(Berbagi Pengalaman Mendidik Ahmad - edisi 1)
Oleh: Ummu Ahmad
Imam Syafi’i mengatakan, kewajiban pertama seorang hamba adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), Tuhan yang telah menciptakannya. Begitu pula, hal mendasar yang berusaha kami bangun pada diri Ahmad sebagai pondasi bangunan kepribadiannya adalah keyakinannya kepada keberadaan Allah berikut sifat-sifat-Nya agar terbentuk kesadaran akan hubungannya dengan Allah, dan apa konsekuensinya. Tentu dengan tahapan pendidikan yang sesuai dengan usianya.
Menunjukkan dan membuktikan bahwa Allah ada, beserta sifat-sifat yang melekat pada-Nya kepada seorang anak balita bisa dilakukan melalui wasilah dan metode apa saja. Pada prinsipnya, mengenalkan Allah pada anak adalah membuat mereka percaya dan meyakini bahwa Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Allah adalah sumber dari keberadaan ’apa saja’ yang mereka lihat, mereka rasakan, mereka kenal dan apa saja yang bisa mereka ketahui. Allah memiliki ’kehebatan’ dan kekuatan yang tidak dimiliki oleh makhluk manapun, dan sebaliknya Dia tidak memiliki sifat-sifat lemah apapun sebagaimana yang bisa dijumpai anak pada makhluk ciptaan Allah.
Proses menjelaskan Allah beserta sifat-sifat-Nya kepada seorang anak yang masih berada pada tahapan ’pra kritis’ ini selalu bergerak dari hal yang konkret menuju abstrak, dari pengenalan/pemberian informasi menuju terbentuknya keyakinan, dari pemahaman yang dimengerti menuju pengamalan sebagai implikasi.
Kami sendiri melakukan upaya tersebut secara alami saja melalui peristiwa sehari-hari yang ditemui atau dialami Ahmad. Pemberian informasi bisa kita berikan melalui cerita, pemberitahuan, nyanyian ataupun cara lainnya.
Ketika anak kami -Ahmad- sakit, sembari memberi Ahmad obat kami sampaikan, ”Dikasih Umi Betadine ya, nanti disembuhkan Allah”. Ketika di sekolah kami tinggal sendiri, sambil pamit kami sampaikan ”Ahmad dijaga Allah ya”. Ketika dia meminta kami membelikan sesuatu, kami jawab dengan mengatakan ”Insya Allah kalau nanti ada rezeki dari Allah, abi/umi belikan ya...” dan seterusnya. Hingga membuat Ahmad terbiasa mengetahui bahwa Sang Penyembuh adalah Allah, Sang Penjaga adalah Allah, Sang Pemberi Rezeki adalah Allah, dan seterusnya. Kelak dia pun terbiasa menjadikan informasi tersebut dalam amal kesehariannya. Ketika merasa demamnya mulai turun setelah minum obat, dia mengatakan ”Umi Ahmad sebentar lagi mau sembuh, disembuhkan Allah”. Ketika mempersilahkan kami pergi (sebentar) tanpa dia ikut, dia bilang ”Ahmad tunggu di rumah saja, ga papa, Ahmad dijaga Allah”. Atau ketika dia bercerita dengan temannya tentang mainan yang ingin dia beli, dia mengatakan ”Besok-besok kalau ada rezeki dari Allah aku mau beli yang kayak gini...” Ini adalah contoh pembiasaan amal yang bisa digunakan untuk memberikan informasi sekaligus aplikasi amalnya.
Di lain kesempatan untuk menggambarkan kehebatan Allah, saya bercerita tentang kisah dikalahkannya pasukan Gajah oleh Allah pada surat Al Fiil, bagaimana Allah bisa membelah lautan pada kisah nabi Nuh AS, bagaimana api bisa dibuat Allah menjadi dingin pada kisah nabi Ibrahim dan sejenisnya. Biasanya Ahmad akan bertanya untuk membandingkan kehebatan Allah tersebut dengan tokoh-tokoh ’hebat’ lain yang ada di benaknya. Inilah contoh proses pembuktian yang dilakukan oleh anak kecil. Misalnya dia bertanya: ”kalau Allah sama Ultraman menang siapa Mi?Kalau sama Cosmos?”. ”Kalau Allah ditembak, bisa mati ga?” Ketika menemukan jawaban tidak mati, tidak kalah dan sejenisnya, maka Ahmad akan terus mengejar dengan memberikan ’tantangan’ yang menurutnya lebih hebat: ”Kalau dibom..? ....ditembak roket.? ...dibuldozer?” dan seterusnya hingga dia teryakinkan (dengan proses pembuktiannya yang ’sangat konkret’ tersebut) bahwa Allah itu Hebat.
Untuk menunjukkan bahwa abi dan umi (yang mungkin dianggapnya ’super’, sebagaimana anak lain menganggap orang tuanyalah yang hebat) adalah makhluk yang penuh keterbatasan, saya mengikuti penjelasan akan kelemahan kami sebagai makhluk dengan penjelasan akan kehebatan Allah. Atau sebaliknya. Ketika menerangkan kehebatan Allah, langsung saya ikuti dengan menunjukkan kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya ketika saya bertanya kepada Ahmad: ”Tadi di sekolah bagaimana Nak? Pinter? Ngajinya keras?” Biasanya anak seusianya akan menjawab dengan bertanya dulu: ”Tadi Abi Umi dengar ya?”Kami pun menjawab ”Tidak Nak, Abi sama Umi ga bisa dengar, karena jauh. Kalau dekat, abi sama Umi bisa dengar. Tapi Allah bisa dengar. Semua Allah bisa dengar...”
Demikianlah, kita hanya tinggal menginspirasi mereka berfikir tentang Allah, berikutnya proses berfikir mereka itulah yang akan mengalirkan proses pengenalan mereka kepada Allah, sejalan dengan taraf berfikir yang mereka miliki. Kita tinggal memastikan setiap kali mereka membutuhkan informasi yang benar untuk ’berbagai’ pertanyaan yang muncul di benak mereka, kita siap dan bisa memberikannya dengan bahasa dan cara yang bisa memuaskan mereka (baca: mereka pahami).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar