Allah, oleh Rasul dirombak dan diganti sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Sementara itu, lobi-lobi yang dilakukan oleh Rasul tatkala musim haji dengan kabilah-kabilah yang datang ke Makkah adalah upaya Rasul untuk memperoleh dukungan dari ahlul quwwah (pemilik kekuatan). Sebab, dari merekalah dakwah Islam kemudian mendapat jaminan keselamatan.
Tahapan ketiga adalah penyerahan kekuasaan dari umat kepada para pengemban dakwah yang selama ini menyerukan penerapan syariat Islam. Tatkala dakwah di Makkah semakin menemui hambatan, namun di sisi lain perkembangan dakwah dan penerimaan masyarakat Madinah untuk diatur sesuai dengan syariat Islam semakin mengkristal, maka Rasul kemudian hijrah ke Madinah. Hijrahnya Rasul bukanlah lari dari ancaman siksaan yang akan dilakukan oleh orang-orang Quraisy, namun lebih disebabkan oleh adanya masyarakat Madinah yang mau menyerahkan kekuasaan kepada Rasul untuk mengatur mereka berlandaskan syariat Islam. Di Madinahlah institusi Negara Islam pengayom umat berdiri. Dengan negara inilah kesejahteraan dan kenikmatan hidup umat terjaga.
Walhasil, jalan menyelamatkan keluarga dan bangsa ini adalah dengan mencampakkan system sekulerisme-kapitalisme-liberalisme yang sudah terbukti membawa pada kerusakan kehidupan, dan mengambil sistem Islam secara kâffah untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Langkah terpenting menuju terwujudnya kehidupan Islam tersebut adalah melalui penyadaran umat bagi munculnya kekuatan umat demi tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah.
‘Alâ kulli hâl, marilah kita sambut seruan Allah Swt. yang berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfâl [8]: 24).

Wallâhu a‘alam bi ash-shawâb. []


1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus