(Berbagi Pengalaman Mendidik Ahmad -edisi 3-)
Oleh: Ummu Ahmad
Seorang bayi adalah ibarat kaset kosong yang siap digunakan untuk merekam apa saja. Dia bisa digunakan untuk merekam dan menyimpan cacian, umpatan, makian, kemarahan ataupun hal buruk lainnya. Pun demikian bisa kita gunakan untuk merekam kata-kata indah penuh kelembutan, perkataan-perkataan bijak penuh hikmah, senandung kesyukuran, lantunan kalam suci ilahiy dan hal-hal bermanfaat dan terpuji lainnya. Semua itu tergantung pada kita sebagai pihak yang bertugas memberikan hal-hal yang hendak dia rekam. Kitalah sekolah pertama bagi mereka.
Seorang anak sendiri dalam proses tumbuh dan kembangnya akan melalui beberapa tahapan pendidikan. Hingga usia 5 tahun, paling tidak seorang anak akan melewati tahapan pendidikan pembiasaan, pengenalan hukum, pengenalan disiplin dan membangun pemahaman dasar dengan pendekatan yang bergerak dari yang bersifat konkret ke abstrak, dari aqidah ke pengenalan hukum/syariat, dari hal-hal pokok ke detil/cabang.
Diantara pembiasaan yang kita bisa lakukan sejak dini adalah terbiasa berdoa setiap melakukan apa pun, terbiasa sholat, terbiasa mendengar bacaan al qur’an, terbiasa makan dengan tangan kanan, terbiasa senyum ramah pada orang, terbiasa gosok gigi sebelum tidur, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang menjadi aktivitas keseharian kita. Untuk bisa melakukannya memang mengharuskan kita sebagai ibu harus bisa menjadi teladan pertama dan utama bagi anak. Tidak jarang malah sebelum jadi guru bagi anak kita, kita harus menjadi guru bagi tim yang akan mendidik anak kita, termasuk di dalamnya ayah dan mungkin pembantu kita.
Demikian pula ketika saya memulai pembiasaan sesuatu kepada Ahmad, misal kebiasaan memulai apapun dengan doa, maka saya sampaikan kepada abi Ahmad bahwa sekarang target yang harus kami lakukan adalah begini....untuk itu setiap kali Ahmad sedang bersama abi maka abilah yang harus bisa menjadi guru bagi Ahmad. Sehingga tentu saja abi juga harus tahu dan mengamalkan apa saja doa aktivitas keseharian. Tidak jarang saya mendapati ternyata tidak semua doa aktivitas keseharian dihapal dan terbiasa dilakukan oleh suami saya, sehingga saya harus terlebih dahulu mengajari beliau sambil membantu mengingatkan agar istiqomah dilaksanakan. Khan kita mau menjadikan Ahmad seperti itu. Akhirnya, jadilah proses pembiasaan bagi Ahmad untuk berdoa ketika keluar rumah, naik kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, pakai baju, makan, tidur dan bangunnya, mendengar petir atau kilat dan lainnya sekaligus menjadi proses pembiasaan pula bagi abinya, dan tentu saja bagi saya sendiri.
Yang perlu diingat oleh kita selaku orang tua pada waktu melakukan proses pembiasaan ini adalah keistiqomahan atau keberlangsungan. Jangan kadang dilakukan, tapi kadang tidak. Hal itu akan mempersulit kita meraih keberhasilan. Kalau kita istiqomah, rasa sulit atau berat hanya akan kita rasakan di awal-awal kita memulai kebiasaan baru tersebut saja, berikutnya akan mengalir dengan jauh lebih mudah. Terkadang, diantara alasan mengapa kita para orang tua kurang bisa istiqomah melakukan pembiasaan tersebut adalah rasa malas, merasa tidak ada manfaatnya karena saat itu anak kita belum bisa bicara, merasa masih cukup memiliki waktu untuk melakukannya di lain waktu, menunggu anak kita lebih besar dan pintar dulu dan beberapa alasan lain yang mungkin lebih karena ketidaktahuan kita akan potensi daya rekam sang anak pada usia dini tersebut. Maka lihatlah, ketika kita istiqomah membaca doa memakai baju setiap memakaikan anak kita baju, membaca doa sebelum tidur ketika menemaninya tidur dan lain sebagainya, kita akan takjub ketika suatu saat anak kita bisa bicara, meluncurlah dari mulut mungilnya segala bacaan, doa atau perkataan yang dulu pernah dia dengar. Begitu bisa bicara, mungkin anak kita langsung bisa menghafal surat al Ikhlas yang sering kita perdengarkan untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar