Tempat berbagi
informasi, pemikiran,
kisah, artikel, tips, pengalaman, dan ilmu
berkaitan dengan
dunia medis, intelektual, dakwah, perempuan,

pendidikan anak,
remaja, keluarga dan generasi, juga sesekali barang jualan.....

Selamat Berlayar..........

Sabtu, 11 April 2009

Mendidik Anak Menjadi Hafidz Dan Da’i

(Berbagi Pengalaman Mendidik Ahamad -edisi 14)
Oleh: Ummu Ahmad


Menyiapkan Ahmad untuk kelak menjadi seorang penyeru Islam (da’i) dan penjaga Al Quran dengan (salah satunya) menghafalnya, adalah cita-cita kami yang sedang kami rintis sejak awal Ahmad kami asuh. Melazimkannya dengan Al Quran dan kehidupan dakwah adalah salah satunya yang sudah bisa kami lakukan sejak pertama kali kami membawa Ahmad. Lantunan ayat suci Al Qur’an sering menjadi suara pengantar perjalanan, tidur maupun bermainnya. Demikian pula terlibat dalam agenda-agenda dakwah yang kami jalani juga sudah dirasakan oleh Ahmad sejak awal dia bersama kami. Mengikuti kami dari satu forum kajian ke forum kajian yang lain, dari satu seminar ke seminar yang lain, dari satu masjid ke masjid yang lain, siaran radio, browsing bahan makalah ke warnet, menyaksikan kami menjadi murid atau guru dalam suatu majelis ilmu adalah hal yang biasa dialami Ahmad. Bahkan ketika dakwah mengharuskan dilakukannya muhasabah (koreksi) terhadap kebijakan penguasa yang salah, dengan cara aksi damai (mashirah) pun Ahmad sering ikut. Tak jarang dia ikut jalan bersama saya, atau kadang ikut abinya di mobil orasi. Harapan kami melibatkan dia sejak awal tentu adalah agar Ahmad terbiasa sejak awal dengan kehidupan dakwah yang kelak akan dia jalani juga sebagai seorang da’i (pejuang dan penyeru Islam).

Sayyid Hussein Tabataba’i; Sang Inspirator
Terkait dengan upaya kami untuk mempersiapkannya menjadi hafidz, ada sebuah kisah ’anak ajaib’ yang menginspirasi kami. Nama anak ajaib tersebut adalah Sayyid Hussein Tabataba’i. Seorang anak Iran yang berhasil meraih gelar Doktor Honoris Causa pada usia 7 tahun dari Hijaz College Islamic University Inggris karena menghafal Al Qur’an dan memahaminya. Sekarang anak tersebut sudah berusia 17 tahun. Namun metode yang dipakai oleh orang tua Sayyid Hussein ketika mengajarkan anak mereka menghafal dan memahami Al Qur’an masih dipraktekkan di beberapa sekolah hafalan Qur’an yang mereka dirikan (Jamiatul Qur’an) untuk mencetak sayyid Hussein, sayyid hussein yang lain.
Diantara alasan mengapa kisah tersebut sangat menginspirasi saya adalah: yang pertama, Sayyid Hussein tidak sekedar menghafalnya namun juga memahami setiap apa yang dihafalnya. Bahkan dia bisa menjawab beragam pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepadanya dengan jawaban yang sangat memukau dari Al Qur’an yang dihafal dan dipahaminya tersebut. Yang kedua, bahasa Al Qur’an (bahasa Arab) bukanlah bahasa ibunya karena dia berbahasa Iran, itulah mengapa sang ayah pada waktu awal mengajar hafalan Sayyid Hussein menggunakan metode bahasa isyarat yang beliau temukan sendiri. Sementara yang ketiga, Sayyid Hussein adalah sebuah contoh pribadi anak di abad ini, sehingga kondisi yang melingkupinya tentu tidak terlalu jauh berbeda dengan yang kita hadapi saat ini.
Karena kami mencita-citakan Ahmad nantinya tidak sekedar hafal, namun juga memahami berikutnya mengamalkan apa yang dipahaminya dari Al Qur’an, sementara bahasa Arab juga bukanlah bahasa ibu bagi kami dan Ahmad, maka metode isyarat yang diperkenalkan ayah Hussein taba Taba’i tersebut sangatlah menginspirasi saya. Saya sendiri memiliki seorang keponakan perempuan yang saat ini sudah memasuki hafalan juz ke-3, ketika usianya baru sembilan tahun. Apa yang dilakukan ibunya kepada keponakan saya ini juga sedikit banyak menginspirasi saya dengan cara yang lain. Hanya, dibandingkan dengan Ahmad, kelihatannya, mengajar keponakan saya ini jauh lebih terasa mudah karena tipenya adalah ’anak manis’. Sehingga sekalipun inspirasi bisa dari mana saja, tetapi pada akhirnya kita sendirilah yang paling tahu metode apa yang terbaik untuk mengajar anak kita.

Umi Sang Arsitek, Abi Asisten Dan Guru Yang Luar Biasa
Dalam melakukan semua proses pendidikan dan pembelajaran apapun kepada Ahmad, asisten terpenting saya adalah abi Ahmad. Karena tidak kita pungkiri, guru terpenting bagi anak di sekolah pertamanya (rumah) adalah ibu dan ayahnya. Bukan ibu saja. Dan bukan pula ayah saja. Keduanya adalah tim yang harus kompak. Masing-masing juga harus tahu peran apa yang bisa dan harus dimainkan.
Terkait dengan mengajarkan Ahmad menghafal Al Qur’an, saya sangat terbantu dengan Abi Ahmad. Bukan sekedar karena suara dan bacaaannya yang memang bagus, atau karena memiliki hafalan Qur’an yang cukup untuk saat ini mengajari Ahmad, tapi lebih kepada kemauan dan komitmennya yang bagus pula untuk menjadikan Ahmad seorang hafidz. Beliau, sesuai dengan skenario atau jadwal hafalan yang saya buat cukup disiplin mengajak Ahmad menghafal ayat-ayat Al Quran. Saya tinggal mengkomunikasikan surat apa yang sekarang sedang saya programkan untuk Ahmad, lagu/irama bacaan seperti apa yang digunakan agar sama dengan yang saya gunakan (biasanya qiroati), dan momen-momen tepat kapan saja yang bisa dipakai untuk melakukan hafalan. Alhamdulillah, abi melakukannya dengan sangat luar biasa. Bahkan saat ini, beliau sudah merancang satu sistem menghafal indeks nama dan surat dalam Al Quran menggunakan metode cantolan untuk kelak diajarkan kepada Ahmad ketika sudah agak besar.

Metode Isyarat, Ayat Dan Hadits Pilihan
Sebelum Ahmad mulai menghafal surat-surat tertentu dari Al Quran, kami mengawali program hafalan itu dengan ayat dan hadits pilihan yang kami ajarkan ke Ahmad menggunakan metode isyarat seperti yang digunakan oleh ayah Sayyid Hussein Tabataba’iy ketika mula-mula mengajarkan hafalan Qur’an ke anaknya. Bagaimana bahasa isyarat yang saya pakai, saya karang sendiri. Lalu saya sampaikan ke abi Ahmad biar sama ketika mengajar Ahmad. Biasanya ayat atau hadits tersebut saya pilih sesuai dengan kondisi Ahmad yang berkesesuaian. Misalnya ketika masih sering kesulitan mengendalikan amarahnya, saya pilihkan ayat-ayat dan hadits yang berbicara tentang sabar, larangan marah, perintah untuk bicara yang baik-baik, larangan membentak orangtua, dan seterusnya. Misalnya: ”fashabrun jamiil...(maka bersabarlah dengan kesabaran yang indah) ”sambil sewaktu menyebut kata shabrun (sabar) saya menggerakkan tangan seperti mengelus dada, ketika menyebut jamiil (bagus/indah) saya mengacungkan dua ibu jari saya ke depan. Hadits lain yang saya gunakan tentang konteks menahan marah adalah ”laa taghdlab....(janganlah marah)” sambil sewaktu menyebut kata laa (jangan) saya menggerak-gerakkankan tangan saya yang menunjukkan melarang, dan ketika menyebut kata taghdlab (marah) saya menggerakkan telunjuk saya menuding-nuding sambil memasang wajah seperti orang marah. Atau ketika menyebut hadits ”fal yaqul khoir aw liyasmut...(hendaklah bicara yang bagus, atau diam) saya mengatupkan jari-jari tangan kanan saya menjadi seperti mulut lalu menggerakkannya buka tutup seperti mulut berbicara untuk menggambarkan makna falyaqul (hendaklah bicara) , acungkan dua jempol untuk mewakili khoir (baik), dan menaruh jari telunjuk di bibir untuk menyuruh diam (liyasmut).
Demikian seterusnya, saya tentukan ayat dan hadits pilihannya lalu saya juga tentukan bagaimana bahasa isyarat yang akan mempermudah Ahmad mengerti apa yang dia hafalkan.Lalu kami mengamalkannya/mengulang menyampaikan ke Ahmad setiap ada kejadian yang sesuai. Misalnya ketika dia marah lalu bicara keras kepada kami saya ingatkan dengan membaca ”fa laa taqul lahumaa uffin...(maka jangan berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan ’ah’)” sambil menggerakkan tangan seperti melarang pada waktu mengucapkan ”laa” (jangan), membentuk mulut dari ibu jari dan empat jari lainnya sambil digerakkan buka tutup ketika mengatakan ”taqul” (kamu bicara), menunjuk abi-umi ketika mengatakan ”lahumaa” (kepada kedua orang tua), dan mengangkat telunjuk ke atas seperti orang marah ketika mengatakan ”uffin (uh/ah/perkataan kasar lainnya)....

Menghafal Dan Belajar Di Jalan Justru Memudahkan
Satu hal yang kemudian kami sadari dan syukuri karena Ahmad sering ’berperjalanan’ bersama kami adalah ternyata menghafal di jalan justru memudahkan bagi anak dengan tipe Ahmad. Kenapa? Karena ketika kami di atas kendaraan, dengan Ahmad duduk ’terjepit’ diantara kami berdua, maka yang jelas Ahmad akan ’dipaksa secara suka rela’ memiliki kesempatan untuk mendengar semua yang kami katakan. Sekalipun itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sekitar setengah hingga satu jam. Itu adalah durasi yang cukup lama bahkan hampir tidak pernah terjadi bagi anak seperti Ahmad untuk bisa berkonsentrasi belajar selama itu tanpa ada episode dia harus lari atau bermain ke sana kemari.
Mulanya kami tidak meyadari bahwa belajar ketika di perjalanan memang menjadi hal yang ternyata sangat memudahkan kami mengajar Ahmad. Karena saya merasa perjalanan cukup panjang, maka dalam perjalanan tersebut saya isi dengan menyampaikan berbagai hal secara verbal; dari bercerita, menyanyi, menyebutkan berbagai benda, menghafal doa, hingga mengaji di atas kendaraan (yang sudah menjadi kebiasaan kami sebelum ada Ahmad.)
Terkait dengan hafalan Qur’an, pada waktu Ahmad belum memiliki satu hafalan sedikitpun, saya dan abinyalah yang bergantian mengaji di atas kendaraan. Hingga ketika kemudian kami dapati Ahmad mulai sedikit hafal suatu surat, kami minta dia menghafalnya dengan saya mengiringinya pelan. Begitu seterusnya hingga ketika kemudian dia hafal betul, kami biarkan Ahmad mengulang hafalannya sendiri, sementara kami mendengarkan saja sesekali mengoreksi apa yang kurang tepat. Setelah semua hafalannya habis, baru giliran kami untuk memperkenalkan satu hingga tiga surat baru yang kami targetkan untuk dihafal berikutnya. Sebagai variasi, ketika masih ada kesempatan, saya gunakan untuk memberi contoh kepada Ahmad satu paket taushiyah singkat semacam kultum ala da’iy cilik dengan menggunakan 1-2 dalil qur’an atau hadits yang sudah saya ajarkan dengan metode isyarat kepada Ahmad. Siapa yang berceramah? Ya tentu saya sendiri, karena baru mengawali memperkenalkannya kepada Ahmad. Biasanya, pada kesempatan berikutnya dia mulai mau membuka dan menutup taushiyah tersebut dengan mengucap salam, tapi isi di tengahnya masih saya yang menyampaikan. Lambat laun selain salam, Ahmad mulai mau meneruskan ke tahmid dan shalawatnya. Berikutnya bahkan hingga menyampaikan sapaan ke audiens seperti: ”Apa kabar teman-teman? Di sini ada yang suka bohong ga? Teman-teman mau ga dengar Ahmad cerita tentang akibat suka bohong?....” Sampai di sini biasanya kemudian dia kembalikan lagi ke saya agar bercerita. Mungkin karena mendengar cerita itu dari saya lebih menyenangkan bagi Ahmad, meskipun ketika saya bercerita biasanya dia ikut-ikutan menimpali atau menyambung cerita saya. Hingga kalau sudah sampai pada kalimat pamitan kepada penonton seperti: ”sudah dulu ya teman-teman......” hingga salam penutup biasanya dia ambil alih lagi. Demikianlah, yang seperti ini berjalan setiap hari, baik dengan saya maupun dengan abinya.


Ketika hafalan Ahmad sudah agak banyak dan cukup melelahkan kalau Ahmad sendiri yang terus menerus menghafal, maka kami gunakan metode seperti permainan. Siapa yang selesai menghafal satu surat, dia boleh menunjuk siapa dan apa surat yang dibaca pada giliran berikutnya. Biasanya Ahmad memilih duluan dan nanti akan menunjuk siapa yang dikehendakinya untuk membaca. Nah di sinilah, ’bakat’ usil atau ngerjain orangnya muncul lagi. Biasanya dia akan memilih abi untuk giliran menghafal berikutnya dengan memilihkan surat-surat yang terpanjang, dia mengira dengan begitu abinya akan kapok (padahal tentu saja kami tetap saja senang karena menyaksikan Ahmad belajar menghafalnya dengan enjoy).
Alhasil, belajar di jalan (ketika keadaan membutuhkan) bisa jadi justru sangat menyenangkan dan ternyata sangat memudahkan.

Al Kautsar; Surat Istimewa Di Hati Ahmad
Surat Al Kautsar adalah salah satu surat pertama yang dihafal Ahmad. Bukan hanya karena pendek, namun dia merasa kenal dan dekat dengan nama surat tersebut yang sama dengan nama ayah yang sudah dihafalnya. Pertama kali saya sampaikan padanya nama surat yang akan saya ajarkan ini adalah surat Al Kautsar, Ahmad langsung nyeletuk “seperti ayah kautsar ya Mi”, dengan ekspresi yang menunjukkan kegembiraan dan antusiasmenya pada surat ini. Dia menyebut surat ini surat ayah Kautsar, meski sudah kami koreksi bukan surat ayah Kautsar tapi surat Al Kautsar, dia tetap saja kukuh menyebutnya surat ayah Kautsar. Maka setiap pagi ketika kami baru berangkat, di atas kendaraan, ketika dia belum menghafalnya dia selalu meminta “baca surat ayah Kautsar Mi” sebelum meminta kami membaca yang lain. Hingga ketika kemudian akhirnya dia hafal (sebelum playgroup) dia pun sangat senang mengulang-ulang surat ini. Bahkan ketika berada di pusara ayahnya, ternyata dia berdoa dengan mengulang-ulang membaca surat ini, Sendiri. (baca Ahmad Hukma Shabiyya....di bagian lain buku ini)

Antara Laptop, HP Dan Menghafal Qur’an
Menghafal qur’an ini juga saya siasati dengan menggunakan sarana apapun dan metode apapun yang bisa saya lakukan untuk membantu Ahmad menghafal dengan mudah. Diantaranya adalah dengan memperdengarkan bacaan al qur’an. Ini sudah kami lakukan sejak dia bayi. Tidurnya pasti diiringi dengan lantunan ayat suci Al Qur’an. Sewaktu bermain, juga kami iringi dengan suara CD/kaset bacaan Al qur’an yang kami seling dengan nyanyian anak muslim. Di jalan, di atas kendaraan, secara bergiliran saya dan abinya memperdengarkan hafalan Al Quran di jalan, seringkali hingga dia tertidur. Itu ketika programnya masih sebatas membiasakan Ahmad dengan bacaan Al Qur’an.
Ketika program hafalan ini sudah mulai bertarget memastikan surat-surat tertentu untuk dihafal Ahmad, maka sekedar memutar CD tanpa diprogram surat apa yang dibaca tentu kurang membantu, karena tidak terjadi pengulangan yang intensif. Sehingga kemudian saya buatkan program Winamp di laptop saya dengan playlist surat-surat yang sudah dihafalnya –untuk penguatan memori- dengan saya tambah satu hingga 3 surat baru –yang saya targetkan untuk dihafalkan Ahmad berikutnya-. Play list itulah yang kemudian selalu saya putar. Ketika menjelang tidur ataupun ketika menemani Ahmad bermain. Surat-surat di play list itu juga yang kami bertiga hafalkan bergantian ketika di perjalanan. Ketika abinya atau saya menjadi imam sholat di rumah, pilihan surat yang dibaca keras juga disesuaikan dengan surat yang sedang dihafalkan Ahmad.
Selain itu, setiap kali Ahmad meminta main games di laptop/komputer selalu saya persyaratkan harus sambil mendengarkan ngaji (play list winamp) yang saya sudah siapkan tadi. Saya ajari bagaimana menyalakan winamp dan memilih play list yang saya kehendaki. Dan ketika dia bermain apa saja di laptop, saya minta dilakukan sambil mulutnya menghafal surat yang diputar winamp tadi. Maka jadilah Ahmad tanganya asyik bermain roket-roketan, kartu, bola ataupun permainan yang lainnya, sementara mulutnya bersuara mengahafalkan surat seperti yang dia dengar. Ya memang, sesekali hafalannnya terputus karena dia terbawa oleh keasyikan permainannya, namun cukup dengan mengingatkannnya dari jauh...”Ahmad, mana umi kok ga dengar ngajinya?” maka Ahmad pun menghafalkan lagi.
Di lain kesempatan, suara Ahmad menghafal qur’an kami rekam. Sebagian kami rekam di HP, sebagian kami rekam di MP3. Kami rekam di HP untuk kemudian kami jadikan ring tone. Jadi setiap kali ada telepon masuk, maka suara Ahmad mengajilah yang keluar. Dan itu seringkali mengundang perhatian orang yang membuat Ahmad senang. Di MP3 saya masukkan ke komputer untuk kemudian saya buatkan play list tersendiri untuk diputar Ahmad kalau dia ingin mendengar hafalan (suara) nya sendiri.
Pendek kata, tanpa dia sadari, pengulangan secara alami yang terus menerus tersebut memang membantu Ahmad untuk mengahafal Al Quran lebih mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah, sekarang hafalan Ahmad sudah kurang lebih 25 surat pendek di juz 30. Semoga kami bisa merealisir target Ahmad bisa hafal juz 30 sebelum masuk SD. Untuk itu kami harus memastikan Ahmad sudah bisa membaca Al Qur’an dan mengetahui dasar-dasar tajwidnya dengan lancar. Dan secara mental, dia sudah siap untuk kami bawa ke Ustadz dan forum hafalan Qur’an yang membutuhkan kesiapannya untuk bisa duduk lebih ’manis’. Semoga Allah memberi kemudahan, kemampuan dan keberhasilan kepada kami merealisir niat kami mencetak Ahmad menjadi seorang Haafidz al Qur’an. Amiin.

1 komentar:

  1. siip bu tilisannya, semoga bermanfaat bagi pembaca. salam buat abinya?
    saya pak arifin budi mulia

    BalasHapus