Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Minggu, 05 April 2009

JILBAB DAN KHIMAR: BUSANA MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

JILBAB DAN KHIMAR: BUSANA MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Ditulis oleh Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007

Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.

Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].
2. Aurat Dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam al-Qur’an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [M. Shiddiq al-Jawi]
Daftar Bacaan
1. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).
2. ———-. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
3. Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).
4. Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
5. Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
6. Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
8. Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
9. Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).
10. Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan).
11. ———- et. al. 2002. 5 Risalah Hijab Kumpulan Fatwa-Fatwa Tentang Pakaian, Hijab, Cadar, Ikhtilath, Berjabat Tangan, dan Khalwat (Majmu’ Rasail fi Al Hijab wa As-Sufur). Alih Bahasa Muzaidi Hasbullah. Cetakan ke-1. (Solo : Pustaka Arafah).
12. Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Cetakan ke-1. (Jakarta : Bina Mitra Press


3 komentar:

  1. MUKTAMAR VIII NAHDLATUL ULAMA
    Keputusan Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933
    Tentang
    HUKUM KELUARNYA WANITA DENGAN
    TERBUKA WAJAH DAN KEDUA TANGANNYA

    Pertanyaan :
    Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau Makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi Dharurat, ataukah tidak? (Surabaya)

    Jawaban :
    Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang Mu’tamad ( yang kuat dan dipegangi - penj ).
    Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, APABILA TIDAK ADA FITNAH.



    Keterangan :

    (a) Kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idlah (yang membolehkan):

    (وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إلاَّ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا). بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِيْ اْلأَصَحِّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ. وَ ذِرَاعُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ فِيْ ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ وَهِيَ اْلأَصَحُّ. وَعَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ (وَ) إِلاَّ (قَدَمَيْهَا) فِيْ أَصَحِّ الرِّوَايَتَيْنِ بَاطِنِهِمَا وَظَاهِرِهِمَا الْعُمُوْمِ لِضَرُوْرَةِ لَيْسَا مِنَ الْعَوْرَةِ فَشَعْرُ الْحُرَّةِ حَتىَّ الْمُسْتَرْسَلِ عَوْرَةٌ فِيْ اْلأَصَحِّ وَعَلَيْهِ الْفَتَوَي

    Seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam maupun luarnya, menurut pendapat yang tersahih dan dipilih. Demikian pula lengannya termasuk aurat. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang tidak menganggap lengan tersebut sebagai aurat. Menurut salah satu riwayat yang sahih, kedua telapak kaki wanita itu tidak termasuk aurat baik bagian dalam maupun bagian luarnya. Sedangkan rambutnya sampai bagian yang menjurai sekalipun, termasuk aurat, demikian fatwa atasnya.

    (b) Kitab Bajuri Hasyiah Fatchul-Qarib Jilid. II Bab Nikah (yang mengharamkan) :

    (قَوْلُهُ إِلىَ أَجْنَـبِّيَةِ) أَي إِلىَ شَيْءٍ مِنْ اِمْرَأَةٍ أَجْنَـبِّيَّةٍ أَي غَيْرِ مَحْرَمَةٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفٍ فِتْنَةٍ عَلىَ الصَّحِيْحِ كَمَا فِيْ الْمِنْحَاجِ وَغَيْرِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا" وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ. وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الْـثَانِيْ لاَسِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ كَثُرَ فِيْهِ خُوْرُجُ النِّسَاءِ فِيْ الطُّرُقِ وَاْلأَسْوَاقِ وَشَمِلَ ذَلِكَ أَيْضًا شَعْرَهَا وَظَفْرَهَا.

    (PENDAPAT PERTAMA) (Perkataannya atas yang bukan mahram / asing) yakni, pada segala sesuatu pada diri wanita yang bukan mahramnya walaupun budak termasuk wajah dan kedua telapak tangannya, maka haram melihat semua itu walaupun tidak disertai syahwat ataupun kekhawatiran timbulnya adanya fitnah sesuai pendapat yang sahih sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Minhaj dan lainnya. PENDAPAT LAIN (KEDUA) menyatakan atau dikatakan (qila) tidak haram sesuai dengan firman Allah “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya” (QS.An-Nuur : 31).
    PENDAPAT PERTAMA (yang mengharamkan) lebih sahih, dan tidak perlu mengikuti pendapat kedua (yang tidak mengharamkan) terutama pada masa kita sekarang ini di mana banyak wanita keluar di jalan-jalan dan pasar-pasar. Keharaman ini juga mencakup rambut dan kuku.

    Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), h.123-124, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007

    [Penjelasan untuk bagian "PENDAPAT LAIN" : Istilah “qila” ( = dikatakan) dinyatakan dengan bentuk kalimat pasif biasa digunakan oleh para ulama ahli hadits untuk menunjukkan bahwa riwayat dan pendapat itu lemah.]

    BalasHapus
  2. بسم الله الرحمن الرحيم
    CADAR DI DALAM KITAB-KITAB PESANTREN INDONESIA
    Oleh : Ummu Ashhama Zeedan (Mrs. Novita Kartikasari, SS, MPd.)

    ا لحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين و بعد،


    Masih banyak orang Islam di Indonesia yang memandang cadar sebagai barang aneh dan cenderung menilainya secara negatif. Wanita muslimah yang mengenakannya sering dituduh secara ekstrim sebagai pengikut aliran sesat atau aliran sempalan yang eksklusif. Padahal terminologi cadar sudah dikenal oleh kalangan santri di pondok-pondok pesantren kita yang menunjukkan bahwa cadar bukanlah barang baru, asing, apalagi dikatakan sebagai bukan ajaran Islam. Hanya saja banyak dari mereka yang membaca, namun tidak mau menyampaikan (menjelaskan) hal ini kepada umat. Atau juga banyak dari mereka yang membaca namun tidak mau mengamalkannya.
    Memang ulama berbeda pendapat tentang hukum cadar ini, dari yang mewajibkan hingga yang mengatakan mandub (dianjurkan) bila wajah perempuan itu dapat menimbulkan fitnah syahwat. Namun tidak ada satupun yang mengatakan bahwa pemakai cadar adalah aliran sesat atau sempalan. Berikut ini adalah terminologi cadar di dalam sebagian kitab-kitab yang dikenal dan digunakan oleh kalangan muslimin Indonesia, yaitu:

    1. Kitab Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya , dikeluarkan oleh Tim Tashhih Departemen Agama RI.
    Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab , يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . ..),
    yaitu: Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

    2. Kitab Tafsir ath-Thabari ditulis oleh Al-Imam Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari رحمه الله . Kitab tafsir ini adalah kitab referensi yang sangat dikenal di dunia Islam. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا
    (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.), yaitu :
    يَقُول تَعَالَى ذِكْره : وَلاَ يُظْهِرْنَ لِلنَّاسِ الَّذِينَ لَيْسُوا لَهُنَّ بِمَحْرَمٍ زِينَتهنَّ , وَهُمَا زِينَتَانِ : إِحْدَاهُمَا : مَا خَفِيَ , وَذَلِكَ كَالْخَلْخَالِ وَالسِّوَارَيْنِ وَالْقُرْطَيْنِ وَالْقَلَائِد . وَالاُخْرَى : مَا ظَهَرَ مِنْهَا , وَذَلِكَ مُخْتَلَف فِي الْمَعْنَى مِنْهُ بِهَذِهِ الايَة , فَكَانَ بَعْضهمْ يَقُول : زِينَة الثِّيَاب الظَّاهِرَة .
    … عَنِ ابْن مَسْعُود , قَالَ : الزِّينَة زِينَتَانِ : فَالظَّاهِرَة مِنْهَا الثِّيَاب , وَمَا خَفِيَ : الْخَلْخَالَانِ وَالْقُرْطَانِ وَالسِّوَارَانِ …عَنْ أَبِي إِسْحَاق , عَنْ أَبِي الأَحْوَص , عَنْ عَبْد اللَّه : { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } قَالَ : الثِّيَاب . قَالَ أَبُو إِسْحَاق : أَلاَّ تَرَى أَنَّهُ قَالَ : { خُذُوا زِينَتكُمْ عِنْد كُلّ مَسْجِد } ؟ .

    Allah  berfirman: Janganlah menampakkan perhiasan mereka kepada manusia selain mahramnya. Perhiasan itu ada dua: yang disembunyikan, yaitu seperti: gelang kaki, dua gelang tangan, dua anting-anting dan kalung. Dan yang kedua adalah yang biasa tampak –ada perbedaan pendapat tentang makna ayat dalam hal ini, dan sebagiannya mengatakan yaitu : pakaian luar.
    Dari Ibnu Ibnu Mas’ud  berkata:”Perhiasan ada dua macam: yang biasa tampak yaitu pakaian luar. Dan perhiasan yang disembunyikan yaitu: gelang kaki, dua anting-anting dan dua gelang tangan.”
    Dari Abu Ishaq dari Abu al-Ahwash dari Abdullah  berkata,” { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا } yaitu : pakaian.”
    Berkata Abu Ishaq,”Apakah engkau tidak melihat firman Allah : { خُذُوا زِينَتكُمْ عِنْد كُلّ مَسْجِد } “Pakailah perhiasanmu (pakaianmu) yang indah setiap memasuki masjid ?” (QS. Al-A’raf : 31)


    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . . .) , yaitu :
    يَقُول تَعَالَى ذِكْره لِنَبِيِّهِ مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَيّهَا النَّبِيّ قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ , لاَ يَتَشَبَّهْنَ بِاْلإِمَاءِ فِي لِبَاسهنَّ إِذَا هُنَّ خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ لِحَاجَتِهِنَّ , فَكَشَفْنَ شُعُورَهُنَّ وَوُجُوهَهُنَّ , وَلَكِنْ لِيُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبهنَّ , لِئَلاَّ يَعْرِض لَهُنَّ فَاسِق , إِذَا عَلِمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِر بِأَذًى مِنْ قَوْل , ثُمَّ اخْتَلَفَ أَهْل التَّأْوِيل فِي صِفَة الإدْنَاء الَّذِي أَمَرَهُنَّ اللَّه بِهِ , فَقَالَ بَعْضهمْ : هُوَ أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوهَهُنَّ وَرُءُوسَهُنَّ , فَلاَ يُبْدِينَ مِنْهُنَّ إِلاَّ عَيْنًا وَاحِدَة .

    Allah  berfirman kepada Nabinya Muhammad  : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu dan wanita mukminah, janganlah menyerupai budak-budak di dalam berpakaian yang jika keluar rumah untuk suatu keperluan, mereka menampakkan rambut dan wajah-wajah mereka. Akan tetapi hendaklah mengulurkan jilbab-jilbab mereka, sehingga orang-orang fasiq dapat mengenali mereka sebagai wanita merdeka dan terhindar dari gangguan dalam satu pendapat. Ahli ta’wil berbeda pendapat di dalam cara mengulurkan jilbab yang diperintahkan Allah. Maka sebagiannya mengatakan : yaitu menutupi wajah-wajah dan kepala-kepala mereka dan tidaklah menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.”

    عَنْ عَلِيّ , عَنِ ابْن عَبَّاس , قَوْله : { يَا أَيّهَا النَّبِيّ قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ } أَمَرَ اللَّه نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ فِي حَاجَة أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوهَهُنَّ مِنْ فَوْق رُءُوسهنَّ بِالْجَلاَبِيبِ , وَيُبْدِينَ عَيْنًا وَاحِدَة .
    Dari Ali dari Ibnu ‘Abbas  berkata, “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka dalam suatu keperluan untuk menutup wajah-wajah mereka (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan hanya satu mata saja.”

    عَنِ ابْن سِيرِينَ , قَالَ : سَأَلْت عُبَيْدَة , عَنْ قَوْله : { قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ } قَالَ : فَقَالَ بِثَوْبِهِ , فَغَطَّى رَأْسَهُ وَوَجْهَهُ , وَأَبْرَزَ ثَوْبَهُ عَنْ إِحْدَى عَيْنَيْهِ . وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ أُمِرْنَ أَنْ يَشْدُدْنَ جَلاَبِيبهنَّ عَلَى جِبَاههنَّ .
    Dari Ibnu Sirrin berkata,“Aku bertanya kepada Ubaidah tentang firman Allah  : { قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ}, maka iapun (mencontohkan) dengan pakaiannya, kemudian menutup kepala dan wajahnya serta hanya menampakkan salah satu matanya.”
    Dan berkata yang selainnya,”Bahkan diperintahkan kepada mereka agar mengikatkan (mengencangkan) jilbab- jilbabnya itu di dahi-dahi mereka.”


    3. Kitab Tafsir Ibnu Katsir ditulis oleh Al-Imam Imaduddin Abu al-Fida bin Umar bin Katsir ad-Dimasyiqi al-Qurasyi as-Syafi’i رحمه الله . Kitab tafsir ini adalah referensi yang sangat terkenal di seluruh dunia dan di pondok-pondok pesantren Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.) :

    أَيْ لاَ يُظْهِرْنَ شَيْئًا مِنْ الزِّينَة لِلأَجَانِبِ إِلاَّ مَا لاَ يُمْكِن إِخْفَاؤُهُ. قَالَ اِبْن مَسْعُود : كَالرِّدَاءِ وَالثِّيَاب يَعْنِي عَلَى مَا كَانَ يَتَعَاطَاهُ نِسَاء الْعَرَب مِنْ الْمِقْنَعَة الَّتِي تُجَلِّل ثِيَابهَا وَمَا يَبْدُو مِنْ أَسَافِل الثِّيَاب ,فَلاَ حَرَج عَلَيْهَا فِيهِ ِلأَنَّ هَذَا لاَ يُمْكِنهَا إِخْفَاؤُهُ وَنَظِيره فِي زِيّ النِّسَاء مَا يَظْهَر مِنْ إِزَارهَا وَمَا لاَ يُمْكِن إِخْفَاؤُهُ . . . عَنْ اِبْن عَبَّاس : " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتهنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا " قَالَ : وَجْههَا وَكَفَّيْهَا وَالْخَاتَم ... وَيُحْتَمَل أَنَّ اِبْن عَبَّاس وَمَنْ تَابَعَهُ أَرَادُوا تَفْسِير مَا ظَهَرَ مِنْهَا بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُور عِنْد الْجُمْهُور وَيُسْتَأْنَس لَهُ بِالْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ أَبُو دَاوُد فِي سُنَنه... عَنْ عَائِشَة رَضِىَ اللَّه عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاء بِنْت أَبِي بَكْر دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَاب رِقَاق فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَقَالَ : " يَا أَسْمَاء إِنَّ الْمَرْأَة إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيض لَمْ يَصْلُح أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى وَجْهه وَكَفَّيْهِ لَكِنْ قَالَ أَبُو دَاوُد وَأَبُو حَاتِم الرَّازِيّ هُوَ مُرْسَل .خَالِد بْن دُرَيْك لَمْ يَسْمَع مِنْ عَائِشَة رَضِىَ اللَّه عَنْهَا وَاَللَّه أَعْلَم .

    Yaitu, tidak menampakkan sesuatu apapun dari perhiasannya kepada laki-laki asing (bukan mahram) kecuali apa-apa yang tidak mungkin lagi disembunyikan. Berkata Ibnu Mas’ud , ”yaitu seperti rida’ dan pakaian, yakni seperti yang dipakai di kalangan wanita Arab berupa mukena’ - yang menyelubungi pakaiannya dan menutupi apa yang terlihat di bagian bawahnya - , maka tidak mengapa hal tersebut (mukena’) terlihat karena memang tidaklah mungkin disembunyikan lagi sebagaimana kain sarung . . .”
    …Dari Ibnu Abbas  berkata,”kecuali wajah, kedua telapak tangan dan cincin.” …Dan kemungkinan bahwa Ibnu Abbas dan mereka yang mengikutinya menghendaki penafsiran “apa yang biasa tampak” sebagai wajah dan kedua telapak tangan – pendapat ini masyhur di banyak kalangan - dan didengar pula dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya…dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk menemui Nabi  dengan pakaian yang tipis. Maka Nabi  berpaling darinya dan bersabda,” Wahai Asma’ , sesungguhnya seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini.” Dan beliau mengisyaratkan wajah dan telapak tangannya.”
    Namun justru Abu Dawud -periwayat hadits ini - dan Abu Hatim ar-Razi berkata bahwa hadits ini mursal. Hal ini karena Kholid bin Duraik tidak pernah mendengar dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا. Wallahu ‘alam.


    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…) , yaitu :

    وَالْجِلْبَاب هُوَ الرِّدَاء فَوْق الْخِمَار قَالَهُ اِبْن مَسْعُود وَعَبِيدَة وَقَتَادَة وَالْحَسَن الْبَصْرِيّ وَسَعِيد بْن جُبَيْر وَإِبْرَاهِيم النَّخَعِيّ وَعَطَاء الْخُرَاسَانِيّ وَغَيْر وَاحِد وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ اْلإِزَار الْيَوْم... قَالَ عَلِيّ بْن أَبِي طَلْحَة عَنْ اِبْن عَبَّاس أَمَرَ اللَّه نِسَاء الْمُومِنِينَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ فِي حَاجَة أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوههنَّ مِنْ فَوْق رُءُوسهنَّ بِالْجَلاَبِيبِ وَيُبْدِينَ عَيْنًا وَاحِدَة .وَقَالَ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ سَأَلْت عُبَيْدَة السَّلْمَانِيّ عَنْ قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ " يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ" فَغَطَّى وَجْهه وَرَأْسه وَأَبْرَزَ عَيْنه الْيُسْرَى. وَقَالَ عِكْرِمَة تُغَطِّي ثُغْرَة نَحْرهَا بِجِلْبَابِهَا تُدْنِيه عَلَيْهَا....عَنْ أُمّ سَلَمَة قَالَتْ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَة " يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ" خَرَجَ نِسَاء الْأَنْصَار كَأَنَّ عَلَى رُءُوسهنَّ الْغِرْبَان مِنْ السَّكِينَة وَعَلَيْهِنَّ أَكْسِيَة سُود يَلْبَسْنَهَا.

    Jilbab ialah rida’ yang dikenakan di atas khimar (kerudung), demikian perkataan Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sai’d ibn Jubair, Ibrahim an-Nakha’i dan Atha’ al-Khurasani. Dan ada selainnya mengatakan jilbab itu kedudukannya sama seperti kain sarung di masa kini.
    Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas  : “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka dalam suatu keperluan untuk menutup wajah-wajah mereka (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan hanya satu mata saja.”.
    Berkata Muhammad Ibnu Sirrin: “Aku bertanya kepada Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah  : يُدْنِيــنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنّ , maka iapun (mencontohkan dengan ) menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan mata kirinya.”
    Dan berkata Ikrimah,” menutupkan celah lehernya dengan jilbabnya yang terulur di atasnya.” …Dari Ummu Salamah berkata,”Ketika turun ayat ini يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ , keluarlah wanita-wanita Anshar seolah-olah kepala mereka ada burung gagak karena hitamnya pakaian yang mereka kenakan.”


     Di dalam Tafsir at-Thobari dan Tafsir Ibnu Katsir terlihat ada perbedaan antara Ibnu Mas’ud  dan Ibnu Abbas  ketika menafsirkan An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...). Ibnu Mas’ud  menyatakan bahwa yang ditampakkan hanyalah pakaiannya saja sedangkan Ibnu Abbas  mengecualikan wajah dan telapak tangan sebagai bagian yang tidak ditutup.
    Namun ketika menafsirkan Al-Ahzaab ayat 59 tentang makna jilbab, Ibnu Abbas  tidak mengecualikan wajah dan telapak tangan! Beliau  bahkan hanya mengecualikan satu mata saja yang boleh ditampakkan!
    Maka dengan demikian kedua sahabat Nabi  -yang keduanya didoakan Nabi  sebagai ahli tafsir al-Qur’an - sama-sama sependapat bahwa wajah perempuan itu termasuk yang ditutup kecuali mata saja!

    4. Kitab Tafsir Jalalain ditulis oleh Syaikh Jalaluddin ibn Muhammad Al-Mahalli رحمه الله dan Syaikh Jalaluddin ibn Abi Bakrin as-Suyuthi رحمه الله. Kitab tafsir ini digunakan di hampir seluruh dunia dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (... perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.) :
    و هو الوجه و الكفان فيجوز نظره لأجنبي ان لم يخف فتنة في أحد وجهين و الثني يحرم لأنه مظنة الفتنة و رجح حسما للباب

    “wajah dan kedua telapak tangan, maka dibolehkan terlihat lelaki asing jika tidak takut terjadi fitnah; pada satu pendapat. Pada pendapat kedua diharamkan terlihat (wajah dan kedua telapak tangan) karena dapat mengundang fitnah dan (pendapat ini) kuat untuk memutus pintu fitnah tersebut.”

    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنـِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبـهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…), yaitu :

    جمع جلباب و هي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعصها على الوجوه اذا خرجن لحاجتهن الا عينا واحدة

    “Bentuk jamak dari jilbab, yaitu pakaian besar yang menyelubungi perempuan, yaitu menurunkan sebagiannya ke atas wajah-wajah mereka ketika keluar untuk suatu keperluan hingga tidak menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.”

    5. Kitab Tafsir Aisar at-Tafasir ditulis oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi رحمه الله, semasa hidup adalah Imam Besar Masjid Nabawi Madinah, seorang ulama yang dikenal oleh kaum muslimin Indonesia khususnya bagi jamaah haji yang berkunjung ke Madinah dan penulis kitab Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Seorang Muslim) yang banyak dibaca kaum muslimin di Indonesia. Pembahasan cadar di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...), yaitu :
    “Apa saja yang tidak mungkin ditutup lagi atau disembunyikan lagi seperti kedua telapak tangan ketika menerima atau memberi sesuatu atau kedua mata untuk melihat. Dan apabila di tangannya terdapat cincin dan pacar (pemerah kuku) dan pada kedua matanya terdapat celak dan pakaian yang memang sudah tampak dari kerudung-kerudung di atas kepala dan pakaian ‘abaya yang menutupi seluruh tubuh, maka hal demikian adalah dimaafkan karena memang tidak bisa ditutup lagi”.

    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِيـنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…) , yaitu :
    “menurunkan jilbab-jilbab mereka ke atas wajah-wajah mereka sehingga tidak terlihat lagi dari seorang perempuan kecuali satu mata untuk melihat jalan jika ia keluar untuk suatu keperluan.”

    6. Kitab Fiqh Al-Umm ditulis oleh al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i رحمه الله , ulama besar di dalam fiqh yang menjadi panutan para ulama lainnya. Cadar di antaranya disinggung di dalam:


    a. Al-Umm Kitab Thoharoh Bab Mengusap Kepala :

    ‏[‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَإِذَا أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ ‏(‏فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مُعْتَمًّا فَحَسَرَ الْعِمَامَةَ‏)‏ فَقَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الرَّأْسِ دُونَهَا وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ مَعَ الرَّأْسِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ دُونَ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ لَوْ مَسَحَ عَلَى بُرْقُعٍ أَوْ قُفَّازَيْنِ دُونَ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ

    “(Berkata asy-Syafi’i :) ”Dan ketika Allah membolehkan mengusap kepala saja (adalah Rasulullah  benar-benar melepas sorbannya) maka hal ini sudah cukup tegas menunjukkan bahwa mengusap kepala itu dilakukan tanpa mengusap sorban. Dan aku menyukai bila seseorang itu mengusap sorbannya beserta kepalanya. Dan jika meninggalkan hal itu maka tidak mengapa. Namun jika ia mengusap sorban saja tanpa kepalanya maka tidaklah sah wudhu’nya. Ini seperti hanya mengusap burqa (cadar) saja, atau kedua sarung tangan saja tanpa mengenai wajahnya dan kedua hastanya maka tidak sah wudhu’nya.”

    Adanya perkataan al-Imam asy-Syafi’i رحمه الله tentang burqa (cadar) dan sarung tangan sudah cukup untuk menunjukkan bahwa menutup muka dan sarung tangan telah menjadi kebiasaan wanita muslimah pada masa itu.



    b. Al-Umm Kitab Haji Bab Pakaian Apa yang Dipakai Seorang Perempuan :


    وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا فِي وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ فِي رَأْسِهِ فَيَكُونُ لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلاَ يَكُونُ ذَلِكَ لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كَانَتْ بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ مِنْ النَّاسِ أَنْ تُرْخِيَ جِلْبَابَهَا أَوْ بَعْضَ خِمَارِهَا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ ثِيَابِهَا مِنْ فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عَنْ وَجْهِهَا حَتَّى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ عَلَى وَجْهِهَا وَلاَ يَكُونُ لَهَا أَنْ تَنْتَقِبَ

    “Perbedaan antara perempuan dengan laki-laki di dalam ihram adalah perempuan pada wajahnya dan laki-laki pada kepalanya. Laki-laki-laki boleh menutup wajahnya setiap saat tanpa ada hal darurat, akan tetapi hal ini terlarang bagi perempuan”.
    “Adapun seorang perempuan (dalam ihram) bila wajahnya dalam keadaan terbuka dan ia ingin menutupinya dari manusia; maka hendaknya ia menurunkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau kain lainnya dari pakaiannya dari atas kepalanya ke depan wajahnya (tidak menempel) sehingga MENUTUPI WAJAHNYA seperti penutup pada wajah namun tidak seperti niqob (yang menempel pada wajah). ”

    Kita tahu bahwa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Larangan ini juga mengindikasikan bahwa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi  .
    Namun demikian, anehnya Imam asy-Syafi’i رحمه الله tetap membolehkan wanita menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki bila dikhawatirkan terfitnah syahwat dengan cara wanita itu menutupi wajahnya dengan jilbabnya, kerudungnya atau kain dari pakaiannya di depan mukanya (tidak ditempelkan ke wajahnya).
    Larangan yang keras tidak dapat digugurkan dan dilanggar kecuali dengan perbuatan penentang yang kekuatan hukumnya sepadan dengan larangan itu. Sedangkan perkara yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan perkara yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram).

    7. Kitab Fiqh Kifayatul Akhyar ditulis oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hisni ad-Dimsyaqi asy-Syafi’i رحمه الله , seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i . Kitab fiqh Kifayatul Akhyar ini digunakan di hampir seluruh dunia, di pelosok daerah dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar senantiasa menghiasi kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya :

    a. Pada Kitab Shalat Bab Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya , yaitu :
    (وستر العورة بلباس طاهر، والوقوف على مكان طاهر). أما طهارة اللباس والمكان عن النجاسة فقد مر، وأما ستر العورة فواجب مطلقاً حتى في الخلوة والظلمة على الراجح. . . . والمرأة متنقبة إلا أن تكون في مسجد، وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب وهذا كثير في مواضع الزيارة كبيت المقدس، زاده الله تعالى شرفاً فليجتنب ذلك.
    “{Dan menutup aurat dengan pakaian yang suci, dan berdiri di tempat yang suci}. – Adapun perkara pakaian dan tempat harus suci dari najis, telah diterangkan sebelumnya. Adapun menutup aurat hukumnya wajib secara mutlak bahkan di tempat sepi sekalipun, menurut pendapat yang kuat. . . .
    Bagi wanita hukumnya WAJIB dia mengenakan penutup muka (cadar), kecuali jika berada di dalam masjid. Jika di masjid itu banyak laki-laki yang tidak mau menjaga matanya dari melihat wanita dan dikhawatirkan dapat menarik kepada kerusakan maka wanita itu HARAM membuka wajahnya.
    Dalam hal ini banyak sekali wanita yang membuka penutup wajahnya terutama di tempat-tempat ziarah seperti di Baitul Maqdis,-semoga Allah menambah kemuliaannya-, maka perbuatan semacam itu (membuka wajah) harus dijauhi.”

    b. Pada Kitab Haji Bab Hal yang Haram di Dalam Berihram, yaitu :
    ويحرم على المحرم عشرة أشياء: لبس المخيط وتغطية الرأس من الرجل والوجه من المرأة) . . . هذا كله في الرجل. وأما المرأة فالوجه في حقها كرأس الرجل وتستر جميع رأسها وبدنها بالمخيط ولها أن تستر وجهها بثوب أو خرقة بشرط ألا يمس وجهها سواء كان لحاجة أو لغير حاجة من حر أو برد أو خوف فتنة، ونحو ذلك

    …“Dan diharamkan atas orang yang berihram melakukan 10 perkara, yaitu (1) memakai pakaian yang berjahit, (2) menutup kepala bagi laki-laki dan (3) menutup muka bagi wanita.”
    “… dan itu semua bagi laki-laki, adapun wanita, maka hukum wajahnya sama dengan hukum kepala bagi laki-laki. Wanita boleh menutupi seluruh badannya dan kepalanya dengan pakaian yang berjahit. Dan juga bagi wanita agar menutupi wajahnya dengan kain atau sobekan kain, dengan syarat kain tersebut tidak menyentuh mukanya. Baik menutupi wajahnya itu karena suatu hajat, seperti kepanasan, kedinginan, atau karena takut terjadi fitnah (syahwat) dan lain-lain ataupun juga tanpa sebab hajat apapun.”

    Kita tahu bahwa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya. Larangan ini mengindikasikan bahwa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi . Namun demikian para ulama tetap membolehkan wanita menutup wajahnya sebagaimana tertulis di dalam kitab Kifayatul Akhyar ini. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا yang tertulis di dalam Musnad Ahmad 6/22894 dan Sunan Abu Dawud Kitab Manasik Bab Wanita Ihram Menutup Wajahnya , berikut ini :

    كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
    “Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah . Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya kepada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.”

    8. Kitab Fiqh Fathul Qarib ditulis oleh al-Imam al-Alaamah as-Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i رحمه الله, seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i . Kitab fiqh Fathul Qarib adalah kitab fiqh kecil yang digunakan di hampir seluruh dunia dan di pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Cadar tertulis di kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya :

    a. Pada Kitab Shalat Pasal Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya , yaitu :
    و عورة الحرة فى الصلاة ما سوى وجهها و كفيها ظهرا و يطنا الى الكوعين أم عورة الحرة خارج الصلاة فجميع بدنها عورتها فى الخلوة كالذكر

    “Aurat perempuan merdeka di dalam shalat, yaitu sesuatu yang ada selain dari wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian atas ataupun dalamnya sampai kedua pergelangannya. Adapun auratnya perempuan yang merdeka di luar shalat ialah seluruh badannya dan di tempat sunyi auratnya sama dengan laki-laki.”

    b. Pada Kitab Shalat Pasal Perkara-Perkara yang Berbeda di Dalam Shalat antara Laki-Laki dan Perempuan
    (وجميع بدن) المرأة ( الحرة عورة الا وجهها و كفيها) وهذه عورتها فى الصلاة . أم خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها.
    “(Seluruh badan perempuan merdeka adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan). Ini adalah aurat perempuan di dalam shalat. Sedangkan aurat perempuan merdeka di luar shalat ialah seluruh badannya.”

    9. Kitab Fiqh Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, ditulis oleh Imam Ibrahim al-Bajuri رحمه الله :

    (قَوْلُهُ إِلىَ أَجْنَـبِّيَةِ) أَي إِلىَ شَيْءٍ مِنْ اِمْرَأَةٍ أَجْنَـبِّيَّةٍ أَي غَيْرِ مَحْرَمَةٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفٍ فِتْنَةٍ عَلىَ الصَّحِيْحِ كَمَا فِيْ الْمِنْحَاجِ وَغَيْرِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا" وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ. وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الْـثَانِيْ لاَسِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ كَثُرَ فِيْهِ خُوْرُجُ النِّسَاءِ فِيْ الطُّرُقِ وَاْلأَسْوَاقِ وَشَمِلَ ذَلِكَ أَيْضًا شَعْرَهَا وَظَفْرَهَا.

    (PENDAPAT PERTAMA) (Perkataannya atas yang bukan mahram / asing) yakni, pada segala sesuatu pada diri wanita yang bukan mahramnya walaupun budak termasuk wajah dan kedua telapak tangannya, maka haram melihat semua itu walaupun tidak disertai syahwat ataupun kekhawatiran timbulnya adanya fitnah sesuai pendapat yang sahih sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Minhaj dan lainnya. PENDAPAT LAIN (KEDUA) menyatakan atau dikatakan (qila) tidak haram sesuai dengan firman Allah “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya” (QS.An-Nuur : 31).
    PENDAPAT PERTAMA (yang mengharamkan) lebih sahih, dan tidak perlu mengikuti pendapat kedua (yang tidak mengharamkan) terutama pada masa kita sekarang ini di mana banyak wanita keluar di jalan-jalan dan pasar-pasar. Keharaman ini juga mencakup rambut dan kuku. (Jilid 2 Bab Nikah).

    Apa yang tertulis pada kitab ini juga dijadikan dasar hukum cadar pada Muktamar NU ke VIII tahun 1933 di Jakarta.

    10. Keputusan Muktamar VIII Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta dalam Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang Hukum Keluarnya Wanita Dengan Terbuka Wajah Dan Kedua Tangannya :

    Pertanyaan :
    Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau Makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi Dharurat, ataukah tidak? (Surabaya)
    Jawaban :
    Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang Mu’tamad ( yang kuat dan dipegangi - penj ).
    Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.

    Sebenarnya di dalam kitab-kitab yang telah tersebut di atas pun bila kita telisik satu persatu akan kita dapati lagi terminologi cadar di dalam bab-babnya dan pasal-pasalnya. Selain itu masih banyak lagi ratusan kitab-kitab para ulama yang membahas masalah cadar, seperti di dalam kitab Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Nailul Authar, Tafsir al-Qurthubi dan sebagainya. Namun pastilah akan berlembar-lembar bila seluruhnya harus ditulis di sini.
    Dari uraian kitab-kitab di atas kita tahu bahwa tidak ada satupun dari para ulama yang mencela, menuduh ataupun menganggap bahwa cadar adalah barang baru (bid’ah), aliran sempalan atau sesat bahkan justru yang ada adalah sebaliknya: cadar telah dicontohkan para istri Nabi dan perempuan muslimah di zaman Nabi .
    Bila kita perhatikan tampaklah bahwa para ulama kita khususnya madzhab Syafi’i telah memberikan status hukum cadar dari sesuatu yang wajib hingga mandub (dianjurkan). Bahkan bila dikhawatirkan terjadi fitnah syahwat maka cenderung mewajibkannya walaupun dalam keadaan sedang berihram.
    Oleh karena itu jika telah diketahui kedudukan cadar di dalam Islam ini namun ternyata masih ada orang yang bersikap sinis, mencela, mengolok-olok, melarang atau menuduh aliran sesat maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah orang yang hatinya kotor, picik, sempit dan dengki terhadap Islam. Allah  berfirman :

                  (QS. Al-Baqarah : 10)
    “di hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”
          •        •    (QS. Al-Muthaffifiin : 13-14)
    13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu"
    14. sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

    Bahkan mereka selalu mengolok-olok orang beriman yang mengamalkan syariat Islam. Allah  berfirman:

    •                        •                           (QS. Al-Muthaffifiin : 29-36)
    29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.
    30. dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
    31. dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
    32. dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat",
    33. Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.
    34. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,
    35. mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
    36. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

    Maka dari itu hendaklah masing-masing dari kita berhati-hati di dalam bertindak dan bersikap sehingga tidak melakukan pelarangan, tuduhan atau celaan tanpa ilmu. Karena bisa jadi yang dilarang, dituduh dan dicela itu adalah ajaran agama kita sendiri yang telah disyari’atkan oleh Allah  dan RasulNya .
                 (QS. An-Nuur : 63)
    63. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

    Ingatlah, Allah  senantiasa akan meminta pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hati kita :

            •          (QS. Al-Isra” : 36)
    36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

    Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan tambahan ilmu oleh Allah .Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah  di dalam mengamalkan agama yang mulia ini sehingga senantiasa tegar di atas jalanNya dan tidak takut atau gentar terhadap celaan orang yang suka mencela. Semoga Allah  mengokohkan persatuan kaum muslimin sehingga tidak tercerai berai. Amin.
    و الحمد لله رب العالمين .أجمعين و صلى الله على على نبينا محمد وعلى آله و صحبه

    Selesai ditulis di Jakarta, pada Jum’at, 7 Dzulhijjah 1429 H / 5 Desember 2008.


    Ummu Ashhama Zeedan (Mrs. Novita Kartikasari, SS, MPd.)
    Penulis adalah guru senior di Ar-Rahman Islamic School Cinere Depok.

    BalasHapus
  3. HADITS : Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
    “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].

    Hadits ini memang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Akan tetapi jangan lupa setelah membawakan hadits ini, Abu Dawud mengatakan bahwa hadits ini mursal.

    Hal ini karena Kholid bin Duraik tidak pernah mendengar dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا.

    (Lihat juga penjelasan Ibnu Katsier di dalam kitab tafsir-nya)Wallahu ‘alam.

    BalasHapus