(Berbagi Pengalaman Mendidik Ahmad -Edisi 13)
Oleh: Ummu Ahmad
Salah satu pelatihan penting yang pasti kita lakukan pada pengasuhan anak balita adalah toilet training. Bagaimana agar anak kita segera memiliki keterampilan dalam mengendalikan rangsangan berkemih maupun hajat besar mereka, hingga bagaimana agar anak kita trampil melakukan perawatan diri sendiri sehari-hari (mandi, buang air kecil dan buang air besar secara mandiri).
Toilet training ini bagi ibu-ibu jaman dulu malah sudah menjadi sebuah keahlian yang mereka miliki turun temurun. Anak-anak yang mereka asuh biasanya sudah sangat terlatih mengendalikan rangsangan berkemih maupun buang air besar mereka meskipun masih bayi (kurang dari 1 tahun). Hal itu karena mereka (para ibu jaman dulu) tersebut sudah terbiasa langsung memulai toilet training anak-anak mereka sejak lahir (secepat mungkin). Mungkin inilah, diantara hal yang saat ini tidak banyak dilakukan oleh para ibu di jaman ini karena kita sekarang mengenal pampers/diapers. Dengan pampers, kita tidak harus terbangun setiap saat untuk mengganti popok/celana anak kita yang basah. Hanya salah satu kerugian yang sekarang bisa kita lihat, diantaranya adalah para ibu/orang tua saat ini lebih ‘malas’ untuk melakukan toilet training sejak dini. Alhasil, anak-anak mereka pun ‘agak terlambat’ memiliki ketrampilan mengendalikan rangsang berkemih maupun buang air besar mereka.
Bagaimana kita mengawali melakukan toilet training? Yang pertama tentu adalah kita sebagai orang tua harus memiliki komitmen yang kuat, pada perjalanan berikutnya komitmen tersebut akan teruji pada kesabaran, kedisiplinan dan kerelaan untuk berkorban yang mutlak kita butuhkan untuk sukses melakukan toilet training. Untuk memudahkan dan meringankan, alangkah baiknya kita melakukannya dalam bentuk kerja tim. Mungkin dengan suami kita, pembantu kita, atau orang lain yang biasa ada bersama anak-anak kita di rumah. Hanya yang perlu diingat, kitalah leader tim tersebut. Sebagai leader, tentu saja mestinya kitalah orang yang paling bagus memberikan contoh komitmen, kesabaran, kedisiplinan maupun pengorbanan dalam melakukan toilet training. Karena seringkali, justru para pembantu lebih telaten dari ibunya sendiri. Alhasil ketika suatu saat misalnya sang pembantu tidak ada, jadilah pelatihan tersebut harus ‘bubar’ karena sang ibu yang lebih memilih ‘gampangnya’ dari ‘repotnya’ dengan memakaikan pampers pada anaknya.
Inti dari toilet training ini pada anak sehat (yang tidak memiliki gangguan pada sistem syaraf) adalah melakukan pembiasaan untuk dapat menahan kencing dan buang air besar, dan melakukannya di tempat yang benar. Sehingga karena pembiasaan, bisa kita mulai sejak dini. Mulanya kita biasakan anak kita setiap waktu tertentu untuk buang air kecil/buang air besar, bisa dengan mengangkat kaki mereka, menekuk pantat mereka (ketika masih bayi), membasahi/menyiram kaki dan kelamin mereka, sambil kita meminta mereka untuk kencing disertai menirukan suara orang yang sedang BAK/BAB misalnya. Waktu-waktu tepat untuk melakukannya diantaranya adalah saat bangun tidur, akan tidur, beberapa waktu lain secara berkala saat kita perkirakan asupan makan/minum yang masuk sudah cukup banyak untuk butuh dikeluarkan. Yang penting setelah membuat jadwal tetap tersebut, kita harus mengulang apa yang kita lakukan tersebut terus menerus dengan cara yang sama, hingga mereka ‘terbiasa’ dan mengenali bahwa itulah saatnya dan tempatnya mereka boleh melakukan BAK/BAB.
Pada waktu anak sudah mulai bisa duduk, merangkak atau berdiri tetapi belum bisa bicara, maka kita harus mengenali tanda-tanda seorang anak sudah merasakan rangsangan ingin ke ‘belakang’. Biasanya beberapa ekspresi yang mudah kita kenali adalah tiba-tiba diam, tidak mau bergerak padahal sebelumnya aktif, wajah seperti konsentrasi pada sesuatu, bahkan mungkin terlihat agak tegang memerah, memegangi kelaminnya dan beberapa tanda lain yang mana orang tua masing-masinglah yang lebih tahu kebiasaaan masing-masing anak. Adakalanya beberapa tanda tersebut juga luput dari perhatian kita karena kesibukan kita, oleh karenanya untuk memastikan ‘kotoran/air seni’ anak tidak tercecer di mana-mana, hendaknya anak kita pakaikan celana dalam yang memungkinkan menahan jatuhnya kotoran untuk sementara waktu sebelum kita ketahui. Bila perlu bisa kita tambah satu lembar popok kain yang lembut sebagai penyerap air seni bila mereka ngompol, sehingga tidak tercecer basah dimana-mana yang malah bisa membahayakan anak kita karena terpeleset, atau malah dipakai mainan sehingga najis tersebut malah menyebar ke tempat yang lebih luas. Itu tips ketika anak kita dalam keadaan terjaga.
Dalam keadaan tidur panjang, di malam hari misalnya, masa aman adalah ketika anak tertidur pulas. Namun ketika nampak sang anak bergerak, ganti posisi dan semacamnya, ketika kesadaran meningkat dari sebelumnya, maka saat itulah air seni yang sudah tertampung penuh di kandung kemih mereka biasanya -tanpa mereka sadari- mereka keluarkan. Sehingga bila tidak ingin kecolongan, segera angkat anak kita dan bawa ke kamar mandi untuk mengeluarkan air seninya di sana. Itu berlaku bagi anak-anak yang sudah cukup besar namun belum cukup terlatih menahan kencing dalam jangka waktu yang panjang (sekitar 2 tahunan). Bagi anak-anak usia sekitar 3 tahun ke atas yang sudah cukup terlatih di siang hari, lebih mudah lagi. Kita tinggal membiasakan mereka buang air kecil sebelum tidur, mungkin diperlukan satu kali membangunkan tidur mereka untuk diajak ke belakang, dan membiasakan segera ke kamar mandi begitu bangun tidur.
By the way, pampers tetap bisa menjadi alat bantu bagi kita ketika keadaan membutuhkan. Bukan berarti tidak boleh sama sekali menggunakannya. Akan tetapi, filosofi yang menjadikan pampers sebagai ‘alasan’ bagi kita para orang tua malas melakukan toilet training bagi anak-anak kita harus segera dihapuskan dari benak kita.
Antara Dot Dan Pampers
Hal lain yang harus kita bahas ketika kita ingin ‘menyapih’ anak kita dari pampers adalah dot (botol minum susu). Selama anak kita masih minum menggunakan dot, selama itu pula kita akan kesulitan membiasakan anak untuk tidak ngompol meski tanpa pampers. Memang bisa, tapi itu berarti kita harus cukup sering membawanya ke kamar mandi untuk ‘ditatur’ sebelum kecolongan. Adakalanya frekuensi kita harus membawa mereka ke kamar mandi sangatlah sering, sehingga tidak sekedar terasa merepotkan, akan tetapi hal itu kemudian seringkali juga membuat beberapa tugas/aktivitas kita yang lain terganggu.
Kenapa ketika anak minum susu/air dari dot membuat mereka sering berkemih? Yang utama adalah karena biasanya jumlah air/susu yang mereka minum dengan dot jumlahnya lebih banyak ketimbang ketika mereka minum dari gelas. Mengontrol jumlah air/susu yang diminum dengan menggunakan dot biasanya lebih susah dibanding ketika mereka minum dengan gelas (dan berbagai variasinya). Ketika menggunakan dot, anak bahkan masih bisa terus minum ketika mereka dalam keadaan tidur atau setengah tidur, meski pada waktu itu dia sudah tidak haus/membutuhkan. Malah kadang dot bisa dibawa kemana saja anak bergerak sehingga –tanpa disadari anak- mereka sebentar-sebentar minum di tengah-tengah aktivitas mereka, meski sebenarnya tidak membutuhkan.
Sehingga ketika seorang anak sudah mulai disapih dari ASI (ketika sudah berusia 2 tahunan), sebaiknya juga mulai diupayakan untuk disapih dari dot, dan mulai dibiasakan untuk selalu minum dari gelas. Hal ini akan sangat baik bagi anak. Tidak hanya dia lebih mudah mengontrol rangsang berkemihnya, tetapi lebih dari itu anak akan tampil lebih mandiri dan lebih ‘dewasa’. Mereka harus minum dalam keadaaan tidak berbaring. Sehingga kebiasaaan ‘asal ngglundung’ (baca: tiduran sembarangan) ketika minum tidak akan lagi mereka lakukan.
Tentu saja, proses penyapihan yang kita lakukan bertahap sesuai dengan kondisi anak. Hanya saja, sebagai patokan, usia dua tahun adalah waktu yang tepat bagi orang tua untuk memasang target segera membiasakan anak untuk bisa minum dari gelas, dan untuk terlatih mengendalikan rangsang BAK dan BABnya sehingga tidak tergantung pada pampers.
Maka menyapih pampers harus dilakukan seiring dengan menyapih dot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar